Title : Uchiha 1001

Pairing: SasuSaku

Disclaimer: I do not own Naruto, nor the story.

Warning: CANON, Oneshot. This is an Indonesian translation of angel puppeteer's story with the same title.

Summary:

Berapa kali kau akan mengatakan 'aku mencintaimu'?


.

.

Sakura masih seorang gadis kecil berusia tujuh tahun saat Sasuke pertama kali melihatnya. Mengenakan gaun putih yang kotor dan sepatu berlumpur, terlihat terlalu kecil untuk anak seumurannya. Sangat kecil, namun sangat kuat dan penuh dengan kehidupan. Gadis itu baru saja selesai bertengkar (karena beberapa anak lain mengejek dahinya yang lebar…) dan mendapatkan beberapa gores luka, lecet di pipi, dan luka yang cukup panjang di lengannya terlihat dari lengan bajunya yang koyak.

Wajahnya kotor. Rambut merah muda kacau tak beraturan dengan daun menyelip di sana- sini. Untuk seorang gadis dengan tubuh kecil, wajah yang jelita, mata hijau yang tak biasa dan kulit berwarna peach, Sasuke merasa aneh melihat sosok itu penuh lumpur dan luka (pipi lainnya, yang tidak ada luka, juga tak luput dari goresan yang memanjang.

Namun, Sasuke berpikir bahwa gadis itu adalah sosok yang berasal dari mimpinya. Wujud nyata dari khayalannya. Kekagumannya semakin bertambah saat melihat senyum lebarnya.

"Hey, terimakasih banyak!" kata gadis kecil itu senang, berlari menujunya. Sakura berjinjit di ujung kaki untuk meraih dagunya. "Wow, kau manis!" serunya riang.

Sasuke mengingat bahwa dia merona saat itu. Banyak orang mengatakan hal yang sama persis, namun mereka tidak pernah membuat Sasuke merona… kali ini, cukup aneh.

Sebuah rengutan muncul di wajah tampannya. "…kau kotor."

Mata hijau itu mengedip, "…hai," dan tertawa.

Mendengar suara tawanya, lagi, kekagumannya semakin berkembang. Sasuke tidak pernah mendengar suara tawa seperti itu. Sebuah tawa yang membuatnya ikut senang. Sesuatu yang kuat mengembang di dalam dirinya.

"Aku suka tawamu."

Sakura menatapnya, bingung. "…terimakasih."

"Aku ingin mendengarnya setiap hari."

Sakura tidak bisa berkata- kata.

"Jadi," Sasuke menjeda, bibirnya mengerut semakin mendalam, "menikahlah denganku suatu hari nanti."

Sepasang zamrud itu melebar.

Namun kemudian kembali tersenyum. Kali ini, senyumnya sangat penuh kesungguhan.

"Kalau begitu aku akan menunggu suatu hari itu."

.

.

Dan hari itu, Sakura mulai menyukainya.

Namun beberapa hari kemudian, pembantaian Klan Uchiha terjadi. Hati Sasuke mati bersama dengan keluarganya. Mimpinya mati. Hari itu, tujuan hidupnya berubah dari sesuatu yang sederhana menjadi sesuatu yang rusak.

"Balas dendam."

"Aku akan membunuhmu."

"Mimpiku adalah untuk membunuh seorang pria."

Dan dia menghapus ingatan gadis yang dia janjikan untuk menikah dengannya suatu hari nanti.

"Aku adalah pendendam."

.

.

Satu hari setelah keluarganya dikubur, Sasuke melihat gadis itu lagi. Sakura berlari ke arahnya dan berkata, "Apa kau baik- baik saja, Sas—"

"Pergi," katanya dingin.

Rasa sakit terlihat di wajah gadis itu namun memaksakan sebuah senyuman, "Aku punya sesuatu untukmu."

Sasuke melemparkan pandangan terganggu. Sebelum bisa melemparkan kalimat dingin yang lainnya, dia bisa merasakan Sakura memberikan sesuatu pada genggamannya.

"Simpan ya," katanya.

Sasuke menurunkan pandangannya tak tertarik.

"Aku mohon."

Jeda.

Jeda yang panjang.

"Aku tidak butuh ini."

