Kuroko no Basuke Fanfiction

Disclaimer: Fujimaki Tadatoshi

I just borrow his Chara

WARNING!

TYPO, AU, OC (untuk keperluan cerita), OOC, dan lain sebagainya

Pemeran utama:

Akashi Seijurou

Kuroko Tetsuya


UNDEFINED

Chapter 13: HIPOTESIS

Malam hari itu aku bermimpi. Aku kembali lagi di hari musim panas, ketika aku mengunjungi Okaa-sama dan Tetsuya. Semuanya sama persis. Kami berdua di dalam kamar Tetsuya, membicarakan tentang hobi membacanya. Aku membaca novelnya. Semuanya terasa seperti nostalgia. Semuanya terasa seperti nyata. Lalu, mimpi itu menjadi semakin meresahkan ketika Tetsuya melangkah untuk duduk di pinggir jendelanya.

Aku tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Ia akan melompat untuk bunuh diri. Di dalam mimpi itu aku tahu apa yang akan terjadi, tetapi tubuhku tidak mau bergerak. Aku tetap terpaku seperti beton sambil menyaksikan Tetsuya yang semakin dekat melangkah menuju tepi jendela.

"Tetsuya!" aku berhasil berseru. Saudaraku menoleh ke arahku. Wajahnya tenang, seperti air danau tanpa riak. Wajah yang menyembunyikan banyak rahasia dariku. Aku ingin menggapai Tetsuya, menariknya menjauh dari jendela. Setidaknya, di dalam mimpi aku harus menyelamatkannya dari kematian!

Namun, tindakanku tidak diperlukan. Seolah tersambar sesuatu, Tetsuya meloncat turun dari jendela dan langsung berjalan cepat ke arahku. Ia memojokkanku di dinding kamarnya. Kedua tangannya di kedua bahuku dan dicengkram dengan sangat kuat olehnya. Setahuku Tetsuya tidak sekuat ini, tetapi ia mencengkramku seolah-olah ingin meremukkan tulang-tulangku. Meski ini mimpi, semuanya terasa nyata. Sakitnya terasa nyata.

"Kenapa kau kembali?" tanyanya kasar. Aku menatap wajahnya. Air danau tanpa riak itu kini sudah tidak ada lagi. Kini wajahnya seperti danau yang dihujani oleh badai. Permukaan airnya tidak beraturan dan kasar. Bola matanya bergerak liar.

"Apa?" tanyaku tidak mengerti. "Aku ingin menolongmu, Tetsuya!" kataku.

Ia mengguncang-guncangku. "Pergi! Kau tidak tahu apa-apa tentangku!" katanya. Ia semakin mendorongku ke dinding, seolah ingin memasukkanku ke dalam dinding kamarnya agar aku tidak bisa kabur kemana-mana lagi.

"Beritahu aku! Selama ini aku tidak tahu apa-apa tentangmu! Aku ingin menolongmu! Apa yang terjadi padamu?!" tanyaku bertubi-tubi. Semua adalah pertanyaan yang tidak sempat aku tanyakan pada Tetsuya. Setidaknya, kalau ini mimpi, maukah kau memberitahuku?

Namun, ia menggeleng. Ia menggeleng dengan frustasi dan akhirnya ia meletakkan kepalanya di bahu kananku. Refleks, aku mengangkat tanganku untuk memeluknya. "Pergi! Jangan terlibat denganku. PERGI!" bentaknya.

Dan aku terbangun.

.

Rupanya malam ini sedang badai. Angin kencang mengetuk jendela apartemenku tanpa henti. Aku bangun dengan keringat sudah membasahi seluruh baju tidurku. Lenyap sudah kantukku. Bangun dari mimpi seperti itu membuat seluruh energiku habis terkuras. Mimpi itu terasa sangat nyata, seperti Tetsuya yang datang langsung kepadaku. Di dalam mimpi, ia terasa sangat hidup.

Aku bangun dan berjalan ke arah dapur untuk mengambil minuman. Dari dalam kulkas, aku meminum satu botol air dingin yang langsung kuhabiskan. Rasanya sedikit lega karena aku sudah mengeluarkan banyak cairan tubuh dari keringat akibat mimpi tersebut. Aku melirik jam dinding di ruang makan dan waktu baru menunjukkan pukul 2 pagi. Aku tidak mau tidur lagi, tetapi tetap berjalan masuk ke dalam kamarku.

