Sasuke Uchiha. 16 tahun. Saat ini berstatus jomblo. Sebenarnya kalau ia mau ia sudah tidak jomblo sejak SD. Mau izin sombong, Sasuke adalah anak laki-laki yang tergolong tampan dan berkharisma. Banyak teman-teman perempuannya (baik ia kenal atau bahkan yang tidak ia kenal) sudah menyatakan perasaannya. Dengan berbagai modus, mulai dari memberi surat di loker sepatu, menyatakan langsung di depan kelas, saat memberi cokelat Valentine, bahkan saat upacara kelulusan –dimana dengan brutalnya beberapa siswi berebutan kancing kedua seragamnya-, semua ditolaknya. Sasuke menolak. Ya, ia menolak pacaran saat itu (apalagi pada siswi-siswi brutal yang berebutan kancingnya).

Tapi manusia tetaplah manusia. Hati cepat berubah, bosan cepat merasuk. Ah, tidak, Sasuke bukan pria brengsek yang cepat bosan pada wanita satu ke yang lain. Ia masih jomblo hingga kelas 2 SMA. Setelah lama menjomblo ia sadar, kalau efek terlalu jomblo bisa membuat bahu dingin karena tidak ada yang bersandar, tangan berdebu karena tidak menggenggam tangan hangat si dia, dan hati kotor karena terlalu banyak mengumpati pasangan-pasangan yang lewat setiap malam minggu. Masalahnya Sasuke tidak punya calon untuk ia labuhkan cintanya.

Hingga suatu hari ia yang sedang berjalan di koridor kelas 2, hendak menuju kantin, dengan kedua tangan di saku celana, pandangan tajam kedepan, wajah ganteng maksimal, intinya sikap kakkoi sempurna, di tabrak sekelebat kilat kuning hingga terjatuh. Jangan mengharapkan yang tidak-tidak (apanya?), Sasuke jatuh pun masih kakkoi sempurna. Dengan ringisan pelan, Sasuke mencoba bangkit, namun ia merasakan tubuhnya ditindihi. Saat ia membuka mata, sepasang safir kembar menatapnya. Dibalut kulit tan, wajah bulat, dan surai pirang, Sasuke hampir teriak "ada bidadari jatuh!". Namun belum sempat ia melakukannya, si pelaku penindihan sudah teriak duluan. Ya, seputaran minta maaf, membungkuk, dan minta maaf lagi. Singkat cerita, akhirnya Sasuke tahu kalau orang yang menabraknya adalah guru baru di SMA nya. Namanya Naruto Namikaze, guru pelajaran Biologi. 25 tahun. Laki-laki. Aaaargh!

Sensei Oh Sensei

By: Ame Pan

Genre:

Age-gap Romance, Humor, Slice of life

Rate: T+

(seandainya ada rate yang spesifik pasti saya cantumkan 15 tahun keatas)

Naruto © Masashi Kishimoto

Warning! Seperti biasa, ini OOC maksimal demi plot yang lebih baik. Mohon dimaklumi

.

.

.

Chapter One: Khilaf dan Mimisan

"Hey, hey, Sasuke! Sok keren seperti biasa?" sapa Suigetsu, teman sekelas Sasuke. Ia masih betah duduk di meja Sasuke hingga yang punya datang dan mengusirnya.

"Suigetsu-kun, dimana-mana orang menyapa teman di pagi hari itu, 'halo kawan, apa kabar!' begitu." Balas Lee. Ia menepuk-nepuk kepala Suigetsu sambil mengeleng sok prihatin. Yang punya kepala hanya mengutuk semoga si rambut mangkuk cepat mati.

"Sudah buat PR?" tanya Suigetsu.

"Hn."

"Yes, pinjam dong!"

"Hn." Sasuke mengeluarkan buku tulis dari tas-nya dan melemparnya ke wajah Suigetsu.

Suigetsu tidak punya hak untuk protes. Status-nya disini sebagai peminjam; pemohon; yang punya hutang; budak. Ah tidak-tidak, yang terakhir boleh dihapus. Yang jelas Sasuke masih punya hak untuk semena-mena padanya selama buku tulis putih itu masih ditangannya. Suigetsu harus super sopan. Harus jadi anak patuh.