"Aku tahu."

Dia merengut.

"Tapi… simpan saja. Aku mohon."

Sasuke berhasrat untuk meremas kertas putih itu atau menyobeknya di hadapan Sakura. Namun dia berpikir bahwa kalau saja dia melakukannya, Sakura akan berlari sambil menangis dan itu akan membuatnya semakin terganggu.

Untuk mencegah Sakura mengganggunya lebih jauh, dia memasukan perahu kertas itu ke dalam saku.

.

.

Dia berusia dua belas tahun saat menerima perahu kertasnya yang kedelapan.

Sakura tersenyum cerah padanya, menyembunyikan rasa sakit. Karena ingin berhenti mendapatkan gangguan, Sasuke mengambil perahu kertas itu dari telapak tangannya dan memasukannya ke dalam saku dengan kasar. Dia tahu bahwa Sakura melihatnya memasukan kertas itu seperti tidak berarti namun gadis itu memberikan senyum yang lainnya sebelum mendorong kepala Naruto dengan keras karena mengucapkan 'selamat pagi' dengan terlalu keras.

.

.

Tahun yang sama, sebagai hadiah ulangtahun, Sakura memberikan lima perahu kertas, tidak seperti biasanya karena dia biasanya hanya memberikan satu buah dalam satu hari atau satu minggu.

"Karena ini adalah hari ulangtahunmu," katanya.

.

.

Saat itu bulan Desember, saat dia menerima perahu kertasnya yang ketujuh puluh. Sasuke sedang dalam perjalanan pulang saat berpikir alasan kenapa Sakura memberikan dia perahu kertas. Itu sesuatu yang tidak berguna. Hanya selembar kertas yang dilipat menjadi perahu.

Namun Sasuke menggelengkan kepala. Tidak perlu dipikirkan.

Kalau memang itu tidak bernilai sesuatu untuknya, lalu kenapa dia tetap menyimpan semua itu selama bertahun- tahun? Dari perahu kertas yang pertama sampai yang ketujuh puluh enam. Sasuke merasa aneh karena menyimpan semuanya namun dia tidak bisa membiarkan dirinya membuangnya.

Dalam kenyataannya, Sasuke sering menemukan dirinya menghitung mereka satu persatu.

.

.

Dia tiga belas tahun saat Sakura berhenti memberikan perahu kertas. Itu adalah tahun di mana dia memilih untuk pergi ke Desa Bunyi, haus akan kekuatan, dendam dan bodoh.

Tahun itu, dia menjadi seorang ninja pelarian—seorang penghianat. Dia menyadari bahwa suatu hari, Naruto dan Sakura akan ditugaskan untuk membunuhnya.

Membunuhnya tanpa belas kasihan. Membunuhnya tanpa keraguan.

Namun dia mengabaikannya.

Memangnya kenapa?

Tujuannya adalah membunuh seorang pria. Dia seorang pendendam. Seorang pengkhianat. Seorang ninja pelarian.

Tidak ada lagi yang penting. Kecuali melihat kepala Itachi menggantung di sebuah tiang.

Dia meninggalkan semuanya di belakang.

Namun membawa hitae-ite dan 176 perahu kertas miliknya.

.

.

Dua tahun berlalu.

Mereka bertemu. Mereka bertiga.

Sasuke menunduk menatap mereka berdua dengan pandangan datar, tidak terbaca.

Mereka berdua mendongak menatapnya penuh perasaan, dengan satu harapan untuk membawanya kembali.

"Sasuke-kun…"

"…"

Dia melangkah maju.

"Aku mohon kembalilah dengan kami! Sasuke-kun!"

Sasuke tidak menjawab, tetap menatap ke bawah pada mereka. Air mata mulai membanjir dari mata hijau itu.

"Sasuke-kun… aku mohon, aku mohon—"

"Air matamu tidak akan membawa aku kembali," katanya datar.

Sakura mendongak dengan airmata penuh.

"Tidak ada yang akan menghentikan aku."

"…"

"Tidak ada yang akan menghalangi aku dan dendamku."

Dia menatap lurus matanya tanpa berkedip.

"Tidak juga kau."

Tidak juga perahu kertas yang tetap dia simpan selama dua tahun.

