Disclaimer: Masashi Kishimoto

Warning: Hati-hati terhadap typo dan hindari kondisi yang memungkinkan membuat anda baper, aka nada Bahasa kasar yang tidak patut diikuti, and mature only.

...

Past is only the past, but it can influence future.

...

Pertama Sasuke mengenalnya adalah pada saat dirinya berusia tujuh tahun. Saat dengan penuh air mata harus rela pindah dari kediaman keluarga besar Uchiha di Kyoto menuju Tokyo yang sangat asing baginya.

Meninggalkan sepupu-sepupunya, paman-bibi, bahkan kakeknya yang galak dan menjadi seorang penyendiri di lingkungannya. Seolah tidak ada tangan yang mau menyambut si bungsu Uchiha itu. Bahkan Itachi sendiripun tidak mampu membuat Sasuke tertawa riang seperti dahulu.

Enam bulan sejak kepindahan mereka, si bungsu Uchiha mulai didekati banyak teman, namun tidak lain hanya karena fisiknya yang rupawan dan berkantong tebal.

"Aku tidak butuh orang-orang seperti itu," teriaknya sembari membanting pintu kepada Itachi.

Sang Kakak yang menyayanginyapun bersedih, Sasuke sudah terlalu tertutup sekarang. Padahal yang dibutuhkannya hanya seorang teman yang mau mengerti dan menerimanya apa adanya. Yang sepadan dan seimbang dengan sifat adiknya yang dingin.

Tapi di manakah dia bisa menemukan orang seperti itu?

"Kaa-chan mau ke mana?" Sasuke kecil bertanya kepada Mikoto, sang Ibu, saat mereka ssedang bersiap-siap untuk keluar.

"Teman lama Kaa-chan meninggal. Dan kita akan menghadiri pemakamannya." Raut wajah Mikoto menyendu.

"Nanti kau akan menemukan teman baru di sana," kata Mikoto yang ditanggapi dengan wajah datar Sasuke.

"Dia anak mendiang teman Ibu, kalian akan menjadi teman."

Hitam.

Semuanya hitam.

Pagi yang mendung, angin yang lembab, dan suasana yang mencekam.

Di perkuburan tampak tidak ada kebahagiaan sama sekali. Tentu saja, tidak ada ruang untuk kebahagiaan saat manusia ditakdirkan untuk berduka cita. Tangisan kehilanganlah yang terdengar nyaring dibandingkan senyuman kelegaan karena sang mendiang telah terlepas dari penderitaannya.

Namun di balik abu-abunya kehidupan tersebut, Sasuke menemukan setitik terang yang membuat hatinya menghangat. Mata putih yang berkaca-kaca tetapi tetap tidak mau untuk menyerah dan mengalirkan air matanya. Seolah berusaha untuk tegar di tengah kerapuhan.

"Kau tidak ingin menangis?" tanya Sasuke dengan nada dingin.

Terang yang menghangatkan itu adalah seorang anak perempuan sebaya dengannya. Yang terlihat hampir sama dengan dirinya.

Kesepian.

Rapuh.

Dan kini, telah sendiri.

Namun si anak perempuan itu tetap tidak mau menyerah. Dengan kuat menggeleng, seolah itu adalah jawaban untuk pertanyaan yang sangat penting.

"Tidak. Aku tidak akan. Kaa-chanku sudah bilang bahwa aku tidak boleh menangis. Maka aku tidak akan menangis."

Untuk pertama kalinya Sasuke tertegun. Kehangatan yang melingkupinya membuatnya meleleh. Maka diulurkannya tangan kanannya. Si anak perempuan heran melihatnya.

"Maka kalau begitu, kau boleh menjadi temanku. Karena aku akan tetap ada supaya kau tidak menangis," ucap Sasuke lantang.

Dan dengan senyuman terkembang, anak perempuan itu menyambut tangan Sasuke.

"Senang mendengarnya, teman."

Hari berganti hari, bulan berganti bulan, dan tahun berganti tahun. Setiap detik dan menit yang telah berlalu membuat setiap hal menjadi makin berharga. Entah itu sebuah peliharaan, koleksi antik, bahkan umur manusia.

Tapi apakah itu berlaku pada perasaan manusia?

Tentu saja.

Karena sekarang, Sasuke yang telah menginjak usia remaja telah terikat dalam perasaan kuat dan mempesona terhadap sahabat satu-satunya, si anak perempuan yang berjuang untuk tetap tegar di tengah kerapuhannya, Hinata.

"Hinata, apa hari ini kau mau dijemput?" tanya Sasuke dengan semangat.

Hinata tertawa kecil di ujung sambungan teleponnya.