"A, ngomong-ngomong soal PR Matematika, tadi aku melihat Naruto-sensei dipojokan oleh Kabuto-sensei."

BRAK! Sasuke menggebrak mejanya sambil berdiri. Kepalanya menunduk. Aura hitam mulai menyebar ke seluruh ruangan kelas. "Kabuto-sampah… bunuh… bunuh…"

Suigetsu gemetar, ia sudah pindah tempat berlindung dibalik punggung Juugo yang baru masuk kelas dan langsung mendekat pada trio Sasuke-Suigetsu-Lee. Kedua tangannya ia gunakan untuk menutup mulutnya rapat. Mulut sialan! Kenapa ia harus bilang hal sensitif begitu pada Sasuke? Sudah tahu temannya itu terobsesi pada Naruto-sensei, malah melempar korek menyala pada kubangan bensin.

"Sasuke, sudahlah. Kabuto-sensei 'kan memang begitu. Jangankan Naruto-sensei, Sakura-sensei saja sering dicolek-colek-…"

"APA?!" kali ini Lee yang memekik memotong ucapan Juugo. Kini tubuh Lee juga menyebarkan aura hitam. "Kabuto-kampret… mati kau… mati kau… mati!" Lee kini sibuk membacakan bebagai macam kutukan pada buku tulis Matematikanya.

Juugo ikutan menutup mulutnya. Dia lupa, temannya yang terobsesi pada guru bukan hanya Sasuke, tapi Lee juga.

"Naruto-sensei di koridor!" ujar salah seorang siswa kelas itu.

Semua siswa yang sedang sibuk dengan urusannya langsung rusuh, kembali ke kursinya, merapikan penampilan, menyiapkan buku Biologi di atas meja. Pintu kelas digeser membuka. Seorang pria dengan tinggi rata-rata (pendek sih) bersurai pirang masuk ke kelas. Senyum mentarinya menyinari kelas. Aura hitam Sasuke luntur seketika, tergantikan oleh aura bunga-bunga dan pandangan lupa daratan. Bidadarinya datang. Seandainya Sasuke khilaf, ia pasti sudah lari ke depan kelas dan memeluk guru Biologi seksi itu. Suigetsu yang duduk di belakangnya sudah panik bukan main, pasalnya si rambut hitam emo itu masih berdiri, padahal Naruto-sensei sudah hampir sampai di mejanya.

"Psst! Sasuke! Heh, bodoh, duduk! Nanti Naruto-sensei marah." Bisik Suigetsu sambil menarik-narik belakang seragam Sasuke. Tapi sepertinya Sasuke sudah semi-khilaf. Suara teman sudah tidak masuk telinga. Tinggal tunggu tanggal mainnya hingga-…

"Uchiha Sasuke, anda mau belajar di kelas saya atau jadi satpam kelas ini dengan bediri diluar?" suara tenor memecah lamunan Sasuke. Ah, suara bidadari.

"Saya mau belajar, Sensei!" padahal tadinya Sasuke sudah niat bilang 'Saya maunya cium Sensei!' tapi, kenyataan kalau kelilipan kapur itu menyakitkan membuat Sasuke mengurungkan niatnya barusan. Sasuke lalu duduk dengan tegap.

Sang ketua kelas memberi aba-aba agar semua siswa berdiri lalu memberi salam. Setelah semuanya duduk, Naruto -sense i barulah membuka buku pengantarnya. Sasuke sebagai siswa teladan sudah memakai kacamata baca-nya. Kegiatan belajar-mengajar pagi itu pun dimulai.

Pelajaran Biologi pagi itu berjalan seperti biasa. Semua siswa kelas 2-2 itu menatap patuh pada papan tulis dan Naruto yang menjelaskan tentang Organ Respirasi dan Transportasi Darah. Kelas begitu kondusif, tidak ada satupun yng sibuk sendiri. Nyatanya Naruto memang salah satu guru yang banyak disenangi. Walaupun tergolong guru baru, tapi metodenya dalam mengajar membuat para siswa mudah paham. Sudah begitu, walaupun tegas, Naruto begitu ramah pada siswa-nya, jadi tidak heran walaupun baru dua bulan jadi staf pengajar di sekolah itu ia sudah jadi idola. Ketika ada murid yang belum mengerti pada pelajarannya ia akan senang hati menjelaskan ulang secara pribadi dengan mendatangi kursi si murid. Namun namanya manusia, hal baik begini pasti ada yang memanfaatkannya diluar kebutuhan.

