Disclaimer:
Remake novel Eloquent Silence by Sandra Brown
Pair: YUNJAE – YUNHO dan JAEJOONG
Warning: GS FOR JAEJOONG! DON'T LIKE DON'T READ!
.
.
.
"Aku Jung Yunho, ayah Jiyool."
Jaejoong merasa bibirnya membentuk huruf O kecil. Dia memandangi U-Know sementara pria itu bersandar di pintu. U-Know sudah berganti pakaian. Sekarang dia mengenakan jins dan sweter panjang. Lengannya yang longgar ditarik sampai siku.
"Kau tampak terkejut."
Jaejoong mengangguk.
"Dokter Han tidak memberitahukan nama profesionalku padamu." Itu bukan pertanyaan. Pria itu tak sadar menggaruk telinganya. "Tidak, kurasa dia takkan berbuat begitu. Pantas saja dia takut kau punya kesan salah tentang aku. Aktor memiliki reputasi buruk, kau tahu." Sudut-sudut mulutnya naik seolah dia akan tersenyum, tapi gerakan itu lenyap secepat timbulnya. "Terutama kalau semua yang kaubaca di majalah penggemar benar. Tahukah kau bahwa aku memaksa pacarku yang sekarang melakukan aborsi minggu lalu? Setidaknya begitulah yang kubaca," katanya sinis.
Jaejoong masih terlalu kaget untuk bicara. Dengan masam dia memikirkan guru-guru lain di sekolah dan apa yang akan mereka katakan kalau tahu dia seruangan dengan Dr. Kang Moosuk alias si U-Know.
Jaejoong selalu tenang dan kompeten, kecuali kalau emosinya sedang tinggi. Kalau begitu, kenapa dia berdiri di sini dengan tangan berkeringat yang saling menggenggam? Dia belum bergerak sejak pria itu memperkenalkan diri. Lidahnya seakan melekat di langit-langit mulutnya.
"Siapa tahu kau akan merasa senang, nona Kim, kuberitahu kau bahwa kau pun tidak sesuai dengan gambaranku." Dia maju dari pintu dan Jaejoong secara refleks mundur selangkah.
Pria itu melontarkan senyum yang membuat sepasang mata sipitnya yang terkenal itu membentuk garis lengkung. Dia tahu Jaejoong merasa canggung berduaan dengannya di kantor kecil ini. Jaejoong jadi kesal: Memangnya dia siapa? Dia tak mau terpesona bagai seorang penggemar fanatik di hadapan bintang idola dan tergagap-gagap seperti idiot. Toh si U-Know ini sama-sama manusia biasa seperti dirinya.
"Nama saya Kim Jaejoong."
Pria itu mengangkat sebelah alisnya dengan geli dan bergumam, "Mestinya aku sudah tahu." Sikap soknya membuat Jaejoong jengkel.
Jaejoong berkata dengan suara paling profesional, "Dokter Han mengutus saya kemari untuk membicarakan masalah Jiyool, Mr. Jung Yunho."
"Panggil saja aku Yunho. Kau ingin minum kopi?" Dia menunjuk mesin pembuat kopi tempat seteko kopi sehitam dan sepekat malam sedang dihangatkan. Jaejoong sebetulnya tidak mau, tapi sadar bahwa kalau memegang cangkir kopi, dia jadi tidak bisa meremas-remas tangannya sendiri.
"Ya, tolong."
Pria itu berjalan ke meja kecil dan dengan sangsi memandang cangkir yang kebersihannya diragukan. Dia menuangkan kopi dan mengangkat alis sambil bertanya, "Krim? Gula?"
"Krim."
Dia menambahkan produk berbentuk bubuk itu ke dalam kopi dan mengaduknya dengan sendok plastik bernoda yang jelas sudah pernah digunakan untuk tujuan itu. Disodorkannya cangkir itu. Jaejoong menerimanya. Mula-mula dia tidak melepaskannya, melainkan terus memegangi cangkir sampai Jaejoong mendongak memandangnya. Jaejoong menelan ludah ketika untuk pertama kalinya menatap mata Yunho yang sekarang memantulkan bayangannya sendiri.
