One Little Light

Naruto © Masashi Kishimoto

Story by CMA

Summary:

Apa yang orang butuhkan untuk menjalani hidup?

Barang-barang branded?

Kartu kredit unlimited?

Rumah mewah?

Makanan buatan chef ternama?

Orang tersayang?

Singkatnya, semua manifestasi perlindungan diri yang berwujud benda.

Dan untuk gadis sebatang kara seperti Matsuri, benda yang ia butuhkan hanyalah cahaya.

Cukup satu cahaya.

Happy Reading!

Selama 20 tahun terakhir—yang artinya nyaris seumur hidupnya—ada banyak hal yang Matsuri tahu, sesuatu yang harus dan tidak harus lakukan, harus dan tidak harus harapkan, harus dan tidak harus pedulikan, jika kau adalah seorang yatim-piatu.

Yang pertama : kuatlah jika ingin hidup, karena dunia tak butuh satu pecundang lagi untuk berjalan-jalan di atas tubuhnya.

Jadi, di hari pertama ia diterima kerja sebagai pegawai magang di perusahaan, Matsuri memastikan ia tidak menempelkan pantat terbalut celana hitam miliknya lebih dari dua menit di atas kursi. Dengan sepatu berhak tinggi yang beberapa kali membuatnya oleng karena sol-nya sedikit terbuka, Matsuri mondar-mandir di tengah ruangan berkubikel-kubikel, menyahuti panggilan para pegawai berpakaian necis yang melemparinya macam-macam pekerjaan.

Ia nyaris tak bisa berdiri tegak saat istirahat makan siang. Pergelangan kakinya ngilu dan jari-jarinya memerah dengan kulit yang nampak akan mengelupas.

"Ini, minumlah. Kau terlihat seperti mau pingsan." Sari, teman kuliahnya yang juga ikut magang, menyodorkan teh beraroma harum yang mengepul-ngepul. Matsuri menghentikan pijatannya di tumit yang terasa kebas dan meraih gelas kertas itu dengan gumaman terima kasih yang lirih.

"Kau memaksakan dirimu lagi," Sari menatapnya khawatir, "ini baru hari pertama. Bisa-bisa kau mati saat masa magang habis."

Matsuri menyeruput tehnya dan menggumamkan kalimat-kalimat menenangkan yang sama sekali tidak membuat Sari tenang.

"Sudahlah." Sari menyerah dengan cepat. Ia biasanya bisa mengoceh hingga berpuluh-puluh menit, tapi ia juga lelah hari ini. Lebih baik ia menyimpan tenaganya untuk tujuh jam ke depan. "Tapi pastikan kau memberitahuku kalau ada apa-apa. Mengerti?"

Matsuri tersenyum hingga matanya menghilang. "Yep." Bertepatan dengan itu, pesanan mereka datang. Untuk beberapa menit, keduanya sibuk menggasak makan siang mereka.

"Ah, iya. Apa kau sudah mulai akrab dengan pegawai yang lain? Aku tadi sempat bergosip dengan mereka sebelum jam makan siang," Sari memulai pembicaraan. Matanya yang tadi terlihat sayu akibat kelelahan kini tampak berkilat penuh semangat. "Apa kau tahu, kalau kepala cabang tempat kita magang baru berusia dua puluh delapan tahun? Dia juga sangat tampan! Kudengar rambutnya berwarna merah bata."

Hal kedua yang harus kau perhatikan jika kau yatim-piatu adalah : jauhi hal tak penting, lebih sedikitlah peduli dengan hal-hal di luar keperluanmu. Matsuri tidak pernah melihat gunanya menggosipkan seseorang yang bahkan tak berwujud nyata dalam pikirannya. Celakanya, Sari adalah salah satu orang yang tak bisa hidup tanpa bergosip—sejauh Matsuri mengenalnya. Tak pernah ada yang luput dari telinga gadis bermata cokelat itu. Siapa mengencani siapa, siapa yang baru berulang tahun, siapa yang baru bertengkar, hingga apotek mana yang dikunjungi oleh siapa. Jujur saja, Matsuri tak pernah nyaman mendengarnya. Tapi seperti yang sudah-sudah, Matsuri hanya diam mendengarkan alih-alih menyetop laju ucapan sang teman yang sepanjang kereta barang.

