Disclaimer: Masashi Kishimoto

Warning: Bersiaplah akan berbagai kemungkinan.

...

Thank's for you Fanfiction.

...

Hinata melangkah dengan angkuh, rokok yang dijepit di kedua jarinya meenambah kesan liar gadis ini. Entah kenapa iris peraknya tampak berkabut kali ini. Menandakan adanya emosi yang kkeluar masuk dalam tubuh montoknya yang kini terbalut mantel bulu mewah. Hampir saja air matanya jatuh tapi gadis itu segera mengusapnya.

Tidak boleh ada air mata. Tidak boleh ada emosi.

Seorang wanita penghibur tidak boleh memiliki emosi.

"Hinata-chan, bagaimana malam ini? Apa kau merasakan musiknya yang menghentak?" Sakura, teman sekerja Hinata merangkulnya mesra. Tampaknya gadis pinky itu sudah mabuk.

Hinata melepas rangkulan Sakura, dikecupnya pipi pualamnya membuat si empunya tampak terkaget. "Bersenang-senanglah Sakura," ujarnya sebelum mendorong Sakura ke lantai dansa dan pergi meninggalkan gadis itu yang tengah meliuk-liuk liar dan seksi, menambah riuh keadaan pesta malam tersebut.

BLAM!

Hinata menghela nafas berat seolah mengeluarkan beban dalam dirinya. Dirinya kini sudah ada di atap yang sepi. Sejenak gadis itu menatap kejauhan seperti menerawang akan sesuatu diikuti dengan cairan bening yang mulai menetes dari matanya.

"Aku tidak boleh menangis. Hinata tidak boleh menangis," gumamnya sembari mengepalkan tangannya.

Tapi beberapa saat kemudian terdengar jeritannya membelah malam. Mengantarkan gaungnya ke jalanan padat di Tokyo.

"Aku sudah tidak sanggup lagi. Aku tidak mau hidup seperti ini." Hinata mulai menjambaki rambutnya frustasi. Cukup sudah dia berusaha tegar dihadapan orang lain. Dirinya sudah sangat lelah.

Sangat lelah.

Bahkkan begitu lelahnya dia tidak menolak saat iblis mengendalikan kakinya menuju pinggiran atap. Hinata tersenyum kecut melihat pemandangan dibawahnya.

Indah. Tentu saja. Dia sedikit bersyukur pemandangan itu yang menjadi pemandangan terakhir di hidupnya.

"Kalau aku jadi kau, aku tidak akan mau melompat dari situ." Sebuah suara baritone mengagetkannya. Saat gadis itu menoleh, tampak seorang laki-laki di usia sekitar dua puluhan akhir. Raut wajah Hinata langsung berubah saat melihatnya.

"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Hinata ketus pada sosok yang mengamatinya itu.

"Hn, tengah menonton adegan opera sabun," jawabnya angkuh.

Hinata mendengus mendengarnya. Laki-laki itu adalah Uchiha Sasuke. Pelanggannya yang tergila-gila padanya. Tergila-gila untuk menyakitinya maksudnya.

"Sekarang opera sabunnya sudah habis. Silahkan pulang." Hinata menjawab dengan ketus. Dirinya benar-benar tidak suka dengan laki-laki itu.

"Kalau aku tidak mau?"

"Aku yang menyuruhmu." Wajah Hinata mengeras.

"Kau tidak punya hak. Lagi pula kau hanya seorang,"

"Pelacur. Ya aku tau." Wajah Hinata tertunduk saat si empunya mengatakan hal itu.

"Wanita penghibur lebih tepatnya lagi." Hinata mendecih mendengar kosa-kata Sasuke yang halus tapi tetap saja menusuk.

"Terserahlah." Dengusnya tidak perduli. Toh sebentar lagi dia juga dia tidak akan ada.

Mengacuhkan laki-laki tersebut dan kembali memandangi keadaan Tokyo sambil terus berjalan ke pinggir atap, Hinata merasakan tatapan tajam dan aura gelap di belakangnya. Tapi sekali lagi,

Siapa yang perduli?

