Note:
Ini hanyalah prolog dan bagian 1 dari Light Years. Untuk kelanjutan fanfiksi ini dapat dibaca di AO3; archiveofourown dot org / works / 15822378 (atau copas tautan di bio)
.
Disclaimer
Oh Sehun and Lu Han belongs to themselves, their parents, and agencies. This is only a work of fiction, solely a non-profit fan work. Their characters and stories are fictitious.
.
.
Love is the one thing we're capable of perceiving that transcends dimensions of time and space
(Dr. Amelia Brand - Interstellar)
.
.
.
Prologue
.
.
.
Bumi, Maret 2215 AD
Bumi selepas hujan adalah hal yang paling memikat bagi Luhan. Wangi tanah basah diantarkan semilir embusan angin sampai ke saraf olfaktori. Membaui, lalu aromanya dihirup dalam-dalam. Sisa-sisa tetes air menitik lemah dari atas dedaunan, laksana tarian melawan gravitasi. Gumpalan awan perlahan berarak pergi, memberi celah pada matahari agar seberkas pancar dapat mengintip.
Ia bersyukur, masih bisa menikmati seluruh suasana bersama adik laki-laki kesayangan. Anak itu melangkah berdampingan di sisinya. Susu dalam kotak karton di genggaman tangan, disedot kuat. Pandangan fokus menatap jalanan demi menghindari genangan air.
Menoleh, Luhan mengalihkan pandangan pada sosoknya sejenak. Bulan depan, usia sang adik akan genap menginjak lima belas. Sekitar dua tahun silam, tinggi anak itu hanya sebatas bahunya, namun kini telah mencapai telinga. Tak sanggup membayangkan jika suatu hari nanti, tinggi badannya akan tersalip. Terus terang saja, hendak ditaruh di mana harga diri sebagai seseorang yang notabene berusia empat tahun lebih tua.
Tanpa sadar, Luhan tertawa pelan oleh pemikirannya sendiri.
"Hyung, kenapa kau tertawa?" Anak laki-laki itu menghentikan langkah tatkala mendengar suara tawa Luhan lolos tanpa sebab yang ia tahu. Luhan hanya menggeleng sembari tersenyum. Kepala sang bocah diusap, rambut diacak-acak. Tak ayal, perlakuannya memancing reaksi protes dari yang bersangkutan.
"Hentikan!" Tangan Luhan segera ditepis, kemudian ia bergerak mengincar kepalanya. Berniat balas dendam melakukan hal yang sama. Menjadi yang lebih tinggi dan lebih gesit tentu saja memberi Luhan keuntungan untuk mampu mengelak dan menghindar dengan cepat. Anak itu pun merengut kecewa.
"Inilah kenapa aku ingin segera cepat tumbuh! Lihat saja, kalau aku sudah lebih tinggi, kepalamu juga tidak akan selamat." Tawa Luhan berderai hingga mencapai mata, membentuk garis-garis menawan di tiap sudutnya.
Baru saja hendak merespons gertak sambal sang bocah, tiba-tiba terdengar bunyi gemuruh di angkasa. Keduanya mendongak. Dua buah unit pesawat tempur melintas dengan manuver indah meninggalkan jejak-jejak asap di langit yang kini telah membiru berhiaskan gumpalan tipis awan putih.
"Wow," Anak laki-laki di sebelah Luhan bergumam takjub. "Apa itu milik UNSF[1]?" tanyanya.
"Ya. Itu adalah Abyssinian, bagian dari armada kapal Felis Catus. Apa kau tertarik untuk mengendarainya?"
"Tidak, ah. Lebih baik mengerjakan persamaan fisika yang rumit daripada harus menyiksa diri berputar-putar di angkasa dengan pasokan oksigen terbatas, walaupun harus kuakui yang tadi itu terlihat keren." Bunyi seruput terdengar. Sedotannya menguras habis sisa tetes terakhir susu di dasar kotak karton.
Luhan mengembangkan senyum simpul, namun memudar sedetik kemudian. Ia sadar, cepat atau lambat anak itu harus mengetahui sebuah perubahan besar yang akan terjadi dalam hidup mereka. Di antara semua hari, semua waktu, ia memilih saat lanskap sore terindah baginya muncul memanjakan mata, seolah telah diatur untuk dinikmati hanya oleh mereka berdua.
"Sehunnie … jika aku menjadi pilot pesawat seperti itu, apakah menurutmu juga akan terlihat keren? Apakah kau akan bangga padaku?"
"Tentu saja tidak. Wajahmu hanya cocok dengan hal-hal manis, bukan hal-hal keren."
Mendengus, Luhan agak kesal. Apalagi setelah mendengar pernyataan itu diikuti gelak tawa. "Sehunnie, aku serius."
Intonasi suara datar namun tegas, membuat tawa anak itu terhenti seketika. Meskipun pilihan kata yang digunakan Luhan terkesan seperti sebuah canda, kini ia sadar bahwa pertanyaannya tidaklah main-main. Entah mengapa, hal itu sedikit banyak membuatnya merasa cemas tanpa alasan yang jelas. Berharap semoga saja firasat buruk—yang ia sendiri tidak tahu apa—meleset.
"Hyung … kenapa kau tiba-tiba bertanya itu?"
Sekali lagi, Bumi selepas hujan adalah hal yang paling memikat bagi Luhan, namun ada satu alasan mengapa hari ini lain dari biasanya. Menjadi sesuatu yang harus ia kenang dan disimpan rapi dalam kotak memori. Dikunci rapat-rapat agar tidak pudar tertumpuk oleh ingatan-ingatan lain yang akan datang.
Hari ini, bisa jadi adalah hari terakhir untuk menikmati momen terfavorit di planet tempatnya tinggal, bersama seseorang yang paling disayangi.
"Karena tahun depan, aku akan mengendarai itu ... di atas sana."
Sebuah kotak susu yang telah kosong terlepas dari genggaman tangan. Terhempas ke tanah setelah sebelumnya diremas kuat hingga mengerut. Mata yang terbelalak serta tangan gemetar menjadi bukti bahwa ia paham. Apa yang dimaksud Luhan di atas sana bukanlah langit Bumi, melainkan lebih jauh lagi, menembus keluar lapisan eksosfer.
Ruang angkasa.
Luhan Hyung, kau pengkhianat.
Semenjak hari itu, bocah yang ia panggil 'Sehunnie' tidak pernah lagi menyebutnya 'Hyung'. Sikap dingin adalah satu-satunya hal yang Luhan terima sepanjang tahun, bahkan hingga menjelang keberangkatannya. Pengakuan Luhan hari itu pun membuat pasca hujan menjadi suasana yang ia benci. Oh Sehun, sang anak lelaki, tidak pernah tahu berapa banyak waktu yang akan hilang dan harus ia korbankan nanti hanya untuk bisa kembali memanggil nama 'Luhan'.
Waktu ialah relatif. Bisa merenggang dan mengerut, namun tidak akan pernah bisa berputar kembali.
.
.
.
End of prologue
To be continued
.
.
.
Glosarium
[1] UNSF (United Nations Security Force): Pasukan yang dibentuk PBB untuk menjamin keamanan Irian Barat saat terjadi persengketaan wilayah antara Indonesia dan Belanda (1962-1963). Dalam cerita ini, UNSF dibentuk kembali demi menjaga keamanan Bumi.
.