Warm Night
2016 © tryss

.

Jeon Jungkook X Park Jimin

.

Summary

Malam selalu diberi imbuhan kata dingin dalam tiap rangkaian katanya. Maka, Jungkook dan Jimin sudah mematahkan rangkaian tersebut. Karena tidak semua malam adalah malam yang dingin.


Warm Night


Orang bilang, kehidupan malam adalah kehidupan yang kotor. Kehidupan yang hanya diselimuti kenikmatan dunia semata. Keindahan dalam kesemuan. Keagungan dalam neraka. Namun, Jeon Jungkook tak sekalipun berpikir seperti itu walau orang-orang terus mencekokinya arti dunia malam dengan paksa. Serius. Bahkan dari ribuan kesalahan, Jungkook masih bisa mencari celah kebaikan disana, mengapa tidak dengan 'dunia malam'?

Pada pukul sembilan lewat sepuluh menit (atau lebih tepatnya lima belas menit yang lalu), Jungkook sudah duduk manis di depan kemudi mobilnya. Siap dengan baju apa saja. Hei, Jungkook itu tampan, ia cocok dalam setelan apapun bahkan setelan compang-camping ala pengemis. Dan sekarang, mobilnya sudah berhenti di basement dunia malam yang sering dikunjunginya. Melirik tatanan rambutnya sejenak pada kaca tengah mobil sebelum keluar dan mulai tebar pesona.

Jungkook selalu begini. Sekalipun uang yang dimilikinya tidak akan habis sampai tujuh turunan, ia lebih suka tebar pesona di klub-klub kecil dari pada klub berbasis VVIP. "Sensasinya lain", begitu kata Jungkook.


Warm Night


Keadaan di dalam gedung jauh lebih menyegarkan. Wanita cantik berbaju minim disana-sini, menari seduktif dan menggoda pejantan haus, minuman laknat, serta hawa panas di sekujur tubuh. Jungkook menyeringai sejenak sebelum menunduk geli dan tertawa pelan. Ia butuh seseorang, bung.

Ada interfal yang cukup lama ketika matanya bertumbukan dengan seorang bartender manis di sudut ruangan. Bibir plum merekah yang siap disantap itu tersenyum tipis. Mengundang Jungkook untuk datang dan mengemis minuman surgawi rasa neraka. Tidak butuh waktu lama, Jungkook sudah duduk di hadapannya.

"Apa yang kau inginkan, Tuan?" si pemuda manis itu berujar menggoda dengan suara seraknya.

"Sebenarnya aku tidak ingin minum." Senyum si pemuda manis yang baru saja jadi pujaan Jungkook meluntur dan tergantikan wajah bingung.

Sejak malam itu, Jeon Jungkook datang sebagai pelanggan tetap si bartender manis.


Warm Night


Malam sudah berganti pagi saat Park Jimin sampai di rumahnya. Rumah yang tak lagi layak untuk disebut rumah. Rumah di ujung gang sempit yang begitu remang-remang, lembab, dan juga berantakan. Ini bukan karena Jimin yang anti kebersihan ataupun malas. Untuk menghidupi dirinya sendiri, ia butuh kerja siang-malam tak peduli seberapa lelah tubuhnya. Memaksa setiap ototnya untuk terus bekerja tanpa ampun. Dan, Jimin tidak punya waktu untuk sekedar membersihkan rumahnya sendiri.

Tapi lebih dari itu, Jimin benar-benar punya hal yang tidak bisa dihindari.

Tepat ketika pintu utama rumahnya tertutup, Jimin merasakan tubuhnya melayang beberapa saat dan detik berikutnya terhempas pada sofa tua di ruang tamu rumahnya dengan kasar. Ada saat Jimin merasa sangat ketakutan dirumahnya, seperti halnya sekarang. Ketakutan yang besar terhadap pemuda yang merangkak diatas tubuhnya dan mulai mengendusi lehernya dengan helaan nafas yang berat.

"Jim," suara serak itu mengalun indah di atas kengerian hidup Jimin.