Pria itu berbalik untuk menuangkan kopi bagi dirinya sendiri. "Ceritakan tentang putriku, nona Kim," katanya, menekankan bentuk panggilan itu dengan sarkasme. Dia pergi ke balik meja kerja, duduk di kursi yang berderit-derit, dan menaikkan kaki ke meja.
Jaejoong duduk kaku dan tegak di kursi di hadapan pria itu. Dia menyesap kopi. Rasanya seburuk yang diduganya. Yunho terkekeh melihatnya mengernyit. "Aku minta maaf untuk kualitasnya."
"Tidak apa-apa, tuan Jung."
Jaejoong menatap cangkir kopi dan sewaktu pria itu tidak mengatakan apa-apa, ia mendongak ke arahnya. Dia kaget waktu melihat Yunho memakai bahasa isyarat untuk mengeja namanya. Y-U-N-H-O. Alis berwarna gelap pria itu berkerut di atas matanya, yang tampak bersikeras agar Jaejoong memanggil nama dirinya yang sebenarnya.
Jaejoong menjilat bibir dengan gugup, tersenyum sedikit, lalu menggunakan bahasa isyarat untuk mengucapkan Jaejooong. Pria itu menurunkan kaki, mencondongkan tubuh ke depan, menumpukan siku di meja, dan bertopang dagu.
Jaejoong memutuskan sekaranglah saat yang tepat untuk menguji keahlian Yunho dalam bahasa isyarat. Dr. Han dengan bijaksana tidak mau bercerita banyak tentang siapa itu Jung Yunho. Jaejoong sekarang mengerti bahwa Dr. Han ingin dia punya pendapat sendiri tentang ayah Jiyool itu. Menggunakan gerakan perlahan dan jelas, Jaejoong bertanya padanya dalam bahasa isyarat, Apakah kau menggunakan bahasa isyarat dengan Jiyool?
"Aku tahu Jiyool, itu saja," katanya ketika Jaejoong berhenti.
Jaejoong mencoba lagi dan bertanya dalam bahasa isyarat, Berapa umur putrimu? Pria itu sama sekali tak bereaksi. Dia cuma duduk memandanginya dengan mata sipit yang tiba-tiba tanpa ekspresi. Jaejoong memberi isyarat, Apa warna rambutnya? Nihil. Apakah kau menyayangi Jiyool?
"Jiyool lagi. Maaf aku tidak tahu yang selebihnya. Kurasa ini artinya menyayangi." Dia menyilangkan lengan di dada seperti cara Jaejoong tadi.
"Ya, benar, Yunho-sshi. Mulai sekarang, ini akan jadi namamu supaya kau tidak perlu mengejanya terus."
Dia membuat isyarat untuk huruf D dan menyentuhkannya ke tengah kening. "Ini daddy," katanya, menyentuh kening dengan ibu jari, jari-jari yang lain mengembang.
"Kita kombinasikan keduanya. Mengerti?"
Pria itu mengangguk.
"Ini Jaejoong." Jaejoong membuat huruf J dan mengelus bagian samping wajahnya dari tulang pipi sampai dagu. "Ini gadis" katanya, mengelus pipinya dengan ibu jari sementara tangannya mengepal longgar. "Kau lihat bagaimana kita mengkombinasi dua isyarat untuk membentuk nama seseorang?"
"Yeah," kata Yunho dengan nada bersemangat. "Untuk Jiyool kita membuat huruf J dengan kelingking, lalu isyarat ikal untuk menunjukkan rambut ikalnya."
