SEUNGHAN [Chapter 9] ANGEL

Main Cast : Yoon Jeonghan (SVT) & Choi Seungcheol (SVT)

Genre : Angst, Hurt, Yaoi, Boys Love

Rate : 17+

Length : Oneshoot

Story by : eskupse

[Warning : Cerita hanya fiktif belaka. FF ini mengandung adegan kekerasan fisik. Jangan dibaca kalo ngeri. Kalo baca konsekuensi di tanggung sendiri. Don't be silent readers. Sorry for typo and bad EYD. Happy reading ^^]

.

.

Kau tau kadang julukan seseorang untuk dirimu bisa membuat beban tersendiri untuk dirimu, jika julukan mereka sangat tidak sesuai dengan dirimu yang sebenarnya. Mereka bilang aku adalah jelmaan malaikat. Mereka bilang aku mempunyai hati yang suci seperti malaikat. Mereka bilang aku mewarisi semua sifat terpuji dari sesosok malaikat. Cheonsa, malaikat, Angel. Aku sudah sering mereka memanggilku dengan tambahan kata-kata itu di belakang atau depan namaku. Hanya julukan dan panggilan seseorang padaku, tapi kadang terdengar mengerikan di telingaku. Aku rasa aku tak sebaik itu. Hingga mirip dengan sosok malaikat yang mempunyai 2 sayap indah dan lingkaran bersinar di kepalanya serta pakaian mereka yang serba putih. Kurasa tidak.

.

.

"Hai, Angel Yoon" sapa seorang pemuda bertubuh kurus dengan rambut coklat tua.

"Hai juga Hong Jisoo" ucapku membalas sapaanya.

Dia tersenyum. Senyuman yang sangat kusukai, ah tidak. Senyuman yang semua orang sukai. Senyuman yang membuat wajah tirusnya terlihat semakin tampan. Serta senyuman yang membuat kedua matanya menyipit lucu.

"Sedang apa?" tanyanya.

Aku tersenyum "Membuat sebuah desain arsitektur"

"Mau kubantu?" tawarnya.

"Tidak, terimakasih Jisoo-ya" tolakku sambil tersenyum tipis.

"Benarkah? Waaah, padahal aku sedang sangat berbaik hati hari ini. Kau yakin tak mau kubantu cheonsa? " ucapnya lagi sembari menaik turunkan kedua alisnya.

Aku tertawa kecil "Baiklah, belikan aku segelas colla dingin"

Jisoo pun langsung beranjak dari tempatnya, lalu mengacak rambutku sesaat dan pergi untuk membeli colla yang kuminta, mungkin.

Hong Jisoo, siapa tak mengenal pria manis itu di kampus kami. Dia begitu populer. Wajahnya tampan, dia kaya dan juga pintar. Apa yang tak dimiliki oleh seorang Hong Jisoo? Tapi entah mengapa dia lebih memilih berteman dengan pria biasa sepertiku.

.

.

Saat itu aku berumur 10 tahun. Dimana anak-anak pada umur itu biasanya menghabiskan waktu untuk bermain dan bersekolah. Tapi aku tidak. Aku tidak sekolah dan aku tidak bermain. Aku membantu ayahku mencari hasil laut di tengah laut yang luas. Aku terpaksa putus sekolah karena ayahku tak mampu membiayai sekolahku saat itu. Ibuku meninggal ketika melahirkanku dan aku tak mengingat apa pun tentangnya. Masa kecilku sebenarnya jauh dari kata senang atau bahagia. Meskipun begitu, aku sangat bersyukur karena masih ada ayah yang begitu mencintaiku.

Suatu hari ayah mengajakku menjual hasil tangkapan kami ke pasar tradisional yang ada di kota, karena kami terlambat menepi. Hasil tangkapan kami laku keras, bahkan seorang wanita paruh baya yang sangat cantik memborong semua hasil tangkapan kami. Aku dan ayah sangat senang. Lalu aku melihat seorang anak laki-laki yang sepertinya seumuran denganku, berdiri di samping wanita itu. Dia terus memandangku tanpa berkedip. Bahkan saat wanita itu membawanya pergi, dia menolehkan kepalanya kebelakang dan terus memandangku. Aku saat itu hanya berfikiran bahwa anak itu adalah anak yang aneh.

Seminggu kemudian, wanita itu datang kedesa kami. Dia ternyata sangat puas dengan hasil tangkapan ayah dan datang ke desa untuk meminta ayah agar mau mensuplai ikan-ikan dan hasil laut lainya ke restaurant Jepang miliknya. Tentu ayah dengan segera menyetujui ucapan wanita itu. Aku pun ikut bersorak girang ketika ayah mengatakan kabar bahagia itu padaku. Lalu ayah mengajak wanita itu ke pesisir pantai untuk melihat hasil tangkapanya kemarin. Aku yang tidak diperbolehkan ikut, terpaksa duduk diam sembari memandang bentangan laut yang sangat luas di depanku.

