"Aku sama sekali tak berminat untuk jadi ayah paro waktu" Kata Naruto.

"karena itu kita hanya punya satu pilihan."

"apa?"

"memberi Himawari orang tua yang lengkap"

Dahi Hinata mengerut dalam. "tapi bagaimana…?"

"hanya ada satu jalan," kata Naruto tanpa expresi.

"kau menikah denganku."

Hinata melongo. "kau pasti tidak serius.?"

"Oh,tapi kau keliru, Hinata."Naruto tersenyum.

"aku serius. Sangat serius."

.

.

.

Selamat membaca \(^o^)/


Part Time Father

Disclaimer By Masashi Kishimoto's

Uzumaki Naruto X Hyuuga Hinata

Genre : Drama|Romance|Hurt/Comfort

M

WARNING

AU,OCC,TYPOS,LEMON,REMAKE Etc

(FF ini Remake dari sebuah Novel Harlequin dengan judul yang sama karangan Sharon Kendrick)


Chapter 1

.

.

.

"KAA-SAN! Kaa-san!" seru Hinata dengan nafas tersengal-sengal, begitu ia memasuki rumah ibunnya. Sepanjang jalan setapak tadi ia telah berlari sekencang-kencangnya, dipacu oleh kekuatirannya karena panggilan mendadak itu. ia meletakan kopernnya di lantai keramik yang dingin dan memasang telinga.

Tak ada suara. Rasa sakit mencengkram hatinnya seperti jeritan kakaktua, dan nada ragu-ragu menyelinap kedalam suarannya. "kaa-san?"

.

Dari arah ruang duduk didengarnya suara berderit. tanpa menunggu sedetik pun, Hinata langsung melangkah lebar-lebar keruangan itu dan membuka pintunya. Ibunya ternyata ada disitu,sedang duduk disofa sambil menggeser bangku kecil yang agaknya telah dipakainya sebagai tumpuan kaki.

Syukurlah!. Ketakutan Hinata langsung lenyap —untuk sementara ini. rasa takut itu memang benar-benar tak pernah hilang selama ibunya masih tinggal sendiri.

"di sini kaa-san rupanya!" kata Hinata lega.

ibunya memperbaiki letak kacamatanya dan menatap putrinya sambil tersenyum kecil. "memangnya kau kira kaa-san ada dimana? Disekap diruang bawah tanah setelah dirampok habis-habisan? Diculik oleh bajak laut modern dan diajak mengarungi samudra pasifik?"

Hinata tertawa cekikikan. "kaa-san ini macam-macam saja. daya khayal kaa-san terlalu tinggi, lebih-lebih lagi ditambah dengan buku-buku petualangan yang sering kaa-san baca."

"mungkin sesekali kau juga perlu membaca buku-buku itu, supaya kau tidak terlalu serius menekuni pekerjaanmu." Hinata tidak memberikan tanggapan—karena siapa yang tak akan terobsesi oleh pekerjaan bila hidupnya gersang tanpa cinta? Dan salah siapa itu? ejek sebuah suara kecil dalam hatinya.

Tanpa mengacuhkan suara itu, hinata mendekati ibunya dan mengecup keningnya, kemudian duduk disofa yang sama. "kenapa kaa-san ingin bertemu denganku? Sebentar lagi kan aku akan pulang untuk merayakan natal. Kaa-san sehar-sehat saja,bukan? Tumben kaa-san sempat bersantai-santai pada tengah hari begini!" mendadak pandangan Hinata menangkap perban tebal yang membalut pergelangan kaki ibunya. "astaga, kaa-san kenapa?" tanyanya waswas.

"Hinata, —tolong," kata ibunya dengan tenang "jangan panik begitu. —kaki kaa-san hanya terkilir."

"tapi apa dokter sudah….."

"dokter sudah memeriksanya, dan katanya kaa-san tidak apa-apa, —hanya tidak boleh banyak jalan…." Suara ibu terdengarsemakin lemah. "masalahnya…"

"apa?"

"aku tak bisa kerja." Hikaribersandar kembali ke bantal-bantal disofa dan mengamati putrinya. Wajah Hinata yang cantik dan penampilanya yang rapi kini dicemari ekpresinya yang cemberut.

Hinata mendecak kesal. "kalau begitu kaa-san berhenti saja. aku sudah bilang bahwa gajiku lebih dari cukup untuk membiayai kaa-san. Aku bisa memberi kaa-san lebih dari yang diberikan…kushina-sama" ia menyebut nama itu dengan enggan.

"dan kaa-san juga berkali-kali sudah bilang padamu bahwa kaa-san suka hidup mandiri. Kaa-san tak punya niat untuk berhenti bekerja."

"tapi, kaa-san…. Haruskah kaa-san jadi …. Tukang bersih-bersih?"

"Hinata… kaa-san enggan mengatakannya… kau itu snob!" tegur Hikari

"aku bukan snob. Aku lebih suka kalo kaa-san tidak bekerja."

"maksudmu," kata Hikari dengan cerdik, "kau tidak suka kalau kaa-san jadi pembantu di rumah tempat kau hampir menjadi nyonya?" Hinata mulai berkeringat dingin. "itu masa lalu," ujarnya serak.

"kau benar. Semua itu sudah lewat. —Dan ngomong-ngomong, ada yang ingin kaa-san sampaikan padamu." Titik-titik keringat di dahi Hinata perlahan menumpuk menjadi buti-butir besar. Hinata mendengar jantungnya memukul-mukul dadanya, dan merasa darah surut dari wajahnya. "Oh ya?" katanya dengan mulut kering. "bagus sekali."

"Ya, Menma memang beruntung," kata ibunya dengan nada senang.

"Menma?" Hinata bertanya lemah. Ibunya menatap dengan heran "Ya, tentu saja Menma. —Bekas tunanganmu, pria yang hampir menjadi suamimu—siapa lagi kalau bukan dia?"