"Persis!" Mereka saling tersenyum, dan sesaat mata mereka bertemu. Jaejoong merasa jauh di dalam tubuhnya ada perasaan menggelitik yang aneh namun menyenangkan. Sedetik dia tahu bagaimana perasaan wanita-wanita lain ketika menonton wajah tampan ini di layar televisi mereka tiap siang. Yunho memang karismatik dan pria itu mengetahuinya, Jika dia tidak berhati-hati, Yunho bisa menghalanginya mengatakan hal-hal yang ingin disampaikannya. "Yunho," dia menggunakan bahasa isyarat terus sekarang, bahkan sambil mengucapkannya, kebiasaan para guru yang mengajar para penderita tuna rungu.
"Dokter Han minta aku mengevaluasi kemajuan Jiyool. Aku sudah mengamatinya selama beberapa hari. Aku merasa pendapatku bersifat akademis, tapi itu hanya sekadar pendapat. Biarpun demikian, aku akan berterus terang sepenuhnya padamu."
"Aku ingin kau begitu. Aku yakin kau sangat menganggap rendah ayah yang mengasramakan anaknya selama hampir tiga tahun, tapi aku menyayanginya. Dan aku ingin melakukan yang terbaik untuknya." Dia berdiri dan berjalan ke jendela. Memunggungi Jaejoong, dia memandang ke balik kaca kotor itu.
"Tolong lihat aku menggunakan bahasa isyarat, Yunho-sshi. Itu akan membantumu mempelajarinya." Pria itu menghadapnya lagi seolah akan membantah, namun ternyata dia hanya mengangkat bahu dan kembali ke kursi.
Jaejoong melanjutkan dengan tenang. "Kau beruntung Jiyool tidak seratus persen tuli. Aku yakin kau sekarang sudah tahu bahwa ketuliannya adalah tipe saraf sensorik yang pada saat ini, tidak bisa diobati. Dia dapat mendengar beberapa suara keras. Misalnya dia dapat membedakan suara helikopter dan siulan."
Jaejoong berhenti sejenak untuk melihat apakah pria itu akan berkomentar. Ternyata tidak, jadi dia meneruskan, "Sayangnya dia tidak tahu nama untuk siulan atau helikopter. Atau mungkin dia tahu dan cuma tidak memberitahu kita bahwa dia tahu. Dia hampir sama sekali tidak responsif terhadap komunikasi apa pun."
Garis-garis di kedua sisi mulut Yunho menegang. "Maksudmu dia terbelakang?"
"Tidak, sama sekali tidak," Jaejoong menekankan. "Dia luar biasa pintar. Aku berpendapat bahwa dia kurang dalam hal... emm… ada anak yang perlu diajar secara privat. Aku pribadi merasa pengasramaan Jiyool merusak kemampuannya. Dia butuh berada di lingkungan rumah di mana dia secara terus-menerus ditemani seseorang yang... yang..." suaranya menghilang, dia tidak ingin mengatakan apa yang menurutnya mungkin akan menyinggung perasaan Yunho.
"Yang menyayanginya? Itukah yang sulit kaukatakan? Sudah kubilang aku menyayanginya. Aku memasukkannya ke asrama sekolah bukan karena malu padanya."
"Aku tidak bermaksud-"
"Tentu saja iya!" bentak Yunho. "Karena kau begitu pandai, coba beritahu aku apa yang harus dilakukan seorang duda terhadap anaknya yang masih kecil? Terutama kalau si anak tuna rungu, hah? Sekolah mewahmu itu mahal, kau tahu. Aku harus banting tulang untuk membayarnya. Dan tagihan-tagihan medis setelah puluhan tes yang tidak memberitahumu apa-apa selain bahwa gadis kecilmu tuli, fakta yang sudah kauketahui, karena kalau belum kau takkan menyuruhnya menjalani tes-tes mengerikan itu."
Dia berhenti untuk menarik napas, mata sipitnya berkilat menyeramkan. "Paling tidak kita menyepakati satu hal. Jiyool perlu diajar secara privat."
