Chapter 7 : Loneliness


"Mungkin kau menanyakan

Apakah aku membencimu

Jawabanku adalah tidak

Bagaimanapun,

Aku menyukai orang yang menerima"

-Time 0-


Dia berdiri di reruntuhan bangunan, dia tidak tau mengapa tapi dia merasa bangunan yang saat ini berkeping menjadi alas kakinya pernah menjadi bangunan megah yang sangat indah. Dia bahkan seperti bisa melihat menara-menara menjulang menantang langit malam dengan jendela yang berkelip terang. Dia bisa merasakan rasa rindu yang sangat mendalam di hatinya, merindukan kejayaan kastil yang kini tertelan dalam ketiadaan. Dia bahkan merasa bisa mendengar samar-samar suara kasak kusuk tawa remaja yang terbawa angin.

Kenyataanya dia masih berdiri sendirian ditanah yang luluh lantah. Sepanjang kemampuan indranya memandang hanya dia sendirian berada di sana. Sakit. Dia memegang hatinya yang berdenyut menyakitkan pada masa yang telah hilang dan tak akan kembali ini. Matanya menatap sayu sekelilingnya meski dipikirannya menolak untuk mengingat kenapa ia merasa kesedihan yang begitu mendalam ini.

Berjalan bergandengan angin dia melangkahkan kaki lebih dalam, mencoba mencari mereka. Mereka?

'Mereka siapa?'

Siapa yang dia coba cari? Dia berhenti berjalan.

'Mau kemana? Dimana?'

Banyak sekali suara pertanyaan terngiang dikepalanya tanpa jawaban.

Menengok kesamping, dia melihat makam. Aneh. Dia tidak melihatnya tadi. Dia mendekati makam tersebut. Makam yang berbatu marmer putih yang walau terlihat tua terlihat masih begitu indah.

Ujung jarinya tanpa sadar menelusuri simbol kecil unik yang terpatri di tengah-tenah marmer. Jemarinya dengan hafal berulang membentuk simbol yang sama seperti dia tak bisa berhenti.

"..ry... H...ry..." dia seperti tau nama itu memanggilnya. Jadi dia menolehkan kepalanya kearah suara yang berada dibelakangnya.

Dia mencoba berteriak melihat apa yang memanggilnya itu. Tapi tubuhnya kaku ketakutan. Ditempatnya tadi berdiri, sepanjang dia melihat, terdapat tubuh berdarah tergeletak begitu banyak disana. Tubuh-tubuh yang seperti pernah dia kenal. Tak dia sadari air mata terus menetes dari matanya yang seolah tak mau mengalihkan pandangannya.

"hahahhahahahahah" tawa dingin terdengar dekat kakinya. Dia menoleh ketakutan menengok dibawahnya pada pemandangan yang sangat mengerikan. Wajah yang seperti ular tertawa keji dan memandangnya dengan mata merah yang menakutkan.

Hwaaaaaaaaaaaaaaaa

"Akira! Hei! Bangun!" Akira membuka matanya nyalang dan ketakutan. Tubuhnya memberontak ingin lari. "Akira!" tubuhnya dipegang lebih erat.

Matanya akhirnya bisa fokus hingga dapat melihat wajah Kaname yang menatapnya khawatir. Berkedip beberapa kali untuk menghilangkan air mata agar tak menutupi pandangannya. Dia juga menyadari tubuhnya gemetaran.

"Akira." Panggilan nama itu lagi. Benar. Namanya Akira. Bukan 'itu' lagi. 'Itu' siapa? Keningnya mengkerut tak mengerti.

Akira mengalungkan tangannya ke leher Kaname dan menenggelamkan wajahnya pada leher itu. Menghirup aroma khas Kaname yang selalu membuatnya tenang. Tak dia pedulikan reaksi anehnya yang membuat Pangeran Vampire itu heran. Dia tak bisa mempedulikan apa yang sudah Kaname lakukan kemarin malam dan apa yang dia lakukan pada Zero, untuk saat ini saja, untuk saat ini, dia hanya ingin tidur dan melupakan kemarahan dan ketakutannya yang mulai menjadi samar.

Tangan yang besar mengelus punggungnya menenangkan. Akira memejamkan matanya, hanya memfokuskan pada detakkan yang dia dengar.