"Apa aku tadi bilang, kalau aku jadi dirimu aku tidak akan meloncat dari situ?" suara Sasuke kini memberat tapi Hinata tetap mengacuhkannya. Gadis itu malah merentangkan tangannya dan menutup matanya.

"Sayonara..." bisiknya dan akan melompat andai saja tidak ada sepasang tangan kekar yang memeluk pinggang rampingnya dan menyeretnya ke tengah.

"Hinata, apa kau bodoh?" bentak Sasuke kesal. "Apa yang kau lakukan?" Hinata hanya bisa menangis sembari menggelengkan kepalanya.

"Kau apa yang kau lakukan? Kau ingin menyiksaku ya?" jerit Hinata histeris. Membuat Sasuke tertegun untuk sejenak. Namun dengan lembut diusapnya puncak kepala Hinata. Gadis itu saat ini sangat rapuh di matanya.

"Hinata."

"Aku hanya ingin bebas. Aku lelah. Aku lelah sekali. Biarkan aku mati." Hinata terisak saat tangan Sasuke menariknya ke dalam pelukannya.

"Aku lelah. Aku sangat lelah," gumamnya.

"Tidak apa-apa. Beristirahatlah. Aku akan membelimu, Hyuuga Hinata."

Tubuh Hinata menegang di pelukan Sasuke, sementara laki-laki itu menyadari kesalahannya tapi berusaha untuk tetap tenang.

PLAK!

Hinata menepis tangan Sasuke kasar. Sementara yang ditepis hanya diam saja. Sudah menyangka reaksi Hinata akan begitu.

"Aku... Kau brengsek Uchiha." Umpat Hinata. "Bagaimana bisa kau mau, shit!"

Hinata berdiri dan hendak meninggalkan Sasuke, namun tangan kekar Sasuke mencengkram pergelangan tangan Hinata.

"Kau mau kemana, Hyuuga?" aura gelap mulai menguar dari tubuh Sasuke. Tapi Hinata tidak perduli dan malah menatap mata hitam Sasuke langsung.

"Jangan sekali-kali memanggilku dengan nama itu. Aku bukan Hyuuga (lagi)," ucap Hinata dengan penuh penekanan.

"Bukan Hyuuga, he?" Sasuke mendengus berusaha memojokkan Hinata. Tapi niatnya diurungkan saat melihat mata Hinata yang tampak membara. Penuh amarah dan luka.

"Jangan coba-coba melucu, Uchiha. Kau sendiri yang melakukannya." Desis Hinata mengancam.

"Membuatku menjadi bukan bagian Hyuuga lagi." Sasuke terdiam mendengarnya. Bahkan saat Hinata melangkah pergi dan masuk ke dalam klub lagi, Sasuke tetap terdiam.

"Membuatmu menjadi bukan bagian Hyuuga lagi? Hn. Menarik." Seringainya muncul menandakan ada sesuatu yang tengah direncanakannya. Entah apa.

Mungkin sesuatu yang jahat.

...

Hinata terbangun dengan kepala yang pusing. Tubuhnya lemas dan udara terasa dingin sekali. Gadis itu sepertinya tengah terkena demam. Membuka matanya berat untuk melihat langit-langit flatnya. Hari ini adalah hari di mana mendiang ibunya meninggal. Rasanya sudah lama Hinata tidak memperingati hari kematian ibunya. Pasti ibunya sangat sedih di alam sana. Melihat puterinya menderita dan hidup terlantar seperti itu.

Hinata berpikir sebentar. Dia harus pergi ke peringatan hari kematian ibunya.

Beberapa jam kemudian Hinata keluar dari flatnya dengan penyamaran yang sempurna. Rambut biru keunguannya dicat menjadi berwarna hitam, menggunakan baju terusan berwarna hitam pudar dan menggunakan kecamata hitam setelah sebelumnya menggunakan softlens berwarna serupa.

Kakinya yang menggunakan sepatu flat hitam melangkah pelan. Ada ketakutan dan keraguan dalam langkahnya. Ragu, haruskah dia datang? Dan takut. Takut sesampainya di sana dia akan diusir oleh keluarganya sendiri.

Namun Hinata tetap melangkah. Demi cintanya akan mendiang Sang Ibu.