Hinata mengelap dahinya yang basah dengan punggung tangannya. Kemudian, kuatir ibunya memperhatikan dan memberi komentar tentang wajahnya yang pucat, Hinata mencari-cari alasan untuk mengalihkan perhatian. " bagaimana kalau kita minum teh? aku buatkan ya?"

"itu tawaran yang paling bagus kaa-san terima sepanjang hari ini."

Hinata dengan cepat meninggalkan ruang duduk itu dan mengisi poci teh dengan tangan gemetar. Poci itu sudah tua, seperti juga kebanyakan peralatan lainnya di dapur kecil ibunya. Hinata mengeluarkan biskuit-biskuit dari kaleng sambil berusaha menenangkan dirinya. Ia bertanya-tanya apa yang akan dikatakan ibunya, bila beliau tahu bahwa bukan Menma yang pertama-tama terpikir olehnya ketika ia mendengar cerita tentang pertunangan itu. Bukan Menma melainkan Naruto.

Naruto Uzumaki—kakak mantan tunangannya. Pria yang memiliki mata safir yang menangkan, profil yang tampan dan keras, serta tubuh yang kekar dan seksi. Naruto Uzumaki —yang telah mengubah jalan hidup Hinata tanpa sedikitpun menyadarinya.

.

.

.

Flashback

.

Senja dimusim panas itu indah sekali, sinar matahari sore menyerusuk ke ruang tamu Brockbank House dengan begitu manisnya, seperti madu yang keemasan. Hinata duduk dengan gelisah, bersiap-siap untuk menghadapi pertemuan yang sulit dan menyakitkan dengan Menma. Tunangannya. Setelah bermalam-malam tidak tidur untuk mempertimbangkan masalah itu, Hinata akhirnya memutuskan untuk memberi tahu Menma bahwa pertunangan mereka sebaiknya tidak dilanjutkan.

Ia dan Menma belum lama berhubunngan. Menma dan ibunya baru beberapa bulan ini pindah ke desa Konoha dan menjadi penghuni Brockbank House, rumah besar yang merupakansalah satu tonggak sejarah didesa itu. Keluarga Uzumaki mewarisi Brockbank House dari seorang keluarga mereka yang meninggal tanpa meninggalkan keturunan. Hinata sendiri tidak menetap di konoha, ibunya yang tinggal disitu, dan ia berkenalan dengan Menma ketika mengunjungi ibunya.

Sejak pertemuan pertama mereka —Menma telah mengejar-ngejarnya, dan Hinata, tersanjung oleh sikap manis serta kegigihan Menma, akhirnya mengizinkan dirinya percaya bahwa ia telah jatuh cinta pada pemuda itu. Karena jabatannya, selama ini pria-pria di tempat kerja Hinata cendrung takut serta menjaga jarak dengannya, dan sikap wajar Menma menyentuh hatinya. Selain itu, Menma tidak pernah mendesaknya untuk mengakrabkan hubungan dengan melangkahkan ke tempat tidur. Menma menghargai pandangan Hinata yang agak kuno bahwa ia ingin menunggu sampai mereka menikah sebelum berhubungan intim. Pada usia 24 tahun Hinata berpikir bahwa ia telah menemukan pria yang sempurna. Dan itu benar.

Hanya saja, itu tidak cukup. Salah satu hal yang membuatnya berpikir dua kali adalah perbedaan usia mereka. Ia lebih tua tiga tahun dari Menma dan telah berhasil membina karir di Tokyo, sementara Menma masih berkuliah. dan diatas semua itu, ada alasan lain yang lebih penting mengapa ia tidak menikah dengan Menma.

Ia tidak mencintai Menma! —Oh,ia sangat sayang pada Menma karna pemuda itu begitu baik dan manis, Hanya saja ia tidak mencintainya seperti seharusnya wanita terhadap laki-laki. Menikah dengan Menma dengan kondisi demikian —tentu itu tidak adil bagi pemuda itu.

Hinata berniat untuk menyampaikan keputusannya itu dengan sehalus mungkin. Menma mungkin terpukul, namun ia masih muda, tampan dan menyenangkan. Hinata yakin menma dapat mengatasi patah hatinnya dan dalam waktu singkat akan mendapatkan penggantinya.

Hinata mendesah sambil duduk dengan gelisah di salah satu kursi besar diruang tamu yang bernuansa merah itu. Tangannya menyapu rambut indigonya yang tebal dari wajahnya agar pandangannya tidak terhalang.

Hinata bertanya-tanya bagaimanakah cara orang lain memutuskan pertunangannya. Setelah memberi tahu Menma, iajuga harus memberi tahu ibunya dan ibu Menma—keduanya sama-sama janda. Hinata tak punya sanak kluarga lain, sementara Menma punya beberapa. Sejenak terlintas dalam pikiran Hinata, apakah kakak Menma sudah diberi tahu tentang pertunangan mereka. Kakak Menma ini tinggal di Amerika dan sangat berhasil dalam bisnisnya. Hinata mendapat kesan bahwa Menma dan ibunya sangat kagum sekaligus agak takut pada sang kakak.

Mungkin belum, Hinata menjawab pertanyaannya sendiri. ia dan Menma baru bertunangan belum lama ini, dan mereka belum mengumumkannya secara resmi.

Saat Hinata mengarahkan pandangannya ke halaman yang luas, didengarnya suara halus dibelakangnya. Seperti langkah kaki, tapi pelan sekali. Dan ia mendadak salah tingkah, seolah-olah dirinya sedang diawasi. Ia berpaling dengan perlahan-lahan, dan berhadapan dengan pria itu. Tangannya mendadak menjadi dingin, rasa takut yang aneh merayapi hatinya, ketika tapan mata mereka bertemu.