"Tentu saja, Sasuke-kun. Kau sudah menanyakan ini berkali-kali sejak kemarin."

Dada Sasuke menghangat saat mendengar suara Hinata. Gadis yang sudah menemaninya selama sebelas tahun ini. Sasuke bahkan rela sekolah di manapun supaya tidak terpisah dengan Hinata.

"Baiklah, sekarang aku berangkat. Bersiaplah."

Pemuda rupawan itu melesat menuju kediaman Hyuuga, tempat Hinata tinggal.

"Sasuke-kun, pagi sekali kau berangkat? Mau kemana?" tanya Mikoto yang sedang menyiapkan sarapan saat Sasuke menyambar roti panggang milik Itachi.

"Aku ingin menjemput Hinata, Kaa-chan," jawab Sasuke dengan senyuman tipis dan wajah yang merona.

Itachi bersiul melihatnya.

"Kau manis sekali saat sedang malu-malu seperti itu. Kalian sudah pacaran ya?"

BLUSH

Wajah Sasuke memerah sempurna. Tapi dengan cepat pemuda itu menggeleng dan menggembungkan wajahnya.

"Hey, baka aniki, otakmu sedang terganggu."

Pemuda itu kemudian menutup pintu, meninggalkan Mikoto dan Itachi yang tertawa karena perubahan sikap Sasuke bila sudah menyangkut Hinata.

"Ah, Kaa-chan mau cepat-cepat punya menantu," Kata Mikoto yang disambut wajah suram Itachi.

"Kaa-chan, aku masih belum mau menikah," ujarnya.

Sasuke tidak habis pikir, pesona apakah yang ada pada sahabat satu-satunya itu. Seolah kehadirannya menjadi peringatan bahwa Tuhan sangat baik hati, mau menciptakan manusia dengan kecantikan yang begitu rupawan. Mulai dari rambut, wajah, tangan, bahkan hingga kaki, seolah tidak ada cacat cela yang tega menghampirinya. Terlebih senyuman lembut Hinata yang bagaikan perwujudan dari cinta kasih Bunda Teresa.

Sasuke tidak menyesal mengenal Hinata.

Dan, Sasuke juga tidak menyesal.

Tidak menyesal untuk menaruh hati kepada Hinata.

"Sasuke-kun, apa nanti tidak sibuk?" Hinata bertanya dengan malu-malu. Wajahnya menyiratkan rona merah yang membuat Sasuke juga memiliki hal yang serupa di wajah tampannya.

"Tidak," jawab Sasuke sok dingin.

Hinata tiba-tiba menoleh dan menatap Sasuke dengan seksama, membuat yang ditatap menjadi salah tingkah.

"K, kenapa?" Sasuke gelagapan.

Tiba-tiba Hinata terseyum.

"Sasuke-kun, kau manis sekali," puji gadis itu yang membuat Sasuke langsung menghentikan langkahnya dan menatap gadis itu.

"Hinata!"

Hinata sedikit terlonjak mendengar Sasuke memanggilnya dengan agak keras.

"Terima kasih," kata pemuda itu sambil menyeret sepedanya dengan langkah yang lebih cepat. Membuat Hinata tertawa, karena alih-alih menjdi marah, Sasuke malah salah tingkah.

"Ne, Sasuke-kun. Tunggu aku!"

Sasuke dan Hinata tiba di sekolah dengn bersamaan, karena memang mereka berangkat bersama-sama, sekolah di tempat yang sama, memiliki kelas yang sama, bahkan duduk di deretan kursi yang sama.

Kadang Hinata tidak habis pikir, Sasuke seolah memaksa dirinya untuk terus bersamanya. Seperti saat mengikuti kelas memasak yang diikuti oleh Hinata. Gadis itu tahu bahwa Sasuke cukup pandai memasak. Tapi kenapa dari sekian banyak kelas keterampilan lainnya, temannya itu malah memilih memasak.

Dan juga kelas saat mengikuti kelas Sastra. Hinata juga tahu bahwa Sasuke tidak menyukai hal-hal yang berbau puitis dan mendramatisir. Pemuda itu lebih cocok di kelas Bisnis dan Ekonomi. Tapi lagi-lagi gadis itu mendapati Sasuke tengah duduk manis sambill mempelajari naskah drama romantic walaupun dengan wajah yang bisa dibilang kecut dan masam.

Meskipun kadang terasa tidak enak, tapi Hinata menyukainya. Terlebih saat mendengar jawaban Sasuke terhadap hal itu.

"Aku hanya ingin selalu bersamamu, Hinata-chan."

Tak pelak membuat senyuman terbit di wajah imutnya.