"Dia punya dua orang kakak, kakak laki-lakinya bahkan bekerja di perusahaan yang sama! Bagian perencanaan." Sari mengunyah dan menelan makanannya cepat sebelum melanjutkan. "Kakaknya sudah menikah, tinggal di luar kota. Ayah mereka tadinya seorang gubernur tapi sudah lima tahun ini pensiun."

"Nah, nah, soal kepala cabang kita ini ... berita baiknya adalah, dia ... masih ... single!" Sari bertepuk keras dan menatap Matsuri, meminta responnya.

"Wah. Pria yang sempurna," puji Matsuri setengah hati karena ia harus menyetop gerakan menyuapnya. "Kejar saja kalau begitu."

Wajah yang tadinya penuh semangat di hadapan Matsuri tiba-tiba berubah masam. "Sempurna, huh? Memang sih."

Matsuri menaikkan kedua alis dengan mulut penuh, bertanya kenapa? tanpa suara.

"Rupa-rupanya kepala cabang kita ini tidak tertarik dengan percintaan. Track record pekerjaannya memang bagus, tapi tidak dengan urusan wanita. Katanya, pernah ada lima atau enam orang wanita yang datang ke kantor, meraung memanggil-manggil pak kepala cabang. Mereka semua rupanya berharap tinggi akan ditelepon balik setelah makan malam sekali—padahal itu hanya makan malam bisnis. Dan apa coba? Tanpa hati pak kepala cabang memanggil satpam untuk menyeret mereka keluar. Benar-benar sempurna, 'kan?"

Matsuri membuat gerakan ragu dengan kedua bahunya dan melanjutkan makan. Waktu istirahat mereka tinggal lima belas menit lagi.

"Bahkan," berkebalikan dengan Matsuri yang hanya ingin menandaskan makan siangnya, Sari masih juga ingin bergosip. Kali ini ia merendahkan suarnya, seolah ia sedang membagi rahasia. "Ada yang bilang kalau pak kepala cabang kita menyimpang." Jari-jari Sari membuat tanda kutip di udara.

Reaksi Matsuri hanya, so what? Yang ia ucapkan lewat tatapan mata. Sari yang melihatnya cuma bisa memajukan bibir.

"Kau memang teman bergosip yang tak seru, reaksimu datar," cibirnya. Meski begitu, ia masih juga melanjutkan. "Tapi meski begitu, jika aku memutuskan untuk mengejarnya, ada sekitar satu kodi wanita yang harus kuhadapi ..." Dengan nada sedih terakhir, Sari menyedot habis minumannya dan termangu menatap ke luar jendela, tepatnya melihat gedung tinggi tempat mereka bekerja.

"Orangnya sedang tidak di kantor ya? Kalau rambutnya berwarna merah, harusnya aku bisa langsung sadar. 'Kan mencolok sekali." Sebagai teman yang baik, Matsuri mencoba menaikkan mood Sari dengan pura-pura tertarik. Matsuri memang suka pening mendengar ocehan Sari, tapi kalau temannya itu diam saja, Matsuri bisa lebih pening lagi.

"Katanya sedang dinas luar. Besok baru masuk." Sari memang canggih, hal seperti ini saja ia sampai tahu. "Di kantor tidak ada fotonya sih, makanya aku tidak sabar untuk melihatnya bes—Matsuri! Hidungmu!"

Matsuri masih mengunyah makanannya saat Sari menjejalkan gumpalan tisu di atas bibirnya. Ada darah yang mewarnai tisu saat Matsuri melihatnya.