"Kau sudah bangun?" Pertanyaan Kaname dibalas dengan anggukan tapi tangan dilehernya mengerat dan dia membiarkannya. Tak biasanya Akira bersikap seperti ini. Walau diselimuti kecurigaan dan kekhawatiran Kaname mendekap tubuh ringkih itu.

-Time 0-

-Yuuki's PoV-

Hari ini Zero tak masuk sekolah, begitu pula Kira-chan. Aku merasa menyesal meninggalkannya kemarin saat dia sakit seperti itu. Tapi di sana ada Kaname-senpai, dia pasti akan menjaga Kira-chan.

Aku akan mencari mereka nanti. Haah kelas ini terasa begitu lamaaaaa.

Kemarin...

Kemarin saat aku menyusul Zero ke kota kami diserang oleh vampire level E dan diselamatkan oleh Ichijou-senpai dan Shiki-senpai. Lalu menghadiri acara ulang tahun Ichijou-senpai meski bukan itu tujuan awalku. Lalu kemarin, 'orang itu' menyerang dan menembak Zero seenaknya.

Tapi...

Selalu... selalu saja aku membuat masalah untuk mereka...

-Time 0-

Ugh! Kenapa siswi Day Class ini begitu menyebalkan! Aku harus mendorong mereka untuk memberi jalan Night Class. Akkkggg tapi susaaaahhhhhh

"Hay! Murdur semua! Day Class kembali ke asrama kalian!"

Para Night Class berjalan dari celah yang masih bisa tercipta dari siswi-siswi gila ini.

Kaname-senpai...

Aku menatapnya dari ekor mataku, tidak seperti biasanya, dia terlihat begitu jauh dariku. Dia bahkan tak menyapaku seperti biasanya. Apa dia marah padaku?

Selesai menyelesaikan tugasku aku segera berlari ke kamar Zero, mengetuknya beberapa kali tapi tak ada jawaban sama sekali. Mencoba membuka pintu yang ternyata tidak terkunci.

Kosong..

Tidak ada Zero.

Mencoba berpikir positif aku menghampiri pintu disebelah Zero. Kamar Kira-chan.

Dipintunya tak seperti biasanya tak ada post note tertempel disana. Menarik nafas dalam aku membuka pintu itu.

Dan hasilnya sama. Tak ada Kira-chan disana.

"Kira-chan..."

Mengetahui pencarianku sia-sia aku menuju gedung sekolah untuk bertanya pada Kepala Sekolah.

Tok tok

"Masuk."

"Permisi, Kepala Sekolah."

"Ah Yuuki! Anak gadis manisku. Ada yang bisa ayah bantu~?" aku tak sedang ingin menghiraukan sikapnya saat ini sehingga aku membiarkanya memelukku sebagai salam.

"Apa kau tau dimana Zero dan Kira-chan?" Tanyaku langsung.

Kepala sekolah terlihat terdiam beberapa saat sebelum menjawab, "Akira-chan sedang diruangan khusus, soalnya demamnya semakin parah dan dia tak mau menularkannya pada Kakak tersayangnya. Jadi dia memintaku menyediakannya ruangan dan menolak siapapun mengunjunginya. Tapi tenang saja dia baik-baik saja. Mungkin dua hari lagi dia akan balik ke kamarnya sendiri kok. Jadi jangan khawatir Yuuki-chan!" Balas panik Kepala Sekolah saat melihatku ingin menangis.

Aku semakin merasa bersalah.

Aku membiarkannya pergi malam-malam padahal aku tau dia sedang sakit. Dia pasti berpura-pura bilang memang ingin pergi ke pesta Ichijou-senpai padahal dia pasti khawatir aku akan pergi kesana sendirian karena dia pasti tau aku tetap akan kesana walau dilarang.

"Yu—Yuuki-chan jangan menangis! Akira-chan benar-benar tidak apa-apa. Sungguh. Aku bersumpah."

"Ba..bagaimana dengan Zero?"

"Etto aku tidak tau, coba kau tanyakan Yagari-sensei."

"Tidak bisakah aku bertemu Kira-chan? Dimana kamarnya?"

"anoo maaf Yuuki-chan ini permintaan Akira sendiri, dia tidak ingin ditemui orang lain."

Aku menghapus air mataku dan berterima kasih pada Kepala Sekolah dan segera mencari Yagari-sensei. Mendengar kalau Akira bahkan tak mengizinkanku menjenguknya dadaku terasa sesak. Aku mempercepat jalanku ke ruangan yang sepertinya digunakan Yagari-sensei hari ini.