Aku duduk di kursi belajarku. Di atas meja masih terbuka buku coklat yang kuambil dari kamar Tetsuya di rumah Okaa-sama. Setelah aku megusap seluruh wajahku agar aku lebih konsentrasi, aku mulai membuka lembar demi lembar buku itu lagi. Kali ini aku membacanya dengan lebih teliti.

Lembar pertama.

NAMA : SUZUKI KEN

USIA : 50 TAHUN

PEKERJAAN : GURU SASTRA JEPANG SMA TEIKO

Lalu, ada foto seorang laki-laki paruh baya berambut coklat yang sudah beruban. Mungkin itu adalah foto formal yang biasa digunakan untuk melamar pekerjaan atau untuk mengisi biodata. Aku mengingat-ingat apakah di SMA Teiko ada guru sastra jepang bernama Suzuki Ken, rasanya tidak ada. Karena yang mengajar di kelasku (Tetsuya) adalah seorang guru perempuan.

[COMPLETED]

Aku sudah memiliki hipotesis sendiri mengenai kejadian ini. Pasti biodata ini tidak jauh-jauh dari kegiatan OSIS Belakang. Hipotesisku mengatakan bahwa ini juga merupakan kumpulan misi-misi yang diberikan oleh Ketua Dewan untuk para anggota OSIS Belakang. Tidak aneh dan tidak mengherankan. Namun, rasanya masih terasa salah. Rasanya ada sebuah potongan puzzle lagi yang belum lengkap. Yang tidak bisa aku temukan sekarang.

Lembar kedua.

NAMA : KATO AZUMI

USIA : 17 TAHUN

PEKERJAAN : SISWI SMA NEGERI 2 TOKYO

Lalu, foto seorang perempuan muda yang lumayan manis dengan seragam sekolah negeri. Ia tampak tersenyum tenang di foto, seolah semua baik-baik saja.

[COMPLETED]

Lalu lembaer ketiga, keempat, kelima... entah rasanya sudah pertengahan buku isinya hanya biodata saja. Kalaupun ini memang misi yang diberikan oleh Ketua Dewan untuk OSIS Belakang, di buku ini sama sekali tidak dijelaskan apa saja misi yang harus dilakukannya atau apa alasan orang-orang ini menjadi target Ketua Dewan.

Aku menyerah membacanya. Buku itu kubiarkan terbuka, menandakan sampai bagian mana aku sudah membacanya. Kepalaku terasa berat karena terlalu banyak membuat hipotesis dan menerka-nerka. Namun, aku tahu itu sia-sia. Aku tidak akan kemana-mana kalau hanya duduk diam di kamar ini. Hipotesisku ini perlu dibuktikan. Ketika aku memejamkan mata, barulah aku sadar bahwa mataku terasa sangat perih dan berat. Kantuk sudah menyerangku kembali. Terlepas tadi aku bermimpi buruk yang terasa sangat nyata, rupanya tubuhku masih membutuhkan istirahat. Aku menuruti keinginan tubuhku. Aku bangkit dari kursi dan kembali ke ranjang. Aku kembali tidur.

.

"Wajahmu mengerikan," komentar Ogiwara ketika aku bertemu dengannya di kelas. Aku hanya menaruh tasku dan tidak menjawabnya. Mungkin memang wajahku mengerikan. Setelah aku terbangun subuh tadi, ketika aku mencoba tidur karena tubuhku meminta, nyatanya aku tetap tidak bisa tidur. Parahnya, aku mengalami sleep paralyse, dan itu sangat merepotkan. Itu bukan pertama kalinya aku mengalami gangguan tidur seperti itu, dan biasanya gangguan tidur itu terjadi jika aku dalam kondisi stress dan insomnia. Namun, jelas sangat merepotkan.

Ogiwara belum puas memandangiku. Ia seolah menuntut sebuah penjelasan sejelas-jelasnya. Aku menghela napas. "Aku bergadang untuk kuis sejarah hari ini," kataku bohong. Kenyataannya, aku baru saja membuka buku sejarah tadi pagi. Lima belas menit sebelum berangkat sekolah. Isi kepalaku benar-benar dipenuhi oleh sosok Tetsuya, OSIS Belakang, dan antek-anteknya. Rasanya, aku tidak bisa berpikir hal yang lain. Otakku sudah penuh.