"Engh," Matsuri mengernyit.

"Tuh 'kan! Kubilang apa! Kau sampai mimisan begini!" Dengan wajah panik, Sari mengganti tisu yang sudah ternoda itu dengan yang baru, mengusap darah yang turun lagi dari lubang hidung kanan Matsuri.

"Haku he thoileth dhulu."

Sambil terus mengusap-usap bagian atas bibirnya dengan tisu, Matsuri berjalan terburu-buru menuju toilet di bagian belakang kafe. Tapi karena terlalu fokus dengan hidungnya, Matsuri sampai tidak memerhatikan orang yang berjalan ke arahnya. Dan kesialan lain terjadi, Matsuri tersandung sepatunya sendiri dan menubruk orang itu telak.

Dengan cepat Matsuri menguasai diri, ia langsung meminta maaf sambil melirik takut-takut ke arah dada orang yang kedua tangannya masih memegangi kedua siku Matsuri, menahan tubuh mungilnya untuk tidak merosot ke atas lantai lorong yang dingin. Benar saja, ada bercak merah cukup besar yang kini terpampang di atas kemeja putih orang itu.

Cepat-cepat Matsuri menegakkan tubuh. "He-Herima hasih, eh, haaf Huan—" Matsuri mendongak dan mendapati seraut wajah datar sedang menatapnya dengan satu alis terangkat.

Matsuri tak begitu memerhatikan yang lainnya tapi mata itu jelas sekali sedingin es.

Matsuri membeku.

Tiba-tiba saja orang itu menarik tangan Matsuri yang memegangi tisu dan menekankannya ke hidung Matsuri lantas pergi tanpa banyak kata, meninggalkan Matsuri yang terpaku seperti orang bodoh.

"Hah! Harus hepath!" Melihat jam tangan tua di pergelangan tangan kanannya, Matsuri sadar ia sudah buang waktu tiga menit akibat insiden barusan plus kebodohannya yang membuatnya hanya mematung. Tanpa memikirkan apa-apa lagi, Matsuri segera masuk ke dalam toilet. Bisa gawat kalau ia terlambat kembali ke kantor!

.

.

Sisa hari itu berakhir tanpa insiden berarti. Matsuri sedikit khawatir kalau-kalau ia mimisan di tengah pekerjaan tapi untunglah itu tidak terjadi. Ia yakin setelah tidur nanti, ia pasti akan merasa lebih segar. Tapi sebelum pulang ke apartemen mungilnya, Matsuri menyempatkan diri mampir ke sebuah taman sambil menikmati sekotak yoghurt rasa stroberi.

Langit sudah gelap, sebentar lagi Suna akan tampak seperti noda hitam berbintik-bintik akibat lampu-lampu yang mulai dinyalakan. Suasananya sangat tenang di taman itu, semilir angin ikut membuai Matsuri, memainkan rambut sebahunya yang ia gerai seusai jam kerja. Ia bahkan bisa mendengar suara gesekan dahan pohon dan samar-samar suara kendaraan dari jalan besar yang berjarak satu blok dari taman.

Rasanya sangat damai ... damai yang mencekik Matsuri.

Seumur hidupnya, dunia Matsuri selalu tenang, hening, tanpa suara-suara tak berarti. Memang salahnya juga yang terlalu tertutup dan bersikap apatis (yang kian menjadi akhir-akhir ini). Tapi, saat kau adalah yatim-piatu (yang apatis sepertinya) mengharapkan orang untuk mengisi kekosongan itu hanya untuk tempo yang singkat adalah kesalahan besar dan beresiko menoreh luka di hati yang sudah tak berbentuk lagi.

Ya, ya, yang barusan memang terlalu hiperbol.