"Jadi, Sasuke-kun, sudah mengerti, kan?"

"Ah bagian yang itu tolong diulang lagi Sensei."

"Hah? Kan sudah kuulang dua kali. Bagian mana lagi yang belum mengerti?" ujar Naruto sambil menggaruk kepala pirangnya.

Tadi, setelah selesai menjelaskan semua materi hari itu, ia menghampiri salah satu siswa di kelasnya. Ia menghampiri kursi Sasuke Uchiha karena anak itu mengangkat tangannya, mengaku belum mengerti. Agak sanksi sih, masalahnya setahu Naruto, Sasuke Uchiha itu anak yang jenius di SMA ini, bagaimana ceritanya dia bisa tidak mengerti? Apalagi Naruto sudah menjelaskan langsung padanya dua kali. Masa iya anak ini masih belum mengerti. Naruto sibuk dengan berbagai spekulasinya sampai tidak sadar kalau ia menunjukkan wajah berpikirnya yang menurut Sasuke sangat imut. Bagaimana tidak? Dahi berkerut, bibir mengerucut, jari telunjuk menempel di pipi dan sesekali pria pirang itu mengeluarkan suara mendengung khas orang berpikir. Moe. Totally Moe.

MAYDAY! MAYDAY! SOS! SASUKE HAMPIR MIMISAN!

"Sasuke? Hoi," ujar Naruto sambil menggoyang-goyangkan telapak tangannya di depan wajah bengong si Uchiha yang sumpah-enggak-banget.

"Sensei," panggil Sasuke masih dengan keadaan bengong.

"Hm? Kenapa?"

"Saya masih belum paham."

"Bagian mana?"

"Bagaimana bisa seseorang mimisan?"

Dahi Naruto kembali mengerut. Wah, ia tidak menjelaskan ini tadi. Tapi tak apalah, toh masih berhubungan dengan materi kali ini. Seperti yang diharapkan dari seorang Sasuke Uchiha. Rasa penasarannya memang tinggi.

"Nah, kalau mimisan, itu karena pembuluh darah di bagian hidungmu pecah. Biasanya karena suhu bagian dalam tubuh yang terlalu panas atau karena hidung terbentur. Makanya, sebaiknya kita tidak berjemur dibawah terik Matahari langsung-…"

"Salah." Potong Sasuke. "Penyebabnya bukan Matahari, Sensei."

"Lalu?"

"Cinta…"

"Hah?"

"Bidadari…"

"Apa sih?"

"GEJOLAK NAFSU MASA MUDAAAA!"

Mata Naruto membelalak kaget. Semua penghuni kelas menoleh cepat pada yang punya suara. Kelas jadi hening. Lee berdiri dengan satu kaki di kursi. Ya, barusan itu Lee yang berteriak. Mana mungkin Sasuke, kan?

"Jelas bukan salah Matahari, Sensei! Alasan kenapa bisa mimisan adalah karena seseorang baru saja melihat sang pujaan hati yang bersinar. Degup jantung jadi makin cepat. Aliran darah jadi deras. Lalu munculah keinginan kotor dimana hati ini berteriak ingin menyentuh si dia. namun akal sehat masih menolak. Pergolakan itulah yang menyebabkan kita mimisan. Ah! Dosa masa muda!"

Hening.

Diantara semua siswa kelas 2-B yang muntah imajiner atas pembelaan absurd Lee, ada Sasuke yang melotot panik. Gila, hampir saja! Barusan itu, ia hampir saja merusak imejnya dan membuat Naruto-sensei jijik padanya. Gawat memang, akhir-akhir ini mode semi-khilaf Sasuke tidak terkontrol.