"Kau tidak perlu belajar juga sudah pasti bisa," katanya sambil menepuk-nepuk bahuku. Aku hanya tersenyum tipis menanggapinya. Kenyatannya, aku juga tidak peduli-peduli amat soal kuis sejarah. Ogiwara hampir membalikkan tubuhnya, tetapi aku memanggilnya.

"Ada apa?" tanyanya.

Aku menelan ludah. Apakah ini tindakan benar, menguji hipotesisku pada Ogiwara? Setidaknya, karena Ogiwara tidak terlibat dalam OSIS Belakang, dia bisa menjawab pertanyaanku dengan mudah kan? Tanpa harus disertai teka-teki.

"Suzuki Ken-sensei, mengajar sastra jepang di kelas berapa?" tanyaku pelan-pelan. Aku mengamati seluruh ekspresi Ogiwara lekat-lekat. Aku tidak mau ada ekspresi yang terlewat. Ia tampak berpikir sejenak sebelum menjawab.

"Setahuku mengajar murid kelas tiga," jawabnya, "tapi sensei sudah tidak mengajar lagi di sini sekarang," tambahnya. Tanpa sadar aku menegakkan punggungku.

"Kenapa?" tanyaku.

"Aku kurang tahu, tapi sensei mengundurkan diri sebelum musim panas," jawabnya. Jawaban aku kurang tahu itu benar-benar membuatku jengkel sekaligus kecewa. Apa itu artinya pembuktian hipotesisku cukup sampai disini? Namun, aku menolak untuk menyerah.

"Aku lupa, waktu sensei mengundurkan diri, apa ada rumor?" tanyaku. Aku mencoba memancing ingatannya.

Ogiwara tampak berpikir keras. "Katanya sih dia mengundurkan diri karena orangtuanya di kampung sakit dan dia harus mengurusnya."

Itu saja yang aku dapat dari Ogiwara. Aku tidak bertanya lebih jauh lagi. Sekarang, aku jadi mulai berpikir. Guru sastra jepang itu mengundurkan diri dan namanya ada di buku catatan Tetsuya dan ditandai dengan tulisan [COMPLETED]. Kalau semuanya kebetulan, maka aku sama sekali tidak percaya. Aku sudah menyaksikan langsung cara kerja OSIS Belakang yang semuanya akan dibungkus oleh kebetulan atau kecelakaan. Bisa jadi, OSIS Belakang melakukan sesuatu yang membuatnya terpaksa harus mengundurkan diri. Itu hipotesis yang paling memungkinkan. Mengingat ini OSIS Belakang, apapun bisa dilakukan.

Namun, aku masih penasaran, apa yang dilakukan oleh Suzuki Ken itu sampai dia jadi target OSIS Belakang? Dia seorang guru... kesalahan tak termaafkan apa yang bisa dilakukan oleh seorang guru sampai OSIS Belakang harus menanganinya. Dan lagi, ia mengundurkan diri sebelum musim panas.

Sebelum musim panas.

Itu artinya sebelum Tetsuya melakukan percobaan bunuh diri!

Rasanya seperti air es langsung disiram ke dalam otakku, membuat aliran listrik di dalam otakku kembali menyala dan aku menemukan hipotesis baru. Apa ada hubungan antara Tetsuya dan Suzuki Ken?

Kalau dipikir-pikir, catatan itu berada di tangan Tetsuya. Kejadiannya sebelum musim panas. Dan, Tetsuya juga merupakan salah satu anggota OSIS Belakang, serta dari yang selama ini aku tangkap Tetsuya merupakan salah satu orang penting di dalm organisasi itu. Aku belum tahu apa kedudukan Tetsuya di dalam OSIS Belakang, tapi setidaknya Nash Gold meminta saran pada Tetsuya, serta Ketua Dewan begitu memperhatikan Tetsuya.

Sejujurnya, aku sama sekali belum puas. Aku masih ingin kebenaran pasti mengenai Suzuki Ken ini. Aku ingin bertanya pada orang yang benar-benar punya jawaban pasti untuk semua pertanyaanku. Pikiranku langsung jatuh pada Midorima Shintarou. Iya, orang itu pasti bisa menjawab semua pertanyaanku. Namun, ada beberapa masalah yang menyertainya.