.

.

Dua tahun yang lainnya berlalu.

Dia kembali ke Konoha, tujuannya terwujud dan Orochimaru sudah terkubur sepuluh kaki di bawah tanah. Tetua Konoha berterimakasih karenanya. Tujuh belas tahun, belum dewasa namun dia sudah bisa menghabisi dua kriminal yang sering mengancam keamanan desa.

"Kau kembali."

"Mengejutkan."

Tsunade menyipitkan matanya.

"Kenapa?"

Akhirnya, dia bertemu mata.

"Kenapa tidak?"

Tsunade menyeringai. Cerdas, pemuda yang cerdas.

"Kau bebas," katanya mudah.

Ninja dan tetua terkejut mendengar kalimat Tsunade.

"Tsunade-sama—"

"Kau tidak bisa—"

Tsunade menutup mulut orang yang hadir dengan satu tatapan mata. "Apa kalian menanyakan kewenanganku?"

Mereka membisu.

Tsunade mengedikan bahu tidak peduli, "Aku Hokagenya."

Naruto tetap diam sepanjang proses itu. Tatapan mereka tidak pernah bertemu. Poni panjang Uchiha menutupi matanya. Lengannya melipat di depan dada, pakaiannya rapi. Namun yang paling mengejutkan mereka adalah tasnya, tas itu tidak berisi peralatan ninja kebanyakan seperti kunai yang berdarah (seperti yang mereka kira) atau shuriken, namun perahu- perahu kertas.

.

.

"Sasuke-kun!"

Sasuke berhenti untuk berpikir apakah dia akan berbalik untuk menatapnya atau pura- pura tuli dan melanjutkan langkahnya. Namun dia tidak diberi kesempatan untuk memikirkannya karena Sakura sudah berdiri di hadapannya sekarang.

Dengan susah payah, dia mendaratkan matanya pada Sakura. "Sakura."

"Sasuke-kun… kau kembali."

Dia mengangkat bahu.

"Akhirnya."

Sasuke memanfaatkan beberapa detik untuk mengamati penampilan gadis itu. Lebih cantik. Sepasang mata hijau tegas dengan bulu mata panjang. Rambut merah muda tebal diikat longgar dengan poni tidak beraturan membingkai wajahnya. Gadis yang sangat, sangat cantik.

Setelah beberapa saat, dia menatap melewati Sakura, tidak melihat raut terluka di wajah jelita itu. Keheningan melingkupi mereka sampai Sasuke memecahkannya.

"Apa yang kau mau?" dia menjaga agar nadanya netral. Datar dan formal. Tidak ramah namun sopan.

"Aku…" dia menggigit bibir dan menyumpah dalam hari, memohon agar diberikan kekuatan. Sakura merasakan Sasuke semakin tidak sabar. "Ini."

Sasuke merengut melihat penawaran Sakura. Satu kotak penuh dengan perahu kertas berbagai warna. Dia mengangkat sebelah alis, meminta penjelasan.

"Saat aku ada kesempatan… aku melipat perahu kertas untuk membunuh waktu." jelasnya pelan, menunduk untuk menghindari tatapannya. Saat Sasuke tidak jua berbicara, Sakura mendorong kotak itu pada lengannya. Karena dorongan yang kuat, dia terpaksa menahan kotak di lengannya. Wajahnya kosong saat dia menatap isi kotak itu. Kemudian, tatapannya mengayun untuk menatap wajah Sakura.

Dia tergagap, "Um, kalau kau tidak menyukainya… kau bisa membuangnya atau—"

"Terimakasih."

Sakura berhenti tergagap. Ekspresinya terkejut. Matanya bercahaya senang.

"Sama- sama."

.

.

Saat dia pulang (ke sebuah apartemen, Kediaman Uchiha terlalu besar untuknya) dia menahan diri untuk tidak menghitungnya.

Namun dia tetap menghitungnya.

386.

Ditambah 176.

562.

.

.

Dia delapan belas tahun saat Sakura memberikan perahu kertas ke-698.

Tidak ada yang berubah di antara keduanya. Dia masih seorang pemuda yang dingin. Dia masih gadis cherry. Kebalikan. Mereka bilang kebalikan itu menarik satu sama lain. Namun mereka selalu menjadi pengecualian.