'Terimakasih Lee. Kau memang pahlawanku!' batin Sasuke, terharu. Ia janji akan mentraktir si bulu mata bawang itu Roti Melon istirahat nanti.

.

.

.

Bel istirahat sudah berdering sekitar lima menit yang lalu. Sasuke yang mendengarnya langsung berlari ke kantin untuk membeli dua Roti Soba, satu Roti Melon dan sekotak susu. Ia langsung kembali ke kelas dan melemparkan Roti Melon ke wajah Lee yang sedang memamerkan baju spandex hijaunya yang baru pada Kiba.

"Terimakasih atas bantuannya, Lee." Ujar Sasuke saat mendapati Lee menatapnya heran. Ia langsung berjalan keluar tanpa menunggu Lee mencerna kata-katanya. Atap menjadi tujuannya.

Ia yang memang selalu makan siang di atap agaknya heran saat menemukan pintu atap yang terbuka sedikit. Setahunya tidak banyak siswa yang kesini. Kalaupun ada pasti tidak seceroboh ini membiarkan pintu atap terbuka dengan ganjaran ketahuan guru. Sasuke mengangkat bahunya dan tetap menuju ke sana.

Kala itu Matahari tidak begitu terik. Cerah namun tetap teduh karena awan putih masih memenuhi langit. Ia memutuskan duduk di dekat pagar. Membuka kantung plastik lalu memakan Roti Soba-nya. Mengunyah lamat-lamat sambil mengedarkan pandangan. Ia memandang keseluruhan atap gedung itu. mengernyitkan dahi kala melihat siluet kuning di kejauhan, tepatnya di bagian atap yang lebih teduh. Disana ia melihat seseorang berambut pirang. Agak kurang jelas kalau dari posisi Sasuke saat ini. Dengan penasaran, Sasuke berdiri dan menenteng kantung plastiknya. Orang itu membelakangi arah datang Sasuke, jadilah Sasuke tetap tidak bisa melihat siapa gerangan. Semakin dekat, dan Sasuke makin membelalakan mata. Ini dia yang berhalusinasi atau memang itu Naruto-sensei? Tapi apa yang dilakukannya disini? Makan siang? Tapi dari sepengelihatan Sasuke yang beliau pegang adalah ponsel, bukan kotak bekal atau roti.

Sasuke berjalan makin mendekat, hingga jaraknya kini cukup untuk mengintip ponsel sang guru pirang tanpa ketahuan. Bahunya bergetar, Sasuke berasumsi kalau mungkin gurunya itu menahana tawa… atau mungkin tangis? Ia melirik kearah ponsel yang dipegang Naruto. Mata hitam Sasuke bergerak lambat kala membaca kalimat yang tertera di layar ponsel Naruto. Makin kebawah, kernyitan dahi Sasuke makin dalam. Saking seriusnya ia dalam mencecrna isi tulisan itu, Sasuke tidak sadar kalau pergerakannya yang terlalu dekat dengan Naruto membuat bayangannya menutupi tubuh si guru Biologi. Si empu ponsel berjengit, lalu memutar kepalanya pelan, terkesan kaku. Mata safir itu membelalak saat sadar ternyata ada orang lain yang juga menikmati 'sesuatu' yang ada di ponselnya.

"Sasuke!" pekik Naruto saat tahu kalau yang ada di belakangnya adalah si siswa jenius. "Ka-kau sedang apa?"

Sasuke mengangkat sebelah alisnya. Bibirnya tetap rapat. Ia sibuk memerhatikan ekspresi panik sang guru. Pria 25 tahun itu memandangnya dengan wajah pucat dan mulut yang terbuka-tertutup, seperti ikan. Kalau mau lebih detail, bahkan pupil pada kelereng safir itu mengecil, menjelaskan betapa si pirang berada dalam keadaan yang membuatnya ketakutan.

"Sensei," panggil Sasuke agak sanksi.

"I-iya, Sasuke-kun?"

"Yang barusan itu-.."

"AAAA! Hahahaha… kau sedang makan siang ya? Ayo, sini, makan siang sama-sama saja. Ya? Ahahaha…" potong Naruto sambil buru-buru memasukan ponselnya ke kantung kemejanya.