Hanya Sasuke yang setia kepadanya. Hanya Sasuke yang sungguh-sungguh berteman dengannya. Hanya Sasuke yang selalu ada baginya. Melihat Sasuke selalu tersenyum dan menggandeng tangannya saja sudah cukup. Hinata tidak berani mengharapkan apa-apa lagi.

Terlebih untuk perasaan yang tiba-tiba timbul tenggelam di dalam dirinya. Perasaan yang selalu berusaha ditepisnya, tapi selalu datang.

Bagi Sasuke, Hinata adalah keluarganya. Dan seperti itulah Hinata terus berpikir.

Sasukenya yang rupawan dan hangat, belum tentu juga menyukai dirinya. Terlebih karena ketampanannya banyak gadis yang mengelilingi pemuda itu.

Hinata akan tetap bersabar, hingga ada seseorang yang mampu menggantikan perasaannya terhadap Sasuke.

"Hey, Hinata. Kau ngapain di situ?" Hinata mengerjap-ngerjapkan matanya.

Sekarang mereka akan mengikuti kelas memasak, dan dirinya masih duduk di ruang kelas komputer.

"Ah, gommen. Aku tadi melamun, Sasuke-kun," jawab gadis itu sambal membereskan bukunya.

"Hn," tanggap Sasuke.

"Kau tau, Sasuke-kun. Aku ingin sekali membeli sebuah sepatu yang sangat bagus. Warnanya yang lembut benar-benar membuatku seperti jatuh cinta."

Sasuke tersenyum tipis. "Seperti jatuh cinta? Memangnya kau tau rasanya."

"Tau kok," sambar gadis itu cepat dan menatap wajah pemuda itu dengan seluruh keberaniannya, "Seperti saat melihat Sasuke-kun."

Seperti ada sesuatu yang pecah di dalam dada Sasuke. Membuatnya bernafas dengan tidak teratur.

"Hinata…."

Hinata juga mengalami hal yang sama. Menggigit bibir menunggu kelanjutan kalimat Sasuke.

"Bercanda terus ah, jadi geli tau."

Wajah Hinata datar.

"Kita kan teman. Masa saling suka. Sesama teman nggak boleh pacaran loh."

Hinata tersenyum kecut.

Sementara Sasuke berniat memotong lidahnya karena telah mengatakan kalimat yang sangat fatal. Terlebih melihat senyuman Hinata yang kecut dan matanya yang berkaca-kaca. Sasuke telah menyia-nyiakan momen yang berharga.

"Ha, ha ha ha..." Hinata tertawa dengan terpaksa.

"Kita ngomongin apa sih? Ya sudah, Sasuke-kun duluan saja yak e kelas. Aku mau ke toilet sebentar." Gadis itu lalu berlari tanpa menunggu aba-aba lagi. Meninggalkan Sasuke yang masih termangu.

Ah, seandainya Sasuke sang maha tahu, maka Sasuke akan melihat air mata Hinata yang berderai dan harapan gadis itu yang pupus.

"Sesama teman nggak boleh pacaran."

Kini Hinata tahu harus menganggap Sasuke sebagai apa.

"Hinata-sama, maulah menjadi kekasihku."

"Hee?"

Sasuke melotot ke arah pemuda setengah ingusan yang berani menyatakan cinta kepada Hinatanya, di depan hidungnya sendiri.

"Hinata-sama, aku sudah menyukaimu sejak pertama kali melihatmu. Tolong, jadilah kekasihku."

Hinata hanya tersenyum kecut, pemuda yang tidak lain adik kelasnya itu sendiri benar-benar membuatnya kikuk. Terlebih ada Sasuke di situ. Dengan wajah sangar dan pandangan berapi-api, dapat dipastikan bahwa pemuda itu akan memakan adik kelas mereka itu bulat-bulat.

"Gommen ne, Inari-kun, tapi aku ingin fokus sekolah dulu," jawab Hinata dengan senyuman manis tersungging di bibirnya.

Membuat Sasuke yang sudah marah setengah mati menjadi semakin cemburu.

"Lebih baik, kau bersekolah dengan sungguh-sungguh dulu, kemudian coba lagi beberapa tahun ke depan."

Inari, pemuda yang ditolak Hinata, tersenyum gembira saat mendengar motivasi Hinata.

"Baiklah, Hinata-sama. Aku akan sekolah dan sukses kemudian akan melamarmu beberapa tahun lagi."

Hinata tersenyum mendengarnya, ingin menyampaikan motivasi-motivasi lainnya tapi Sasuke sudah mencengkram pergelangan tangannya dan menarik gadis itu dengan terburu-buru.

