Naruto berlari seperti orang kesetanan. Sesekali matanya melirik ke belakang. Meneliti apakah para 'pengikutnya' masih ada. Yang dimaksud 'pengikut' disini adalah benar-benar pebgikut. Mereka dengan nafsu yang begitu membara dan juga semangat juang yang seolah tak pernah turun. Mengejar pemuda berambut pirang ini, seolah ingin menerkamnya hidup-hidup.

Pengikut bergender wanita itu mengikuti Naruto sejak sang pirang keluar dari kelasnya. Wanita-wanita yang berubah mengganas itu, menghadang Naruto dan membombardirnya dengan setumpuk kancing kemeja. Yang menurut Naruto sangat sangat sangaaaat menyilaukan mata. Ya, hari ini adalah hari kelulusan bagi semua siswa kelas 3 SMA Konoha.

Dan tradisi mengenai kancing kemeja nomor dua yang diberikan untuk seseorang yang spesial sudah mengakar di benak masing-masing siswa. Khususnya perempuan. Tidak salah sebenarnya dengan tradisi seperti itu. yang salah di sini adalah, kegilaan para wanita yang membombardirnya dengan kancing mereka. apa dengan hal itu Naruto akan mengingat tiap-tiap wajah mereka? Apalagi dengan tanga-tangan centil itu yang terlalu bernafsu mencomot kancing kemejanya. Naruto harus ekstra melindungi diri dari terkaman-terkaman mereka.

Baiklah, kembali ke cerita. Dimana Naruto masih berlari di sepanjang koridor lantai dua.

Sesekali matanya melirik ke belakang. Naruto belok kanan mereka belok kanan. Naruto belok kiri, mereka pun belok kiri. Jangan-jangan kalau Naruto terjun dari lantai dua, mereka juga akan terjun juga.

Karena itulah, saat mata birunya menangkap adanya tangga ia langsung tancap gas. Ia menuruni tangga dengan sangat tergesa-gesa. Tidak peduli kalau ada seorang pemuda dengan rambut nyelenehnya berjalan berlawanan arah. Otaknya berteriak untuk segera pergi mengungsi dari terkaman wanita-wanita haus darah di belakangnya.

Tapi tunggu!

Entah mengapa Naruto merasa de javu dengan kejadian ini. Di mana ia berlari di sepanjang koridor lantai dua. Kemudian berbelok ke arah tangga. Dan kaki jenjang bak atlit itu terserimpet(?) kakinya sendiri. Membuat tubuhnya limbung ke depan.

Benar.

Naruto pernah merasakan hal ini sebelumnya. Jauh. Jauh saat ia baru beberapa bulan ada di bangku kelas tiga SMA. Awal dari segala peristiwa yang membuatnya dekat dengan seorang pemuda keturunan Uchiha.

Ya, Uchiha. Pemuda bernama lengkap Sasuke Uchiha yang kini berjalan berlawanan arah dengannya. Tanpa sadar jantung Naruto berdegup kencang. Sangat kencang melebihi tarikan nafasnya. Sedikitnya ia berharap kejadian yang lalu kembali terulang. Dan saat posisi mereka semakin dekat. Saat Naruto kemali terserimpet kakinya sendiri. Saat kejadian yang lalu hampir terulang kembali...

Saat itulah, Sasuke melewatinya begitu saja. Tanpa sapaan atau sekedar lirikan. Pemuda itu hanya lewat tepat di sampingnya. Membiarkan Naruto dikejar wanita buas yang mengaku penggemar setianya.

Sedang Naruto, melebarkan matanya. Apa yang dia pikirkan? Kejadian yang sama tidak mungkin terulang dalam dua waktu yang berbeda. Apa yang ia harapkan? Dirinya lah yang pertama kali membentangkan jarak diantara mereka. Menghapus kedekatan yang pernah tercipta. Meminta orang terkasihnya untuk melupakan semua yang pernah mereka lalui bersama. Padahal butuh waktu lama untuk mereka menyingkat jarak. Dan dengan seenaknya Naruto memutus ikatan tak kasat mata yang perlahan membelit hati keduanya.

Uzumaki Naruto. Dia mengakui kalau ia bodoh untuk kedua kalinya.

.

.

ATAP

-Naruto Sasuke-

-Masashi Kishimoto-

-af-

.

.

Sebuah Pengakuan

.

.

.

Kata orang, cinta itu butuh pengorbanan. Cinta itu tak harus memiliki. Tapi, kenapa rasanya sakit sekali? Mencoba ikhlas merelakan yang dicintai bersama orang lain, sakitnya sampai ke jantung. Meremukkan dada, membuat susah nafas. Dan Naruto merasakannya.

Gejala patah hati kini menggerogoti jiwanya. Kepalanya selalu mau pecah jika memikirkan nasib cintanya. Belum lah ia tahu bagaimana nasib pernyataan cintanya, tapi dirinya terpaksa mundur dari lahan peperangan. Nyalinya ciut tiap kali memikirkan bagaimana Sasuke dengan sang Sabaku. Mereka terlihat teramat serasi. Gaara yang mencintai Sasuke. Begitu pun sebaliknya. Sedang Naruto, ia hanya orang luar yang takdirnya harus mengenal sang Uchiha muda. Memendam rasa dan berakhir sakit hatinya. Mengapa? Karena cinta itu jatuh sembarangan. Siapa sangka kalau ia harus bertemu Sasuke di pertengahan kelas 1 SMA? Dan mengapa juga ia langsung jatuh cinta pada pemuda bermuka tembok namun memesona itu? sekali lagi takdir yang bicara. Naruto hanya tak bisa berbuat apa-apa.

