Author: Cocoa2795.

Ranting: T.

Genre: Supranatural, Hurt/Family, Romance.

Disclaimer: Naruto milik Om Masashi Kishimoto, saya mah cuma pinjam Chara doang. Dan minjem ide Shirabyoushi dari Kumagai Kyoko-sensei.

Warning: Typo, OOC, Slow update.


Chapter 1 : Pertemuan.

.

.

.

Matahari mulai turun, mengubah biru menjadi senja. Cahaya temaram yang berbaris teratur menuju bukit tempat kuil berada. Gemuruh ramai para penduduk dengan tarian dan musik.

Nuansa penuh magis yang mendatangkan mimpi dan harapan. Pertemuan di bawah sinar rembulan dengan kunang-kunang mengitari seakan menari.

"Oi, siapa kamu?"

Dia adalah anak laki-laki dengan rambut serupa kelopak bunga matahari. Datang menghampiri dengan yukata putih polos menutupi badan kecilnya.

"Apa kau tersesat?"

Anak laki-laki itu menaruh kedua tangannya di belakang kepala. Raut wajahnya tampak sedang berpikir sebelum akhirnya dia tersenyum lebar dan mengulurkan tangannya.

"Ayo, akan ku tunjukkan jalannya padamu."

Senyuman lebar dengan tiga garis halus di kedua pipinya. Anak laki-laki itu begitu hangat dan terang di langit malam yang dingin ini. Langkah demi langkah menusuri jalan setapak dengan tangan yang saling berpegangan.

Rasa hangat dari genggaman tangan itu menjalar menuju ke dada hingga ke wajah, menimbulkan rona merah pada gadis kecil bermata serupa lavender.

"Jangan sampai tersesat lagi, Jaa neh~"

.

.

.

"—Uga..."

"Hyuuga-san... Hyuuga-san!"

"Ha-ha'i! "

Sepasang lavender itu mengerjap beberapa kali saat suara tawa menggema dalam kelas. Laki-laki yang berdiri di samping gadis itu menghela nafas pendek sebelum tersenyum tipis.

"Apa kau sakit Hyuuga-san? Tidak biasanya kamu tertidur saat jam pelajaran berlangsung."

Gadis dengan rambut biru gelap yang ia biarkan tergerai sampai punggung itu menggeleng pelan. Wajahnya merona merah karena malu," Go-gomenasai Iruka-sensei, tapi saya baik-baik saja."

"Ya sudah kalau kau baik-baik saja, kita lanjutkan pelajarannya. Kiba-kun jawab pertanyaan nomor dua!"

"Eeh? Kenapa aku?!"

Hyuuga Hinata, nama gadis yang kini kembali duduk dan membuka buku pelajarannya. Kedua mata lavendernya menusuri setiap kata dalam buku tulisnya. Saat ingatan tentang mimpi tadi menghampiri, Hinata menolehkan kepalanya menatap jendela.

'Apa kau tersesat?'

Rambut serupa kelopak bunga matahari, sepasang mata sebiru lautan luas. Rasa hangat dari genggaman tangan yang saling terpaut.

"Hinata-chan, kau benar baik-baik saja?"

"Eh?" Hinata menoleh menatap teman sebangkunya.

Raut wajah Haruno Sakura, gadis dengan rambut merah muda itu terlihat khawatir. "Wajahmu merah loh..."

Gadis lavender itu menggeleng kuat, "A-aku baik-baik saja kok, Sakura-chan!"

Hinata segera menunduk malu, baru ia sadari jantungnya berdegup kencang. 'Ke-kenapa aku bisa seperti ini hanya karena anak kecil dalam mimpi?' Hinata mulai memainkan dua jemari telunjuknya. Kebiasaan sejak dulu setiap dia gugup dan panik.

'Jangan sampai tersesat lagi, Jaa neh~'

Hinata kembali mengedarkan netranya menatap langit biru.