Lalu tiba-tiba aku mendengar suara seseorang yang sedang mengunyah kripik. Aku menoleh ke sumber suara dan kulihat anak yang bersama wanita itu saat di pasar. Dia berdiri sembari memegang sebungkus besar kripik kentang rasa daging panggang. Mulutnya terus mengeluarkan bunyi nyaring karena mengunyah kripik itu. Sekitar mulutnya pun penuh dengan bekas kekuningan. Dia menyodorkan bungkus kripik itu kehadapanku. Dengan mantap aku menggeleng dan mengatakan bahwa ayahku mengatakan bahwa aku tidak boleh menerima barang apa pun dari orang yang tak ku kenal. Dia nampak kecewa, lalu menurunkan bungkus kripik kentangnya. Dia menjilati jari-jari tangan kananya yang terkena bumbu lalu mengusapkanya pada celana biru laut yang di pakainya, yang langsung membuat celana biru laut meninggalkan bekas kekuningan. Dia lalu mengulurkan tangan kananya.

"Hong Jisoo" ucapnya.

Aku mengerutkan dahiku tak mengerti.

"Namaku Hong Jisoo. Apa namanu cheonsa?" ucapnya lagi.

"Eoh, bukan. Namaku Jeonghan, Yoon Jeonghan" ucapku sembari menjabat tanganya dan tersenyum tipis.

Anak bernama Jisoo itu hanya mengangguk dan duduk di sebelahku. Dia kembali menyodorkan bungkus besar kripik kentang yang dibawanya kepadaku. Dia memintaku untuk memakanya bersama karena dia bilang dia tidak akan sanggup menghabiskannya sendiri. Kami pun hanya diam sambil memakan kripik kentang itu. Hanya terdengar suara kunyahan kripik dari mulut kami masing-masing. Beberapa menit kemudian, wanita itu dan ayah kembali sembari membawa satu kotak besar berisi ikan-ikan segar. Ayah lalu memasukkan kotak itu kedalam bagasi mobil yang dibawa ibu Jisoo.

"Sampai jumpa lagi cheonsa" ucap Jisoo sebelum pergi.

.

.

Aku dan Jisoo menjadi sangat akrab setelah itu. Kami sering bermain bersama dan melakukan banyak hal bersama. Jisoo ternyata tak seburuk yang selama ini kupikirkan. Jisoo adalah anak yang manis dan dia sangat baik. Dia selalu membagi semua barang yang dimilikinya denganku. Seperti makanan, mainan dan bahkan pakaian baru yang dibelikan oleh ibunya. Jisoo juga mempunyai senyum yang mampu membuat siapa saja yang melihatnya menjadi tenang. Pernah suatu ketika, aku terjatuh dan menangis. lalu Jisoo datang dan menolongku. Dia terus mengatakan bahwa aku tidak apa-apa sambil terus tersenyum. Tangisanku langsung terhenti ketika melihat senyumanya.

Seiring berjalanya waktu kami semakin dekat dan bahkan menjadi seperti seorang saudara. Ibu Jisoo menganggapku sebagai anaknya begitupun sebaliknya. Aku dan Jisoo pun tumbuh dewasa bersama. Jisoo mewarisi sifat baiknya dari sang ibu. Ibu Jisoo sangat baik kepadaku dan ayahku. Ibu Jisoo membiayai sekolahku yang sempat terputus. Awalnya ayahku sempat menolak, namun ibu Jisoo terus memaksa dan mengancam akan menghentikan suplai hasil laut ayahku untuk restaurantnya. Akhirnya ayahku menerima tawaran itu. Aku terus berada dalam satu sekolah yang sama dengan sekolah Jisoo. Hingga sampai jenjang perguruan tinggi, kami juga berada dalam satu Universitas yang sama. Hanya saja aku memilih jurusan Desain Arsitektur dan Jisoo memilih jurusan Manajeman Industri.

Di Universitas itulah, aku menemukan seorang pria yang berhasil meluluhkan hatiku. Seorang pria yang satu jurusan denganku. Pria itu bernama Choi Seungcheol. Seungcheol berbeda dengan Jisoo. Jika Jisoo sangat manis dan lembut, Seungcheol adalah pria yang keras kepala dan seenaknya sendiri. Mungkin karena cinta telah membutakan mata dan hatiku, aku tetap mencintainya dengan sepenuh hati. Namun ada satu sisi darinya yang membuatku semakin jatuh cinta padanya setiap detiknya. Seungcheol sebenarnya sangat romantis dan dia sangat pengertian denganku.

Suatu hari aku berencana memberitahukan hubunganku dengan Seungcheol kepada Jisoo. Aku berfikir aku perlu memberitahu kabar gembira ini kepada salah satu orang yang sangat berarti untukku. Namun saat aku datang kerumahnya, wajahnya terlihat sendu dan sedih. Ibunya terlihat menepuk-nepuk pundak Jisoo lembut. Hari itu, ibu Jisoo akan kembali ke L.A untuk membantu usaha ayah Jisoo yang ada di sana. Restaurant Jepang miliknya, ia serahkan kepada kakak perempuanya. Tentu saja Jisoo sangat sedih karena harus ditinggalkan sendirian di rumah yang lumayan besar itu. Aku yang kebetulan berada di sana pun ikut menenangkan Jisoo yang terlihat sangat sedih. Jisoo bukan lagi anak kecil yang takut ditinggal sendirian di rumah, hanya saja selama ini dia sangat dekat ibunya. Dan jika ibunya kembali ke L.A, itu berarti Jisoo akan berada sangat jauh dengan sang ibu.