Pertama, saat ini ada Takao Kazunari yang sangat membenci Kuroko Tetsuya dan selalu menempel pada Midorima layaknya parasit. Aku hampir-hampir tidak bisa bicara berdua saja dengan Midorima. Kedua, kalau aku kebanyakan bertanya soal misi dari Ketua Dewan ataupun OSIS Belakang, dia akan curiga. Dia sudah sempat mencurigaiku beberapa kali, belum lagi kalau Takao yang kemungkinan tahu siapa aku. Dan jangan lupakan Ketua Dewan yang tahu segalanya di sekolah ini.

Selain Midorima Shintarou, aku tidak yakin harus bertanya pada siapa. Nash Gold Jr.? Dia tidak akan pernah masuk daftarku. Aomine atau Murasakibara? Mereka bukan tipe yang akan menjawab pertanyaanku dengan lugas. Jason Silver? Setelah apa yang ia lakukan pada Tetsuya dan aku, saat ini aku hanya ingin membunuhnya dan menyembunyikan mayatnya di suatu tempat. Dengan begini, aku tidak punya tempat untuk bertanya.

Satu per satu murid mulai datang dan Kise datang satu menit sebelum bel masuk berbunyi. Wajahnya merah karena ia habis lari-lari. Napasnya terengah-engah, tetapi ia datang tepat waktu. "Aku selamat ssu," katanya lega. Ia masih duduk di sebelahku dan langsung menegak minuman isotonik yang ia bawa.

"Kenapa telat?" tanyaku.

Kise bernapas dulu sebelum menjawab pertanyaanku. "Aku ada pemotretan sampai malam kemarin, jadi aku tidak dengar alarm-ku berbunyi tadi pagi," jelasnya.

Aku mengangguk. Ogiwara berbalik untuk mengobrol dengan kami. "Hoo, aku melihatmu kemarin," katanya.

Kise menatapnya. "Iya, kita kan sempat bertemu ssu," katanya, "kau menyapaku."

"Dimana kalian bertemu?" tanyaku.

"Di peron stasiun. Aku baru pulang dari les," kata Ogiwara. Dia menatap Kise, "tapi aku tak menyangka kau masih ada pemotretan di malam hari," katanya.

Kise hanya tersenyum miris, "biasanya tidak ssu. Tapi karena banyak design pakaian baru yang masuk ke agensi, jadinya pemotretannya agak lama," jelas Kise.

Ogiwara hanya menggeleng-gelengkan kepalanya takjub. "Kau model yang gigih ya," katanya. Kise hanya tertawa mendengarnya. "Berarti yang bersamamu kemarin itu manager-mu?" tanyanya.

Kise mengangguk. "Begitulah. Manager juga yang mengantarku pulang karena sudah malam."

"Sangat berdedikasi sekali."

Kise hanya tertawa lagi. "Ngomong-ngomong, kuis sejarah, kalian belajar apa saja ssu?"

.

Selanjutnya adalah pelajaran musik. Kami sekelas belajar di ruang musik yang berisi berbagai macam alat musik, mulai dari suling sampai piano. Dari saxofone sampai celo. Semuanya lengkap di sana. Ini pertama kalinya aku memasuki ruang musik SMA Teikou. Ruangannya tidak begitu besar dan alat-alat musik disusun rapih.

"Aku tidak tahu kalau kau pandai bermain biola," komentar Ogiwara. Aku bermain biola sudah sedari kecil, hasil didikan orangtua kami yang begitu keras. Namun, aku tidak menjawab seperti itu.

"Aku hanya paham dasar-dasarnya saja," jawabku.

Pada pembelajaran kali ini, kami di suruh membuat aransemen musik. Satu kelas dibagi menjadi empat kelompok dan hasil dari aransemen akan ditampilkan serta dinilai dua minggu lagi. Benar-benar tugas yang merepotkan.

Aku harus berkonsentrasi mati-matian pada note-note dihadapanku. Si pianis sedang berusaha menyelaraskan nada. Segelintir orang yang bisa bermusik sedang berkonsentrasi mengaransemen lagu, berlomba-lomba menjadi yang terbaik. Beberapa orang itu membantu mengaransemen lagu. Sisanya yang buta nada dan tidak peduli pada pelajaran musik hanya meniup-niup saxofone dengan brutal sehingga menghasilkan nada sumbang, atau hanya sekedar bercanda dan tertawa-tawa.