"Itu tadi mimpi atau apa...?"

...

"Anak laki-laki dengan rambut pirang dan mata biru?"

Hyuuga Neji, remaja laki-laki yang memiliki mata serupa dengan Hinata itu mengernyit. Saat ini Neji, Hinata dan Tenten tengah menikmati makan siang mereka di atap sekolah.

"Un, a-apa Neji-nii pernah melihatnya di sekitar sini?"

Remaja dengan rambut hitam kecoklatan yang tergerai panjang itu memejamkan matanya mencoba mengingat-ingat. Setelah hampir semenit, Neji kembali membuka matanya.

"Maafkan saya Hinata-sama, tapi saya tidak pernah melihat anak seperti itu."

"O-oh begitu..."

Tenten, gadis dengan rambut coklat yang ia gulung dan ikat dua itu kini bicara, "Apa kau mengenalnya, Hinata?"

"Eh, i-itu... a-aku..." Hinata menunduk malu. Ada rasa bimbang untuk memberitahukan kepada mereka berdua. Tapi, mengingat Tenten dan Neji yang sudah bersama dengannya sejak kecil serta mengetahui warisan keluarganya turun temurun. Hinata mengangkat wajahnya dan menatap mereka berdua. "Aku... bermimpi te-tentang anak itu tadi..."

Neji dan Tenten menatap Hinata sejenak sampai Tenten berseru keras sambil memeluk Hinata erat. "Mungkinkah mimpi itu adalah pertanda bahwa dia adalah jodohmu, Hinata?"

"Ekhhh?! I-itu tidak mungkin Tenten-chan!" wajah Hinata berubah merah padam begitu mendengar perkataan Tenten.

"Benar apa yang dikatakan Hinata-sama."

Hinata dan Tenten segera menolehkan kepala mereka saat suara Neji terdengar dingin dan tegas. Neji meletakan sumpit hitam yang ia pakai dan menatap dua siswi di depannya.

"Hinata-sama ditakdirkan untuk menjadi penerus klan Hyuuga. Setelah dua generasi Hyuuga hanya melahirkan anak laki-laki, Hinata-sama yang terlahir merupakan anugrah bagi keluarga Hyuuga. Jadi tolong lupakan anak laki-laki yang bahkan belum jelas keberadaannya itu Hinata-sama."

Pemilik mata lavender itu menunduk, tidak bisa membantah perkataan anak dari adik ayahnya. Hinata menatap kotak makan siangnya yang masih banyak. Nafsu makannya kini hilang entah kemana dan berganti dengan perasaan sedih.

'Tidak jelas keberadaanya?' Hinata menutup matanya dan dengan seenaknya rasa sakit menghampiri dadanya. 'Tapi kenapa... aku merasa sangat mengenalnya?'

Tenten menatap teman sejak kecilnya itu khawatir sebelum mendelik sengit pada Neji. Gadis keturunan China itu mengarahkan sumpit merahnya pada remaja coklat itu.

"Tunggu sebentar Neji! hanya karena Hinata bermimpi tentang anak itu bukan berarti keberadaannya tidak jelas!"

"Kalau pun anak itu memang benar ada, apa kau pikir Hiashi-sama akan memperbolehkan mereka menjalin hubungan?"

Mendengar hal itu Tenten terdiam, dia tidak bisa membantah perkataan Neji. Hiashi adalah kepala keluarga Klan Hyuuga saat ini. Ayah dari Hyuuga Hinata itu terkenal sangat tegas dalam tradisi keluarga. Membiarkan ahli penerus Hyuuga menjalin hubungan dengan laki-laki yang tidak diketahui asal usulnya? Tenten sudah tahu apa jawabannya.

"Apa yang dikatakan Neji-nii benar, Tenten-chan."

Hinata menatap gadis keturunan China itu sembari tersenyum, "Itu hanya sekedar mimpi, bunga tidur, tidak lebih."