Bagai kucing yang di beri gulungan benang. Sasuke bahkan sudah lupa akan apa yang akan dia tanyakan. Telinga dan ekor kucing imajiner bertengger dan bergoyang riang di tubuhnya. Dengan sigap dia langsung duduk di sebelah Naruto.

"Ayo makan siang, Sensei." Ucapnya mantap.

"Ahahaha, ayo ayo, silahkan."

"Tapi Sensei tidak makan."

"Ah itu, tadi… aku lupa bawa bekal." Sasuke memincingkan mata, curiga akan nada Naruto yang terbata-bata. "Benar kok!"

"Hn." Gumam Sasuke. Uchiha satu itu lalu mengeluarkan Roti Soba yang masih utuh lalu memberikannya pada Naruto.

"Untukku?" Sasuke mengangguk sambil menggigit Roti Soba yang sudah dimakannya tadi. "Ah, terimakasih." Ucap Naruto dengan senyum yang merekah.

Haaahh~ Surga~ Sasuke baru saja melihat Surga dunia.

Naruto mengambil Roti Soba yang disodorkan Sasuke. Tanpa sepengetahuan Sasuke, ia sempat mengelap kerigat dingin di dahinya barusan. Bahaya, bahaya. Hampir saja. Semoga anak ini cepat lupa dengan apa yang dilihatnya.

"Oh iya, Sensei."

DEG! Tubuh Naruto sempat melompat –berjengit- sakit kagetnya.

"Aku baru kali ini melihat Sensei pergi ke atap. Sedang apa?" tanya Sasuke dengan nada yang polos.

'MAMPUS!' "Iya… itu… sedang penat. Ya, kau tahulah, menjadi orang dewasa itu sulit, Sasuke. Kau akan paham nanti. Sesekali orang dewasa sepertiku pasti menginginkan waktu tenang dan menyendiri."

"Ooh, begitu."

Naruto mengangguk kelewat antusias.

"Lalu kenapa tadi di ponsel Sensei ada-…"

"AAAAWAWAWA! Sasuke-kun~ Roti Soba ini enak sekali! Kau beli dimana?"

"Huh? Mmm, di kantin."

"Hoo benarkah?"

Sasuke mengagguk, setengah bingung.

"Hohoho aku akan membeli banyak setelah ini."

"Tapi, Sensei, anda bahkan belum membuka bungkus rotinya. Bagaimana anda bisa tahu kalau roti itu enak?"

Sial. "A-ahahahaha… kau tahu? Aku punya kemampuan menilai makanan hanya dengan melihat penampilannya."

Sasuke tidak merespon kali ini. Ia kemudian beralih pada Roti Soba di tangannya.

Keduanya lalu hening. Sibuk dengan isi kepala masng-masing. Diantara mereka hanya ada suara angin dan gesekan bungkus plastik roti yang mereka makan. Sasuke memakan rotinya dengan perlahan. Mata tidak lepas dari wajah sang guru walaupun ia tidak menoleh. Dan Naruto merasakannya. Ia tahu kalau siswanya itu tengah memandangnya. Mengintai. Alhasil ia jadi menggigit rotinya dengan agak liar, mengunyahnya cepat, lalu menelan dengan paksa. Tak ayal ia akhirnya tersedak juga.

"Sensei!" panggil Sasuke panik melihat gurunya terbatuk hebat sambil menepuk-nepuk dadanya.

"Uhuk uhuk, air-uhuk, Sasu-huk uhuk uhuk!"

"A-ini, hanya ada ini." Sasuke pun menyodorkan susu kotaknya.

Dengan brutal Naruto menyambarnya lalu menyedot susu itu sampai kotaknya mengerut karena kehilangan isinya.

"Fuah! Selamat." Ujar Naruto saat akhirnya ia mampu bernapas kembali. "Haahh, terimakasih Sasuke, kau menyelamatkan nyawaku."

"…"

"Sasuke?" Naruto menoleh pada Sasuke. Ia mendapatkan sang siswa jenius mematung dengan wajah memerah. "Kau kenapa?" sekarang giliran Naruto yang panik.

"Se-senseihh…"

"Ya?" ini hanya perasaan Naruto saja atau memang Sasuke baru saja mendesah?