Bagaimana bisa, ketika seorang yang berada di puncak melepaskan seluruh hasrat diri mereka kepada yang lebih kecil, kepada orang-orang yang sudah ditakdirkan untuk tidak berhak atas suatu harta sejak lahir. Jimin pikir, Tuhannya bertindak tak adil, tapi kepercayaannya pada Tuhan tak sekalipun pudar. Bila memang begini, mungkin Tuhan telah menyiapkan suatu hal yang jauh lebih indah, jauh lebih besar dan lebih layak untuk Jimin. Untuk Park Jimin, hamba-Nya.

Min Yoongi bergerak liar diatas tubuh Jimin, memenjarakan pemuda manis yang kelelahan setelah bekerja hanya untuk memenuhi keinginan duniawinya. Memaksa Jimin untuk berada dalam kukungannya sambil melenguh gila. Dan saat si putih datang pertama kali pada Jimin, ia sadar bahwa manusia hina sepertinya juga butuh pelampiasan. Butuh sandaran, sandaran yang mungkin saja runtuh setelah Jimin mulai terlena.

Di gelapnya rumah Jimin malam itu, ia tertidur dalam pelukan Min Yoongi.


Warm Night


Adakah yang tahu bahwa Jungkook kehilangan seorang malam ini?

Sungguh, ia telah kehilangan pemuda berambut merah yang biasanya menawarkan seulas senyum dan beberapa gelas alkohol.

Maka ketika ia telah yakin si pemuda manis—yang sialnya tak Jungkook ketahui namanya—menghilang, pupus sudah alasan Jungkook untuk melindungi si pemuda. Jungkook bukan orang yang akan berlarut telalu lama dalam kesedihan. Kalau memang sudah ditinggalkan, kenapa Jungkook harus berharap? Kenapa pula Jungkook harus menunggu? Jelas membuang-buang waktu, dan Jungkook tidak suka berdiam diri mengemis cinta dari seseorang yang bahkan tak dikenalinya.


Warm Night


Pukul sebelas lebih dua puluh menit, Jungkook keluar dari klub. Menarik seorang wanita seksi untuk dibawa ke motel. Tapi sebelum itu, ia menghentikan mobilnya di sebuah mini market dua puluh empat jam, mendorong pintunya kuat dan buru-buru membawa kondom yang diambilnya dari rak ke kasir.

Jungkook tidak menyadari sejak awal, Tuhan sudah menuliskan cerita untuk tiap orang di dunia ini. Saling bersinambung dalam untaian tali transparan. Jadi setelah si penjaga kasir menyebuatkan nominal yang harus dibayar, Jungkook mendongak kaget. Telinganya seakan memiliki cara tersendiri untuk merekam suara pemuda pujaannya dibalik hingar-bingar klub malam dan menyimpannya di otak sebagai memori terpenting. Menjadikan telinga Jungkook punya sensor untuk mengenali siapakah pemilik suara imut ini.

Tangan Jungkook melayang di udara, bersiap memberikan uang sebesar lima ribu won namun ia tak kunjung menyodorkannya. Lain halnya si penjaga kasir, ia sempat terkejut namun kembali tersenyum ramah pada Jungkook. Membungkus barang yang dibeli Jungkook dan menunduk malu.

Jungkook melirik name-tag di dada kiri si pemuda. Sungguh, mereka terlihat sama dalam balutan baju apapun. Tapi baju bartender yang sering di kenakan pemuda ini memberi kesan yang terlalu seksi. Serius, pemuda manis dan imut seperti ini tidak seharusnya berubah menjadi pemuda seksi di klub-klub malam. Cukup dengan kaos putih kebesaran dan ripped jeans, Jungkook rasa ini terlebih dari versi manapun.

Dan setelah sekian detik Jungkook membandingkan pemuda yang sekarang berdiri di hadapannya dengan pemuda yang sering meracikkan minuman untuknya di bar, akhirnya ia yakin mereka adalah orang yang sama. Maka Jungkook bersikeras mengukir sebuah nama di dalam memori terpentingnya. Well, anggap saja Jungkook sedang mengingat-ingat pemuda dengan nama Park Jimin ini.

"Akhirnya." Desah Jungkook. Ada beban yang menguap ketika Jungkook menemukan Jimin menjadi seorang kasir di mini market dua puluh empat jam. Menghitung nominal uang dan tersenyum ramah pada tiap pelanggan yang masuk ke dalam toko. Sama persis seperti Jimin yang tersenyum menggoda dan menarik hasratnya untuk menenggak alkohol . Jimin punya pola dalam tiap pekerjaannya, dan Jungkook menyukai pola itu.