Akhirnya aku memutuskan untuk menemani Jisoo hari itu dan melupakan niat awalku untuk memberitahukan hubunganku dengan Seungcheol padanya. Aku akan mengatakanya jika keadaan Jisoo sudah membaik. Namun, niat itu akhirnya harus terus tertunda hingga hubunganku dan Seungcheol telah berlangsung 1 tahun lamanya. Ada saja hambatan yang datang. Seperti Jisoo yang tiba-tiba sakit dan harus di rawat di rumah sakit selama 1 bulan atau dia yang memutuskan terbang ke L.A karena tak bisa menahan rasa rindunya yang besar kepada sang ibu.

Malam itu Jisoo mengajakku untuk bertemu di café dekat Universitas kami. Dari nada suaranya yang tenang, aku berfikir mungkin itu adalah waktu yang tepat untuk mengatakan hubunganku dengan Seungcheol yang telah tertunda sekian lama untuk ku ucapkan. Akhirnya aku menyetujui ajakan Jisoo dan kami berjanji bertemu di café itu pukul 7 malam.

Pukul 7 malam lebih 10 menit aku sampai di café itu. Kulihat Jisoo ternyata sudah berada di sana. Dia melambaikan tanganya sembari tersenyum. Aku pun bergegas menghampirinya dan duduk di depanya. Kami berbicara santai untuk beberapa menit. Mungkin sedikit untuk mencairkan suasana, sebelum aku mengatakan semuanya pada Jisoo. Jisoo menceritakan hal-hal lucu yang membuatku tak berhenti tertawa. Aku semakin yakin akan mengatakanya saat itu, karena sepertinya kondisi Jisoo sangat terlihat baik. Lalu di tengah-tengah gelak tawa kami, Jisoo tiba-tiba berhenti tertawa dan menatapku dalam. Aku pun menghentikan tawaku dan ikut memandangnya dengan canggung. Aku tak pernah melihatnya menatapku seperti itu sebelumnya.

"Ada yang ingin kusampaikan padamu cheonsa"

Seketika itu suasana berubah menjadi sangat serius.

Aku berdehem pelan lalu tersenyum "Apa itu?"

Lalu tiba-tiba Jisoo meraih tanganku.

"Aku mencintaimu cheonsa…." Jisoo tersenyum "..maukah kau menjadi kekasihku?"

Aku hanya mampu melebarkan mataku, lalu berkedip-kedip. Darahku rasanya seperti berhenti mengalir dan lidahku rasanya kelu untuk mengatakan sepatah kata pun. Jisoo berkata bahwa dia mencintaiku. Dan ucapnya terdengar sangat tulus. Jadi selama ini perasaan seperti ini yang dimiliki Jisoo untukku. Ku kira perasaanya sama denganku. Perasaan seorang sahabat yang saling menyanyangi.

"Jeonghan-ah" panggilnya.

Aku memandangnya ketika dia kembali tersenyum manis. Berbagai skenario buruk dan baik berkeliling di kepalaku jika aku menerima atau menolak cinta Jisoo. Aku mencoba menarik kedua sudut bibirku dan membalas pandanganya.

"Jadi apa jawabanmu cheonsa?" ucapnya kembali.

"Emm, bisakah kau memberikanku waktu untuk menjawabnya? Ini terlalu tiba-tiba Jisoo-ya, aku butuh waktu untuk berfikir" ucapku serasional mungkin.

Jisoo kembali tersenyum dan menganggukan kepalanya.

"Apa pun untukmu malaikatku"

.

.

Seungcheol menendang-nendang segala sesuatu yang bisa di tendangnya, termasuk angin malam yang hanya sekedar lewat. Dia terus mengeram kesal dan mengacak rambutnya frustasi.

"Apakah ucapanmu itu masuk akal hannie-ah? Tak bisakah kau menolak cintanya dan mengatakan bahwa kau telah memilikiku?" ucapnya.

Aku hanya bisa menghela nafas berat sambil tertunduk.

"Aku harus membalas semua kebaikan Jisoo padaku. Mungkin hanya dengan cara ini. Aku tak punya banyak uang atau materi untuk membalas semua perbuatan baiknya dan ibunya padaku dan ayahku"

Aku mengangkat kepalaku dan memandang wajah Seungcheol yang telah memerah menahan amarah. Kutangkup wajahnya dengan kedua telapak tanganku dan ku usap lembut kedua pipinya dengan ibu jariku.

"Percayalah bahwa aku sangat mencintaimu Seungcheol-ah dan hanya kau yang kucintai. Sampai kapan pun cintaku padamu tak akan pernah berubah"

Aku mencoba mengulas senyum simpul meskipun sangat berat saat ini. Di tambah tatapan mata Seungcheol yang sendu yang kini menatapku. Dia menghela nafas kasar, hingga uap-uap tipis keluar dari mulutnya dan menerpa wajahku.

"Kau mau mengerti kan sayang?" ucapku lagi.

Seungcheol mengangguk pelan "Baiklah, jika memang begitu"

Aku tersenyum lebar dan memeluk tubuh atletisnya. Kuucapkan kata 'terimakasih' dan 'aku mencintaimu' berkali-kali. Lalu tak ada hal lain yang kurasakan selain bibir tebalnya yang mencium lembut bibirku.

Aku memutuskan menerima cinta Jisoo dan menjadi kekasih Jisoo. Jisoo masih sama, dia sangat baik dan selalu bersikap manis dan lembut padaku. Hanya saja status kami telah berbeda. Bukanlah seorang sahabat melainkan sepasang kekasih. Dan aku sama sekali tak memiliki rasa cinta pada Jisoo.