"Acara tembak-menembaknya sudah selesai, kan? Jadi ayo kita pergi."

Sasuke benar-benar ingin memakan bulat-bulat bocah ingusan yang berani meminta Hinata untuk berpacaran dengannya.

Terlebih, Hinata sempat-sempatnya tersenyum manis seperti itu. Meskipun sudah seminggu kejadian itu berlalu, tapi tetap saja hatinya dongkol.

Hinata itu miliknya.

Titik.

Tidak boleh yang ada merebut Hinata darinya.

Titik.

Bahkan bocah ingusan ataupun superhero seperti superman, dia tidak akan melepaskan Hinatanya.

Titik.

"Sasuke-kun, kenapa dari tadi diam sih?" tegur Hinata saat merasakan aura gelap dari arah Sasuke.

Mereka tengah berjalan menuju kelas, dan karena kejadian minggu lalu, momen paginya agak terusakkan. Terlebih, Hinata baru-baru ini sedikit berubah, tidak sering menanggapi perhatian yang diberikan Sasuke.

"Cih, aku masih kesal karena kejadian minggu lalu," kata Sasuke sambal mendecakkan lidahnya.

"Kenapa malah Sasuke-kun yang kesal? Kan yang ditembak aku, bukan Shion-chan," Tanya Hinata dengan sedikit sindiran diujungnya.

Sasuke melirik ke arah Hinata.

Raut wajah gadis yang dicintainya itu tampak datar. Hinata seolah tidak peduli dengannya sekarang. Dan apalagi itu, sejak kapan Hinata berani menyindirnya, bahkan membawa nama gadis lain.

Sasuke yakin ada yang tidak beres sekarang.

Pemuda itu berpikir keras supaya tidak mengaitkan dengan kesalahannya dulu. Sasuke berharap bukan hal itu yang mengubah Hinatanya, dan berusaha mencari kemungkinan lain.

Saking kerasnya pemuda itu berpikir hingga membuatnya tidak memerhatikan keadaan sekelilingnya. Dan baru terkejut saat mendengar pekikan pelan Hinata dan suara tubuhnya yang menghantam lantai.

"Gomen."

Sebuah suara yang datar dan dingin membuat Hinata terpana.

Siswa yang menabrak Hinata hingga terjatuh tadi berambut merah dengan kantung mata yang hitam. Iris jadenya menatap Hinata lembut, sama seperti amethyst Hinata tidak berkedip darinya. Dan Sasuke tidak suka itu.

"Tidak apa-apa. Kau pasti sedang terburu-buru," jawab Hinata lembut sembari berusaha berdiri.

Dengan sigap pemuda itu membantunya berdiri. Lengannya dipegang erat oleh pemuda berambut merah itu, membuat wajah Hinata memerah.

"Arigatou," bisik Hinata malu-malu.

Tapi tangannya segera ditarik oleh Sasuke.

"Ayo, kelas sebentar lagi akan dimulai," ucapnya dingin.

Hinata hanya diam, tapi sempat tersenyum kepada pemuda itu.

"Aku mau makan ramen, tapi juga mau makan udon. Hinata-chan, yang enak apa?" Tanya Sasuke sembari mencoba manja pada Hinata. Tapi Hinata dengan dingin melaluinya dan mengambil pesananya.

"Makan apa saja, jangan pilih-pilih," ucap gadis itu tanpa mau melirik ke arah Sasuke.

Sasuke muak dengan Hinata. Dilemparnya nampan makanan yang tadi dipegangnya.

"Kau pikir kau siapa? Berani sekali bersikap seperti ini padaku," teriaknya. Semua mata yang ada di kantin beralih pada Sasuke. Tidak terkecuali Hinata. Sadar apa yang telah dilakukannya, Sasuke segera berlari meninggalkan tempat itu.

"Sasuke-kun," Hinata hendak mengejar Sasuke saat sebuah tangan menarik lengannya.

"Biarkan dia sendirian. Dia sedang marah." Itu pemuda berambut merah yang menabraknya tadi pagi.

Hinata hendak membantah, tapi saat melihat tatapan mata pemuda itu, Hinata menurut.

"Gaara."

Hinata menoleh.

"Aku Gaara." Lagi pemuda itu berkata tanpa mengalihkan pandangannya pada nampan Sasuke yang tadi terlempar.

"Hyuuga Hinata," balas Hinata sambil membungkuk.

"Hinata, yaa." Gaara menoleh dan menatapnya.

"Kau, cantik."

Sasuke mengamuk. Pemuda itu marah besar, sangat marah. Hingga membuat para pelayan ketakutan dan menjauh dari kamar Sasuke.