"A-aku…"

Naruto mendekatkan tubuhnya pada Sasuke, dan bisa ia lihat mata sipit bocah Uchiha itu membola.

"Sensei maaf" bisik Sasuke. Ia menunduk, membuat Naruto tidak bisa melihat ekspresinya kali ini. "Maafkan aku Sensei, aku… sudah tidak tahan."

"Huh?"

Bruk! dan Sasuke baru saja jatuh pingsan dengan darah segar mengalir dari hidungnya. Berikutnya adalah suara cempreng Naruto yang membahana. Panik tak terkendali melihat sang murid tergeletak bersimbah darah dengan ekspresi senang-puas-tak-tertahankan.

Mau tahu alasan Sasuke pingsan? Jadi, saat Naruto tersedak tadi, ia meminum susu kotak dari Sasuke dengan menyedotnya brutal, dan itu berhasil membangkitkan imajinasi liar Sasuke. Setelah itu Naruto yang selamat dari maut terengah-engah dengan wajah merona dan tak lupa lelehan putih sisa susu mengalir di dagu Naruto. Erotis, kata Sasuke. Ya pokoknya begitulah. Ah, Sasuke khilaf maksimal sampai mimisan.

=====sweet=====

"Sang Pangeran akhirnya berhasil masuk ke Istana. Ia berhasil menyingkirkan semua pagar berduri yang dibuat oleh penyihir. Di Istana ia melihat semua penghuninya tergeletak, mereka kena kutukan sang penyihir sehingga ikut tertidur selama seratus tahun. Sang Pangeran akhirnya sampai di kamar Sang Putri Tidur. Ia mendekatinya. Melihat sang Putri menutup matanya, tertidur cantik. Dengan perlahan Sang Pangeran kemudian mendekati tempat tidurnya. Mengelus wajah halus Sang Putri. Benar, Sang Pageran jatuh cinta. Ia pun mencium Sang Putri dan seketika mata Sang Putri terbuka."

"Ibu,"

"Ya, Sasuke-chan?"

"Boleh aku bertanya?" sang ibu mengangguk. "Kalau benar Sang Putri terkena kutukan untuk tertidur seratus tahun berarti dia sudah jadi nenek-nenek, dong."

"Eh?"

"Iyyuuh… Si Pangeran tidak laku atau bagaimana sih? Kenapa sukanya dengan nenek-nenek?"

"I-itu… oh! Sang Putri memang berusia tua tapi karena kutukannya ia jadi tidak menua. Tetap cantik." Jelas sang Ibu dengan panik.

"Begitu?" sang ibu mengangguk. "Hmmm, kok bisa ya?"

"Ahahaha, namanya juga cerita dongeng, Sasuke-chan."

"Kalau begitu aku juga mau cari Tuan Putri yang kena kutukan, ah!"

Sang Ibu menoleh heran. "Kenapa begitu?"

"Soalnya Sang Putri pasti cantik dan awet muda seperti di cerita Putri Tidur, Bu."

Sang Ibu lemas seketika. Ini salah satu kerugian punya anak terlampau pintar. Otaknya sulit diajak berimajinasi ala anak kecil. Terlampau realis.

"Mikoto, jangan sering-sering membacakan dongeng putri-putrian begitu pada Sasuke. Nanti dia bisa jadi homo kalau sudah besar. Bacakan cerita perang-perang saja, biar manly." Protes sang kepala keluarga yang tidak sengaja mendengar percakapan Ibu-Anak itu saat melewati kamar sang putra. Mikoto pusing sendiri, memikirkan bagaimana caranya mendongeng cerita perang sebelum tidur.

.

.

.

Mata Sasuke terbuka. Hal pertama yang ia lihat adalah kepala pirang yang berada agak jauh dari penglihatannya. Ia mencoba berkedip. Sekali, dua kali, dan ia mampu melihat lumayan jelas setelahnya. Kepala pirang itu bergerak mendekat ke wajahnya. Ia bisa melihat wajah yang begitu dia kagumi memandangnya dengan tatapan lega dan khawatir.