Hinata tentu saja pernah melihat fotonya, yang dipajang hamper disetiap ruangan dirumah ini. Kolom gossip majalah-majalah juga sering memuat gambarnya. Namun tanpa semua itu pun Hinata akan langsung tahu bahwa yang berdiri dihadapannya adalah Naruto. Naruto yang kaya raya, berkuasa dan disanjung-sanjung oleh adiknya.

Sekilas memang tampak kemiripan antara Naruto dan Menma, namun secara keseluruhan, sosok mereka benar-benar berbeda. Menma lembut dan ramah, sementara pria ini terkesan keras dan dingin. Bibir Menma penuh dan manis, tapi bibir pria ini tipis dan tegaas, —bibir orang yang kejam, pikir Hinata, wajahnya mendadak merah ketika sebuah pemikiran gila melintas dalam benaknya. Bagaimana rasanya dicium oleh orang seperti itu? Hinata cepat-cepat mengusir pikiran itu ketika dilihatnya bibir Naruto yang merekah membentuk sebuah senyum sinis.

Tak tahan menghadapi tatapan tajam dan kebisuan Naruto, Hinata bangkit berdiri.

"Kau pasti Naruto," katanya gugup, ketenangan dan kepercayaan dirinya menguap dengan begitu saja. "dan kau pasti sipemburu harta," balas Naruto dengan ekspresi melecehkan.

Sejenak Hinata mengira ia salah dengar. Ucapan seperti itu memang tidak umum dilontarkan orang pada pertama kali bertemu, lebih-lebih dilingkungan masyarakat yang berbudaya. Namun orang ini memang tidak terlihat seperti orang yang berbudaya. Pandanganya begitu blak-blakan dan liar, membuatnya tampak seperti…

Bulu kuduk Hinata meremang.

Orang barbar.

.

Hinata memaks dirinya untuk tetap tenang, sebab instingnya mengatakan bahwa ia akan menyesal bila ia sampai terpancing oleh Naruto. Ia mengangkat alisnya sedikit dan bertanya dengan cukup tenang, "apa katamu?" "Oh, hoh," kata Naruto dengan nada mengejek, kemudian ia menghela nafas dengan gaya yang dibuat-buat. "mestinya sudah kuduga bahwa gambaran tentang dirimu terlalu berlebihan. Kau tak mungkin memiliki otak sekaligus wajah yang cantik. Aku menyebutmu pemburu harta, manis. —Isilah itu mungkin kurang umum, tapi artinya… "

"aku tau persis apa artinya itu," potong Hinata, suaranya bergetar karna rasa marah. "berani-beraninya kau!" Naruto mengangkat bahu. "itu kesimpulan yang masuk akal. Apa lagi yang bisa kupikirkan, ketika aku mendengar bahwa adikku yang masih hijau akan menikah dengan orang yang baru dikenalnya, —yang jauh lebih tua darinya… "

"hanya tiga tahun lebih tua," tukas Hinata dengan hati panas. "dan apa masalahnya? Banyak pria yang menikah dengan wanita yang lebih tua."

"Oh! Ya?" pandangan Naruto dingin, menilai. "dan apakah ada banyak wanita yang menikah dengan mahasiswa ingusan yang 'kebetulan' memiliki warisan segudang? Apakah harta itu yang membuat mereka terangsang, Hinata?"

Hinata menggigil. Cara Naruto menyebutkan namanya begitu sensual, membuatnya bergetar. "aku tak perlu tinggal disini dan mendengarkan semua omong kosong ini," katanya dengan gemetaran. Tetapi kakinya seperti terpaku pada permadani Persia yang mahal itu, dan ia tak kuasa bergerak ketika tatapannya bersirobak dengan mata safir yang memukau itu. "tapi kau akan tinggal," Naruto memerintahkan dengan suara sehalus sutra. "dan mendengarkan." Pandangan Naruto turun ketubuh Hinata dan berhenti didadanya. Matanya menjelajahi kedua bukit yang menggunduk itu dengan kurang ajar.

Dibalik T-shirt katunya yang tipis, kedua buah dada Hinata menjadi berat dan keras. Kedua putingnya bahkan mencuat. Naruto melihatnya dan tersenyum tipis, membuat Hinata merasa dirinya benar-benar… —murahan.

Naruto mengangguk-angguk puas. "Ya," katanya dengan serius. "persis seperti yang kuduga. Tubuh mungil yang panas dan wajah lugu yang polos—kombinasi yang sangat memikat. Namun semua itu bukan aset yang langgeng, bijaksana kalau kau memanfaatkannya selama masih ada kesempatan, tapi tolong jangan jadikan adikku korbanmu. Paham?"

Hinata menahan luapan kemarahannya. Pikirannya kacau balau —dan reaksi tubuhnya terhadap tatapan Naruto membuatnya terkejut dan ngeri. Sepanjang hidupnya, belum ada pria yang mampu membangkitkan gairahnya seperti ini. Merasa malau, ia akhirnya membalas dengan judes, "aku tak perlu memanfaatkan 'aset-aset'-ku, sebab aku sudah punya kedudukan yang bagus di sebuah Bank." "dan bagaimana kau bisa sampai disana?" ejek Naruto. "lewat jalan pintas?"

Sikapnya yang jelas-jelas bermusuhan membuat Hinata terheran-heran. "mengapa kau memperlakukanku seperti ini?" bisiknya dengan nada tak percaya. Naruto mengangkat bahu. "sudah kubilang. Aku hanya memikirkan kepentingan adikku… dan dia perlu dilindungi dari wanita-wanita sepertimu."

"wanita-wanita sepertiku!"