Tapi, itulah kenyataannya. Orangtua yang harusnya menjadi sandarannya bahkan meninggalkannya, pilihan apa yang Matsuri punya selain bergantung pada dirinya sendiri? Menumpu harapan pada orang lain adalah kebodohan paling nyata. Matsuri tidak akan membiarkan dirinya berlaku demikian. Sejauh ini ia cukup berhasil hidup seperti orang antisosial—meski terselubung. Hanya Sari yang masih sanggup bertahan dengan tabiatnya yang seperti kerang bercangkang lapis baja selama tiga tahun terakhir.

Jadi, pelajaran ketiga terpenting dalam hidupnya adalah : jangan berharap pada manusia jika tidak ingin kecewa.

Itu juga yang memagari Matsuri dari sesuatu berbau romantis. Beberapa teman kuliah yang dulu mendekatinya ia tolak tanpa pikir panjang. Ia tidak melihat mengapa lelaki harus jadi pengecualian dalam hal ini apalagi ia sering menjadi tempat sampah Sari setiap kali gadis itu putus dengan mantannya. Lelaki malah terlihat seperti makhluk yang harus dijauhi—mungkin untuk selamanya.

Tapi ia terlalu naif jika berpikir demikian. Manusia sejatinya adalah makhluk sosial. Bahkan penelitian membuktikan kalau kesepian lebih mematikan dari obesitas. Suatu hari nanti Matsuri juga harus mempreteli semua idealismenya dan menggandeng tangan seseorang, membangun keluarga, meneruskan hidupnya. Hanya saja, sulit membayangkan hal itu jika kau tidak pernah merasa tertarik dengan lelaki (sekedar catatan, Matsuri masih normal).

Pun Matsuri tahu. Jauh, jauh di dasar hatinya, keluarga adalah sesuatu yang Matsuri inginkan. Ia begitu menginginkannya sampai merasa takut dan akhirnya memutuskan untuk berpura-pura kuat. Karena jelas saja 'kan? Dia yatim-piatu tanpa asal-usul jelas, tidak cantik atau pun menarik, orang yang kaku dan membosankan, juga terlalu mandiri (katanya lelaki tak suka wanita yang mandiri). Siapa yang mau menerimanya dengan utuh? Menjejakkan kakinya di hati Matsuri dan tak pernah pergi?

Di kejauhan, lampu-lampu mulai bersinar. Beberapa lampu hias pertokoan mengedip ke arah Matsuri yang menatap mereka balik dengan air mata menggenang.

A/N :

Hallo kawand-kawand GaaMatsu shipper di luaran sana. Sudah setahun lebih saya menelantarkan QPGWMH dan saya kelabakan mencari feel-nya. Sebagai penulis (amatir) saya tahu saya sudah mengecewakan mereka yang menunggu dengan sabar bahkan hingga mengingatkan via PM (yep, genie luciana. I'm talkin' about you) dan saya rasa saya harus melakukan sesuatu sambil mengumpulkan ide-ide yang sedang mengembara entah ke mana.

Memang bukan hal baik untuk membuka cerita baru sebelum menyelesaikan yang lama. Tapi saya mencobanya untuk membangkitkan semangat saya lagi. Saya harap semua baik-baik saja ke depannya.

Chapter pembuka ini memang pendek. Hanya sekitar 1600-an kata. Aslinya saya sudah menulis sampai 9000 kata yang dipecah jadi 3 chapter dan sejauh ini masih jauuh dari konflik. Dua chapter lainnya akan di post satu-dua hari ke depan lewat automatic publish. Jadi, saya mungkin tidak akan membalas review kalian dalam tiga chapter ke depan. Tapi, tentu saja saya juga menantikan review kalian. Sudah lama sekali saya tidak berinteraksi dengan GaaMatsu shipper dan saya ingin tahu pendapat kalian.

Btw, Gaara memang belum muncul di chapter ini dan chapter ke dua karena saya ingin membangun cerita ini dengan perlahan. Tapi tenang saja, dia tetap jadi pemeran utama.

Oke, saya gak mau panjang lebar dulu di sini.

Jaa!