Dia tiba-tiba berdiri, membuat kursi berdecit-decit meluncur ke belakang. "Tapi gurunya bukan kau."
Ia menyerbu dari balik meja dan menumpukan lengannya yang kuat di kedua sisi kursi Jaejoong, membuatnya terperangkap di situ.
"Aku memberitahu Dokter Han kalau aku menginginkan orang yang bertanggung jawab. Aku mencari tipe guru yang keibuan yang memakai sweter longgar berkantong besar, bukan gadis yang memakai setelan buatan desainer." Matanya menyusuri tubuh Jaejoong dengan pandangan melecehkan. "Orang yang rambut berubannya disanggul rapi, bukan rambut hitam legam berpotongan canggih yang melambai-lambai. Orang yang agak gemuk dengan tubuh gempal, keibuan, bukan payudara kecil menantang dan pantat kencang."
Jaejoong merah padam karena marah dan malu. Berani-beraninya dia!
"Tutor Jiyool seharusnya memiliki pergelangan kaki besar dan memakai sepatu datar, bukan-" Ia menunjuk betis Jaejoong yang ramping, terbungkus stocking tipis, dan sandal tali berhak tinggi yang dipakainya. "Kau tidak kelihatan seperti tutor untuk anak tuna rungu. Kau kelihatan seperti gadis yang membagikan contoh parfum di Bergdorf's."
Pria itu makin mencondongkan tubuh sampai kepala mereka nyaris bersentuhan. Sebelum Jaejoong sempat bereaksi, pria itu membenamkan wajahnya di rambut lembut di belakang telinga Jaejoong. "Kau juga wangi seperti mereka," ia berbisik serak.
Sesaat Jaejoong tak bisa bernapas. Tapi ketika dia akhirnya bisa, aroma Yunho menyelimutinya. Aroma itu bersih, khas, dan jantan. Kenapa dia ini? Dia menyentakkan kepala dari pria itu.
"Kau! Biarkan aku bangkit sekarang juga," perintahnya sambal mendorong dada bidang Yunho. Pria itu menegakkan tubuh dan menjauh dari kursi yang langsung ditinggalkan Jaejoong.
Ia menarik napas dalam-dalam beberapa kali untuk menenangkan diri sebelum berkata, "Mungkin aku memang tidak sesuai harapanmu, tapi kau jelas sesuai dengan dugaanku, Mr. Jung Yunho yang terhormat." Dia mengucapkan nama pria itu dengan nada mengejek.
"Kau tidak pantas memiliki putrimu. Dia cantik, pintar, dan manis. Tapi dia menderita. Kau dengar aku? Dia menderita secara emosional karena satu-satunya orangtuanya tidak mau berusaha mempelajari bahasa yang dia mengerti, apalagi berusaha mengajarkan bahasa itu padanya. Orangtua seperti kaulah yang membuat pendidikan tuna rungu kembali ke zaman Helen Keller. Aku guru-"
"Kau masih muda."
"Aku wanita-"
"Ah, sekarang kita sampai ke poin berikut," kata Yunho, menuding Jaejoong dengan sikap menuduh. "Kau jangan berpura-pura tidak suka aku menyentuhmu. Aku lebih tahu. Bagaimana aku tahu bahwa kalau aku mempekerjakanmu di Gwangju sana, kau takkan kabur dengan bujangan pertama yang mendekatimu? Itu kan yang sebenarnya diinginkan semua gadis karier liberal? Suami?"
Jaejoong bisa merasakan amarahnya menyala sampai ke akar rambutnya. "Aku pernah bersuami. Pernikahanku tidak terlalu bahagia."
"Kau bercerai?"
"Dia meninggal."
"Kebetulan sekali."
Dia berbalik dari pria itu sebelum melontarkan omongan yang belakangan mungkin akan disesalinya. Lagi pula, Dr. Han menyuruhnya melakukan misi ini dan akan mengharapkan laporan darinya. Di pintu dia berputar untuk melihat pria itu bersandar di meja dengan bersilang kaki. Perasaan sok dan puasnya tampak jelas di matanya yang mengejek, cara berdirinya yang kurang ajar, dan bibirnya yang menyeringai menyebalkan.