Tenten menghela nafas pendek, ingin membantah perkataan Hinata tapi melihat senyum gadis itu membuat Tenten memilih diam. Ahli waris dari kemampuan Klan Hyuuga, beban berat yang dipikul Hinata seorang diri. Tanpa Tenten sadari, tangannya mengepal kuat.

"Hinata-sama, sore nanti akan ada ritual suci," ujar Neji sambil berdiri dari duduknya.

Hinata mengangguk pelan, "Aku mengerti nii-san."

...

Keluarga Hyuuga merupakan keluarga yang sudah ada sejak dulu. Mereka memiliki tradisi dimana perempuan yang memiliki darah dan mewarisi kemampuan Hyuuga akan menjadi kepala keluarga. Karena itulah sangat jarang bagi keluarga Hyuuga untuk menikah dengan orang yang diluar Klan mereka.

Rumah utama keluarga Hyuuga sangatlah luas dan kesan tradisional melekat kuat. Bangunan yang hampir seluruhnya terbuat dari kayu serta memiliki kolam buatan yang dikelilingi taman bunga.

Matahari mulai turun membuat cakrawala mencair senja. Di arah barat rumah terdapat sebuah paviliun berdiri kokoh di atas danau buatan. Di kedua sisi terdapat beberapa orang dengan alat musik di tangan mereka. Salah satu dari mereka adalah Tenten dengan pakaian zaman Heien memegang seruling bambu.

Di depan mereka yang memainkan alat musik terdapat satu baris yang terdiri dari sepuluh orang. Anak kecil, perempuan ataupun laki-laki, muda dan tua. Mereka berkumpul dengan satu ekspresi yang sama, yaitu...

...Menderita.

Langkah tegas milik Neji menusuri lorong rumah dan berhenti tepat di depan pintu geser. Neji yang kini berpakaian seperti yukata berwarna putih dengan celana putih serta sebuah kain coklat yang melingkar di pinggangnya itu menunduk hormat.

"Hinata-sama semuanya sudah siap."

Dari dalam ruangan, Hinata menyahut pelan. Gadis remaja itu mengambil nafas panjang, guna untuk menghilangkan perasaan gugup. Mata lavender miliknya menatap lekat pantulan dirinya lewat cermin besar di depannya.

Rambut yang diikat rendah dengan pita putih serta pakaian menyerupai miko. Celana merah yang lebih panjang hingga menutupi telapak kaki seutuhnya. Sebilah pedang dengan sarung coklat bersandar manis di pinggangnya. Serta dalam pangkuannya terdapat sebuah kipas berwarna senada matanya dengan ukiran bunga anggrek.

Hinata mengambil sebuah topi panjang berwarna hitam dan memakainya. Setelah itu Hinata beranjak dari duduknya dan berjalan menuju pintu di mana Neji berdiri. Pintu kayu yang kini terbuka memperlihatkan Neji yang masih menunduk.

"Aku sudah siap, nii-san."

...

Alunan musik mengalun lembut bersama semilir angin. Di depan mereka yang menderita, berdiri sosok penari dengan kipas lavender di tangannya. Gerakan lemah lembut dengan gemericik air serta iringan suling membuat suasana terasa tentram dan damai.

Kelopak mata yang semula menutup kini terbuka perlahan. Bibir tipis Hinata terbuka dan alunan lagu mengalun lembut bersama semilir angin sore.

Srak!

Kimi wo omoeba kono mune ni (Saat memikirkanmu dalam hatiku).

Angin mulai berhembus pelan, menerbangkan dedaunan serta guguran kelopak bunga. Mereka yang menderita serta sakit berangsur sembuh dan senyuman hadir kembali.

Tachimachi sakura saki michite (Kuncup bunga sakura mekar sempurna).

Angin yang membawa kesembuhan dan ketenangan terus berhembus, hingga sampai pada sebuah bukit dimana kuil rubah merah berada.

Fuwari Fuwari to mai nagara (Aku akan menari-nari perlahan-lahan).