Aku sendiri sedang berusaha berkonsentrasi pada pianis yang terus menjentikkan jarinya di tuts piano sampai menghasilkan nada yang pas. Sejujurnya, aku sama sekali tidak berminat pada pelajaran ini. Aku sudah bilang kalau otakku sudah dipenuhi oleh Tetsuya dan semua rahasianya, jadi aku hanya berusaha tidak bengong selama pelajaran atau keluar kelas untuk menyelidiki OSIS Belakang.

Ogiwara termasuk dalam kelompok yang hanya meniup-niup saxofone demi kesenangan belaka. Ia sama sekali tidak sadar kalau nada suara yang dihasilkan itu sangat sumbang dan membuat telingaku sakit. Kise malah tidak memegang alat musik apapun. Ia malah santai mengobrol seru dengan para perempuan di kelas. Sensei yang mengajar sudah tidak tahu dimana lagi. Rasanya, setelah ia menyuruh kami mengaransemen lagu, ia menghilang tanpa jejak.

Aku menghela napas. Benar-benar pelajaran terburuk.

.

"Ketua Dewan."

"Hi hi hi. Berani sekali kau menemuiku secara langsung," jawab suara mekanik itu dengan nyaring. Dia sama sekali tidak bergeming mendengar suara mekanik itu. Ruangan itu tetap kosong, tidak ada apa-apa. Bahkan manekin pun tidak ada. "Sepertinya kau ingin mengatakan sesuatu padaku."

Dia menelan ludah. Dia sudah sampai di sini. Mana bisa mundur lagi sekarang. Kalau pun ia mau mundur, sudah sangat terlambat.

"Sebelum kau mengutarakan keinginanmu, aku akan memberitahumu sesuatu," kata suara mekanik itu. "Yang bisa menemuiku secara langsung ini hanya ada tiga orang saja. Kau tidak pantas bertemu langsung denganku." Meskipun suara mekanik, tetapi nada suara itu penuh dengan ejekan dan cemoohan.

Dia tahu kalau dia tidak penting. Sedari dulu selalu seperti itu. Ketika ia merasa penting, akan muncul seorang hebat yang merampas cahayanya. Lalu, dia akan terlupakan di dalam kegelapan begitu saja. Namun, sekarang dia sudah lelah. Dia tidak mau dilupakan lagi.

"Maafkan saya," katanya.

"Hi hi hi. Kenapa minta maaf? Karena kau lemah? Karena kau bukan siapa-siapa?" tanya suara mekanik itu. Tawanya begitu melengking dan itu membuat dia sedikit takut. Ketua Dewan, tidak pernah ada yang tahu siapa dia, tetapi dia adalah orang yang paling tahu mengenai sekolah. "Apa keinginanmu, anakku yang malang?"

Oh, keinginan. Tidak pernah ada yang bertanya mengenai keinginannya. Semua orang hanya bisa menuntutnya! Memaksanya! Merampas semua yang berharga baginya! Ia tidak pernah diberi kesempatan untuk menginginkan. Tidak pernah sekalipun ia diberi hak!

"Katakan, katakan. Aku hadir untuk mendengar jeritan hatimu, anakku! Kau lelah kan? Kau ingin berubah kan? Makanya kau mendatangi aku kan? Katakan, katakan!"

Iya, dia lelah. Hatinya menjerit. Dia tidak tahu harus kemana lagi kalau bukan pada Ketua Dewan.

"Ketua Dewan... ada seseorang..." katanya pelan, "yang merampas cahaya dari hidup saya. Satu-satunya cahaya di dalam hidup saya dirampas begitu saja. Saya ditinggalkan lagi di dalam kegelapan."

"..."

"Saya tidak bisa memaafkannya! Saya tidak akan memaafkannya!" serunya penuh emosi. "Saya ingin menghancurkannya."

"Hi hi hi. Kau benar-benar anak yang malang. Nasib baik tidak pernah menghampirimu. Karena itu kau datang padaku."

Hatinya dipenuhi rasa benci yang begitu membara. Setiap kalimat yang keluar dari suara mekanik itu seperti menambahkan minyak ke dalam api unggung. Semakin panas. Semakin berkobar. Semakin kebencian itu membakar akal sehat.