Menurutnya.

Namun, secarik kertas yang ditemukannya tergeletak di atas meja yang selama setahun terakhir itu ditempatinya membuat matanya membelalak. Nama Uchiha Sasuke tertera di kalimat paling akhir dalam rentetan kata yang menghiasi kertas itu.

Aku menunggumu di atap sekolah

-Uchiha Sasuke-

Begitu bunyinya. Naruto heran bercampur bimbang. Benarkah itu Sasuke? Atau hanya surat iseng kiriman Shikamaru untuk sekadar menghiburnya? Entahlah.

.

.

.

"Dia tidak akan datang". Suara Shikamaru merasuki pendengaran Gaara. Mata jadenya melirik malas pada pemuda malas yang kini berdiri tak jauh dari tempatnya. "Asal tahu saja, Naruto ahlinya dalam melarikan diri".

Gaara akui itu. Bocah blonde yang menjadi sumber kegusaran sahabat berharganya adalah orang yang pandai melarikan diri dari masalah yang dibuatnya. Setelah membuat ia harus melepas Sasuke, sekarang bocah itu malah entah dimana. Tak mau bertanggung jawab. Naruto, tak setangguh kelihatannya. Bocah blonde itu benar-benar menyusahkan.

"Aku tahu itu".

"Lalu mengapa kau tetap mengirim surat atas nama Uchiha Sasuke pada Naruto?", Shikamaru bertanya heran. Rencana ini telah diketahuinya jauh hari sebelum upacara kelulusan. Dan detik itu juga ia sudah memeringatkan Gaara kalau cara klasik macam surat yang di letakkan di atas meja tidak akan membuahkan hasil apa-apa. Yang ada malah Naruto semakin menghindari si Uchiha. Dan masalah ini tidak akan selesai tepat pada waktunya. "Aku heran, mengapa orang sepintar dirimu mau mengurusi hal merepotkan seperti itu?".

Dengan gerakan super cepat, Gaara menatap sosok Shikamaru yang kini menguap malas. Mendesahkan nafas. Akhir-akhir ini ia juga bingung mengapa dirinya terlalu memikirkan nasib cinta orang lain, padahal cintanya sendiri terbang tak dapat diraih.

Menguap sekali lagi, Shikamaru kembali bertanya. "Mengapa kau tidak menyerah tentang Naruto dan Sasuke? Bukankah kau juga mencintai pemuda itu? Tidakkah kau ingin membuatnya kembali ke sisimu?"

Tercengang akan pertanyaan Shikamaru. Benar juga, kenapa ia tidak berusaha untuk mendapatkan Sasuke kembali? Atau mungkin karena di mata Sasuke ia tidak lagi dipandang dengan cara yang sama? Lagi pula banyak cara untuk mencintai seseorang, tidak harus dengan memilikinya. Beraneka macam rasa cinta bisa kita berikan pada sang pujaan. Begitu pun rasa cinta layaknya seorang sahabat. Itulah yang Gaara pikirkan ketika dirinya melepas Sasuke. Hal itu membuat ia menjadi lebih nyaman.

"Bukan caraku memaksakan perasaan pada orang yang jelas menyukai orang lain", jawabnya. Giliran Shikamaru yang terpana. Pemuda itu tak sekaku kelihatannya. Ada kelembutan yang menguar dari untaian katanya. Mungkin karena itu berhubungan dengan sang Uchiha.

Tersenyum, Shikamaru beranjak dari tempatnya. "Aku akan membantumu mencari Naruto. Kau cari Sasuke, dan kita bertemu di atap".

Gaar menggeleng. Membuat pemuda Nara mengerenyitkan dahi tanda bingung. Bukannya si Sabaku yang berniat menyatukan Sasuke dan Naruto? Kenapa ia menolak pertolongan Shikamaru? "Aku saja yang cari Naruto. Kau cari Sasuke. Aku tidak tahu dia lari ke mana. Kau bisa mencarinya di kelas atau di atap sekolah. Mungkin berdiam diri meratapi nasib. Kupercayakan Sasuke padamu, kalau dia menolak seret saja", katanya lagi yang membuat Shikamaru tambah tidak mengerti.

Kini Gaara yang beranjak. Meninggalkan Shikamaru yang masih termenung memikirkan perkataannya. Mata kuacinya membelalak, begitu ia menangkap maksud bocah Sabaku itu. dia... tidak bermaksud memberinya kesempatan kan? Ini terlalu merepotkan baginya. "Mendokusai na...", helanya.

.

.

.