-Time 0-

Aku mencegatnya saat Yagari-sensei hendak masuk ke kelas untuk Kelas Malam.

"Apa yang terjadi pada Zero? Kau apakan dia?!" Tanyaku memaksa

"Aku mengisolasinya."

"isolasi?"

"Sangat mungkin Zero akan menancapkan taringnya setiap saat. Sampai aku bisa menjinakkannya, dia akan diisolasi agar mengurangi kekhawatiran."

"Berarti dia baik-baik saja kan?! Dimana dia?"

"Jangan menggangguku, aku sedang sibuk."

"Tunggu!" Yagari-sensei tetap meninggalkanku dan tak mengatakan dimana Zero berada.

Sangat menyebalkan. Mereka selalu memperlakukanku seperti anak kecil.

Kaname-senpai berjalan dari belakangku. Beberapa saat membuatku tersentak.

"Tidakkah akan lebih baik memindahkan Kiryuu-kun ke Night Class? Demi kebaikannya sendiri." Tanya Kaname-senpai sebelum memasuki kelas. Dia bahkan tak menatapku sama sekali.

Kenapa? Apa yang sebenarnya terjadi?

'Apa? Kenapa jadi seperti ini? Apa yang bisa kulakukan?'

Aku tetap menunggu Yagari-sensei menyelesaikan tugas mengajarnya. Karna hanya itu hal yang bisa kulakukan.

Ternyata tak selama yang kupikirkan Yagari-sensei keluar dari ruangan dan terkejut melihatku yang masih menunggunya, yang menatap terkejut melihatnya membawa buku yang tertancap pisau.

"Kau masih disini?"

"Aku takkan pergi sampai kau beritahu dimana Zero."

Yagari-sensei mendekatiku dan menatap mataku dalam, "Tak ada yang bisa dilakukan oleh gadis baik sepertimu. Tapi.. jika kau masih mau menemuinya pergilah ke kamar tamu kepala sekolah."

Yosh

-Yuuki's PoV End-

Kaname berjalan menuju kamarnya. Tak ada seorang pun siswa Night Class yang menyadari Akira berada di kamarnya. Aromanya tertutup sempurna olehnya yang bahkan tak benar-benar dia pahami bagaimana bisa terjadi. Dia bahkan tak mengubah Akira untuk bisa membuat Akira sama dengan aromanya, tapi kenyataanya bagi dirinya sendiri yang Darah Murni sangat sulit untuk membedakan aroma Akira dengan lingkunganya.

Hawa keberadaan Akira bisa menjadi begitu tipis saat dia tak ingin ditemukan.

Selama ini Kaname selalu menganggap Akira sebagai wild card-nya yang bahkan tak benar-benar bisa dia kendalikan. Sesuatu yang tak akan menjadi membosankan...

Hingga sekarang, seluruh rencananya berjalan dengan sempurna. Tapi keterlibatan dan sikap Akira menimbulkan riak yang terkadang lepas dari kendalinya. Dan entah dia harus meresponya seperti apa...

Klek

Kaname membuka pintu kamarnya yang remang. Dia mendekati ranjang dimana tubuh Akira bergelung. Tangannya menyibakkan surai cokelat kemerahan milik Akira yang basah menempel pada dahinya, sang pemilik membuka manik hijaunya mengedipkan kelopak berbulu mata lentik dengan lelah.

"senpai..."

"Demammu sudah turun dan kau... mandi." Pernyataan Kaname datar.

"Iya, aku meminjam kemejamu. Maaf."

"Hn, tak apa. Masih ada yang sakit?"

Akira menggelengkan kepalanya dan semakin menenggelamkan tubuhnya pada selimut tebal Kaname. Kaname menatap sosok yang terlihat begitu ringkih itu dengan lembut, Akira selalu bisa melawan ekspetasinya dan membuatnya terkejut disaat tak dia duga. Tak dia pungkiri Akira adalah anak yang kuat tapi sikapnya yang seperti ini membuat Kaname ingin terus menjaganya.

Kaname meletakkan tangannya diatas rambut basah Akira.

"Bodoh. Orang demam tidak biasanya mandi dini hari buta Akira."