Hubunganku dengan Jisoo tak membuat hubunganku dengan Seungcheol merenggang. Seungcheol sering datang menghampiriku dan beralasan mengajakku mengerjakan tugas kuliah bersama. Sebuah alasan yang sangat masuk akal, karena kami berada di jurusan yang sama. Entah Jisoo terlalu baik atau dia sedang berpura-pura, dia selalu menginjinkanku untuk pergi dengan Seungcheol tanpa curiga sekalipun.

Suatu hari Jisoo jatuh sakit. Dia demam tinggi karena berada dalam guyuran hujan selama hampir 2 jam karena menungguku di taman hiburan. Saat hujan deras, dia hanya berteduh di bawah pohon rindang. Dan saat aku datang, Jisoo telah basah kuyup. Dia berkata tidak mau pindah ke tempat yang teduh karena takut aku akan mencarinya jika aku datang dan tak menemukanya.

Aku semakin merasa bersalah. Aku telah membohonginya, melukainya dan kini membuatnya jatuh sakit. Aku rasa tak ada manusia paling buruk di dunia ini, kecuali aku. Ketika aku mengganti kompres di dahinya untuk ke 3 kalinya, Jisoo membuka matanya dan memandangku dengan sayu. Lalu dia mengangkat kedua tanganya dan memintaku untuk memeluknya.

"Kau tau mengapa aku selalu memanggilmu cheonsa?" ucapnya lirih.

Aku menggeleng pelan dalam pelukanya.

"Karena saat bertemu denganmu pertama kali, aku melihat kau bersinar seperti seorang malaikat. Ternyata itu memang benar. Kau memang benar-benar seperti seorang malaikat Jeonghan-ah. Dan aku beruntung telah memiliki sesosok malaikat yang baik hati sepertimu"

Lalu kurasakan sebuah kecupan lembut mendarat di puncak kepalaku. Aku tersenyum getir. Sebegitu sempurnanya kah aku di mata Jisoo? Lalu apakah dia akan tetap menganggapku seperti itu, jika dia tau kenyataan yang sebenarnya?

"Kau berlebihan Jisoo-ya. Aku tak seperti itu"

Tak ada balasan atau ucapan apa pun dari mulut Jisoo. Dia semakin erat memelukku dan terus menghujami kecupan-kecupan lembut di puncak kepalaku.

Waktu berjalan begitu saja tanpa permisi. 2 tahun sudah aku berpacaran tanpa ada rasa cinta dengan Jisoo. Semakin hari Jisoo semakin membuatku terus merasa bersalah. Dia semakin banyak melakukan hal-hal bodoh hingga merugikan atau melukai dirinya sendiri, hanya demi orang yang tak pernah mencintainya. Aku mulai membenci diriku sendiri yang seperti ini. Lalu aku sadar bahwa aku tidak boleh menyakiti dan membohongi Jisoo terus menerus. Aku harus segera mengakhiri semua ini sebelum perasaan Jisoo semakin dalam terhadapku.

.

.

"Apakah kau yakin hannie-ah?" ucap Seungcheol.

Aku mengangguk mantap sembari tersenyum kearahnya.

"Baiklah, aku akan menunggu di sini" ucapnya lagi lalu mengecup keningku singkat.

Aku pun turun dari mobil Seungcheol dan memasuki sebuah café elit yang dikatakan Jisoo dalam pesan singkat yang dikirimkanya padaku. Aku sudah menduga bahwa Jisoo akan memesan sebuah tempat hanya untuk kami berdua dan membuat tempat itu tampak berbeda. Ya karena saat itu kami berencana untuk merayakan 2 tahun masa pacaran kami.

Saat pelayan mengantarku ke halaman belakang café, tak ada siapa pun di sana kecuali Jisoo. Halaman belakang itu telah di set menjadi tempat yang sangat romantis, dengan kelopak bunga mawar merah yang mengelilingi sebuah meja dan 2 buah kursi.

Seperti biasa Jisoo selalu bersikap manis dan selalu memuji atau menggodaku. Senyuman dan tatap matanya saat itu benar-benar membuat hatiku semakin sesak ketika melihatnya. Senyumanya sangat polos dan tulus, membuatku semakin sakit dan sakit. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana senyuman itu akan hilang ketika aku mengatakan hal yang mungkin tak di duga sebelumnya oleh Jisoo.

Selagi menghabiskan makanan kami, Jisoo membuat lelucon dan kembali menggodaku. Dia selalu seperti itu ketika kami sedang makan bersama. Aku berusaha bersikap seperti biasa, meskipun sebenarnya aku tak sanggup lagi melakukan ini lebih lama lagi.

"Aku ingin kita putus"

Kata-kata itu pun akhirnya terucap begitu saja bersamaan dengan dadaku yang terasa semakin sesak. Entah Jisoo bodoh atau dia sedang kembali berpura-pura, dia malah tersenyum.

"Kenapa?"

Sebuah pertanyaan yang menyayat hatiku pun terucap dari mulut Jisoo. Aku tak menjawab pertanyaan Jisoo dan hanya menundukkan kepalaku. Dadaku semakin terasa sesak dan mataku mulai memanas.

"Apakah karena Seungcheol?"