Perlahan-lahan Jaejoong berkata, "Kau orang paling sombong, biadab, dan menyebalkan. Dasar-" Ia mengucapkan kata terakhir dalam bahasa isyarat.
"Apa artinya itu?" bentak Yunho, sambil dengan marah meninggalkan meja.
"Tebak saja sendiri, tuan sombong."
Jaejoong keluar sambil membanting pintu.
.
.
.
.
.
"Jaejoong-ah, kau takkan bisa menebak-"
"Junsu-yah, aku sedang mengajar. Ada apa sih?"
Guru yang menyerbu masuk ke dalam kelas Jaejoong yang terdiri atas murid-murid berumur tujuh tahun itu tampak betul-betul kacau. Ia terbata-bata waktu berkata, "Kau takkan bisa menebak siapa yang ingin menemuimu. Maksudku, sudah ribuan kali aku melihatnya. Aku pasti mengenalinya di mana pun. Tapi waktu melihatnya berdiri di koridor, bertanya tentang kau-"
"Pelan-pelan Junsu, kau membuat anak-anak gelisah. Mereka mengira ada yang tidak beres." Jaejoong mengetahui siapa yang dimaksud temannya, tapi dia tidak mau orang lain tahu jantungnya seolah berhenti berdetak karena memikirkan akan bertemu Jung Yunho lagi. Di mata orang yang paling awas pun dia tampak tenang dan tak peduli.
Sudah seminggu lebih waktu berlalu sejak pertemuan mereka di studio televisi. Sekembalinya dia dari interview menjengkelkan itu, Dr. Han menanyakannya.
"Saya rasa saya tidak seperti yang diharapkan Mr. Jung, walaupun saya pikir kami sependapat bahwa Jiyool membutuhkan perawatan dan pendidikan spesial yang lebih pribadi."
"Oh, aku kecewa sekali, Jaejoongie," ujar kepala sekolah tersebut. "Aku mengira kalian berdua cocok dan kau bisa membawa Jiyool ke Gwangju. Tentu saja, aku tidak suka kehilangan kau."
Jaejoong tersenyum. "Yah, Anda takkan kehilangan saya dalam waktu dekat. Saya rasa sebaiknya Anda punya rekomendasi lain. Mr. Jung pasti akan menelepon Anda."
Jaejoong tidak bilang apa-apa lagi, dan Dr. Han tidak mendesak. Wanita itu sangat perseptif. Apakah dia menduga pertemuan mereka tidak berjalan lancar?
Sepanjang minggu Jaejoong berusaha menyingkirkan aktor sialan itu dari benaknya. Akhir-akhir ini dia menghabiskan begitu banyak waktu dengan Jiyool sehingga merasa sulit untuk menghentikan kunjungan hariannya itu. Jiyool tergabung dalam kelompok murid yang lebih muda daripada murid-murid Jaejoong, dan dia menemui putri Yunho itu setelah jam sekolah.
Jiyool anak yang baik. Dia sopan.. nyaris terlalu sopan, pikir Jaejoong. Rambutnya kecokelatan, dan ikal-ikal yang sulit diatur memenuhi kepalanya yang kecil. Matanya-persis mata ayahnya-berwarna cokelat gelap, dihiasi bulu mata berwarna gelap juga. Dia halus dan cantik dan tidak pernah kotor atau melakukan perbuatan yang bisa membangkitkan kemarahan orang.
Jaejoong bangga pada sikap objektifnya namun gadis kecil bermata besar dan sedih itu merebut hatinya. Dia cuma butuh waktu beberapa hari untuk mengetahui bahwa dia ingin menjadi tutor Jiyool. Dia ingin membawa anak itu keluar dari asrama yang sangat rapi dan berperabotan bagus ini dan memasukkannya ke ruangan yang semarak dan ramai.