"Kalau kau tidak menyingkirkannya, maka kau yang akan tersingkir selamanya. Hi hi hi."

"Saya tidak mau! Ketua Dewan, tolong beri saya kekuatan untuk menyingkirkannya!"

"Semangat yang bagus. Nah, permainan apa yang cocok untukmu?"

.

Aku dan Ogiwara tinggal berdua di ruang musik. Kami bertugas untuk membereskan alat-alat musik yang berserakan. Mengapa kami berdua? Karena hari ini jadwal piket kami berdua dan kami berdua kalah suit dari anak-anak yang lain.

"Haah," desah Ogiwara. Ia bosan membereskan dan akhirnya duduk sambil menghadap jendela. Jendela langsung mengarah ke lapangan basket yang sudah ramai oleh para murid. Wajar saja, ini sudah jam istirahat dan beberapa orang sedang asyik bermain basket. "Aku juga ingin main basket," katanya melamun.

Aku merapikan serakan kertas-kertas dan menaruhnya di laci kaca, "semakin cepat kita selesai, semakin cepat kau bisa main basket," kataku.

Aku masih sibuk merapikan kembali buku-buku panduan bermusik dan menaruh cello ke dalam sarungnya ketika suara kaca pecah itu mengagetkanku. Cello itu hampir lepas dari tanganku dan jatuh, tetapi aku berhasil tidak melepaskannya.

"OGIWARA!"

Teriakan itu membuatku sontak berbalik dan menoleh melihat Ogiwara jatuh ke lantai, di sekelilingnya serpihan kaca dan ada bola basket nyasar. Yang lebih parahnya, Ogiwara menutupi matanya dan di kemeja sekolahnya terdapat bercak darah yang sangat banyak.

"Maaf ssu." Kata itu diucapkan oleh Kise yang sudah hampir menangis. Aku bergegas menuju Ogiwara.

"Kau bisa bangun?" tanyaku sambil memapahnya. Kise dan beberapa orang melirik keadaan Ogiwara dari jendela yang pecah. Beberapa anak murid ikut mengintip dari pintu ruang musik. "Panggil guru!" seruku. Beberapa anak berlari dari situ. Kise masih diam di tempat. Kedua matanya merah dan air mata menetes dari kelopak matanya.

.

Ogiwara di rujuk ke dokter mata untuk dilakukan penjahitan kelopak mata. Hal ini dikarenakan benturan bola dan pecahan kaca merobek kelopak mataya lebih dari 2/3 bagian, sehingga harus ditangani oleh dokter mata agar tidak terjadi efek samping yang mengerikan.

Kise duduk disebelahku. Seluruh tubuhnya gemetaran. Ia terus bergumam kalau ia yang akan membayar biaya pengobatan Ogiwara dan aku hanya duduk di sebelahnya tanpa mengatakan apapun. Saat ini pikiranku terbagi menjadi dua. Yang pertama, aku khawatir mengenai Ogiwara. Aku ingin dia baik-baik saja. Yang kedua, rumah sakit yang saat ini menangani Ogiwara adalah rumah sakit tempat Tesuya di rawat.

Jantungku rasanya berkontraksi tak karuan. Tanganku berkeringat dan aku takut dengan hal-hal kecil. Aku memastikan semua pegawai rumah sakit yang lewat tidak ada yang kenal padaku. Aku seperti maling yang baru saja mencuri di sebuah rumah besar, tetapi besoknya diundang masuk oleh tuan rumah. Perasaanku tak karuan.

Aku menatap Kise. Ia masih belum berhenti menangis, tetapi sudah lebih tenang dari sebelumnya. Sesekali airmatanya keluar dan ia langsung mengusapnya kasar, sampai pinggir matanya berwarna merah akibat lecet. Aku menepuk-nepuk bahunya agar ia tenang.

"Itu bukan salahmu," kataku, "kalau bermain basket memang kadang selalu ada kecelakaan."

Dia menatapku. "Kalau aku passing dengan lebih baik, Ogiwara tidak mesti begini ssu," katanya.

"Kita cepat membawanya ke dokter, jadi dia pasti baik-baik saja," kataku lagi.