Waktu serasa bergerak lebih lambat, tiap ketukannya selalu terdengar berirama. Setengah jam sudah dilalui Sasuke dengan keheningan. Upacara kelulusan usai sudah, teman-temannya pun banyak yang memilih pulang. Euforia perpisahan mereka lakukan sebelum upacara dimulai. Jadi mungkin rasa lelah menghampiri. Tapi tidak dengan dirinya. Ketika sebuah surat di atas mejanya menyita perhatian. Surat dengan tulisan rapi yang sangat Sasuke sangsikan. Pasalnya hal yang seperti ini tidak mungkin terjadi mengingat kondisinya sekarang.

Aku menunggumu di atap sekolah

-Uzumaki Naruto-

Merematnya. Bingung melanda pikiran. Akankah ia datang atau menganggap kalau surat itu hanya gurauan. Naruto sudah memutuskan kedekatan mereka. Jadi Sasuke tidak perlu berharap banyak. Memnag hatinya sudah tertawan, tapi jika ia akhirnya memperoleh penolakan, untuk apa ia bertahan dengan cinta yang hanya sebelah. Harga dirinya bisa tercoreng. Sesuatu yang amat dijunjung tinggi keluarganya. Meskipun dalam praktik keseharian, penolakan semacam ini bukan hal baru di kalangan remaja, tapi di keluarga Uchiha hal itu sedikit banyak tidak bisa diterima.

Sekali lagi, Sasuke melihat pada deretan kalimat yang tertera dalam surat itu. Hatinya bimbang. Sasuke tidak ingin penolakan. Rasa sakit yang dideritanya akan susah hilang. Tapi jika hal ini tidak segera diluruskan, mungkin hatinya juga akan terluka. Penyesalan selalu datang belakangan. Setidaknya ia ingin menyampaikan perasaan. Masa bodoh dengan marga Uchiha. Namun, lagi-lagi, bayangan dirinya akan ditolak membuat jantungnya berdenyut lebih menyakitkan.

Mengapa? Mengapa cintanya serumit ini? Naruto sialan!

Membenturkan dahi. Sasuke sukses jadi orang lain hari ini. Pikirannya benar-benar bingung. Tidak biasanya ia harus mencampuradukan antara logika dan perasaan. Bukan gayanya ia harus kehilangan ketenangan. Semua ini karena seorang Uzumaki Naruto.

Tapi, Sasuke kini beranjak dari tempatnya. Menuju ke lokasi janjian. Apapun nanti hasilnya, kalau Naruto menolak paksa saja dia.

.

.

.

Mencari Naruto tidaklah sulit. Bocah itu memang pandai melarikan diri, namun tak pandai bersembunyi. Gaara tidak perlu mengelilingi seisi sekolah hanya untuk mencari pemuda blonde itu. Cukup datangi saja kelasnya. Maka kau akan menemukan si penyandang marga Uzumaki itu sedang bergalau ria.

"Ck!", Gaara berdecak, menolehkan pemilik mata biru itu pada si surai merah. "Kupikir bukan saatnya dirimu menangisi keadaan", katanya kemudia. Namun Naruto tak bereaksi. Wajahnya kembali berkutat pada sesuatu yang diremas tangannya. Berusaha tidak peduli akan kehadiran Gaara yang jelas mengganggu acara melamunnya. "Berhentilah jadi pengecut dan tunjukan dirimu!".

Jengah. Sabaku Gaara akhirnya mengambil langkah. Perlahan posisinya berubah, semula yang ada di ambang pintu kini mendekati tempat Naruto melamun. Naruto sendiri masih diam, meski remasan tangannya kian menguat. Kalau saja... kalau saja Naruto sedikit punya keberanian, mungkin nasib cintanya tidak akan demikian runyam.

"Apa aku harus mengatakan kalau aku sudah melepaskan Sasuke, baru kaumau turun tangan?", kata Gaara sambil lalu. Dirinya sudah berada tepat di samping Naruto.

Mendengar itu, mata Naruto memebelalak. Apa telinganya sedang bermasalah? Sepertinya tidak. Indra pendengarannya masih normal. Jadi tidak mungkin kalau dia salah dengar. Atau dirinya tengah berimajinasi?

"Kalau kau berpikir aku berbohong atau kau yang sedang berkhayal kau salah. Aku memang sudah melepaskan Sasuke, beberapa bulan lalu".

Barulah Naruto yakin kalau sang Sabaku memang berkata seperti apa yang didengarnya. "Kenapa?", hanya itu yang Naruto ucapkan. Dia masih terkejut dan tak tahu mau berkata apa.

Sejenak Gaara berpikir. Posenya sedikit unik. Dahinya berkerut, tapi karena alisnya yang terlalu sedikit dan matanya yang ber-eyeliner, Gaara malah terlihat menyeramkan. "Kalau kau bertanya, mungkin karena dirimu."

Naruto bingung. Mengapa putusnya Gaara dengan Sasuke harus karena dirinya? Tidak sadarkah ia, kalau dirinya sudah membuat Sasuke jatuh cinta terlalu dalam.

"Kau tidak perlu berpikir. Yang harus kau lakukan adalah menemui Sasuke dan nyatakan perasaanmu padanya".