Sementara di dalam kamar, bungsu Uchiha yang tampan itu melempar semua perabotan dan barang-barangnya. Tidak perduli bahwa kamarnya kini seperti kapal pecah, dia tidak menghiraukannya.

"CRAAK!!!"

Itu suara cermin pecah saat tinju Sasuke menghampirinya. Menghasilkan retakan-retakan kecil yang memantulkan puluhan wajah basah Sasuke.

Pemuda itu basah oleh keringat dan air mata.

Matanya yang sudah memerah membuat pandangannya kabur dan terasa pedih. Hingga membuatnya hanya bisa bersandar pada rak bukunya yang sudah tidak utuh lagi.

"Hinata." Sebuah nama, lirih terdengar dari bibir tipisnya.

"Tidak, kumohon. Itu pasti kesalahan." Lagi, gumaman lirih terdengar.

Pemuda itu mengerjap, berusaha mengumpulkan kewarasan yang masih tersisa dan memfungsikan otak encernya untuk menganalisis bahwa ada unsur kebetulan dan salah paham pada peristiwa besar yang terjadi.

Iya, pasti ada salah paham. Hinata pasti tidak begitu.

Dan saat Sasuke mempercayai hipotesisnya, ponselnya berbunyi. Ada pesan singkat masuk.

Sender: Hinata-chan

Date: 08/04/20xx

Time: 8:00 pm

Gommene Sasuke-kun. Aku tidak bisa datang bersamamu besok. Gaara mengajakku pergi ke menara Tokyo. Sebenarnya kami sudah jadian seminggu yang lalu.

Sasuke meremas ponselnya sampai hancur dan berteriak sekeras mungkin.

Hinatanya telah direbut pria lain. Pemuda lancang yang masuk dalam kehidupan mereka sejak satu bulan yang lalu. Mengingatnya membuat Sasuke semakin murka, hingga dalam mansion Uchiha terdengar suara teriakan Mikoto yang mencegah Sasuke melakukan hal yang dapat menyakiti dirinya sendiri.

Sementara itu di rumah Hinata, gadis itu tengah termenung di pinggir jendela kamarnya. Tetes demi tetes kristal bening jatuh dari pipinya yang mulus.

"Sasuke-kun," bisiknya.

Dan yang terdengar hanya suara isakan tangis yang tertahan.

Yang dilakukannya salah. Menghindar dan berlari kepada cinta lain hanya untuk mendapati dirinya semakin terluka karena jauh dari orang yang dicintainya.

"Gommen ne."

Sehari telah berlalu, datanglah hari esok. Hari esok itupun berlalu, dan kembali datang hari yang selanjutnya. Sasuke sudah lupa mengamati waktu saat dirinya terjebak pada pemandangan memuakkan setiap harinya.

Hinatanya, Hinata yang indah dan selalu dipujanya kini bergandengan tangan dengan pemuda lain. senyuman manis dan malu-malu yang biasanya ditujukan kepadanya kini dinikmati oleh orang lain.

Sasuke benar-benar muak dan marah.

Tanpa diketahuinya, Hinata selalu mengamati Sasuke diam-diam. Dalam hati gadis itu, ingin sekali dia berlari dan menangkup wajah Sasuke supaya tatapan terluka itu tidak terpancar lagi dan mengatakan bahwa sebenarnya dirinya mencintai Sasuke, hanya Sasuke.

Namun ada perasaan egois dan pesimis juga dalam dirinya. Saat mengingat percakapan terakhir mereka.

Dirinya hanya seorang teman bagi Sasuke.

Hanya teman. Tiada yang lain.

Cintanya tak terbalaskan. Dan saat ada pemuda yang lain yang menyukainya juga, maka Hinata ingin mencoba merasakan perasaan baru. Dan ternyata, dirinya malah semakin jatuh pada cintanya kepada Sasuke. Tapi dia sadar, dirinya terlalu pengecut.

"Ta,"

"Hinata?"

"Eh?" lamunannya buyar.

"Kau mendengarkanku, Hinata-chan?" itu Gaara. Gaara yang dingin seperti Sasuke tapi lembut dan memujanya. Melihatnya membuat Hinata semakin bersalah. Secara tidak langsung, Hinata juga berbohong kepada Gaara.

"Gommen. Aku sedang melamun," jawab Hinata apa-adanya.

"Aku mengerti. Kau pasti sedang berpikir mau memilih jurusan yang mana." Hinata hanya tersenyum dan menunduk. Setidaknya Gaara tidak tahu bahwa dirinya tengah memikirkan Sasuke.

"Begitulah," balas Hinata sekenanya.

Gaara menatap Hinata serius, dan yang dikatakannya selanjutya benar-benar membuat Hinata kaget setengah mati.