...

Hyuuga Hiashi menatap papan nama istrinya. "Isteriku, kau merindukannya? Aku juga. Entah apakah salah yang kulakukan dulu. Dia hanya seorang gadis kecil yang rapuh dan tidak bersalah," gumam Hiashi sambil mengusap wajahnya.

"Dan dia bukan Hyuuga lagi, sayang. Aku tidak tahu bagaimana perasaannya saat itu. Dan sekarang aku juga tidak tahu apa dia masih hidup atau tidak."

"Tou-sama." Seorang pemuda memanggilnya, membuat Hiashi menoleh ke arah suara. Dan menemukan putera pertamanya itu menggeleng.

Dengan lemah Hiashi mengeluarkan papan nama yang lain dan menaruhnya di sebelah papan nama isterinya. Setelah itu laki-laki paruh baya tersebut menangis dalam diam.

"Dia sudah mati sekarang, isteriku." Gumamnya.

Sementara Hinata yang melihat mereka dari jauh juga meneteskan air matanya. Meratapi dirinya yang sudah tidak dianggap lagi. Bahkan kini didepan matanya, ayahnya menaruh papan namanya. Menandakan bahwa dirinya sudah meninggal.

"Aku sudah mati sekarang, Tou-san."

...

Sasuke melemparkan map berkas yang terakhir. Semua tugasnya yang menggunung kini sudah selesai. Saatnya bersantai. Bibirnya membentuk sebuah seringai seksi saat memikirkan sesuatu. Segera disambarnya tas kerjanya dan pergi ke suatu tempat. Menemui seseorang yang menarik.

Tapi rencananya hampir gagal saat Itachi dengan beringas membuka pintu ruangannya.

"Yo, Otou-otou kau mau kemana?"

Sasuke menatap kakaknya horor. "Mau mencari kehidupan."

"Oh, no. Kucing liar ynag dulu menggemaskan kini sudah berubah menjadi singa yang lapar. Lapar akan kehangatan wanita." Sasuke melemparkan buku tebal ke arah wajah Itachi saat kakaknya itu dengan menjijikkan berkata seperti itu.

"Baka Aniki lebih baik kau mengedit novelmu itu. Bahasanya menjijikkan sekali," hina Sasuke dengan tampang seksi. Sementara Itachi malah semakin menggila.

"Sudahlah, aku mau keluar dulu. Ada apa ke kantorku?" tanya Sasuke setelah kegilaan Itachi pergi.

"Ayah menyuruhku untuk memberitahumu kalau nanti malam ada makan malam dengan keluarga Yamanaka. Membicarakan perjodohanmu dengan Yamanaka Ino."

Sasuke tertawa terbahak-bahak saat mendengar ittu semua. Namun bukannya lucu tapi malah terasa horror. Bahkan Itachipun merasa was-was kali ini.

"Ayah itu gimana sih? Tau aja kalau Yamanaka Ino itu sukanya denganmu, masih saja diberi untukku."

"Aku kan gay, Sasuke." Bantah Itachi.

"Hey, Baka Aniki apa kau pikir aku tidak tahu kalau kau itu sedang PDKT dengan Yamanaka Ino? Pura-pura tidak mau lagi. Menggelikan."

Itachi mendengus dengan wajah memerah. "Biarkan saja. Hanya wanita yang sungguh-sungguh mencintaiku saja yang akan mendekatiku meskipun mereka tahu kalau aku ini gay."

Lagi-lagi Sasuke tertawa.

"Kau kira dunia ini seperti novelmu apa? Mereka tetap saja akan mendekatimu meskipun kau itu gay sungguhan."

Itachi tertegun. "Apakah Ino-chan juga seperti itu?"

"Mana kutahu." Jawab Sasuke asal tapi membuat Itachi kalang kabut.

"Tapi saat kau bersamanya, pasti kau tahu kalau dia mencintainya." Tambah Sasuke dan dengan dramatis Sasuke keluar dan pintu perlahan tertutup dengan bias matahari senja.

"Anak itu, sedang jatuh cinta ya?" gumam Itachi tertegun.

...

Tbc.