Kise mengambil tanganku yang di pundaknya dan ia membawanya ke dalam genggaman tangannya yang besar. Dalam sekejab, telapak tanganku beserta kelima jariku tenggelam di dalam kepalan tangan Kise yang besar dan hangat. Dia menggenggam tanganku dengan sangat lembut, tetapi juga seolah sedang mencari perlindungan. Aku tidak tahu apa yang aku rasakan saat ini, karena aku sedang memikirkan banyak hal, tetapi aku tidak melepaskan genggaman tangannya.

Ogiwara keluar dari ruang praktek dokter mata beberapa saat kemudian. Mata kanannya diperban semua. Ia tersenyum dan membungkuk hormat pada si dokter.

Aku orang yang perrtama bangkit dan berjalan ke arahnya. "Bagaimana?"

Dia tertawa. "Hanya dijahit saja kelopak mataku. Dokter bilang tidak sampai mengenai bola mataku," katanya lega. Aku juga menarik napas lega. Kise ikut bangkit dan langsung memeluk Ogiwara.

"Maaf ssu," katanya, "kau jadi mengalami hal seperti ini karenaku." Dia mulai menangis lagi. Ogiwara hanya tertawa di pelukan Kise.

"Ya ampun, kenapa kau yang menangis? Justru aku harusny berterima kasi karena kau mau membayar biaya pengobatanku," katanya sambil menepuk punggung Kise.

Kise menggeleng. "Itu bukan apa-apa."

Akhirnya, mereka selesai berpelukan. Ogiwara melontarkan beberapa lelucon agar Kise tidak lagi merasa murung atau bersalah. Aku hanya mendengar percakapan mereka berdua dan menyuruh mereka bergegas pergi dari rumah sakit ini. Ya, setidaknya kalau sudah berada di luar rumah sakit, aku sudah merasa sedikit lega.

"Aku mau ke toilet ssu," kata Kise. Aku dan Ogiwara hanya menatapnya.

"Kenapa kau tidak ke toilet ketika kita menunggu tadi?" tanyaku.

Ia menampilkan cengiran tidak enak. "Tadi aku kan benar-benar tidak bisa berpikir, mana ingat kalau aku harus ke toilet. Sekarang baru mau ke toilet."

Aku hanya mendesah berat. Alasan Kise cukup masuk akal. Di dalam keadaan darurat seperti tadi, mana mungkin ia sibuk memikirkan hal lain. "Ya sudah. Kami berdua akan menunggumu di depan parkiran rumah sakit. Cepatlah ke toilet," kataku. Kise mengangguk dan segera berbalik masuk ke bangunan rumah sakit.

Aku menatap bangunan rumah sakit yang sudah familiar. Biasanya alasanku datang ke sini untuk Tetsuya, tetapi sekarang aku bahkan tidak menjenguknya.

Maaf ya Tetsuya. Aku akan menebusnya di lain waktu.

To Be Continued


A/N: lagi-lagi saya hanya bisa berkata MAAF. Maaf sudah menelantarkan cerita ini untuk 2 tahun lebih. Maaf kalau saya belum bisa menjawab semua pertanyaan para pembaca. Maaf membuat para pembaca menunggu lama. Maaf saya tidak bisa membalas review kalian satu per satu, dan maaf lainnya.

Selain maaf, saya ingin berterima kasih kepada pembaca yang menunggu dengan sabar dengan penulis seperti saya, terima kasih sudah mau meluangkan waktu kalian yang berharga untuk membaca tulisan ini. Terima kasih sudah mau mengetik review di kolom review meskipun saya jarang sekali membalas review kalian. Jujur, meskipun saya tidak membalas (atau tidak sempat membalas), saya senang sekali dengan respon pada pembaca.

Saya menulis kisah ini dimulai sebelum UN SMA dan sekarang saya sudah lulus sidang Skripsi, dan cerita ini masih tetap To Be Continued. Saya tidak bisa menjanjikan kapan update berikutnya.

Hanya itu yang ingin saya sampaikan kepada para pembaca sekalian. Semoga para pembaca menikmati cerita ini dengan sepenuh hati.

Semua komentar, kritik, dan saran selalu diterima tanpa syarat dan ketentuan. Atau hanya sekedar menekan tombo favorite dan follow saja saya sudah senang

Salam,

Sigung-chan