Aku langsung mengangkat kepalaku, lalu kupandang Jisoo dengan pandangan gugup serta terkejut. Aku juga mencoba menggantungkan mulutku lalu kembali kututup. Dan Jisoo kembali tersenyum. Senyuman yang semakin membuat hatiku ngilu dan sesak. Senyuman yang mungkin akan kulihat terakhir kalinya.

"Sepertinya benar ini karena Seungcheol"

.

.

Aku menangis tertahan dalam pelukan Seungcheol. Semua yang kurencanakan akhirnya berhasil. Harusnya aku senang, tapi mengapa hatiku terasa sangat sakit. Kini aku telah menjadi seorang pembohong yang ulung. Aku berhasil menciptakan sebuah sandiwara. Aku juga mengorbankan perasaan sahabatku dan kekasihku demi sandiwara bodoh itu.

Aku sungguh tak sanggup melihat wajah Jisoo saat aku meninggalkanya di café tadi. Dia memang tersenyum dan seperti mengikhlaskan semuanya, tapi semua itu bertolak belakang dengan pandangan kedua bola matanya yang sangat kecewa. Aku telah mengecewakan sahabatku sendiri. Orang yang telah mengubah kehidupanku dan berarti dalam hidupku.

Membuat Jisoo membenciku, itu adalah rencanaku. Aku tidak sanggup jika harus berkata jujur padanya. Menurutku lebih baik Jisoo menyimpan rasa benci yang besar terhadapku, daripada aku harus kembali menyakiti hatinya dengan berkata jujur. Meskipun hal itu telah kulakukan. Aku melakukan segala cara agar Jisoo membenciku. Mulai dari sengaja tak menyapanya di kampus, menghindarinya dan mengumbar kemesrahan dengan Seungcheol. Semua kulakukan dengan sengaja, agar Jisoo membenciku dan melupakan perasaanya padaku. Lalu mengingatku sebagai orang yang dibencinya.

Lalu suatu hari aku tak melihat sosok Jisoo di kampus. Aku mencoba bertanya pada teman satu jurusanya dan temanya mengatakan bahwa Jisoo sudah tak hadir di kelas sejak seminggu yang lalu. Aku sempat terkejut dan tak percaya. Jisoo bukanlah orang yang tidak akan hadir dalam kelas selama itu. Terlebih dia adalah mahasiswa yang rajin dan juga seorang mahasiswa teladan. Mungkin dia pergi ke L.A untuk mengunjungi ibunya, begitu fikiranku saat itu.

Lalu suatu malam, aku dan Seungcheol berjanji untuk bertemu di taman dekat rumahku. Aku cukup berjalan kaki untuk bisa sampai di sana. Di tengah perjalanan, aku seperti melihat sosok Jisoo yang mondar mandir di depan sebuah club malam. Aku tak bisa melihat jelas wajahnya tapi aku yakin bahwa pria berambut coklat tua itu adalah Jisoo. Aku memandangnya dari kejauhan di balik sebuah. Setelah lama mondar mandir, Jisoo pun masuk ke dalam club malam itu. Aku tersenyum tipis. Sepertinya dia baik-baik saja, bahkan dia berkunjung ke club malam. Tak heran jika Jisoo pergi ketempat seperti itu, mengingat dia sering sekali ke L.A. Dimana club malam bukanlah hal yang tabu.

Aku pun kembali berjalan untuk menemui Seungcheol. Sesampainya di taman, aku tak melihat keberadaan Seungcheol dimana-mana. Belakangan ini Seungcheol selalu terlambat ketika akan menemuiku. Dia baru saja di terima bekerja di sebuah café. Meskipun gajinya tak seberapa, tapi sangat lumayan untuk menambah uang sakunya, begitu katanya.

Aku pun memutuskan untuk duduk di sebuah bangku yang ada di bawah lampu jalan yang remang-remang. Tempat itu terlihat sangat sepi dan membuatku takut. Berkali-kali kuhembuskan nafas kasar sambil sesekali mengamati sekelilingku.

"Sayang, maafkan aku. Aku terlambat lagi yaa?"

Seungcheol akhirnya dengan masih memakai seragam kerjanya. Meskipun kesal aku merasa lega karena akhirnya dia datang.

"Kau tidak marah kan? Maafkan aku" ucapnya lagi sambil mengusap kedua pipiku dengan ibu jarinya.

Aku pun hanya tersenyum tipis dan mengangguk. Lalu Seungcheol menciumku saat itu juga. Aku sempat melawan namun akhirnya aku membalas ciuman lembut Seungcheol. Jujur aku merindukan ciuman manis pria ini semenjak dia mendapatkan pekerjaan di café itu.

Aku begitu terhanyut dengan lumatan dan pagutan lembut dari bibir Seungcheol tanpa memperdulikan bahwa sekarang kami sedang berada di tempat umum. Meskipun nafas kami memburu, seperti tak ada niatan dariku atau dari Seungcheol untuk mengakhiri ciuman panjang kami.

Hingga tiba-tiba ciuman Seungcheol terlepas bersamaan dengan suara pukulan keras. Seungcheol jatuh dan tak sadarkan diri. Di belakangnya aku melihat Jisoo dengan wajah babak belur sembari memegang sebatang besi panjang. Aku memandangnya dengan sangat terkejut lalu kulihat dia mengarahkan besi itu padaku, dan setelahnya aku tak mengingat apa pun selain kegelapan.