Dengan wajah merah padam, Hinata mengangkat tangannya dan melayangkan tampran kewajah Naruto—keras sekali. Anehnya, Hinata tidak terguncang oleh reaksinya yang diluar kebiasaan itu, ia malah merasa sangat puas. Naruto bergeming. Hanya sorot matanya berkilat-kilat penuh kemarahan. "sebentar lagi," katanya tenang, "aku akan membalas perbuatanmu. Tapi mula-mula, kau harus mendengarkan perkataanku."

"aku tak sudi mendengarkan perkataanmu. Seenaknya saja kau menghina … "

"kau tak pantas marah padaku, —Hinata. karena semua yang kuucapkan padamu adalah sebuah kenyataan." Tukas Naruto dingin. "Nah, sekarang dengar baik-baik. Adikku baru saja beranjak dewasa. Perasaanya masih labil. jika dia menikah sekarang, itu akan merupakan kesalahan besar. Dia belum siap untuk menikah."

'Begitu pun denganku' Hinata membatin. Namun tentu saja Naruto tidak mengetahui hal itu. Hinata memperhatikan pria itu dengan sembunyi-sembunyi—wajahnya yang keras penuh tekad, pembawaannya yang arogan dan sok berkuasa. Tipe laki-laki yang bisa mendapatkan semua hal yang diinginkanya—dengan cara apapun. Hinata ingin tau sampai berapa jauh Naruto akan bertindak untuk menghalang-halangi pernikahannya dengan Menma.

Tiba-tiba saja ia dirasuki niat untuk membalas dendam. Membalas dendam atas penghinaan Naruto, serta pandangannya yang seperti menelanjangi. Dan niatnya itu membuat Hinata diliputi kegmbiraan yang meluap-luap, sebab ia memiliki senjata untuk membangkitkan kemarahan pria itu.

"kau tak bisa mencegah pernikahan kami!" katanya santai. Mata Naruto menyipit, ketika ia menangkap perubahan suasana hati Hinata. "kau benar. Aku tak bisa mencegahnya." Ia berhenti sejenak, menimbulkan suasana hening yang meresahkan, sebelum melanjutkan ucapannya. "tapi aku bisa menahan bantuan keuangan yang slama ini dinikmati Menma. Dan lagi, rumah ini secara sah adalah milikku. Sebenarnya aku bermahsud menghadiahkannya kepada kaa-sanku dan Menma, sebab rumahku sendiri sudah cukup banyak. Tapi setelah kupikir-pikir, mungkin aku akan mengurungkan niatku itu…" menatap Hinata dengan tajam. "kurasa daya tarik Menma akan luntur dimatamu, bila semua 'atribut' itu dicopot darinya. iya, kan?"

Dalam pekerjaannya, Hinata sering berhadapan dengan orang-orang yang kejam dan sinis, tapi dibandingkan dengan Naruto —tentu mereka tak ada apa-apanya.

Hinata mengangkat kepala dengan angkuh. "aku masih tetap ingin menikah dengan Menma, walau apa pun yang kau katakan atau lakukan, takan ada pengaruhnya," katanya jujur. "jadi kau sudh kalah. Kan?" "aku tidak pernah kalah, Hinata. Tidak pernah." "Oh! ya?" Hinata menatap Naruto dengan rasa tidak percaya yang pura-pura ditutupi. Ia semakin penasaran. Seberapa jauh Naruto akan bertindak untuk mencapai kemauannya?

"aku punya tawaran untukmu."

"teruskan," kata Hinata, sangat pelan. Naruto tampak ragu-ragu. "aku bersedia," kata-katanya dengan berat "untuk memberimu sejumlah uang bila kau membatalkan pernikahan ini. Sebaliknya, —jika kau menolak dan tetap nekat, aku memperingatkanmu. Kau tak akan mendapat sesen pun dari bagian warisan Menma, kecuali kalau aku sudah melihat sendiri bahwa pernikahan kalian langgeng, dan memiliki dasar yang kokoh, kau paham?

Mata safir itu begitu keras dan dingin, membuat Hinata kembali menggigil. "masalahnya bukan hanya karna aku lebih tua kan?" tannyanya lirih. Terguncang oleh kebencian Naruto, niat balas dendamnya sendiri terlupakan. "bahkan bukan karna kau berpikir aku mau menikah dengan Menma karena uangnya? Kau benar-benar tak suka padaku, ya?" Naruto tak bereaksi. Tubuhnya tegak bagaikan sebuah Arca. "Tidak," katanya akhirnya. "rasanya aku tidak menyukaimu, meskipun sulit mengukur prasaan itu pada pertemuan singkat begini. Tapi kesimpulanmu tidak keliru—bukan karna usia dan keserakahanmu yang membuatku menginginkan kau membatalkan pernikahan ini." "kalau begitu, kenapa?"

"sederhana saja. —Kau bukan wanita yang tepat untuk Menma" jujur saja,kau tertarik kan dengan Gadis ini? Na-ru-to-kun

.

Terganggu oleh nadanya yang begitu yakin, Hinata melongo menatap Naruto. "dari mana kau dapatkan hak untuk mengatakan itu?" bisiknya. "dari sini," jawab Naruto, suaranya sarat dengan emosi yang tidak dimengerti Hinata. Ia menyambar pinggang Hinata dan tanpa berbasa-basi lagi langsung mencium bibir ranum Hinata. Tuh kan —ane bilang apeh!

Sesuatu terjadi pada Hinata pada saat itu juga, sesuatu yang tak dapat dipungkirinya dan sangat luar biasa. Sesuatu yang dapat mengubah hidupnya untuk selamanya. 'Kenapa aku bisa jadi begini hanya karna sebuah ciuman?' Hinata bertanya-tanya dengan kalut. Karena gairah asmara, begitu panas dan dahsyat, langsung mengalir diseluruh pembulu darahnya begitu bibir Naruto bersentuhan dengan bibir ranumnya.