Kuping Akira yang terlihat, memerah mendengarnya. Kaname tersenyum kecil dan menunduk mencium puncak kepala Akira sebelum beranjak keluar ruangan menuju ruang kerjanya.

-Time 0-

-Kamar tamu Kepala Sekolah-

"Yuuki, kumohon aku tak akan bisa menghentikannya. Aku tak akan memaafkan diriku sendiri."

"Akira-chan juga pasti tidak ingin melihat Zero seperti ini, dia pasti akan memberikan darahnya pada Zero tanpa ragu."

"Yuuki..." Zero memanggil nama itu dengan rasa sakit, matanya memandang lapar pada leher itu.

-Time 0-

Kaname menyentil dengan ujung kukunya bidak kuda putih di depannya. Meski dibutuhkan, tak dipungkiri dia pun tak menyukainya. Wajahnya terlihat begitu kesakitan. Tangannya menggenggam sandaran tangan dikursinya geram.

Telinganya mendengar langkah kaki sebelum pintu ruangannya dibuka malu-malu. Tanpa menoleh pada pemuda manis yang menatapnya ragu-ragu dia membuka suaranya dengan halus.

"Kemarilah."

Saat Akira bilang dia hanya meminjam kemejanya, Kaname pikir dia tidak memaksudkannya secara harafiah. Di hadapanya berdiri Akira dengan wajah semerah tomat yang Kaname yakini bukan karena demam. Berdiri usik tak bisa diam saat Kaname mengamatinya, memakai kemeja hitamnya yang menelan postur kecilnya. Hanya memakai kemejanya yang bahkan dapat menutupi setengah lebih pahanya.

"Berhentilah menatapiku seperti itu senpai." Desis Akira dari sela bibirnya. "Tidak adakah kursi lainnya?"

"Duduklah dipangkuanku kalau kau capek berdiri." Datar Kaname

"Right." Akira memutar matanya sebal, "Tempat terbaik di dunia." Balas Akira sarkas.

"Imp." Balas halus Kaname.

Pada akhirnya Akira benar-benar duduk dipangkuan Kaname dengan wajah super sebal. Memelototi papan catur dihadapannya hingga rasanya dia bisa membuat lubang pada titik fokus matanya.

"Kau membiarkannya?" tanya Kaname tiba-tiba yang membuyarkan kontes mata Akira dengan para pion. Dia tau walau tidak setajam penciuman vampir, Akira pasti bisa merasakan aroma siapa yang menguar pada udara malam ini.

Sebersit rasa sedih tergambar diwajahnya tapi dia segera menutupinya dengan senyum meski Kaname melihatnya untuk sesaat, "Untuk yang kemarin, aku memaafkanmu."

Memutar tubuhnya agar lebih bisa memandang Kaname, Akira menelusuri bibir Sang Pangeran dengan ujung jemarinya.

"Karena kau lebih terluka, Kaname-senpai." Akira memandang wajah yang terlihat sendu itu dengan lembut.

Kaname mengeratkan pelukan tangannya yang berada di perut Akira sehingga tubuh itu semakin mendekat padanya. Dia menumpukan dagunya pada bahu Akira.

"..."

Kaname menghirup aroma yang mirip dengan Yuuki itu dalam-dalam, menenggelamkan wajahnya diceruk leher Akira yang membiarkannya. Dia merasakan tangan Akira yang ragu-ragu diletakkan ke rambutnya dan membelai perlahan disana.

"Kau tau, aku sangat menyayangimu." Bisik Kaname.

Akira menghentikan tangannya dan berubah memeluk kepala Kaname, dia mengangguk.

"Apa kau ingin mengubahku?" Tanya Akira.

Kaname menjauhkan tubuhnya untuk menatap dalam mata Akira. "Bolehkah?"

Akira tersenyum menantangnya, "Kenapa tidak?"

Kaname mendengus, "Tidak sekarang. Jika-"

Akira menatap Kaname bingung saat dia memotong pembicaraan seperti itu.

"Jika waktunya tiba rasanya aku tak akan membiarkanmu pernah pergi lagi." Gumam Kaname yang tak terlalu Akira dengar.

"Apa?" Tanya Akira menatapnya bingung. Kaname hanya tersenyum dan menatapnya dengan panddangan teduhnya.

"Tak apa. kembalilah tidur sana." Akira menatapnya kesal saat jawaban tak memuaskan itu dia dengar.

-Time 0-

To be continued...