"Aku akan bertemu ayahmu, dan melamarmu."

Terdengar suara keras dari dekat mereka, dan Hinata sempat melihat kibasan rambut berwarna biru gelap. Dan hal itu tak pelak membuat jantung Hinata makin berdebar.

Sasuke mendengarnya juga.

Hinata menatap bulan dengan muram.

Apa yang harus dilakukannya? Dia tahu Gaara serius dan akan menemui Tou-sannya dalam waktu dekat.

Menghela nafas lelah, Hinata meraih ponselnya dan matanya tertumbuk pada figura foto dirinya dan Sasuke saat memancing di danau.

Sasuke orang yang dingin. Tapi entah kenapa bagi Hinata, Sasuke adalah orang yang hangat. Hanya baginya Sasuke mau membagi senyuman dan tangis yang tidak pernah diberikan pada orang lain.

Butiran-butiran kristal bening kembali luruh dari iris peraknya.

Hinata rindu Sasuke.

Apapun Sasuke menganggapnya, Hinata harus jujur bahwa dia sangan mencintai Sasuke.

Bukan sebagai teman. Tapi Sasuke. Hinata mencintai Sasuke apa adanya.

"Aishiteru, Sasuke-kun," bisiknya sembari memeluk figuran foto itu.

Tepat pada saat yang sama, ponselnya berbunyi. Sebuah nomor asing masuk.

Sender: 365xxxx

Date: 13/06/20xx

Time: 9:00 pm

Hinata-chan, aku Gaara. Datanglah ke gudang sekolah sekarang. Ada yang ingin kukatakan kepadamu dan itu penting.

N/P: Aku sedang ganti nomor.

Timing yang tepat, pikir Hinata. Gadis itu tersenyum dan merasa sedikit lega. Dirinya harus jujur pada Gaara, dan itu harus dilakukan secepatnya. Maka tanpa pikir panjang, Hinata menyambar jaketnya dan segera pergi ke sekolah.

Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam saat Hinata tiba di sekolah. Gadis itu sedikit bingung, Gaara baru sekali ini mengajaknya keluar malam. Ke tempat yang sepi juga. Tapi karena terlalu bersemangat, gadis itu tidak menghiraukannya.

Yang ada dipikirannya sekarang ini adalah segera jujur dan meminta maaf pada Gaara dan menghubungi Sasuke. Dia sudah sangat rindu pada Sasuke.

"Gaara-kun," panggil Hinata saat sudah masuk ke dalam gudang sekolah.

Gelap dan lembap.

Jelas ini bukanlah tempat yang tepat untuk berbicara, apalagi hal yang penting.

"SRAK!!"

Hinata menoleh dengan cepat dan tiga orang pria berbadan besar membekapnya.

Gadis itu meronta sekuat tenaga dan memekik kesakitan saat tubuh mungilnya dibanting ke atas sebuah matras yang tipis.

"Apa? Apa yang kalian lakukan?" Hinata terpekik, dia ketakutan.

"Gaara! Gaara!"

"Kenapa hanya nama bajingan itu yang kau panggil, Hinata?"

Hinata terkesiap. Suara itu sangat familiar baginya. Itu suara yang sangat dirindukannya.

"Apa kau sudah sering ditiduri oleh bangsat itu, jadi kau sudah terbiasa meneriakkan namanya."

Hinata menoleh pelan dan langsung memucat saat melihat sasuke tengah menatapnya dengan pandangan sinis.

Sasuke sengaja memancingnya ke tempat itu.

"Sasuke-kun…" panggil Hinata lirih.

Sasuke meludah dan menjambak rambut panjang Hinata.

"Jangan panggil namaku, pelacur!"

Setelah itu Hinata merasakan betapa panasnya tangan Sasuke saat menyentuh pipinya dengan keras. Gadis itu hanya terisak.

Tidak, itu pasti bukan Sasuke.

"Dasar wanita murahan!" kali ini Sasuke menendang perut Hinata.

"Kau tahu, kau suah membuatku gila setengah mati. Rasanya membunuhmu tidak cukup untuk mengobatinya." Kembali Sasuke menampar wajah Hinata hingga memerah.

"Menurutku, jika aku tidak bisa memilikimu, maka orang lainpun tidak boleh. Bagaimana menurutmu? Bagaimana kalau kita bermain sampai puas malam ini?" Sasuke tertawa dan Hinata menangis sejadi-jadinya.

Karena malam itu, Sasuke merampas sesuatu yang sangat berharga bagi Hinata. Dengan sangat kasar dan jahat.