Pikiran-pikiran seperti itu selalu kembali ke ayah Jiyool, dan khayalannya pun langsung buyar. Dia takkan bisa bekerja pada laki-laki seperti Yunho dan tinggal di rumahnya. Tidak soal bila bahwa ayah Jiyool itu akan dua ribu mil darinya. Dia telah menghinanya sebagai wanita dan sebagai profesional. Lagi pula, pria itu tidak mau Jaejoong menjadi tutor anaknya.
Dia takkan mau mengaku pada siapa pun bahwa dia mengikuti The Hearts Answer. Beberapa hari terakhir ini, pada jam tayang drama konyol itu, dia dapat ditemukan di depan pesawat televisi di ruang guru. Setiap dia melihat Yunho di layar dua belas inci itu, hal-hal yang mengganggu terjadi padanya. Detak jantungnya meningkat dan telapak tangannya basah; di bagian tengah tubuhnya terasa perasaan berat dan hangat yang menyebar ke tangan dan kakinya; membuatnya lemas. Dia masih ingat jelas bagaimana pria itu membungkuk dan mencium rambutnya. Perbuatan-perbuatan sepele pria itu, yang pasti takkan diperhatikannya jika dilakukan orang lain, terasa sangat familiar.
Sinting!
Dia kan bersama Yunho tak lebih dari lima belas menit. Tapi dia merasa akrab dengan setiap nuansa kepribadiannya. Ah damn!
Sekarang Kim Junsu menyerbu kelasnya, berkicau tentang ketampanan dan pesona aktor tersebut. Sayang sekali Junsu tidak tahu bahwa laki-laki itu sombong setengah mati, kasar, dan kurang ajar.
"Kau percaya bahwa U-Know ternyata ayah Jung Jiyool? Aku memang bertanya-tanya kenapa kita tidak pernah melihat orangtuanya. Kalau mengunjungi Jiyool, dia datang malam-malam melalui apartemen Dokter Han. Kurasa dia takut dikeroyok penggemar seperti aku." Junsu cekikikan. "Dan dia bertanya tentang kau seolah mengenalmu!"
"Memang kenal."
Junsu terdiam mendengar informasi itu dan memelototi Jaejoong seakan di punggung wanita muda itu telah tumbuh sayap. "Kau kenal dia dan tidak pernah memberitahu-"
"Junsu-yah, kau mau apa sebenarnya?"
"A-aku mau apa?" tirunya. "Kan sudah kubilang bahwa Dokter Kang Mosuk atau Mr. U-Know atau apa pun panggilanmu untuknya ingin menemui-mu."
"Bilang aku sedang sibuk."
"APAAAAAAAAAAAAAA?!" jerit Junsu, dan sesaat Jaejoong berharap ia tuna rungu seperti murid-muridnya. Kadang-kadang ketulian bisa dianggap karunia. "Kau tidak mungkin serius, Jae. Kau sudah gila? Laki-laki paling seksi sedunia sedang-"
"Kurasa kau berlebihan, Su," kata Jaejoong kering. "Aku sibuk. Kalau artis itu ingin bertemu denganku, dia harus menunggu sampai kelas ini selesai."
"Dengan senang hati."
Suara dalam dan pelan itu menggema di dalam ruangan dengan nada teratur aktor profesional. Yunho sudah berdiri di ambang pintu, menatap Jaejoong lurus-lurus. Jantung Jaejoong bagai berhenti berdebar sebelum kembali berdetak teratur, tapi lebih cepat.
.
.
.
.
.
T b c
Special thanks untuk Sa terima kasih karena sudah mau menjadi readers pertama yang berkenan review di ff ini.. dan sesuai keinginanmu update ASAP kkkkkk XD
Dan untuk siapapun yang ingin memberikan kritik, saran dan masukannya, silahkan….