Hinata membuka mulutnya menyambut ciuman Naruto seakan-akan ia sudah menunggu seumur hidup untuk itu. Tubuhnya gemetar, bahkan nyaris limbung, didera oleh hasrat untuk mendapat lebih … —lebih dari sekedar ciuman, Hinata mendambakan sentuhan Naruto ditubuhnya, di tempat-tempat yang belum pernah dijamahi pria mana pun. Hinata ingin jari-jemari Naruto yang panjang melepas t-shirt-nya dan meloloskan celana jins pendeknya. Hinata ingin Naruto membaringkannya di permadani dan bercinta dengannya pada saat itu juga…

Namun kemudian ia tersadar, direnggutnya dari fantasi gilanya oleh suara teriakan dari kejauhan, disuatu tempat didalam rumah, ia merasa tangan Naruto terlepas dari pinggangnya, dan ciuman itupun berakhir. Hinata spontan memprotes ketika Naruto mengangkat kepalanya, dan menatapnya dengan pandangan menghina.

"kau sudah lihat sendiri," katanya penuh cemooh. Hinata meluruskan tubuhnya dan balas menatap Naruto. Rasa malunya disembunyikan dibalik tatapannya yang sedingin es. Dan lewat sorot matanya pula ia mengungkapkan kebenciannya terhadap pria itu.

Untuk membuktikan pemikirannya, Naruto telah memperlakukannya seperti pelacur, dan gilanya, Hinata memang telah bertingkah seperti pelacur! Perasaan yang melandanya saat ia berada dalam pelukan Naruto begitu intens, begitu menakutkan, membuatnya kehilangan control. Hinata menjadi pihal yang dikalahkan, sementara Naruto pemenangnya. Pria itu yang memegang seluruh kekuasaan, sementara ia tak punya apa-apa. Hinata merasa begitu tak berdaya sehingga ia tak ingin bertemu dengan Naruto untuk selamanya. —Tak pernah lagi. Aku mengerti betul apa yang kau rasakan, Hinata

Namun kemudian Hinata melihat sesuatu yang lain. Dibalik pandangan jijik yang terpasang diwajah Naruto, tampak hasrat terpendam, sedemikian kuatnya sehingga mata Naruto berkilat-kilat dan urat dilehernya berdenyut-denyut. Ia mengiginkanku, pikir Hinata, dan pada saat yang sama juga memandang rendah diriku. —Dan dia laki-laki yang bisa mendapatkan semua keinginannya.

Oh, tuhan, Hinata mendesah dengan putus asa. Naruto pasti akan mendekatiku. Bagaimana bila aku tak bisa, tak berdaya, —menolaknya? Apa yang bisa diberikan lelaki seperti itu kepadaku, —kecuali hati yang remuk?

Aku harus berusaha membuatnya jijik kepadaku sehingga ia tak akan menggangguku untuk selamanya. Hinata tersenyum kecil, matanya bersorot licih. Hentikan! Tindakanmu itu akan menghancurkan cerita ini.

"hmm… intensif yang kau tawarkan tadi. Berapa tepatnya jumlahnya?" Binar-binar dimata Naruto langsung sirna. Pandangannya begitu melecehkan. Seakan-akan Hinata itu sampah yang mencemari lingkungannya. Ia menyebuatkan sebuah angka, dan Hinata membiarkan senyum tamak menghiasi bibirnya ketika ia mengangguk. "baik," katanya. "aku setuju. Dengan satu syarat."

"tak ada syarat, manis," sahut Naruto dingin. "kecuali aku yang menentukannya."

Hinata menggeleng. "aku tak akan membatalkan pernikahan itu, kalau kau tak mau berjanji untuk merahasiakan apa yang terjadi disini —disore ini. Aku ingin memberi tahu Menma… dengan caraku sendiri." Naruto seakan-akan tidak percaya pada pendengarannya. " kau pikir aku tega menyakiti hati adikku seperti itu? Meskipun aku sangat tergoda untuk mengatakannya pada Menma bahwa dia beruntung terlepas dari jeratmu, aku tidak sekejam itu. Bayangkan bagaimana perasaan menma bahwa dia tau wanita yang dicintainya ternyata placur murahan! Kau mengerti maksudku?" Cukup,kurasa kau sudah keterlaluan.

"sangat mengerti." Hinata mengulurkan tangannya, yang ajaibnya tidak begetar kala itu. "Nah. Bagaimana kalau kita menyelesaikan urusan kita?" Naruto memandang Hinata dengan pandangan muak ketika ia mengeluarkan ceknya dan mulai menulis sejumlah nominal, hal itu tidak membuat Hinata terheran. Namun ia sama sekali tak menyangka bahwa hatinya akan terasa sesakit ini… lihatlah dampak dari perbuatanmu ini Hinata-chan.

.

.

Flashback End

.

.

.

Hinata menyusupkan tangannya ke rambut indigonya dan menggaruk-garuk kepalanya, seakan-akan gerakan itu dapat menghilangkan bayangan Naruto yang terpantri dibenaknya. Setelah lebih dari dua tahun, pikirnya kesal. semestinya bayangan itu sudah menghilang. Ia tahu laki-laki seperti Naruto tak mudah dilupakan, tapi masa iya pria itu masih saja terus menerus menghantui pikirannya?

Hinata mengangkat nampan tehnya dan membawannya keruang duduk, tempat ibunya sedang menunggu. Setiap kali ia pulang ke konoha, kenangan pahit itu selalu muncul. Itulah sebabnya ia tak terlalu sering lagi menjenguk ibunya, —sejak insiden dengan Naruto itu.