Sosok pemuda tampan dengan jaket hitam dan celana orange tengah berdiri sembari menutup matanya. Rambut serupa kelopak bunga matahari itu bergoyang pelan dibelai angin. Bibir pucatnya bergerak perlahan, menyenandungkan sebait lagu.

Tsutaete okure waga koi wo (Tuk sampaikan cintaku pada dirimu).

Kelopak mata itu terbuka, dan memperlihatkan sepasang mata biru serupa lautan dalam. Begitu dalam tak terjangkau hingga mampu menyimpan dengan baik, apapun yang ingin ia simpan.

.

.

.

Tenten mengakhiri lagu dengan nada rendah serulingnya. Gadis keturunan China itu menghela nafas pelan dan menyeka setetes air mata di ujung pelupuk matanya. Entah ada apa dengan Hinata hari ini. Gadis itu menyanyi dengan penuh perasaan hingga membuat Tenten terhanyut dan menangis. Tak hanya dia, beberapa pasien turut meneteskan air mata.

Mata coklat Tenten mengamati gerak gerik Hinata. Sosoknya yang berdiri di tengah-tengah paviliun serta punggung kecilnya. Hal itu membuat Tenten tak bisa untuk tidak berfikir, bahwa sosok Hinata terlihat mengabur dan bisa lenyap kapan saja.

Genggamannya pada seruling bambu mengerat, perasaan takut hinggap tiba-tiba dalam dadanya. Hal itu membuat Tenten berseru memanggil sahabatnya. Saat Hinata menoleh dan memberinya senyum hangat khas miliknya, Tenten tahu. Bahwa Hinata nyata dan dia berada di sini bersamanya.

...

"Hinata... boleh aku bertanya sesuatu?"

Setelah meletakan sisir yang ia pakai, Hinata membalikkan badannya untuk menatap Tenten yang duduk bersila dengan wajah menunduk. Pewaris Klan Hyuuga itu dengan sabar menunggu apa yang ingin sahabatnya tanyakan.

"Apa... yang kau pikirkan saat bernyanyi tadi?"

Hinata membulatkan matanya sebelum kembali normal. Agak terkejut dengan pertanyaan yang Tenten lontarkan. Ia tidak menyangka bahwa gadis China itu bertanya seakan dia tahu bahwa Hinata tengah memikirkan sesuatu.

"Ke-kenapa kamu bertanya seperti itu?"

Tenten semakin menunduk, "Mungkin ini bisa disebut dengan... firasat seorang teman yang sudah bersama sejak kecil."

Seulas senyum manis hadir di wajah Hinata. Kakak dari Hanabi Hyuuga itu berajak dari duduknya dan duduk di samping Tenten. "Aku hanya sedang memikirkan sesuatu, tidak ada yang perlu kamu khawatirkan."

"karena itu aku bertanya, apa yang sedang kau pikirkan!" Kali ini Tenten menatap lurus pada mata Hinata. "Kita sudah bersama sejak kecil, kau bisa berbagi cerita denganku."

Hinata memberi Tenten senyum lembut sebelum menggenggam dan menepuk pelan tangan Tenten. Gadis Hyuuga itu berusaha menenangkan sahabatnya. "Aku janji jika ada sesuatu, Tenten-chan adalah orang pertama yang aku datangi. Karena itu jangan khawatir."

Tenten kembali membuka mulutnya untuk protes. Namun niat itu ia urungkan saat melihat pancaran mata yang Hinata berikan. Tenten menghela nafas pelan sebelum senyum dan tawa kini hadir di paras asia Tenten.

"Kalau kau melanggar, kau berhutang seribu kunai padaku."

Hinata tertawa kecil, "Hanabi benar-benar sudah mempengaruhimu!"

"Bersyukurlah karena berkat hal itu aku menjadi bodyguardmu!"

"Jangan pikir aku tak tahu, kau hanya ingin berkutat dengan senjata!"