Malam itu, Jungkook melupakan wanita yang ditariknya keluar dari klub malam. Lebih memilih menunggui Jimin menyelesaikan pekerjaannya dan mengantar pemuda manis itu pulang.

Sejak awal, Jungkook sudah menduga bahwa Jimin tak memiliki sepeserpun harta (tidak termasuk rumahnya) yang dapat di sia-siakan sepertinya. Jika mau, Jungkook bisa saja memberikan sebagian kecil hartanya agar Jimin bisa merasakan sedikit keindahan duniawi. Jadi ketika Jimin berniat masuk ke dalam rumah, Jungkook menahannya sejenak dan menawari pekerjaan untuk menjadi asistennya. Tapi tidak sampai Jimin sempat menjawab penawarannya, pria pucat yang keluar dari dalam rumah Jimin menginterupsi mereka.

"Kau bawa pulang laki-laki lain walaupun masih punya aku?" tanya si pria pucat.

Dari penglihatan Jungkook, pria pucat yang memeluk Jimin posesif dari arah belakang itu merupakan pemilik resmi Jimin namun air wajah Jimin mengatakan bahwa ia ingin bebas dari pria yang kira-kira berumur seperempat abad itu.

"Ti-tidak, Yoongi hyung." Suara Jimin bergetar hebat.

"Aku yang memberinya tumpangan." Timpal Jungkook,"Lagian, jika Jimin resmi milikmu, kaulah yang bertanggung jawab atas keselamatannya. Bukankah begitu?"

Yoongi menggeram rendah dan siap melayangkan pukulan keras di rahang Jungkook jika saja Jimin tidak mencekal pergelangan tangannya dan mengundang Yoongi untuk menyeringai menang pada Jungkook. Dari sisi manapun, Yoongi tahu Jimin mencekal tangannya karena tidak ingin Yoongi dan Jungkook berkelahi tengah malam tapi sisi Yoongi yang lain menutupi fakta yang sebenarnya. Bahkan Yoongi percaya, Jimin sudah jatuh dalam pelukannya.

"Kumohon, jangan." Pinta Jimin pada Yoongi, menampilkan raut memohonnya dan siap menangis, tapi ia segera menolehkan wajahnya pada Jungkook,"Dan kau, Jungkook, pulanglah."

Lagi, Yoongi hanya menyeringai menang. Ia merasa bahwa tingkatnya dan Jungkook sudah jauh berbeda. Dan Jimin tak akan semudah itu untuk meninggalkannya. Sejak setahun lalu, Yoongilah yang sedikit mengurangi masalah keuangan Jimin yang semakin membengkak dengan cara sewa tubuh. Uang yang diberikan Yoongi juga tak sedikit, tapi Jimin sudah tak ingin lagi menyerahkan tubuhnya pada Yoongi. Jimin lelah dengan keinginan Yoongi yang kian hari kian membeludak. Jimin sudah tak sanggup untuk menghadapi Yoongi.

Jungkook berbalik perlahan, mengabaikan seringai menyebalkan Yoongi dan tersenyum lembut pada Jimin yang dibalas anggukan kecil.


Warm Night


Untuk seminggu kedepan, Jungkook lupa dunia malamnya. Tubuhnya selalu membawa Jungkook menuju toko dua puluh empat jam yang mempekerjakan Jimin sebagai penjaga kasir malam. Menunggu dan menemani si manis menyelesaikan pekerjaannya adalah rutinitas baru untuk Jungkook. Dan uang sepuluh juta won yang biasa dihabiskannya dalam seminggu, kini masih bersemayam dalam rekeningnya. Menunggu Jungkook untuk menggunakannya atas nama Park Jimin.

Bahkan dalam seminggu, Jimin sudah berani duduk berdempetan dengan Jungkook di depan toko—jika sedang tidak ada pembeli—dan menyandarkan kepalanya pada bahu laki-laki yang lebih muda. Menikmati semilir angin malam dalam rengkuhan hangat Jungkook.

Dan malam ini, semua terulang seperti tampilan rewind.