Tahun itu, Sakura berkencan dengan Naruto.

Kali ini, orang mengatakan: keduanya adalah pasangan yang sudah dituliskan dari Surga.

Orang yang sama. Perasaan yang sama. Rukodaime masa depan. Ninja medis terbaik masa depan.

Sasuke ingat dia marah besar.

"Kenapa kau terus memberikan aku perahu kertas bodoh itu?" dia berteriak.

Sakura terdiam. Padahal gadis itu menganggap bahwa mereka berteman. Teman tidak meneriaki temannya seperti itu. Tapi tentu saja selalu ada pengecualian.

"Lupakan saja," katanya setelah itu, "aku tidak bermaksud untuk berteriak. Aku sedang marah karena suatu hal."

"Tidak masalah… aku menyebalkan, ingat?"

Dia mengangguk singkat dan dari sudut matanya dia melihat bayangan warna pirang dan hitam. "Sana pergi, dia menunggumu."

Sakura menoleh ke kiri dan melihat Naruto. Dia tersenyum dan memberi kode agar menunggunya sebentar lagi.

"Sasuke-kun."

Dia tidak menatap Sakura.

"…apakah kau…oh, lupakan saja. Ja!" dengan cepat dia berbalik dan berlari menuju Naruto.

.

.

Sakura memberikan yang ke-887 saat mereka berumur Sembilan belas. Saat itu bulan November. Jadi Sakura tidak berhenti memberikan perahu kertas walaupun sudah bertunangan dengan Naruto.

Dia bertanya kenapa.

"Sasuke-kun…" dia mengedikan bahu dan menggigit bibir, "apa kau menyimpannya?"

Dia tidak berpikir dua kali sebelum memberikan jawaban.

"Tidak."

Itu adalah bohong. Sakura adalah wanita yang naïf. Dia tidak bisa melihat kebohongannya.

Bagus.

Sakura menatapnya. Dia menatap balik.

Sakura adalah yang pertama mematahkan tatapan mereka,"tentu saja." Nadanya pahit, "Aku mengerti… kau membuangnya."

Sasuke tidak berhenti menatap wajah Sakura. Pandangannya larut di rambutnya, menurun ke bulu mata tebal dan bibir merah muda penuh. Kalau saja Sakura bisa melihat kenyataan di balik kebohongannya. Dia ingin mengatakan yang sebenarnya. Tapi dia tidak bisa.

Dia tidak boleh.

Sakura mencintai Naruto sekarang.

Bukan dia.

Bukan Uchiha Sasuke.

Dia adalah sebuah sejarah sekarang. Bagian dari masa lalu.

"Sampai bertemu besok… sepertinya." tambah Sakura sambil mengangkat bahu.

Dia adalah cinta monyet Sakura.

Sakura melambaikan tangan dan berbalik.

Naruto adalah cinta pertama Sakura.

.

.

Tiga hari sebelum hari pernikahan, Sakura memberikan perahu kertas ke-985.

"Sampai kapan kau akan memberikan perahu kertas padaku?"

Sakura mengangkat bahu, "Sampai pesannya tenggelam,"jawabnya tidak jelas.

"Atau sampai kau menikah."

Sakura menegang.

Mata hijaunya bertemu dengan mata hitamnya, "Kau akan datang, kan?"

Ada remasan tiba- tiba di paru- paru Sasuke, menyakitinya. Tenggorokannya menolak bekerja. Dia mencoba meneguk ludah untuk melumasi tenggorokan keringnya.

"Iya." dia menjawab setengah melamun, menatap perahu kertas biru di tangannya. Dia tidak melihat ekspresi wajah Sakura. Saat dia mendongak, wajah itu sudah kembali ceria.

"Sampai jumpa, kalau begitu!"

.

.

Sehari sebelum pernikahan Sakura, dia menerima perahu kertas ke-999.

"Sepertinya ini yang terakhir," katanya dengan nada monoton.

Sakura hanya tersenyum.

"Apa dia tahu?"

"Kalau aku memberikan perahu kertas padamu?"

Dia mengangguk.