Sehari setelah Naruto menciumnya, Hinata melakukan beberapa Hal. Pertama dan yang terpenting, ia menemui Menma dan mengembalikan cincinnya. Menma tidak marah-marah atau berusaha membujuknya untuk mengubah keputusannya. Ia menerima penjelasan Hinata tanpa banyak cincong, dan dikatakannya bahwa jauh dilubuk hatinya, ia sudah menduga bahwa hal seperti ini cepat atau lambat akan terjadi.

Setelah itu Hinata berangkat ke suna dan tinggal disana selama dua minggu. Ia menyepi dirumah bibinya, berusaha menenangkan diri. Cek yang diberikan Naruto telah diuangkannya, dan uang itu seluruhnya disumbangkan ke yayasan Save The Children. Pada saat melakukan itu ia bersumpah dalam hati, akan mengenyahkan bayangan Naruto Uzumaki dari kepalanya. Namu sejauh ini, —sepertinya ia belum bisa memenuhi sumpahnya itu.

.

.

"Hinata!" terdengar suara ibunya. "mana tehnya?" "sebentar!" sambil memasang senyum, Hinata masuk membawa baki teh dan menuangkan teh tersebut kedalam dua cangkir. The Ear Grey itu nikmat dan menyegarkan, namun Hinata hanya menggigit biskuitnya sedikit dan kemudian menyisihkannya. Meskipun lapar, selera makannya sama sekali tidak ada, dirusak oleh kenangan pahit itu.

Memaksakan pikirannya beralih kepada hal-hal yang aman, Hinata menyodorkan piring biscuit pada ibunya. "bisakah kaa-san mengurus diri dan melakukan pekerjaan rumah tangga dengan kaki terbalut begitu?" "Oh, tentu saja, —jangan kuatir" ibunya menjawab dengan nada kurang yakin. Hinata menyembunyikan senyumannya. Keinginan ibunya ditangkapnya dengan jelas. "apakah kaa-san ingin aku tinggal disini sampai kaki kaa-san sembuh?" ibunya tersenyum cerah."kau mau, sayang? kaa-san akan sangat berterima kasih"

Hinata menimbang-nimbang. Ia bisa saja menghubungi tempat kerjanya. Bosnya pasti tidak keberatan memberinya cuti beberapa hari, mengingat ia telah bekerja keras selama lima tahun ini. "tentu saja aku mau," katanya. "tapi aku harus kembali ke Tokyo dulu untuk mengambil pakaianku." "boleh saja nak" kata ibunya dengan sikap senang, sambil menatap poci teh didepannya. "apakah tehnya masih ada?" Hinata menuangkan secangkir teh lagi untuk ibunya "jadi, Menma menikah dengan siapa?" tannyanya. Ia gembira karna pria yang disayanginya telah menemukan jodohnya.

"gadis yang dikenalnya ketika di Amerika. Kabarnya anak orang kaya." "Naruto pasti senang," Hinata berkomentar sinis. Ibunya menatapnya dingin. "kaa-san heran kenapa kau mempunyai pandangan yang begitu negative tentang Naruto. Sebenarnya dia pria yang sopan dan ramah."

"Sopan dan ramah?" Omong kosong!Hinata memaksakan dirinya untuk tertawa kecil. "aku tak menggunakan kata-kata itu untuk menggambarkan dirinya!"

"tapi mengapa kau begitu tak suka padanya?"

"aku bukan tak suka… bagaimana aku berperasaan begitu mengingat aku hanya sekali bertemu dengannya," sergah Hinata, menolak membicarakan hal itu. Namun ia kemudian mengalah. "kalo kaa-san mau tau juga, Naruto itu tergolong tipe pria yang paling kubenci. Sombong bukan main dan lagaknya sok berkuasa! Dia kiranya, dia ituanugrah tuhan bagi para wanita… "

" banyak wanita yang sependapat dengannya" sela Ibunya dengan geli "bigutu yang kudengar" Hinata nyaris saja menjerit keras-keras. "sebaiknya aku pergi sekarang" katanya buru-buru, sebelum ibunya sempat menyuguhinya dengan cerita-cerita tentang kehidupan Naruto. "kalau aku berangkat sekarang, mungkin aku bisa kembali sebelum gelap."

Ibunya mengerutkan dahi. "tapi kau harus hati-hati mengemudikan mobil, ya?"

"bukankah selama ini aku selalu begitu."

"tidak juga. Menurutku, kau terlalu sering kebut-kebuta."

Hinata memang senang ngebut, tapi ia selalu hati-hati dan sangat trampil mengemudikan mobilnya. Mobil sport merahnya meluncur mulus menuju Tokyo, dan sejam kemudian ia telah tiba dipondok mungilnya ditokyo.

.

.

.

Hinata menelpon kantornya, dan sesuai dengan dugaannya, bosnya tidak keberatan ia mengambil cuti. Sasuke bahkan mengatakan kalau ia boleh tidak masuk kerja sampai kapan saja semaunya.

"Benarkah, sasuke-kun?" tannyanya tertawa. "Tidak! —kutarik kembali ucapanku! Aku bisa mati karna merindukanmu kalau begitu!"

"aku akan menghubungimu segera setelah aku kembali kemari. Aku Cuma pergi beberapa hari saja."

"telepon aku kapan saja jika kau butuh bantuanku."

"terima kasih, sasuke-kun. Aku akan ingat itu," sahut Hinata sebelum memutuskan sambungan telpon itu.

Hinata tau betul bahwa sasuke menyukainya dan ingin hubungan yang lebih intim dengannya. Namun Hinata selalu menolak ajakan kencan Sasuke, dan bosnya itu tidak sakit hati. Bagaimana pun juga, ia pria yang penuh percaya diri, tampan dan mapan. Ia bisa menerima ketika Hinata mengatakan kalau ia tidak bisa berkencan dengan rekan kerja. Hinata tidak berdusta mengenai itu, tapi bukan karna itu saja ia menolak ajakan kencan Sasuke ataupun pria-pria lainnya.