Untuk beberapa saat kemudian, keheningan melingkupi dua pemuda yang masih saling pandang itu. Naruto mencoba mencari kejujuran dari kalimat Gaara. Sedang Gaara mencoba menyampaikan kejujuran yang sebenarnya. Tidak perlu memakan waktu lebih banyak karena keduanya langsung memutus kontak begitu apa yang mereka cari dari masing-masing lawan bicara sudah di dapat.

"Kalau semuanya semudah itu, kurasa aku tidak akan berada disini". Naruto meletakkan kertas yang sedari tadi dirematnya. Memperlihatkan pada Gaara bahwa ia baru saja mendapat pesan dari seseorang. "Bahkan mungkin kau tidak perlu berpura-pura menulis surat untukku".

"Kau tahu?"

"Tentu saja. karena seorang Uchiha tidak akan melakukan hal semacam ini. Kurasa..."

Gaara tertawa renyah. Tawa yang baru kali ini di dengar Naruto. Suranya merdu, dan menenangkan. Pantas saja lelaki itu jadi idola banyak wanita, wajahnya terlihat lebih menawan jika sering tertawa seperti sekarang.

"Kalau begitu bukankah lebih baik kau datang ke atap saja. Siapa tahu Sasuke benar ada disana." Gaara berbalik. Langkahnya bergema di penjuru ruang kelas yang memang sudah sepi itu. Namun, tepat di ambang itu ia berhenti. Hanya untuk mengatakan, "Nayatakan perasaanmu padanya. Sebelum benar terlambat dan kau akan lebih menyesal dari sekarang".

Sepeninggal Gaara, Naruto terdiam. Mencerna maksud dari pemuda Sabaku itu. Ia tahu penyesalan itu pasti akan datang padanya, tapi untuk menyatakan perasaannya lagi, disaat seperti ini ia pikir hal itu tidak tepat. Karena Naruto masih tidak tahu apa yang harus ia lakukan jika bertemu dengan Sasuke.

.

.

.

Sebenarnya, mencari seorang Sasuke bukan perkara sulit. Apalagi untuk jenius sepertinya. Tapi nyatanya, hari ini Nara Shikamaru harus mengakui kalau ia terlihat lebih bodoh dari biasanya. Bagaimana mungkin ia harus mengitari seisi sekolah dua kali hanya untuk menemukan Sasuke. Jika dipikir logis, hal itu tidak perlu. Sasuke pasti akan selalu memilih atap sekolah sebagai tempat pelariannya. Hanya bagaimana bilangnya ya, sepertinya kata-kata Gaara sedikit banyak memengaruhi kinerja otak Shikamaru. Oleh karena itu, opsi atap sekolah seolah terlewat begitu saja dari daftar pencariannya. Dan begitu dirinya menemukan Sasuke tengah termenung di atap sekolah, Shikamaru resmi merutuki kebodohannya sendiri.

Suara gebrakan pintu yang disusul dengan hela nafas kasar oleh objek yang tak disangkanya sontak membuat Sasuke membelalakan mata. Tidak tahu hendak berkata apa. Mana mungkin ia bertanya 'apa yang kau lakukan?', jika sang objek sudah menguncinya dengan tatapan yang berteriak 'akhirnya aku menemukanmu'. Jadi, Sasuke hanya terdiam sembari mengamati seorang Shikamaru Nara menghirup rakus oksigen di sekitarnya.

Sampai pada detik kesepuluh, barulah pemuda bermanik kuaci itu sanggup untuk berlaku lebih normal. Tubuhnya ditegapkan. Dirinya melangkah perlahan, tapi pintu dibiarkan terbuka begitu saja. matanya memaku sosok Sasuke yang tergugu, meski sirat kebingungan tak lepas dari wajahnya.

"Aku tahu aku bertingkah bodoh. Tapi bisakah kau hentikan tatapanmu itu, Uchiha?", katanya terus melangkah. Mempersempit jarak di antara mereka.

Sasuke masih bergeming. Tidak mau buka suara. Toh Shikamaru sepertinya bisa menebak apa yang hendak dikatakannnya. Terbukti dari, "Mengelilingi sekolah hanya untuk mencarimu, dan ternyata kau malah ada disini. Bukankah terdengar tidak seperti diriku?"

Sasuke membuang muka, tak mau menatap balik Shikamaru yang kini menghujaminya dengan ekspresi entah apa. Jujur, Sasuke sedikit tidak nyaman.

Keheningan menjadi pembatas anatar Sasuke dan Shikamaru. Keduanya sama-sama sibuk dengan pikiran masing-masing. Tiada yang bergerak dari posisi semula sampai beberapa menit berlalu. Mereka berdua seolah lupa dengan adanya sosok lain di sana. Sampai deru angin menyapa keduanya. Sampai saat itu tidak ada yang bergerak.

Pun begitu waktu seakan berhenti sejenak, tak satu pun dari mereka yang mencoba mencairkan keheningan yang di rasa menyiksa –bagi salah satu pihak. Shikamaru kini hanya berfokus memandang keseluruhan sosok Sasuke. Dari kepala hingga kaki. Bahkan sedikit banyak perubahan mimik wajah yang beberapa kali terjadi, tak lepas dari pengawasan si mata kuaci.