"Tidak. Aku tidak perlu memberitahu dia, kan? Ini tidak berarti apa- apa."

"…"

"Memberikan seorang teman 999 perahu kertas memang tindakan yang bersahabat."

Tepat.

"Sasuke-kun—"

"Aku rasa kau harus berhenti memanggilku seperti itu," dia menginterupsi sambil mengantongi origami itu.

Mata Sakura mengatakan kalimat lain namun dia tidak begitu mengerti apa arti tatapan itu.

Sepuluh menit berlalu sebelum Sakura berkata, "Oh, Sasuke saja kalau begitu, ya? Hanya Sasuke…"

Dia mengangguk, dan memakai topeng datarnya. Topeng yang cukup untuk menjauhkan gadis itu tapi tidak kali ini. Topeng yang berarti menarik diri. Topeng yang berkata 'berhenti, jangan mendekat'.

"Sasuke…" kedengarannya aneh mendengar Sakura tidak lagi memanggilnya Sasuke-kun, "apa kau sedang berkencan dengan seseorang?"

Dia merengut. Dari semua pertanyaan untuk ditanyakan, kenapa itu?

"Tidak."

"Kenapa?"

Dia mengedikan bahu. Sakura tersenyum, "Kau harus mulai berkencan dengan seseorang. Temukan seseorang untuk kau nikahi dan untuk membangun kembali klanmu."

"Pernikahan itu sakral," kalimatnya mengejutkan Sakura. Wow. Dia sudah dewasa.

Sakura mengangguk setuju, "Aku setuju, benar begitu. Saat kau menikah, kau harus menikahi orang yang kau cintai."

Mereka saling menatap.

"Sama seperti yang kau lakukan," kata Sasuke pelan.

Sakura tidak menjawab.

"Sakura-chyaaaaan—"

Sakura menyapu pandangannya melewati Sasuke. Sebuah senyum cerah terlukis di wajahnya.

"Hey!" dia melambaikan tangan senang.

Dia terus menatap Sakura. Saat menyadari bahwa dia menatap Sakura, dia mengalihkan pandangan dan merengut menatap kejauhan.

"Sasuke."

Dia memaksa dirinya untuk menatap Sakura kembali.

"Sampai jumpa besok."

Sasuke tidak memberikan tanggapan yang menunjukan bahwa dia mendengar Sakura. Mengabaikan tanggapan Sasuke, Sakura berlari menuju Naruto.

Dia tidak pergi atau membalikan tubuh untuk melihat pasangan itu. Namun dia mendengarkan suara tawa mereka.

Dan di sana, dia mengingat kali pertama dia bertemu Sakura.

Suara tawa.

Suara tawa yang ingin dia dengar setiap hari.

Sesuatu mencengkeram jantungnya. Rasa sakit mengonsumsinya.

Tidak.

Sakura kembali tertawa pada sesuatu yang Naruto katakan.

Naruto bisa membuatnya senang. Naruto bisa membuatnya tertawa dengan tawa itu. Naruto menjadi segala yang Sakura inginkan. Dan dia tidak menjadi apapun yang Sakura inginkan.

"Dasar kau idiot!"

"Heeeey! Itu tidak adil!"

"Oh, Naruto…"

Dia tetap di sana,mendengar interaksi mereka, mendengar tawa Sakura, mendengar ungkapan cinta Naruto sampai sepasang tunangan itu berjalan menuju arah lain.

.

.

Bulu mata hitam panjang itu mengerlip terbuka. Pandangannya menyapu dari langit- langit kosong menuju kalender yang menempel di dinding.

Mata hitamnya tetap kosong, menatap tanggal hari ini. Di bawah tanggal itu, satu kata tertulis dengan coretan tidak peduli.

Pernikahan.

Satu kata yang cukup untuk mematahkan hati seseorang.

Mata hitamnya terpejam. Tubuhnya bergerak menyamping mencari posisi berbaring yang nyaman, poni panjang hitam kebiruannya jatuh di atas dahinya.

"Sakura," gumamnya dengan pikiran melayang.

"Aku menyukai tawamu."

.

.

"Aku ingin mendengarnya setiap hari."

.

.

"Jadi, menikahlah denganku suatu hari nanti."

.

.

"Maaf."