.

.

Lalu setelah itu aku melihat sisi lain dari Jisoo. Dia bukanlah Jisoo yang kukenal. Jisoo adalah pria yang lembut dan manis. Tapi tidak dengan Jisoo yang ada dihadapanku saat itu. Jisoo berubah menjadi sosok yang mengerikan. Suaranya parau, wajahnya babak belur, pakaianya lusuh dan penampilanya sangat kacau. Dia mengikat tangan dan kaki ku dan juga Seungcheol. Dia bahkan menarik rambutku dengan kasar dan menyumpal mulutku dengan sebuah kain lusuh. Perbuatan yang tak pernah Jisoo lakukan sebelumnya. Jujur aku sangat takut melihat Jisoo yang seperti itu.

"Apa kau tau bagaimana rasa sakit yang kualami ketika melihatmu mengumbar kemesrahan dengan pria brengsek itu hah?! Aku benar-benar mencintaimu Yoon Jeonghan, tapi kau malah membuangku seperti sampah. Apa salahku padamu hingga kau memperlakukanku seperti ini?! APA SALAHKU?!"

Ucapan Jisoo yang terdengar begitu menyakitkan di telingaku. Kini aku tau mengapa Jisoo melakukan hal ini padaku. Aku sangat tau hatinya sangat kecewa dan sakit saat itu. Dan itu semua adalah karena ku.

Jisoo mengambil sebuah pisau dan kemudian menggoreskan ujung pisau itu pada kedua bagian wajahku. Setelah menggoresnya, Jisoo merobek kaos yang kugunakan dan mulai menciumi leherku. Dia bahkan tertawa lepas ketika kembali menggoreskan ujung pisau itu pada dadaku. Aku tak merasakan sakit di semua bagian itu, tapi aku merasakan sakit di ulu hatiku. Aku begitu sakit melihat Jisoo seperti itu. Aku telah mengubahnya menjadi monster seperti ini.

Jisoo benar-benar berubah menjadi sosok yang mengerikan ketika dia menghujani perut Seungcheol dengan pisau yang ada di tanganya. Seungcheol telah mengatakan apa yang sebenarnya pada Jisoo, dan hal itu semakin membuat Jisoo murka. Air mataku semakin mengalir deras dan ulu hatiku semakin terasa sakit melihat pria yang kucintai tergelatak tak berdaya dengan darah segar yang terus mengalir di perut dan lehernya.

Bukan, bukan Jisoo monsternya. Aku adalah monsternya. Aku telah merubah sahabatku menjadi sosok yang mengerikan dan kini aku telah membuat pria yang kucintai meregang nyawa.

"Kau memang iblis Yoon Jeonghan! Kau pantas mati!"

Sebuah ucapan terakhir yang kudengar dari mulut Jisoo sebelum dia menusuk dalam perutku.

Jika memang ini bisa menebus kesalahanku padamu, maka akan kuterima Jisoo-ya. Maafkan aku jika telah membuatmu kecewa dan menyakiti hatimu begitu dalam. Selamanya aku tetap akan menganggapmu sebagai sahabat terbaik yang hadir dalam hidupku. Sekali lagi maafkan aku Jisoo-ya. Maafkan aku.

Aku mencoba menyalurkan kata-kata itu lewat pandangan mata kami. Karena aku sudah tak sanggup untuk berkata-kata. Semakin lama aku merasakan nafasku semakin melemah. Dengan sisa tenaga dan nafas yang kumiliki, aku mengalihkan pandanganku dan memandang Seungcheol yang sudah tergeletak tak berdaya itu.

Seungcheol—ah, maafkan aku sayang. Tak seharusnya kau ada dalam masalah ini. Tak seharusnya kau ikut meregang nyawa dan pergi dengan cara seperti ini. Maafkan aku sayang, maafkan aku pangeranku. Kau tau aku sangat mencintaimu Seungcheol-ah. Selamanya aku akan tetap mencintaimu. Bahagialah di surga sayangku. Sekali lagi maafkan aku dan aku sangat mencintaimu Seungcheol-ah.

Lalu setelahnya aku tak dapat merasakan apa pun. Aku tak dapat merasakan nafasku, aku tak mendengar apa pun dan aku tak bisa melihat apa pun.

.

.

Sepertinya Tuhan terlalu baik pada manusia buruk sepertiku. Tuhan menyelamatkan nyawaku melalui operasi yang dilakukan oleh tim medis handal di sebuah rumah sakit besar. Setelah operasi itu, aku tidur panjang selama 6 bulan. Kukira aku sudah tidak bisa membuka mataku kembali dan melihat dunia ini.

Saat aku sadar, aku melihat ayah dan ibu Jisoo disana. Mereka tersenyum tipis, seperti mengisyaratkan sebuah kelegaan. Ibu Jisoo masih menjadi seorang wanita yang baik. Dialah yang membayar semua biaya operasi dan perawatan selama aku ada di rumah sakit ini.

