SM1719 PRESENT:
PUTTISH
Cast: Kim Jong In, Oh Sehun, and Other
Disclaimer: EXO punya SM Ent, orangtua mereka, diri mereka sendiri, dan Tuhan Yang Maha Esa
RATE: M
Warn: typo, belum didedit, YAOI
DON'T LIKE? DON'T READ!
-Puttish adalah makhluk yang bisa dikatakan satu bangsa dengan makhluk penghisap darah, atau biasa dikenal sebagai vampire. Memiliki kulit sepucat mayat, suhu tubuh yang dingin, dan gigi taring. Tapi bedanya, bila vampire mendapatkan asupan energi dari menghisap darah sang korban, maka makhluk ini mendapatkan asupan energinya dari menghisap puting sang korban. Baik manusia, ataupun bangsanya sendiri-
Jong In menghentikan acara membacanya dan memandang aneh kedepan. Namja dengan setelan kaos putih dan kemeja merah itu kembali mengulang membaca deretan kalimat yang tertulis didalam buku yang tengah dipegangnya saat ini.
Menghisap puting sang korban untuk mengisi energi? WHAT THE FUCK?!. Apa matanya salah baca?. Apa – apaan kalimat barusan?. Ia baru tahu jika ada makhluk yang mendapatkan energi dari menghisap puting korbannya.
Sungguh! Namja dengan kulit eksotis itu tidak bisa tidak memasang wajah idiotnya untuk saat ini. Jong In membalik buku yang dipegangnya tersebut dan kembali membaca judul buku itu. Buku macam apa ini? Siapa yang menulis hal seperti ini? Jangan – jangan ini buku porno?.
Setahunya vampire tidak punya jenis atau apalah itu. Yang namanya vampire adalah makhluk yang memiliki gigi taring dan menghisap darah manusia sebagai makanannya. Bukan menghisap puting sebagai makanannya.
Jong In berdecak pelan. "Ck! Mereka pikir vampire itu seperti jenis – jenis tanaman? Ada – ada saja!" monolognya sambil memandang buku ditangannya dengan pandangan aneh. Tapi meskipun begitu, Jong In tetap melanjutkan membaca isi dari buku itu.
-Mereka akan menghisap energi korbannya melalui putingnya hingga korban lemas tak bertenaga, atau mungkin mati.
Tak banyak orang yang mengetahui bangsa ini. Para manusia hanya memprioritaskan bangsa vampire penghisap darah sebagai bangsa yang paling berpengaruh didunia mereka. Sebenarnya jika diteliti lebih jauh, bangsa Puttish lebih memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari vampire penghisap darah.
Puttish lebih suka menyendiri dan hidup terpisah dari kelompoknya. Tapi meskipun begitu, vampire ini sangat tahu siapa pemimpin mereka. Layaknya serigala, bangsa ini juga memiliki seorang mate-
Pemuda tan itu mengerutkan alis saat membacanya. Mate?
-Bangsa puttish memiliki jiwa petarung yang lebih kuat. Mereka dapat merebut suatu wilayah dalam sekali serang meskipun wilayah itu milik bangsa mereka sendiri...-
Jong In tiba – tiba menutup buku yang sedang dibacanya tersebut dengan keras. Menimbulkan suara yang terdengar cukup nyaring hingga menggema keseluruh penjuru perpustakaan. "Buku apa ini? Aku sama sekali tidak mengerti!" gerutunya pelan. Namja tan itu kemudian menggeser buku tersebut kesamping dan beralih pada tumpukan buku di depannya. Buku – buku yang sudah ia kumpulkan sebelumnya untuk ia baca.
Tangannya terangkat untuk mengambil salah satu buku dan kedua manik kelam itu mulai membaca judul buku yang ia pegang tersebut. "The Prince Ice" gumamnya pelan membaca judul buku tersebut. Ia kemudian membolak – balik buku tersebut dengan pandangan meneliti. "Novel?" dan membaca sekilas sinopsis yang tertulis pada sampul bagian belakang buku. Jong In terlihat mengangguk – anggukkan kepalanya pelan dengan mata yang masih membaca sinopsis buku tersebut. "Hm...Lumayan" ujarnya menilai.
Jong In kemudian mulai membuka buku tersebut dan membaca isinya dalam diam. Menyisakan suasana tenang yang melingkupi ruang perpustakaan sebesar lapangan tersebut.
BAGIAN I
"Yo Yo Stevan Clart!"