Hingga Hinata hanya bisa tergeletak tak berdaya, menangis dengan tubuh telanjang dan memar.

Sasuke menghampirinya, dan mengelus lembut bagian tubuh dan wajah Hinata yang memar.

"Hinata, apakah kau mencintaiku? Karena aku sangat mencintaimu. Jauh darimu membuatku gila." Sekilas Hinata dapat melihat kesedihan dan penyesalan di mata Sasuke.

"Tapi kau dan bajingan itu malah," Sasuke tidak bisa melanjutkannya. Hinata tersenyum sendu. Tangan mungilnya berusaha meraih tangan Sasuke.

Tidak apa dirinya dilecehkan, dia bisa memaafkannya. Karena dia tahu cintanya tidak bertepuk sebelah tangan, Sasuke juga mencintainya.

'Tidak apa Sasuke-kun, aku juga mencintaimu. Aku akan selalu ada di sampingmu.' Batin Hinata bahagia.

"Hinata-chan, jika aku tidak bisa mendapatkanmu. Maka begitu juga yang lain." Hinata terbelalak melihat senyum iblis Sasuke.

Malam itu Hinata merasa terkhianati dan hina. Sasuke tidak menyisakan sedikitpun perasaan dan harga diri, Hinata. Gadis itu benar-benar hancur luar dalam. Dan hal yang terakhir yang dipikirkan gadis itu sebelum tak sadarkan diri hanya satu hal.

'Sasuke… Aku membencimu!'

Hiashi menatap Hinata datar, sementara gadis itu bersimpuh di kaki ayahnya. Menangis dan mengiba.

"Keluar! Kau bukanlah bagian dari Hyuuga lagi!" Hinata memandang Hiashi nanar.

"Seorang Hyuuga tidak akan berlaku murahan." Hinata kembali menangis.

"Tapi Tou-san, aku adalah korban."

"Apa kau sudah melihat video tidak senonohmu yang tersebar di internet. Di situ terlihat kau melakukannya dengan sukarela."

Hinata kembali remuk. Malam itu Sasuke memberinya obat perangsang dengan dosis tinggi, hingga membuat Hinata tidak sadar lagi.

"Aku mohon, Tou-san. Jangan usir aku. Aku tidak punya siapa-siapa lagi."

"Maka sebaiknya kau menyusul ibumu saja!" ucap Hiashi tegas dan tidak perduli.

Hinata terpaku. Air matanya mengalir dengan deras.

"Aku tidak bersalah, Tou-san! Aku hancur dan kau membuangku. Aku tidak percaya bahwa kau adalah ayahku. Karena apabila kau benar ayahku, maka suatu hari kau akan menyesal sudah membuangku!" teriak Hinata keras dan hanya dibalas oleh suara pintu tertutup.

Kediaman Hyuuga menolaknya. Bukan. Hyuuga bukanlah bagian darinya lagi.

Hinata sudah putus asa, saat mobil dan utusan dari keluarga Uchiha datang menjemputnya.

"Jii-san sebenarnya tahu apa yang Sasuke perbuat malam itu." Fugaku Uchiha berbicara dengan wibawa dan tekanan tinggi. Hinata merasa menjadi orang asing dihadapan laki-laki paruh baya yang selama ini dianggapnya sebagai ayah kedua.

"Tapi Jii-san tidak mau mengambil resiko kehilangan Sasuke." Hinata mendongak dan menatapnya dengan tidak percaya.

Dunia ini benar-benar tidak adil.

"Hinata tolong berkorbanlah. Jadilah kambing hitam atas perbuatan Sasuke."

Tangan Hinata yang ringkih gemetar mendengar perintah Fugaku.

"Kau bisa tinggal di luar negeri. Aku akan memberikan uang berapapun yang kau inginkan."

Hinata menggebrak meja dan berdiri.

Cukup sudah! Dirinya muak dipermainkan oleh dua Uchiha yang sama-sama brengsek.

"Aku baru tahu sekarang bahwa laki-laki Uchiha adalah laki-laki yang pengecut." Gadis itu mengepalkan tangannya, menahan tangis. Dia tidak mau menangis dihadapan orang tua sang penghancur hidupnya.

"Dan terima kasih, Fugaku-sama. Aku tidak mau uangmu. Pakai saja untuk mengobati putramu yang gila itu," ujar Hinata dan meninggalkan Fugaku yang kemudian merenung.

"Hikari, aku tidak punya pilihan. Aku juga menyayangi putraku," gumam Fugaku sendirian.

Saat Hinata berjalan ke luar dari mansion Uchiha sebuah mobil BMW memasuki pekarangan dan berhenti tidak jauh dari Hinata.