"Tolong maafkan Jisoo Jeonghan-ah. Ini semua salahku karena pergi meninggalkanya sendirian di sini. Tidak seharusnya aku kembali ke L.A sendirian. Aku sungguh tak menyangka dia akan berbuat senekat ini padamu. Ini semua salahku, kumohon tolong maafkan Jisoo Jeonghan-an"

Ucapan lirih di tengah isak tangis ibu Jisoo saat itu membuat hati dan seluruh tubuhku terasa sangat ngilu. Itu bukanlah kesalahan wanita baik seperti ibu Jisoo. Aku, aku adalah manusia buruk yang telah membuat Jisoo berubah menjadi sosok yang mengerikan. Aku adalah pelakunya. Harusnya aku mati. Aku tak pantas lagi ada di dunia ini. Tapi mengapa ada manusia berhati emas seperti ibu Jisoo? Dia telah membawaku kembali ke dunia, dia sudah menanggung semua biaya perawatanku dan sekarang dia menyalahkan dirinya sendiri atas kesalahan yang tak pernah dibuatnya. Oh Tuhan, mengapa kau mengembalikan aku ke dunia jika semakin membuatku merasa berdosa dan terus bersalah?

"Jisoo ada di pusat rehabilitasi dan kejiwaan. Dia di rawat di sana"

Lagi dan lagi. Satu lagi kenyataan yang semakin membuat hatiku terasa sakit berkali-kali lipat. Aku benar-benar manusia yang buruk. Tuhan menciptakan manusia sebagai makhluk yang sempurna. Lalu dengan semua yang telah kulakukan, pantaskah aku disebut sebagai seorang manusia? Kurasa tidak.

Pria manis itu ada disana. Didalam sebuah ruangan bercat putih. Dia sedang terbaring di atas ranjang kecil dengan kedua kaki dan tangan yang tidak bisa leluasa bergerak, karena ikatan kencang yang menghalanginya. Kedua mata sayu yang memerah, menerawang jauh ke langit-langit ruangan. Nafasnya sangat normal, terlihat dengan gerakan naik turun dari dadanya yang teratur. Dia diam, lalu beberapa detik kemudian dia terkekeh. Kekehan yang begitu ringan itu lalu berubah menjadi tawa lepas. Hingga beberapa detik kemudian, pria manis itu menangis dan berteriak histeris. Aku adalah satu-satunya pelaku yang membuat pria manis seperti Jisoo menjadi seperti ini.

Setelah lama hanya memandangnya dari balik kaca pembatas, aku akhirnya memutuskan untuk menemui Jisoo secara langsung. Entah untuk mengucapkan maaf atau sekedar sapa an, aku sangat ingin menemuinya. Setelah meyakinkan dokter dan ibu Jisoo, akhirnya mereka memperbolehkanku untuk masuk kedalam ruangan Jisoo dan bertemu denganya.

"Jisoo-yaa" panggilku lirih.

Tak ada jawaban darinya. Mungkin dia tak mendengarku karena jarak kami yang sedikit jauh. Maka aku mendekatkan jarak kami dengan memutar roda pada kursi rodaku dengan kedua tanganku.

Air mata ku tak dapat terbendung lagi ketika melihat Jisoo dalam jarak sedekat ini. Tubuh Jisoo sangat kurus. Seperti tulang belulang yang hanya dibalut dengan kulit tipis. Kedua mata indahnya memerah menerawang jauh dengan tatapan kosong. Banyak bekas luka sayatan di wajahnya yang tampan. Bibir tipisnya yang dulu merah, kini berubah menjadi biru kehitaman. Air mataku semakin deras mengalir ketika melihat juga banyak bekas luka sayatan di pergelangan tanganya.

"Jisoo-yaa?"

Aku mencoba memanggilnya kembali dengan suara lirih yang tertahan, menahan suara isakan tangis yang mungkin saja bisa mengganggunya. Pria manis itu tetap diam. Dia masih memandang langit-langit ruangan itu dengan pandangan kosong. Lalu aku mencoba memanggilnya kembali sembari menyentuh lengan kurusnya.

Sentuhanku ternyata berhasil menyita perhatianya. Dia menolehkan kepalanya lalu memandangku.

"Cheonsa…" ucapnya.

Aku mengembangkan senyuman getir dengan air mata yang terus mengalir. Dia mengingatku dan dia bahkan masih memanggilku dengan sebutan itu. Tidak kah dia ingat bahwa panggilan itu sangat tidak pantas untuk ku.

"Cheonsa …." ucapnya lagi dan kini dia mengangkat kedua sudut bibirnya perlahan.

Aku mengangguk pelan dan menggenggam jemari kurus Jisoo. Kugenggam dengan erat jemari yang hanya menyisakan tulang dan kulit itu. Jemari Jisoo sangat dingin dan kasar. Karena ternyata juga ada luka sayatan di telapak tanganya.

Jisoo terus memandangku dan tersenyum. Aku pun membalas senyumanya dan ikut memandang kedua mata sayu Jisoo.

"Kenapa kau belum mati cheonsa…?"

Ucapan Jisoo memang terdengar sangat lirih dan tak ada penekanan dalam ucapanya. Tatapanya pun masih sayu dan bahkan terkesan kosong. Namun mampu membuat hatiku kembali dihantam ujung pisau yang tajam.

"Aku sudah membunuhmu, tapi mengapa kau ada di sini cheonsa?! KENAPA KAU ADA DI SINI?!"

Nada suara Jisoo mulai mengeras. Dia berteriak dan kini pandangan matanya, menatapku dengan sangat tajam. Rasa benci, dengki dan marah terlihat menggebu-gebu terpancar dari kedua bola mata hitamnya. Jisoo mulai mengerang. Dia menggerakan tubuhnya dengan kasar. Nadi di lehernya yang terlihat dengan jelas, menandakan bahwa dia sedang sangat marah. Yang semakin membuat hatiku sakit adalah, tatapan mata kebencian itu yang terus menatapku.