"Sasuke?" suara tenor dengan alunan lembut itu merasuk ke telinga Sasuke yang masih setengah sadar.

Ah, wajah Naruto-Sensei begitu dekat. Apa ia akan diciumnya seperti di cerita Putri Tidur? Ia yang tak sadarkan diri kemudian terbangun oleh kecupan manis dari sang pangeran. Eh, tunggu dulu. Kalau Naruto-Sensei adalah Pangeran, berarti dia dapat bagian Putri dong? Tidak mau, tidak mau! Masa, sudah punya badan macho begini malah dapat peran wanita. Kalaupun harus berada dalam hubungan sesama jenis, ia tetap akan ambil peran Seme tulen.

"Sensei, kalau anda ingin mencium saya, bisa kita tukar tempat?"

"Huh?"

"Anda tidur di bawah saya. Yah, anggap saja saya tidur tengkurap di atas anda, jadi anda tetap bisa pakai alasan membangunkan saya untuk mencium."

"…"

"Silahkan, silahkan. Tidak perlu malu." sambung Sasuke sambil beranjak bangun dan menyisakan area kosong di tempat tidur untuk Naruto.

"Kau belum sadar rupanya."

"Sudah kok, Sensei. Lihat mata saya terbuka lebar begini." Ujar Sasuke sambil melebarkan kedua matannya dengan jari telunjuk dan ibu jarinya.

"Kalau begitu kembali tidur lagi saja. Atau perlu aku beri obat tidur sekalian?"

"Saya pilih obat kuat dan obat perangsang saja, bagaimana, Sensei?"

"Apa? Racun tikus dan obat pencahar? Hoo baiklah aku carikan dulu, ya."

"Ampuni saya Sensei. Saya janji tidak akan bicara melantur lagi." Ucap Sasuke buru-buru dengan posisi bersujud di kasur.

Saat ini Naruto dan Sasuke berada di ruang kesehatan milik sekolah. Saat Sasuke pingsan tadi Naruto dengan susah payah membawa (baca: menyeret) tubuh besar si murid ke ruangan ini. Sayangnya guru yang bertugas menjaga sedang tidak ada, jadilah Naruto lagi yang sibuk membersihkan darah mimisan Sasuke sampai membuka sabuk celana dan kancing seragam teratasnya. Eits, ia tidak melakukan apa-apa kok. Hanya supaya si Uchiha itu tidak kesulitan bernapas.

"Bagaimana kedaanmu, Sasuke?"

"Hm? Memangnya saya kenapa?" ujar Sasuke malah bertanya balik.

"Tadi kau pingsan saat di atap. Kau sedang sakit ya? Atau kau kepanasan, sampai mimisan hebat begitu?"

Sasuke terdiam. Dahi putihnya sudah membentuk guratan dalam. Matanya melirik ke kanan dan kiri seperti sedang mencari-mencari, mencoba mengingat-ingat kembali apa yang terjadi sebelumnya. Seingatnya ia sedang makan siang di atap, lalu menemukan ternyata Naruto ada disana juga dan akhirnya makan siang bersama. Ah, ia ingat! Gurunya itu sempat tersedak Roti Soba yang ia berikan. Lalu ia menyodorkan susu kotaknya pada Naruto, dan….

"Sasuke! Kau mimisan lagi!"

Ah, maafkan Sasuke, Sensei. Sasuke khilaf lagi.

.

.

.

Bersambung.

A/N:

Ya sudah… begitu saja. Semoga kalian suka. Sebenarnya cerita ini yang mau saya unggah duluan, tapi malah "Yakuza x kouhai" yang terpublish. Tiada henti saya membuat cerita dengan karakter Sasuke yang dinistakan. Haahh… kapan saya bisa buat cerita yang in character semua tokohnya, ya.

Saya juga mau minta maaf yang sebesar-besarnya karena lelet dalam update. Well, lagi tidak bisa berpikir soal plot cerita (kalo yang ini jelas tinggal publish hahaha) mohon bersabar sampai inspirasi hadir. Enggak deng, plot sih sudah ada tapi belum ada waktu untuk berlama-lama menjabarkannya. Mohon izin telat update lagi~ *tebar roti manis*