"Ah! aku ketahuan?"

Kini Hinata tak kuasa untuk tidak tertawa terbahak-bahak. Hanya Tenten yang mampu membuatnya tertawa lepas seperti ini. Meski hanya beberapa lontaran kata yang terbilang sederhana, namun mampu membuat pewaris Hyuuga itu tertawa renyah.

Diam-diam Tenten tersenyum, merasa lega melihat sahabatnya kembali seperti biasa. Tidak ada lagi tekanan dan kekosongan di pancaran mata lavender itu—

Untuk saat ini.

...

Senyum kecil kini menghiasi wajah Hinata saat menatap sekotak kue coklat dalam genggamannya. Ia baru saja membelinya untuk menemani hari liburnya. Tenten yang biasanya menemani, tidak bisa ikut karena mengurusi toko keluarganya. Sementara Hanabi sedang pergi study tur ke kyoto sejak kemarin.

Neji sudah menawarkan diri untuk menemaninya, namun Hinata menolak. Hari ini, entah mengapa gadis itu ingin belanja sendirian dan sedikit bersyukur Tenten dan Hanabi tidak bisa menemani. Hinata melangkah pelan sembari mengamati ramainya pertokoan, jajanan serta interaksi warga setempat membuat kehangatan tersendiri bagi Hinata.

"Hei ada anak rubah!"

"Benar! kenapa bisa ada di sini?"

"Siapa yang peduli, cepat usir!"

Hinata menghentikan langkahnya dan memasuki taman yang biasa dipakai anak-anak untuk bermain. Suara ribut anak-anak serta pekikan binatang kecil menarik perhatian Hinata. Kedua mata pewaris Hyuuga itu membulat penuh saat melihat tiga orang anak sekolah dasar tengah melempari seekor anak rubah berwarna coklat kemerahan dengan batu.

"Tu- apa yang—"

"HENTIKAN KALIAN SEMUA!"

Hinata sontak berhenti berlari saat sebuah suara dari seseorang mendahuluinya. Hinata membulatkan kedua matanya saat rambut serupa kelopak bunga matahari masuk dalam ruang pandangnya. Pemuda dengan rambut pirang dan mata biru itu memeluk rubah kecil, melindunginya dari lemparan batu.

"Kalian semua..." pemuda itu menolehkan kepalanya dan tatapan tajam terarah pada ketiga anak kecil itu. "...Ingin mati huh?"

Wajah ketiga anak laki-laki itu memucat sebelum mereka semua berlari sambil menangis ketakutan. Pemuda itu menghela nafas lega setelah anak-anak itu pergi. Tanpa peduli jika celana orange seperempatnya kotor oleh tanah. Pemuda itu duduk sambil mengusap punggung rubah kecil yang bergetar ketakutan.

"Kau sampai terluka seperti ini, apa sih yang kamu pikirkan?" ujarnya seakan memarahi si rubah kecil.

Rubah kecil itu menjilati kakinya yang terluka lalu menjilati ibu jari pemuda itu, membuat pemiliknya tertawa geli. Hinata tidak bisa mengalihkan tatapannya dari pemuda misterius yang begitu mirip dengan anak laki-laki dalam mimpinya. Melihat bagaimana pemuda itu tersenyum dan tertawa, membuat Hinata seakan terhipnotis.

Jika bukan karena suara kesakitan yang dikeluarkan si rubah kecil, Hinata mungkin akan terus terpaku di tempatnya berdiri. Entah dari dorongan siapa, Hinata melangkahkan kaki menghampiri pemuda misterius itu.

"A-ano..."

Mata biru sedalam lautan itu terarah pada sosok Hinata. Pemuda itu mengamati Hinata tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Hinata memainkan dua jari telunjuknya, kebiasannya kambuh setiap ia gugup.

"Ano... e-etto... a-apa kau baik-baik saja?"