Hening yang begitu membosankan itu akhirnya dihempas dengus nafas Shikamaru. Dengan sedikit gerakan memasukan tangan kanan ke saku celana, ia berujar. Mencoba menarik atensi pemuda satunya.

"Kau tidak bosan, Uchiha?". Jeda. Shikamaru menelisik perubahan ekspresi yang sama sekali tidak terjadi. Ia melanjutkan sembari mengubah posisi. Kini pemuda bermarga Nara itu membuang pandangan pada langit biru di atas sana. Mengingatkannya akan sahabat yang juga dilanda masalah asmara. "Sampai kapan kalian bersembunyi. Cinta kalian tidak akan bersemi kalau terus seperti ini!"

Sasuke tidak langsung menjawab. Dihirupnya nafas sedalam yang ia bisa. Mata hitam pekatnya memejam. Membuat Shikamaru kembali mendengus menghadapi keterdiaman sang Uchiha muda.

"Baru kali ini aku melihat kelemahanmu. Apa kebodohan Naruto sangat memengaruhimu?"

"Kurasa kau benar, karena jika tidak untuk apa aku dengan bodohnya ada di sini dan menunggunya?"

Shikamaru membelalak. Tak menyangka jika Sasuke benar-benar menuruti isi dari surat atas nama Naruto itu. Mengingat kepintarannya, hal itu tidak mungkin. Paling tidak Sasuke bisa berpikir puluhan kali sebelum menyanggupi permintaan dari seseorang yang jelas hanya menggunakan nama Naruto untuk membawanya ke tempat ini. Tapi nyatanya, Sasuke ada di tempat ini bukan untuk menenangkan diri seperti biasanya, ia menunggu kedatangan Naruto yang entah sampai kapan.

"Aku juga tidak menyangka kalau akan melakukan hal ini. Naruto jelas bukan orang yang akan dengan gampanngnya mengirim surat dan memintaku menemuinya di sini, kan?", lanjutnya. Tidak kentara sih, namun raut wajah itu menyendu. Matanya juga tak setajam sebelumnya. Membuat pemuda lain yang ada di sana menatapnya penuh kekhawatiran. Sasuke bukanlah tipe yang mudah dijungkirbalikkan perasaannya.

Shikamaru menghela nafas. Naruto benar-benar kurang ajar, batinnya. Berani sekali bocah itu mempermainkan sosok seangkuh Sasuke. aSmpai jatuh dan remuk seperti sekarang ini. Pemandangan seperti yang jarang Shikamaru lihat. Dia tidak tahu bagaimana Naruto membuat Sasuke dilanda kegalauan yang sangat. satu yang ia pahami sekarang. Jangankan dirinya, Gaara saja yang menjadi sahabat kental Sasuke sampai tersingkirkan. Apalagi ia yang hanya orang luar. Kenal pun karena Naruto yang selalu curhat padanya. Shikamaru benar-benar tidak memiliki kesempatan.

Senyum simpul menghias di wajahnya. Kali ini benar ia akui kekalahan. Senyumnya itu tanda keikhlasan. Lebih baik ia tidak pernah mengungkapkan perasaannya. Disaat seperti ini hal itu tidak tepat. Jadi lebih baik mulai sekarang ia belajar ikhlas.

"Jadi?", setelah mengumpulkan kepingan hatinya yang sudah luluh lantak, Shikamaru berujar. Mata kuacinya fokus menangkap sedikit pun ekspresi Sasuke. Jarak mereka tak menjadi penghalang. "Mau sampai kapan kau menunggu Naruto sadar dengan perasaanmu? Dia hanya pemuda bodoh yang tidak bisa membaca raut wajah orang lain. Cinta kalian akan sangat lama berubah".

"Saa...", Sasuke berbalik, melempar pandangannya pada Shikamaru yang kembali memasang wajah malas andalan. "Mungkin sampai kakiku pegal. Kalau dia tidak datang juga, aku tidak tahu lagi harus bagaimana".

Tergelak.

Baru kali ini seorang Sasuke terlihat putus asa.

"Hahaha... Ternyata otak bodoh Naruto benar-benar meracunimu ya". Sasuke tidak tahu maksud ucapan Shikamaru. "Maksudku, temui dia dan nyatakan perasaanmu".

"Eh?"

"Dengar Sasuke, Naruto itu sangat mencintaimu. Dia memendam perasaan itu selama tiga tahun. Mungkin saat ini, kalau Gaara berhasil membujuknya, bocah itu akan lari tunggang langgang kemari. Tapi kalau tidak, dia hanya akan berdiam diri di tempat dan menunggu kau menghampirinya", Shikamaru mengambil nafas. Sekarang ini ia tidak perlu cemas lagi dengan Uchiha. Giliran Gaara yang harus bisa memaksa Naruto seperti tadi yang ia ucapkan. Setelah itu biar dua orang bodoh yang menyelesaikan.

"Kusarankan, nyatakan saja perasaanmu. Demi apapun dia-",

BRAAK!

Shikamaru tak sempat menyelesaikan perkataannya lantaran interupsi dari suara pintu yang dibuka secara paksa menelusup masuk di pendengarannya. Sosok Gaara dan... Naruto tengah berdiri dengan penampilan yang sedikit berantakan. Nafasnya putus-putus. Pasti sehabis lari mengitari satu sekolah, terka Shikamaru.