"Maafkan aku Jisoo-ya. Maafkan aku"

Tak banyak yang bisa kulakukan selain menangis dan mengucapkan kata maaf. Jisoo semakin liar menggerakkan tubuhnya, mencoba melepaskan semua ikatan yang menghalangi gerakanya. Aku tak lagi takut dengan Jisoo yang seperti ini. Hanya rasa bersalah yang besar yang kini menyelimutiku. Aku terus menangis dan semakin mengeratkan genggaman tanganku pada jemari kurus Jisoo.

Mungkin tenaga Jisoo telah terkumpul banyak hingga dia bisa melepaskan ikatan pada kedua kaki dan tanganya. Begitu ikatan itu terlepas, Jisoo langsung menendang dadaku dengan cukup keras hingga aku jatuh tersungkur dari kursi rodaku. Setelah itu dia bangkit dari ranjangnya dan menghampiriku yang telah jatuh tersungkur. Dia menarik rambutku dengan kasar lalu mencengkram rahangku dengan kuat. Hingga mungkin bisa mematahkan tulang-tulang pada rahangku, karena begitu kuatnya cengkramanya.

Aku tidak lagi merasakan sakit atau takut. Apa pun akan kulakukan demi menebus kesalahan besarku pada Jisoo.

Jisoo masih memandangku dengan tatapan kebencian yang semakin terlihat menggebu-gebu. Aku juga menatapnya dengan air mata yang masih terus mengalir. Tatapan kami pun saling bertemu. Lalu aku melihat pelupuk mata Jisoo mulai berari. Dia tak mengatakan apa pun selain terus menarik dan mencengkram rahangku. Hingga setetes bulir bening jatuh dari pelupuk matanya. Jisoo menangis.

Dengan perlahan aku mengangkat tanganku dan mengarahkannya pada pipi Jisoo. Aku menyeka air mata Jisoo dengan ibu jariku sambil berusaha mengembangkan senyuman manis di depannya.

"Maafkan aku pria manisku. Maaf aku Jisoo-ya"

Sebisa mungkin aku mengucapkan kata-kata itu. Jisoo masih memandangku dan tak berkata apa pun. Hanya tatapan matanya yang sepertinya ingin mengatakan sesuatu. Tapi aku tak menemukan apa pun selain kebencian, amarah dan kekecewaan. Urat nadi di leher dan keningnya pun semakin terlihat jelas bersamaan dengan Jisoo yang semakin kasar menarik rambutku. Aku pun tersenyum.

Tak apa Jisoo-yaa. Lakukanlah semua yang ingin kau lakukan padaku. Aku pantas menerimanya.

Lalu beberapa detik kemudian, aku merasakan tarikan dan cengkraman Jisoo mulai melonggar. Jisoo jatuh dan tak sadarkan diri bersamaan dengan dokter dan perawat yang datang. Pria berjas putih itu mengangkat tubuh ringkih Jisoo kembali ke atas ranjang penyiksanya. Dan seorang perawat membantuku berdiri dan mendudukanku kembali ke kursi roda.

.

.

"Kau tau mengapa aku selalu memanggilmu cheonsa?"

"Karena saat bertemu denganmu pertama kali, aku melihat kau bersinar seperti seorang malaikat. Ternyata itu memang benar. Kau memang benar-benar seperti seorang malaikat Jeonghan-ah. Dan aku beruntung telah memiliki sesosok malaikat yang baik hati sepertimu"

Kurasa Jisoo telah salah menilaiku. Aku tidaklah sesempurna itu. Aku tidaklah sebaik seperti apa yang dia bayangkan. Aku bukan malaikat bahkan aku bukan manusia. Benar kata-katanya saat itu. Aku berhati iblis, aku bahkan mampu menghancurkan hidup dan masa depan pria manis dan baik seperti Jisoo. Apalah ganjaran yang pas untuk makhluk sepertiku selain mati dan membusuk di neraka?

Mungkin jika aku melangkahkan kaki ku saat ini, aku akan sampai di sana secepatnya. Ya, ini adalah satu-satunya pilihan. Tak ada hal lain yang bisa kulakukan untuk menebus semua kesalahanku pada Jisoo.

Pada pria manis ku.

Pada sahabat baik ku.

Hong Jisoo.

END

I want to say sorry again for my angel Yoon, handsome boy Seungcheol and gentlemen Jisoo. Big sorry. Jeongmal mianhe T_T

Jangan lupa tinggalkan jejak yaaa kalau sudah baca. Comment, kritik, saran, masukan, review dan pendapat sangat di butuhkan dan diterima buwanget. Mau comment gaje, kritik pedas, review frontal, masukan garing krenyes kriyuk, babeh terima kok. Babeh orangnya nerimaan kok /?

Maaf jika mengecewakan dan moment seunghanya cuman dikit T_T

Udah gitu aja. Ga sanggup berkata-kata lagi. Terlalu sedih nulisnya dan menyayat hati banget, hiks ~

Makasih banget yang udah mau baca apalagi kasih vote dan comment. Thanks buwanget

Sampai jumpa di chapter selanjutnya. Jangan lupakan kegantengan babeh ! Bye ….