Sasuke membuka matanya dan menatap meja di sisi ranjangnya.

"Aku… aku tidak menepati janjiku," gumamnya.

.

.

Ada suara ketukan lembut di pintu.

Masih memakai kaos biru sederhana dan celana piyama, dia melangkah turun untuk menjawab pintunya. Dia mengayunkan terbuka dan bingung melihat apa yang ia temukan di depan pintunya.

"Sakura."

Sakura terlihat cantik dengan gaun putih panjang. Rambut merah muda indahnya tergerai sampai punggung.

"Sasuke."

Sasuke menatapnya.

"Apa yang kau lakukan di sini?" tanyanya pelan, "kau tidak seharusnya di sini."

"Aku tahu."

"Lalu, kenapa?"

"Aku…" dia merengut dan menggelengkan kepalanya setelah merenung. Sakura menyerahkan sesuatu padanya. Kerutan muncul di dahinya.

"Sakura—"

"Akhirnya… yang terakhir."

Dia mengambil perahu kertas putih itu dari telapak tangan Sakura.

Sakura mendesah dalam. "Selesai."

Dia menatap Sakura semakin dalam. "Kau membuatkan aku seribu perahu kertas."

Sakura mengangguk. "Iya… aku tahu aku seharusnya berhenti sejak lama. Tapi tanganku…" Sakura menatap sepasang tangan kecilnya, "aku tidak bisa berhenti melipat. Tidak sampai aku melipat yang keseribu. Perahu kertas adalah hal bodoh. Hal yang biasa." Sakura menatapnya, matanya sangat hijau sampai Sasuke berpikir dia tenggelam di dalamnya.

"Apalagi untuk orang sepertimu, kau tidak akan menghargainya."

"…"

"Tapi sekarang, aku sudah selesai denganmu."

Sasuke mengernyit, rahangnya mengeras.

"Aku selesai dengan 1000 perahu kertas. Aku selesai denganmu. Aku bisa hidup denga bebas sekarang."

Dia mengalihkan pandangannya dan menatap pohon di belakang Sakura.

"Aku tidak pernah meminta seribu perahu kertas, Sakura," nadanya rendah dan datar.

"Aku tahu."

Mata mereka bertemu, "Dan kau tidak pernah mengatakan padaku kenapa."

Sakura tersenyum lemah, "Itu hanya…"

Sasuke mengharapkan sebuah alasan yang bagus. Sesuatu. Tolong katakan itu karena sebuah alasan. Katakan bahwa itu berarti sesuatu. Jangan katakan—

"…sebuah hobi."

—itu hanya sebuah hobi.

Wajah Sasuke tidak berkedut saat meremas origami itu.

Sebuah hobi?

Bagus.

Perahu kertas terakhir diremas di hadapan mata Sakura.

.

.

Mata hijau melebar kaget. Kilasan terluka menari di mata itu saat Sakura melihat kepalan tangannya meremas perahu kerta terakhir.

"Sasuke…"

"Ini tidak akan…" suaranya sedikit pecah, "…menyakitkan. Seperti yang kau katakan," Sakura mencari matanya namun poni panjang menutupi iris hitam itu, "…ini hanya sebuah hobi."

Sakura sekuat tenaga menahan tangisnya.

Daun pintu mengayun tertutup di depan wajah Sakura.

.

.

Hening.

Pintu kembali membuka.

"Sakura, aku—"

"Jangan."

Sasuke mendesah keras.

"Jangan katakan maaf," gumam Sakura pelan, menunduk, poni menutupi mata kiri, "kau tidak perlu melakukannya." Sakura mengangkat dagunya untuk menatap Sasuke.

"Itu hanya sebuah hobi."

Rahang Sasuke semakin mengeras.

"Selamat tinggal," kata Sakura sambil membungkuk, membalikan badan dan pergi.

Dia tetap berdiri di depan pintu, melihat Sakura menghilang ke sebuah sudut jalan. Kepalan tangannya membuka memperlihatkan sebuah perahu kertas yang berbentuk bola. Dia menatapnya selama satu menit.

Lalu Sasuke meluruskannya, mencoba menghilangkan kusut yang ia buat.

.

.