Tersenyum, "Jaa naa". Shikamaru memilih untuk hengkang dari temat itu. Tokoh utama dari rangkaian masalah yang membuatnya terlibat kini sudah saling bersitatap. Biarkan mereka yang menyelesaikan. Sudah di luar kehendaknya. Sebuah tepukan pemberi semangat dirinya layangkan pada Naruto, sebelum menghilang ditelan tangga.

.

.

.

Beberapa langkah setelah dirinya meninggalkan pemuda itu, Gaara berhenti untuk sekedar menoleh. Tak ada derap kaki sembrono yang terdengar. Tanda kalau Naruto tidak segera berlari setelah kata-katanya. Pikirnya Naruto adalah pemuda yang mudah dibakar semangatnya. Namun nayatanya si blonde tak lebih cepat dari siput berjalan. Entah bagaimana kinerja otak pemuda itu. Apa kata-kata Gaara kurang bisa dimengerti? Atau Naruto terlalu gengsi untuk kembali mengejar cintanya?

Menghela nafas, Gaara berbalik. Hendak memberi sedikit pelajaran bagi Naruto. Yang katanya cinta mati pada Sasuke, kini sebaliknya. Seolah pasrah pada nasib bahwa dirinya dan Sasuke tak pernah disatukan Tuhan. Apa-apaan itu. Dasar bodoh. Gaara merutuk dalam hati.

Dijeblaknya pintu ruang kelas Naruto. Membuat satu-satunya pria blonde yang masih merenungi nasib itu terhentak karena kaget. Gaara dengan amarah yang tak bisa ditahannya, menghampiri kemudian mencengkeram kerah kemeja Naruto. Membuat sedikit banyak Naruto merasa tercekik. Dan itu sakit. Menyumbat jalur nafas, hingga ia susah bicara. Mata jade Gaara seolah menerkamnya bulat-bulat.

"Apa kata-kata tadi kurang jelas, heh, Uzumaki!", semburnya. Bibirnya berdesis menakutkan. Namun Naruto bergeming. Malahan kini ia tak lagi mau bersitatap dengannya. Apa-apaan sikap itu. Cih Gaara sudah tidak bisa tolerir lagi kalau seperti ini. "Ikut aku bodoh!"

Mereka berjalan –atau berlari. Langkahnya terlalu lebar sehingga makhluk kuning yang dengan terpaksa mengikuti harus terseok-seok. Si surai merah menarik tangan Naruto. Lebih tepatnya mencengkeram. Membatasi segala gerak yang coba si pirang lakukan untuk kabur dari pemuda yang kini tengah kalap. Satu per satu ruang kelas terlewat. Tinggal dua tikungan dan mereka akan sampai di tangga yang menghubungkan lantai tiga dan atap sekolah.

Naruto masih meronta. Suaranya mulai berkicau ingin dilepaskan. Akan tetapi sekali lagi. Gaara sedang kalap. Dan semua ocehan Naruto sengaja ditulikan. Kalau tidak, bisa-bisa ia melayangkan bogem mentah pada pemuda berisik di belakangnya.

"Kau mau membawaku kemana?"

"Diam dan ikut saja". Tarikan lengan Naruto membuat Gaara sedikit kewalahan. Segenap tenaga telah ia kerahkan. Tapi mengingat Naruto dengan postur tubuh yang hampir serupa membuat ia harus mengerahkan dua kali lipat tenaganya. Naruto tidak main-main. Dan Gaara pun juga tidak main-main.

Adegan tarik-menarik itu sejatinya dapat membuat berpasang-pasang mata menatap heran pada mereka. Meski nyatanya koridor lantai tiga itu sudah sepi dari rutinitas sekolah. Upacara kelulusan juga sudah berakhir sejak siang lalu. Langit membiaskan warna sore meski belum sepenuhnya. Tapi lokasi sekolah yang sudah sepi dari lalu lalang siswa menandakan jika mereka sudah terlalu banyak menghabiskan waktu untuk memperdebatkan hal-hal yang sebenarnya tidak perlu.

Tikungan tangga yang menuju atap sekolah sudah semakin terlihat. Cengkeraman Gaara semakin mengerat. Langkahnya juga semakin cepat. Semakin pula Naruto berontak. Walaupun hasilnya sia-sia. Karena dalam hati ia juga ingin –sangat malah bertemu dengan sang pujaan. Medekapnya dalam dada dan kembali melayangkan kata cinta. Entah itu akan diterima atau tidak. Naruto hanya ingin sekali lagi berusaha.

BRAAK!

Nafas mereka terlalu cepat. Seperti lelah karena berlari mengitari seisi sekolah. Memang begitulah kenyataannya. Larinya tidak tapi adegan tarik-menarik lah yang membuat mereka berebut udara.