Dengan pandangan kosong Hinata menatap pengemudi dan penumpang mobil mewah tersebut. Sasuke dan kekasihnya yang seksi. Pemuda itu tersenyum sinis pada Hinata yang juga tersenyum miring kepadanya.

"Ada bau amis di sekitar sini," kata Sasuke pada kekasihnya. "Mungkin ini bau badan pelacur yang baru selesai ditiduri."

Mereka berdua tertawa dan Hinata tertawa sarkas.

"Atau itu bau pecundang yang sangat kental. Ah, dia benar-benar sampah!" balas Hinata.

Sasuke berdecih.

"Cepat pergi dari sini. Aku tidak pernah memakai barang yang sama dua kali."

Hinata tersenyum manis, meskipun dihatinya seperti ada godam yang menghantam.

"Aku sangat menyesal dulu. Ada banyak pemuda yang mengejarku, tapi aku malah memberikan perasaanku pada bajingan sepertimu."

Hinata menarik nafas dan melanjutkan, "Aku sangat bersemangat ingin bertemu Gaara malam itu supaya aku bisa mengatakan bahwa aku tidak bisa terus menjadi kekasihnya, karena aku mencintai orang lain yang ternyata menghancurkanku dan masa depanku."

Dan tanpa aba-aba, Hinata menghambur ke arah Sasuke dan mengecup bibir pemuda itu.

Hanya menempelkan bibir mereka berdua. Tapi itu adalah salam perpisahan dari Hinata yang dulu. Yang sangat mencintai Sasuke, dan kemudian dihancurkan.

Itu adalah kenang-kenangan terakhir dari gunungan perasaan Hinata yang malah tersia-siakan. Ciuman kematian, karena seluruh kehidupan Hinata ada di situ.

Air mata Hinata mengalir, membasahi pipinya dan Sasuke. Kini dirinya benar harus lepas dari siapapun.

Sasuke mematung setelah menerima ciuman mendadak Hinata. Sementara gadis itu terlihat rapuh dan lemah dihadapannya. Rasa penyesalan berhambur keluar saat mengingat perkataan Hinata dan melihat gadisnya yang terlihat hancur.

Kenapa tega sekali dirinya melakukan hal kejam seperti itu kepada malaikatnya, cintanya, Hinatanya.

Tidak hanya perasaan, tapi masa depan dan kehidupan Hinata yang telah dihancurkannya.

"Kau berkata bahwa jika kau tidak bisa memilikiku. Maka orang lainpun seperti itu. Maka selamat. Aku kini bukan milik siapapun."

"Sasuke-kun, watashi wa anata suki deshita." Seiring kalimat itu meluncur dari mulut Hinata, gadis itupun berlalu.

Hinata telah pergi. Hinata tidak akan mungkin kembali. Dan itu karena kebodohannya.

"Hinata, aishiteru yo," bisik Sasuke pada angina kosong dengan air mata yang berlinang.

Di sebuah komplek lokalisasi, seorang perempuan berambut coklat yang tengah mengenakan baju super seksi dan tersenyum menggoda melirik kepada seorang gadis muda berambut biru yang memandanginya terus sedari tadi.

Jengah diperhatikan gadis itu sedari tadi, perempuan itu lalu membentak.

"Hey, maumu apa sih?"

Gadis muda itu tersenyum dan menunjuk ke arahnya.

"Aku ingin menjadi sepertimu."

Perempuan itu, Shizune, terperangah mendengarnya.

"Kenapa? Aku ini pelacur."

Gadis itu tersenyum miris dan menangis, "Karena aku juga seorang pelacur."

Dan ditengah ramainya suasana komplek lokalisasi tersebut, tangis Hinata pecah.

Bersamaan dengan suara tangisan Uchiha Mikoto saat melihat tubuh putra bungsunya kejang-kejang dengan mulut penuh busa.

Tbc

Happy New Year everybodieh. Rasanya fanfic ini lama banget ya updatenya. Dari tahun ke tahun. Fumi-kun aja sampai lupa kapan update terakhir. Tapi yang pasti

GOMENASAI!

Fumi-kun keasyikan kuliah sampe lupa karya sendiri. Dan terima kasih banyak buat tetap setia menunggu chapter terbari dari author tidak tahu terima kasih ini. Semoga minna-san puas (mana mungkin) dan bila masih ada yang jadi misteri, nanti akan diungkan di chapter-chapter selanjutnya. Biar nyambung gitu (ngeles). Gommen juga karena Fumi-kun ngerasa kalau alurnya kecepatan tapi pw buat baikin (dor).

Sekian kata, arigatou dan tunggu chapter selanjutnya.

Sign

Fumi-kun