Airmata mengalir di pipi Sakura. Dengan cepat ia menyekanya dengan lengan bajunya. Dalam tergesanya, dia menabrak sesuatu yang bernafas.

"Sakura."

Sesuatu yang berambut perak dan melawan gravitasi.

Sakura mendongak, air mata masih mengalir bebas. "Kakashi-sensei—"

Bagian depan maskernya mengerut, menunjukan bahwa pria itu tengah tersenyum.

"Pengantin wanita tidak seharusnya menangis di hari pernikahan mereka."

"Aku tahu," Sakura menghapus jejak air mata di pipinya.

"Kau darimana?"

Sakura ragu, "Rumah Sasuke."

Kakashi merengut, "kenapa?"

"Aku… memberikan sesuatu."

Rengutan wajahnya semakin dalam. "Apa yang kau berikan padanya?"

"Perahu kertas ke-1000."

"Sakura…" Kakashi mendesah, menggaruk belakang kepalanya.

"Aku terus mengatakan pada diriku sendiri untuk berhenti memberikan… benda bodoh itu tapi tanganku…" bergentar, "mereka terus melipat… sepanjang hidupku, sejak aku tujuh tahun, aku terus memberikan dia perahu kertas. Aku sangat menyedihkan!"

Kakashi terus diam. Dia tahu hobi origami Sakura. Dia bahkan pernah sekali bertanya apa alasan di balik hobinya.

.

.

"Ini bukan HANYA sebuah hobi, Sensei!" dia menjawab semangat, mencoba melipat selembar kertas merah muda menjadi perahu.

Kakashi mengangkat sebelah alisnya, "lalu kenapa?"

"Ini caraku mengatakan pada Sasuke-kun betapa aku mencintainya!"

.

.

Tiba- tiba, Kakashi merasa sangat lelah. "Sakura-chan…"

Sakura tahu nada itu. "Sensei…"

"Kau belum berubah."

"Huh?"

"Pernikahan itu sakral. Kau seharusnya menikahi orang yang kau cintai." Kakashi melihat mata Sakura melebar horor, dia tidak tahu.

"Aku mencintai Naruto," kata Sakura di sela geretakan gigi, tangannya mengepal. "Aku mencintainya, maka dari itu aku akan menikah dengannya—"

"Apa kau bahkan pernah memberinya satu buah perahu kertas?"

Sakura tersentak.

.

.

"Ini bukan HANYA sebuah hobi, Sensei!"

"Lalu kenapa?"

"Ini caraku mengatakan pada Sasuke-kun betapa aku mencintainya!"

.

.

Satu tangan menutup bibirnya, menahan tangis. "Tidak… tidak… tidak." Sakura tersedu. Airmata kembali mengalir dari matanya, membasahi pipinya, jatuh menyentuh tanah di bawah kakinya.

Wajah Kakashi melembut di bawah maskernya. Dia tidak pernah senang melihat Sakura menangis.

"Aku mencintai Naruto… aku mencintainya. Dia mencintaiku…" Sakura memeluk dirinya, kepalanya menunduk.

"Tenang…"

"Aku akan menikah dengannya dan akan hidup bahagia dengannya… itu yang membuat Naruto berbeda dari Sasuke. NARUTO MENCINTAI AKU." Sakura terdengar seperti sedang mencoba meyakinkan dirinya sendiri.

Kakashi menggenggam bahu Sakura, kaget, gadis itu mendongak menatap mantan gurunya.

"Itu bukan hanya sebuah perahu kertas, Sakura…" mata Sakura melebar sampai seukuran bola pantai menyadarinya, "iya kan?" tangan Sakura mencengkeram lengan baju Kakashi.

"Aku mohon," bisik Sakura, "jangan katakan padanya."

Kakashi terkekeh.

"Sensei," Sakura memanggil, panik.

"Tentu."

Sakura tersenyum, lega. "Terimakasih," dia menyeka pipinya lagi sebelum membungkuk, "sampai jumpa nanti, oke? Jangan telat!"

"OK," janji Kakashi, "untuk pertama kalinya dalam hidupku."

Sakura terkekeh lemah. Kakashi menyeringai sambil melihat punggung gadis itu menjauh menuju rumahnya.