Dua pasang mata menyambut kedatangan. Satu membeliak, satu dengan wajah tenang. Shikamaru dan Sasuke tengah berhadapan. Dalam hati Gaara sadar, pemilik wajah malas itu sudah menyelesaikan tugasnya. Sedang Naruto tidak peduli. Ia hanya tidak siap jika harus bertemu Sasuke, malu dan takut mendominasi hati. Sebabnya mata biru itu menoleh kesana kemari

"Jaa naa"

Sampai sebuah tepukan tanda semangat ia dapat dari sang sahabat bermanik kuaci.

.

.

.

Sudah bermenit-menit lalu Shikamaru dan Gaara meninggalkannya berdua saja dengan Sasuke. Bermenit-menit pula hening cipta di antara keduanya. Tiada satu pun yang mulai bicara. Mata mereka juga tak ingin melihat objek di hadapannya. Naruto dan Sasuke, dalam radius satu meter saling membuang muka tidak ingin bersitatap. Aura canggung menguar dari mereka berdua.

"A...", memilih memecah senyap, Naruto buka suara. Tapi yang keluar hanya dengung vokal a panjang dengan gerak tubuh tidak meyakinkan. Naruto bingung luar biasa. "Sa, Sasuke". kembali buka suara. Setidaknya hari terakhir di sekolah tidak berakhir menyedihkan. Apalah kata, yang penting kesempatan ada dan Naruto akan memanfaatkannya. Biar saja cerita mereka akan seperti apa. Yang penting dan paling penting adalah usaha. "Sa, Sasuke.. ak, aku.."

"Aku suka Naruto!"

Niat hati hanya tinggal niat. Start sudah dicuri. Dan pelakunya adalah Sasuke. Pemuda pendiam dengan harga diri yang teramat tinggi. Baru saja dia bilang... apa? Naruto tak salah dengar kan? Atau dirinya terlalu terbuai dengan pikiran antah berantah?

Mendapati respon Naruto yang lebih bodoh dari biasanya. Mau tak mau Sasuke mengulang ucapan. Itu pun dengar urat malu yang sudah sangat tegang. Sedikit lagi dan ia akan kehilangan rasa malu selamanya.

"Aku suka Naruto!", ucapnya dengan err... ekspresi yang... oh astaga! Naruto baru kali ini melihat. Wajah itu memerah. Tolong tampar dirinya. Barangkali Naruto salah lihat. Mahkluk di depannya pasti bukan keturunan Uchiha. Ada apa dengan wajah penuh aura intimidasi yang membuat anak kecil menangis? Kemana perginya. Sikap kalem yang selama ini dijunjungnya raib. Terjajah oleh semburat merah yang aduhai. Menjalar dari pipi ke telinga. Juga mata bulat besar yang kentara sekali tidak berani menatap tapi coba dipaksakan.

Jujur. Dalam keadaan biasa Naruto pasti tidak tahan. Tapi ini adalah keadaan darurat. Dimana seharusnya suasana yang tercipta adalah kecanggungan, disusul oleh adegan pengakuan cinta yang terbata-bata –dan kalau benar kata Gaara bahwa Sasuke juga memendam perasaan yang sama, maka peristiwa selanjutnya adalah sesuatu yang romantis luar biasa. Lihatlah, tempat dan waktu sudah mendukung hal itu. Sayangnya... yah sayangnya... ah sudahlah.

"Apa kau bilang?". Jelas Naruto sangat tahu makna dari kata yang baru saja Sasuke ucapkan. Ia hanya ingin mendengarnya sekali lagi. Sebagai barang bukti bahwa hal itu bukanlah halusinasi.

Membuang muka, Sasuke sadar kalau tadi adalah hal yang paling memalukan dalam hidupnya. Ia seorang Uchiha berkata dan bertindak di luar dari garis kekerenan dan keantengan. Yang benar saja. Dan lagi, apa-apaan dengan si idiot kuning di hadapannya. Bukankah sudah jelas. Yakin kalau ungkapan itu tak perlu di ulang sampai kali ketiga. Sebenarnya Naruto itu memang kurang pendengaran atau tengah mengerjainya?

"Ck! Dasar dobe! Kau tidak mungkin tidak dengar kan?"

Berkedip dua kali. Naruto sadar tadi bukan mimpi apalagi halusinasi. Tidak! Tidak! Tadi itu nyata. Sasuke baru saja menyatakan suka padanya. Naruto senang? Tentu saja. Cintanya tak bertepuk sebelah tangan. Di tambah kini ia melihat ekspresi lain Sasuke yang ditunjukan pada dirinya. Aish... lucunya... Jadi ingin menggoda, batinnya nista.

"Kau mengatakannya begitu cepat. Bagaimana mungkin aku bisa dengar, teme... Ayo ulangi. Kali ini lebih lambat, jangat cepat-cepat. Telingaku ini bukan telinga superman tahu!"

Menatap tidak percaya. Positif Naruto tengah mengerjainya. Sial! Padahal tidak pernah ada yang berani melakukan hal demikian padanya. Dasar dobe satu ini.

"Tidak mau!", kilahnya. Ia menggeser posisinya. Hendak berjalan melewati Naruto begitu saja. Yang penting perasaan sudah tersampaikan. Dasar dobe idiot. Pura-pura tidak dengar, memangnya dia siapa berani melakukan ini pada seorang Uchiha? Ayolah... bukankah si dobe Naruto ini yang membuatmu tidak bisa tidur, ne Sasuke? Cih.. mana mau dia mengakuinya.. haha.