"Jungkook," panggil Jimin. Kepalanya masih setia menyandar pada bahu Jungkook, beberapa kali bergerak untuk mencari sisi yang nyaman.

Jungkook berdeham pelan, menggenggam tangan kiri Jimin lebih erat,"Apa, Jim?"

Bukan maksud Jungkook untuk memanggil Jimin tanpa embel-embel 'hyung', tapi Jimin sendiri yang meminta Jungkook untuk menghilangkan sufiks menggelikan seperti itu jika bersamanya.

"Aku lelah terus dalam keadaan seperti ini. Yoongi tetap mengekangku sekalipun ia tahu kami tidak mungkin bersama. Dia pasti tahu jika aku meletakkan hatiku pada yang lain, tapi aku tidak berani untuk memperingatinya. Aku—" Jimin nyaris menangis,"Kenapa aku lemah sekali?"

Jungkook mendengus geli, menggerakkan tangan kirinya yang bebas untuk mengelus tangan kiri Jimin yang ada pada genggamannya. Jimin memejamkan matanya, menikmati tiap sentuhan ringan Jungkook dengan khidmat. Mungkin saja ini terakhir kalinya Jungkook memberinya sandaran, jadi Jimin ingin menyimpan setiap sensasi saat bersama Jungkook dalam memori terdalamnya.

"Kau tidak lemah, kau hanya berusaha untuk tidak menyakitinya, Jim. Sekalipun aku bingung, tapi aku yakin, kau satu-satunya yang dapat melihat kebaikan dari Yoongi dibalik sifat buruknya. Itu sungguh istimewa. Kau tidak harus menganggap itu sebagai sebuah kesalahan. Kau memang terlahir seperti ini, lengkap dengan wajah secantik bidadari dan hati sebersih malaikat."

Dalam diam, Jimin merona parah.


Warm Night


Setiap malam, sentuhan Jungkook seakan menjadi obat dari kekerasan Yoongi. Genggaman hangat itu telah mendorong Jimin untuk tidak berada pada satu titik yang sama. Menggerakkan Jimin untuk maju dan membuat segalanya terlihat lebih jelas di mata yang lain. Terutama Yoongi. Maka pada suatu hari, saat Yoongi libur, Jimin mengajaknya pergi ke taman dengan alasan ingin mencari udara segar. Dan Yoongi mengangguk pelan. Menarik kedua sudut bibirnya untuk tersenyum tipis. Yoongi pikir, ia sudah memenangkan hati Jimin.

Ditemani sekaleng minuman dingin pada tangan masing-masing, mereka menikmati sisa-sisa sore hari di Seoul.

"Ada yang ingin kukatakan." Ujar Jimin. Yoongi masih diam, membiarkan Jimin mengambil alih keheningan yang sejak awal telah melanda dengan ganasnya.

Jimin menggenggam kaleng minumannya lebih erat,"Kehidupan malamku sudah berakhir." Suaranya tegas dan penuh semangat. Keberanian yang Jimin kumpulkan sejak lama akhirnya meluap.

Yoongi mendengus geli kemudian menyeringai, seringai yang baru pertama kalinya Jimin lihat; penuh rasa sakit dan keputus asaan. Yoongi menaruh kaleng kosongnya di tanah, menginjaknya kemudian baru di buang ke tong sampah,"Rupanya kau tidak melihat kesungguhanku. Semoga kau bahagia."

Dua menit telah berlalu saat Jimin sadar bahwa punggung Yoongi sudah menghilang di balik gerbang taman. Punggung yang bergetar kecil dan kepala bersurai pirang yang tertunduk dalam serta langkah yang terkesan berat. Jimin sudah melukainya. Jimin pelakunya.

Tapi Jimin tidak ingin berbohong—pada dirinya sendiri ataupun yang lain—bahwa cincin yang tergantung manis sebagai bandul kalungnya telah mengikatnya bersama pemuda bernama Jeon Jungkook. Karena, hanya ketika bersama Jungkook, malam yang harusnya terasa begitu dingin kini selalu terasa hangat dan penuh cinta.

.

END


Note : FF ini hanya sebagai penyela di masa-masa sibukku. Maafkan untuk hal-hal yang tidak berkenan dalam ff ini (termasuk note ini). Review bukan lagi sunnah, tapi kewajiban.