"Sakura-chan lupa bahwa dulu dia memangilku pembohong."

.

.

Sasuke duduk di bawah bayangan pohoh sakura besar. Di depannya ada danau berukuran sedang, ratusan kelopak sakura mengapung di atasnya. Cahaya matahari tipis merembas dari sela- sela pohon merah muda berakhir menyapu permukaan danau, membuat pantulan indah.

Cabang- cabang pohon sakura besar dan tua itu mengelilingi danau, tebal dengan bunga merah muda. Ibunya memanggilnya Pohon Sakura Uchiha. Karena pohon ini milik Klan Uchiha, miliknya untuk saat ini. Pohon- pohon ini spesial. Menurut ibunya, pohon ini tidak menunggu hingga musim semi untuk mekar, karena Pohon Sakura Uchiha mekar selamanya.

Dan sekarang, semua menjadi miliknya. Dia punya hak untuk melakukan apapun padanya. Dan dia melakukannya.

Di atas danau itu adalah seribu perahu kertas Sakura, mengapung, berlayar…

Dia menyeringai. Mereka adalah perahu kertas, kan? Mereka memang seharusnya berada di air.

Dan karena—

"Ini adalah waktunya melepaskan."

Dia berdiri dan pergi.

.

.

Sasuke berjalan dengan kepalan tangan di dalam saku. Dia tengah tenggelam dalam pikirannya saat dia menabrak seseorang.

Ada suara poff.

Dia merengut gelap.

"Yo."

"Kakashi."

"Kau pergi ke pernikahan?"

Sasuke mengabaikannya.

"Kau harus, tahu tidak? Melihat keduanya bertukar janji. Mendengar janji mereka, khususnya pengantin perempuannya…" kata Kakashi cerdik.

Seperti perkiraan, pemuda itu menatapnya tajam.

"Aku yakin tidak menyakitkan mendengar Sakura mengatakan 'aku mencintaimu'."

"Menghilang sana," Sasuke membentak dan melangkah melewati pria yang lebih tua.

"Hey, Sasuke! Biarkan aku memberitahukan suatu rahasia padamu."

"Tidak tertarik."

Kakashi mengikuti langkah cepatnya, "kau yakin?"

"Menghilang dari hadapanku."

"Apa kau bertanya kenapa Sakura memberikan sebuah perahu kertas untukmu hampir setiap hari sepanjang hidupmu?"

Dia berhenti dan menatap mantan gurunya tajam. Kakashi bersorak dalam hati.

Bingo.

"Aku tanya," jawabnya datar.

"Dan?"

"Dia bilang itu adalah sebuah hobi," pria itu menjawab lagi.

Kakashi melipat lengannya. "Aku pernah bertanya padanya sekali," Sang Uchiha melirik penuh ketertarikan, "dan dia memberikan jawabannya."

Sang Uchiha memicingkan mata.

"Dia bilang…"

.

.

Ini caraku mengatakan pada Sasuke-kun betapa aku mencintainya!

.

.

Mata hitamnya melebar.

"Itu bukan hanya sekedar hobi. Dan itu bukan hanya sebuah perahu kertas …"

.

.

Sasuke berlari. Kembali menuju kediaman Uchiha. Kembali menuju danau yang dikelilingi pohon sakura… Merengut, dia berjongkok, meraih perahu kertas paling dekat yang ada di danau.

"Sial," dia menggeram, dengan hati- hati membukanya agar tidak sobek karena tengahnya sudah basah. Dia membuka lipatan kertas itu.

Tangannya gemetar.

"Tidak mungkin…"

Aku mencintaimu, Sasuke-kun

"Itu adalah surat cinta."


AN : Here we go again dengan oneshot angel puppeteer yang paling fenomenal (yang mem-favorited versi original-nya lebih dari 1600. heh).

Btw, ini ada sequelnya loh, judulnya Uchiha 1002. Akan Eve tambahin jadi chapter dua di sini di waktu yang akan datang (benernya udah beres ditulis, tapi yeah.). Mau cepat? Let me know. winkwink.

Anyway, Terimakasih sudah membaca.

Kritik, saran dan pendapat silahkan sampaikan lewat review.

-with cherry on top-

.the autumn evening.