"O-oi!". Tangannya sigap menggenggam tangan Sasuke. membawa tubuh yang sudah hendak hengkang dari tempat itu untuk kembali dalam radius jangkauan matanya. Enak saja, setelah memecah hening cipta yang rasanya begitu lama, pemuda itu mau lari begitu saja. Tidak akan Naruto biarkan. "Kau tidak bisa pergi begitu saja!"

"Hah! Memangnya kau siapa, hah! Orang tua? Bukan. Keluarga? Bukan. Pacar? Bukan. Kau tidak berhak melarangku!". Sasuke kalap, meski tidak berontak dari genggaman Naruto di lengannya. Ck dasar tsundere...

"Memang bukan". Seringai terpatri di wajah bergaris milik Naruto. Akibat dari pancingannya pada Sasuke yang kini membelalakan matanya. Tidak menyangka kalau Naruto akan berkata begitu. Dalam otaknya ia berpikir kalau Naruto akan berusaha, setidaknya akan bilang kalau dia adalah pacaranya, lha ini?

"Aku memang bukan orang tua, keluarga, ataupun pacar...", katanya kemudian. "Tapi aku adalah orang yang mencintai Sasuke, dalam suka maupun duka, kaya maupun miskin, sampai maut memisahkan"

"Ap.. apa?". Rona merah menjalar di sekujur wajah Sasuke. Dia malu setengah jengkel mendapati kata-kata rayuan Naruto. "Uh... dobe!"

"Hehe... jadi Sasuke... ayo katakan sekali lagi"

"Tidak mau!"

"Ayolah... ne ne.. katakan kalau kau suka padaku"

"Tidak mau dan lepaskan tanganku!"

"Tidak! Sebelum kau mengatakannya! Ayo katakan..."

"Uh...". Melihat wajah Naruto sedekat ini membuat jantung Sasuke menabuh genderang. Sial! Apa Sasuke harus mengatakannnya? Tidak! Ia tidak mau lebih malu dari ini. Tapi kalau tidak, sampai malam posisi mereka akan terus begini. Naruto bodoh, dirinya benar-benar telah membuat Sasuke jadi super OOC hari ini. "Ba, baiklah!"

"Ok! Aku dengarkan". Senyum lebar terpatri di wajah. Mata sudah berbinar layaknya bintang di langit malam. Sedang Sasuke kini merunduk kayak putri malu. Mungkin juga ada asap mengepul akibat rasa panas yang menjalar di tiap-tiap sudut tubuh.

"A, aku... aku suka Naruto".

Sontak tarikan lembut Sasuke terima. Kemudian sebuah pelukan mendarat di tubuhnya. Belum lagi kecup mesra yang tepat berada di tengah kening mulus miliknya. Sasuke sudah lebih dari cukup untuk mematung tak berdaya. Dan saat wajah itu makin dekat reflek Sasuke memejamkan mata.

Sebuah ciuman. Tidak tapi lumatan. Oh tepatnya frenchkiss mereka yang kedua. Lalu ada ciuman selanjutnya. Selanjutnya. Dan selanjutnya. Di saksikan oleh atap, cinta mereka berakhir bahagia.

"Aku juga cinta Sasuke", tuturnya.

.

.

.

TAMAT

.

.

.

*pojokanauthor

Hisashiburii... sudah lama ya –atau tidak. hehe... gimana? Jelek? Sepertinya ya... ya beginilah akhir dari sebuah cerita ala kadarnya dari author macam saya. Mau gimana lagi, otak udah menumpuk dengan segala tetek bengek tugas dan kawan-kawannya. Jadilah adegan absurd menutup cerita yang juga tak kalah absurdnya.

Tetapi saya tetap berterima kasih dengan sangat, karena para pembaca budiman yang mau menunggu cerita ini. Terutama mereka-mereka yang berkenan untuk meninggalkan jejak di kotak ripiu –maaf gak bales satu-satu. #virtualkiss.

Saya nggak bisa berkata-kata lagi... jadi ya... pokoknya makasih lah... hehe...

-silakan tinggalkan pesan dan kesan-

-arigatou gozaimasu-

BONUS

Naruto melepas pelukannya, tiba-tiba. Membuat Sasuke manatap heran. Apalagi tingkahnya yang merogoh saku celana. Mengeluarkan sebuah... kancing kemeja?

"Untukmu", katanya sembari menyodorkan kancing itu pada Sasuke. Sasuke bingung. Tapi tetap menerima. "Itu kancing kedua seragam sekolahku".

"Untuk?"

"Tentu saja untukmu". Senyum Naruto merekah kemudian. "Kau tahu. Dari rumah aku sengaja menyimpannya untukmu, hehe"

"Kh!", Sasuke berbalik. Hendak pergi. Naruto mengejar sang kekasih.

"O-oi!"

"Kau masih percaya hal itu?"

"Memang kenapa?", mereka berjalan bersisian. Saling menautkan tangan. Sasuke memasukkan keancing itu dalam saku celana.

"Tidak apa-apa. Terima kasih".

.

.

.