Hinata meruntuk dalam hatinya, bukan itu yang ingin dia katakan. Lagi pula pertanyaannya seperti orang bodoh, sudah jelas pemuda itu baik-baik saja. Seharusnya dia lebih mengkhawatirkan rubah kecil di pangkuan pemuda itu.

"Menurutmu?"

Hinata meneguk ludahnya dengan susah payah. ia melangkah perlahan dan berjongkok di depan pemuda misterius itu. Pewaris klan Hyuuga itu mengeluarkan saputangan putihnya lalu merentangkannya sebelum membalutnya pada punggung penuh luka si rubah kecil.

"Ra-rasa sakit pergi pergilah~"

Pemuda itu hanya diam memperhatikan Hinata yang tengah menutupi luka di punggung rubah kecil itu dengan sapu tangannya sambil bersenandung pelan. Setelah selesai membalutnya, Hinata mengalihkan tatapannya pada pemuda misterius yang sejak tadi hanya memandanginya.

"E-etto... a-apa kau tinggal di dekat sini? aku... baru pertama kali melihatmu," Hinata berujar pelan.

Pemuda rambut pirang itu tak menjawab, dia hanya berdiam diri sambil terus memperhatikan Hinata. Hal itu membuat pewaris Hyuuga itu semakin gugup dan mencoba mencari topik untuk bicara.

"Aku baru pindah kemari," ujar pemuda misterius itu setelah lama terdiam.

Pemuda dengan tiga garis halus di kedua pipinya itu menggendong rubah kecil dan beranjak dari duduknya. Hinata ikut berdiri dan saat pemuda itu pamit untuk pergi, Hinata segera menghentikannya.

"A-ano... bolehkah aku saja yang mengantar rubah kecil itu ke hutan belakang bukit?"

Pemuda misterius itu menatap Hinata sebentar sebelum menyerahkan rubah kecil pada Hinata. Gadis lavender itu menggendong rubah kecil itu dengan hati-hati.

"Te-terima kasih, ka-kalau begitu selamat tinggal."

Hinata segera berlari meninggalkan pemuda misterius dan tidak menyadari tatapan yang laki-laki itu berikan. Begitu Hinata sampai di belakang bukit dimana kuil rubah berada. Gadis lavender itu menurunkan rubah kecil dan berjongkok di depannya.

Hinata menghela nafas lega sebelum melepaskan balutan saputangan pada rubah kecil itu. senyum manis merekah di wajah Hinata saat dilihatnya luka pada punggung si rubah kini hilang.

"Syukurlah lukamu sudah sembuh."

Rubah kecil itu melirik punggungnya yang sudah sembuh sebelum berjalan mendekati Hinata dan mengusapkan kepalanya pada lutut gadis itu. Hinata tersenyum tipis dan mengusap pelan punggung rubah merah itu.

"Jangan sampai tersesat lagi, jaa neh~" Hinata melambaikan tangannya lalu berjalan menjauh meninggalkan si rubah kecil.

.

.

.

Angin senja berhembus pelan membuat helaian rambut pirang itu bergoyang. Pemuda dengan mata sebiru lautan dengan tiga garis halus di kedua pipinya itu menatap awan yang berarak pelan. Ia menyandarkan punggungnya pada kayu penyangga kuil yang bersih dan terawat.

Dari belakang seekor rubah merah menghampirinya dan melompat ke atas pangkuan pemuda itu. remaja laki-laki itu mengulas senyum tipis lalu mengusap punggung si rubah kecil.

Mata birunya menatap punggung rubah kecil itu dan berhenti mengusapnya.

"... dia tetap memiliki kemampuan itu..." gumamnya sebelum tatapannya kembali pada langit sore. "Apa menurutmu takdir tidak terlalu kejam, rubah kecil?" tanyanya dengan tatapan menerawang.

.

.

.

To Be Continue...

AN/ Bayangkan Naruto Shippuden dengan baju yang ia pakai di The Last.