Sejak pertemuannya dengan Naruto, Hinata tak sanggup lagi melirik pria manapun. Ia selalu membandingkan setiap lelaki yang ditemuinya dengan Naruto, dan mereka semua tak pernah memenuhi harapannya. Tak pernah ada pria yang sanggup membangkitkan gairahnya seperti yang dilakukan Naruto.

Tapi itu malah lebih baik, Hinata berargumentasi, sebab setelah pristiwa itu ia merasa muak pada dirinya sendiri. Kalau gairah asmra bisa membuat orang menjadi mahluk liar yang tak dapat berpikir dan tentu saja tak dapat mengendalikan tubuhnya sendiri, lebih baik ia tak mengalaminya. Hidupnya lebih baik dipimpin oleh akal sehat saja.

.

.

Hinata mengosongkan isi kulkasnya, menghentikan langganan susunya, dan menyalakan mesin penjawab telepon otomatis, diisinya koper dengan pakaian seperlunya dan dilemparkannya koper itu kebagasi MG-nya, kemudian ia pun segera memacu mobilnya menuju kediaman ibunya.

Tak ada yang istimewa dalam perjalanannya itu, kecuali kejadian menjengkelkan ketika mobilnya disalip oleh sebuah mobil hitam. Hinata yang sangat kompetitip dan sangat bangga akan kemahirannya dibelakang setir, kesal sekali MG-nya dikalahkan oleh monster hitam itu.

Pengendaranya pasti laki-laki, pikirnya dengan agak tidak adil. mungkin orang yang mencari kompensasi untuk menutupi kelemahan-kelemahannya.

.

.

Hinata melihat mobil itu lagi didepan salah satu kedai kecil dikonoha, —beberapa mil dari rumah ibunya. Daerah itu terletak diluar jalur yang biasa dilalui orang, dan jelas-jelas bukan tempat untuk turis. Terlintas terbit pertanyaan dalam benak Hinta, siapa disekitar sini yang memiliki mobil semewah itu.

.

.

Setibanya dirumah ibunya, Hinata membereskan barang-barangnya dan menyiapkan makan malam seadanya. sehabis makan, kedua wanita itu duduk bersantai sambil menikmati segelas teh hangat, dan pada saat itulah ibunya menjatuhkan bomnya.

"Hmm… Hinata?" Hinata kenal betul dengan nada suara yang biasa dipakai ibunya untuk meminta sesuatu itu. "Ya,kaa-san?" tanyanya dengan agak geli.

"kaa-san ingin minta tolong, Nak."

"sudah kuduga begitu. Teruskan saja, —Apa yang kaa-san inginkan?"

"Hmmm.. jujur saja, agak sulit bagi kaa-san untuk mengungkapkannya."

"katakana saja kaa-san"

"tadi kaa-san sudah bilang kan, —kalau Menma akan menikah?" Hinata tersenyum. jalan pikiran ibunya mudah ditebak. "ya,Kaa-san… dan aku tak keberatan. Sungguh!" Hikari memandangnya dengan galak. "kaa-san yakin itu—karna kau sendirilah yang memutuskan pertunangan kalian. Tapi, lebih baik begitu daripada bubar setelah menikah." Hinata menghela nafas. "apa yang sedang ingin kaa-san katakana tadi?"

"Oh,ya,.. begini. Menma akan pulang lusa. Dan karena kaki kaa-san terkilir, kaa-san tak bisa membantu persiapan untuk menyambutnya…" Hinata sentak meletakan gelas tehnya dimeja dan menatap ibunya dengan tak percaya. "rasanya aku belum menangkap maksud pembicaraan ini?" tannya ragu.

"ya, kaa-san ingin tau apa kamu mau menolong kaa-san?"

"menolong kaa-san?"

"menggantikan kaa-san…. —sampai kaki kaa-san sembuh."

"maksud kaa-san ….menggantikan kaa-san untuk membersihkan kediaman Uzumaki?"

"benar."

Hinata menggelengkan kepalanya berkali-kali. "aku akan membayar orang untuk menggantikan kaa-san." Hikari menggeleng. "kaa-san ragu, kamu akan bisa mendapatkan pengganti dalam waktu sesingkat ini, apalagi menjelang natal seperti ini. —lagi pula, kamu tau betapa cerewetnya Kushina-sama. Tak sembarang orang diizinkan menyentuh barang-barang antik itu." Menangkap ekspresi wajah putrinya, Hikari buru-buru melanjutkan, "tak banyak yang harus kau kerjakan, sayang. —Hanya bersih-bersih dan mengebut-ngebut sedikit. Dan juga lantai dapur mungkin perlu dipel. Maksud kaa-san… " Hikari menatap Hinata dengan tegas, "anggap saja ini sebagai penebus dosa." Hinata mengerjap-ngerjapkan matanya dengan tercengang. "penembus dosa?"

"Mmm… itu pantas bukan, —mengingat kau telah mengecewakan Menma. Kan bagus kalau kau buat rumahnya senyaman mungkin sebelum dia pulang. Kecuali, —tentu saja, kamu tidak berteus terang pada kaa-san. Barangkali kamu masih menyimpan sedikit rasa cemburu?"

Hinata menatap ibunya lekat-lekat, sebelum akhirnya tertawa terbahak-bahak. "tau tidak, —kaa-san. mengenai keterusterangan. kaa-san memang jagonya!" kemudian terpikir olehnya sesuatu yang lain. "tapi tentunya kushina-sama tidak ingin aku datang ke rumahnya?"

"Oh, tidak sayang, —ia sama sekali tidak keberatan. Ia suka padamu… sejak dulu, —hanya saja, katanya kamu tidak cocok dengan Menma."

'Ini menarik' pikir Hinata. Kenapa Kushina-sama tidak bilang apa-apa ketika ia dan Menma bertunangan? "Oh ya?"

"jadi kamu bersedia, kan?" Hinata mendesah. "bagaiman dengan…—Naruto?"

"Oh, dia ada di prancis atau jerman—diluar negri pokoknya—sibuk mengurus mengambilan sebuah perusahaan. Kaa-sannya bilang kalau dia bekerja keras sekali, dan… "

"pembicaraan kaa-san dengaan Kushina-sama pasti menyenangkan," sela Hinata dingin, "tapi sayangnya—aku sama sekali tidak berminat mendengarkan cerita tentang Naruto." Ekspresi wajah ibunya itu seakan mengatakan, Ya,aku kan Cuma menjawab pertannyaanmu, tapi mulutnya ibunya tertutup rapat, dan Hinata bersyukur karenanya.

.

.

.

Tak Sulit bagi Hinata untuk memulihkan telinganya terhadap cerita-cerita tentang Naruto, tapi tidak semudah itu pria tersebut dienyahkannya dari pikirannya—terlebih-lebih ketika ia menginjakan kakinya dikediaman Uzumaki.

Hinata langsung menyesali keputusannya untuk menolong ibunya. Sudah dua tahun ia menjauhi rumah ini, sejak hari ketika Naruto memberikan cek itu.

Hinata agak was-was menghadapi pertemuannya dengan Kushina, namun wanita itu ternyata menyambutnya dengan ramah. Ibunda dari Menma dan Naruto ini bertubuh langsing dan berpembawaan anggun. Matanya sebiru lautan dan bersorot lembut seperti Menma. Sebaliknya, —Naruto adalah duplikat ayahnya, yang tewas dalam kecelakaan mobil ketika ia masih kecil. "Selamat datang, Hinata-chan," sapa kushina "Kamu baik sekali mau membantuku."

"Ah, taka apa-apa Kushina-sama. Kaa-san bersikeras agar saya menggantikannya." Kushina tersenyum. "Hikari memang sangat bertanggung jawab dan dapat diandalkan." Ia terdiam sebentar. "apa kaa-sanmu sudah bercerita kalu Menma akan segera menikah?"

"Ya." Dengan ragu-ragu kemudian Hinata menambahkan, "saya ikut senang, Kushina-sama. —Sungguh." Kushina kembali tersenyum. "bagaimana kalau kita minum teh dulu?" Hinata menggelengkan kepalanya. "lain kali saja, —saya ingin segera mulai bekerja, —kalau anda tak keberatan."

"aku mengerti." Sungguhkah begitu? Hinata membatin. —Rasanya tidak. Meskipun kushina cuku liberal. Hinata yakin wanita itu akan terguncang bila tau alasan sebenarnya mengapa Hinata tak mau berlama-lama di kediaman Uzumaki ini. Bagaiman reaksi kushina bila ia mengatakan bahwa melihat foto Naruto yang ada diruang depan saja sudah sukses membuatnya panas dingin?

Hinata mengambil foto itu, berusaha agar selalu bersikap objektif. Bagaimanapun juga, itu hanya sebuah wajah —wajah yang tak bisa dikatakan tampan sebab matanya yang dingin serta rahang yang keras merusak profilnya. Dalam foto itu Naruto sedang tersenyum, namun senyumannya tidak cerah dan lepas. Senyuman itu hanya berupa lekukan sinis bibir yang keras dan sensual.

Hinata mengalihkan pandangannya, lalu bergegas menuju dapur dan membuka mantel hangatnya. Hari ini ia telah menguncir surainya asal, dan hanya mengenakan celana pendek lusuh serta kaos tua kebesaran berwarna abu-abu miliknya.

.

.

Hinata tak dapat menemukan tongkat pel, maka diisinya ember dengan air sabun dan dibersihkannya lantai itu dengan cara kuno. Anehnya, —ia merasa rileks saat merangkak-rangkak dilantai itu. Karena kesibukannya, ia selalu mengupah orang untuk membersihkan rumahnya di Tokyo, namun sekarang ia menyadari bahwa mengerjakan tugas itu sendiri ternyata memberikannya kepuasan tersendiri.

Ia baru saja akan memeras kain pel ketika didengarnya pintu dapur yang terbuka pelahan. Hinata mengangkat pandangannya, —mengira orang yang masuk itu adalah kushina. Senyumnya membeku diudara ketika ia menyadari siapa yang datang.

.

Uzumaki Naruto.

.

.

.

.

.

.

TO BE CONTINUE

.

.

.

Yoshhh…. Happy balik lagi, masih dengan FF Remake tentunya #maklum, masih dalam proses belajar ^.^

Kali ini Happy datang dengan Remake dari Novel Harlequin dengan judul yang sama karangan Sharon Kendrick.

Disini Happy berperan jadi innernya #entahlah itu inner siapa, #yang pasti y efeknya italic tanpa tanda kutip ..\(^v^)/

Kalo dilihat dari prolognya Mungkin banyak yang mengira ceritanya bakalan pasara, tapi bukan tidak mungkin kan jika isinya bisa lebih menarik dari yang kalian semua perkirakan 'jangan menilai sesuatu dari sampulnya'

Kalo dilihat sekilas, agak panjang yah Chapter ini. #barunyadar

Maaf kalo kurang memuaskan atau bahkan kurang tertarik dengan fic ini, niat awal sih pengen diperpendek, eh malah lebih panjang dari versi aslinya.. ^v^

#dokidoki

Jujur, novel ini novel pertama terberat dimasanya yang pernah Happy baca sewaktu SMP dulu 'Jadul' jadi agak nguras otak juga pas ganti kata-katanya yang sukses membuat happy tercengang karna gak ngerti.

.

.

.

REVIEW?! \(^o^)/