Seorang pemuda dengan kulit putih pucatnya menoleh ketika merasa ada yang memanggil namanya. Pemuda dengan garis rahang tegas, alis tajam, kedua mata bak elang dan belahan bibir tipis itu mendapati seorang pemuda jangkung tengah berjalan kearahnya dengan tangan terangkat melambai – lambai. Oh..Jangan lupakan senyum idiot yang dipasang pemuda jangkung itu.
Pemuda pucat –Stevan- memutar malas bola matanya melihat pemandangan itu. Ia lalu memilih mengalihkan perhatiannya dan menyeruput kopinya pelan.
"Morning. Bagaimana pagimu hari ini?" Pemuda jangkung yang tadi berjalan menghampiri Stevan berujar riang.
"Shut up your mouth, Kris" Stevan membalas dengan nada malasnya. Pemuda yang dipanggil –Kris- tersebut terdengar terkekeh pelan mendengar suara Stevan dan mulai mendudukan dirinya didepan pemuda pucat itu. "Owh..calm down bro. Aku hanya ingin menanyai pagimu di London.." sahutnya santai.
Stevan melirik malas pada Kris. Ia kembali mengalihkan pandangannya pada keadaan diluar cafe dari balik jendela. Mengamati setiap orang yang terlihat berlalu lalang, dan mobil – mobil yang mulai memadati jalanan kota London pagi itu. Terlihat sangat sibuk. Tapi itu sudah menjadi hal biasa disana.
"Moccacino late, please?"
Stevan mengalihkan perhatiannya pada Kris yang kini tengah memesan minuman kepada seorang pelayan wanita. Pemuda jangkung dengan wajah Kanada-Cina itu mengembalikan buku menu yang dipegangnya pada pelayan wanita itu. Dan jangan lupakan kedipan mata genitnya pada pelayan wanita itu.
Sekali lagi, Stevan memutar malas bola matanya. Merasa jengah dengan pemandangan didepannya. Pelayan wanita itu nampak terlihat tersenyum malu – malu pada Kris. Tapi meskipun begitu, perempuan dengan kemeja putih dan hotpants hitam itu juga ikut mengedipkan matanya pada Kris.
"Kris, apa yang ingin kau katakan padaku?" Stevan menginterupsi dengan pandangan geli pada pelayan wanita itu. Pemuda dengan coat hitam itu lalu beralih pada Kris yang sekarang tengah terkekeh pelan. "Hey bung, ada apa dengan ekspresimu itu?" tanya Kris.
"I don't know" Stevan menjawab setengah malas dan mengambil gelas kopinya dari meja. Kris terlihat mengerutkan keningnya menatap Stevan yang kini meminum kopinya dalam diam. "Bung. Apa kau merasa jijik dengan gadis tadi?"
"Yeah..Dia mempunyai bau yang hambar.." Sekali lagi, Kris mengerutkan keningnya mendengar ucapan Stevan. "Apa yang hambar? Aku rasa dia punya rasa yang lumayan manis?". Stevan menggeleng pelan dan kembali mengalihkan perhatiannya pada jalanan kota London. "Bagimu" gumamnya pelan.
Kris terdiam melihat ekspresi yang dikeluarkan Stevan. Kedua alis tajam pemuda pucat didepannya terlihat mengerut tajam. Pandangan yang ditunjukkan juga mulai terlihat datar.
Kris berdehem pelan.
"Hei Stevan. Aku sudah mendengarnya tadi malam.." Kris membuka suara.
Stevan menoleh pada Kris. Ia hanya diam mendengarkan dengan alis yang masih mengerut tajam. "Saat pesta dansa dengan keluarga kerajaan Inggris, kau hampir membunuh salah satu keluarga kerajaan?" Kris berucap pelan dan memperhatikan ekspresi Stevan. Sesaat wajah Stevan terlihat datar. Pemuda itu berdecak pelan. "Aku tidak tahu" jawabnya acuh.
"Tone* membahas masalah itu dengan para Lucus* setelah kalian pulang dari pesta dansa. Dia bilang kau terlihat seperti hewan buas yang tengah tersesat disalah satu kamar tidur"
"Shut Up! Aku sedang tidak ingin membahasnya" Stevan terdengar menggeram pelan mengucapkan perkataannya. Kris terdiam sesaat. "Baik. Aku tidak akan membahasnya. Tapi..Apa kau benar – benar lapar hingga hampir membuat salah satu anggota keluarga kerajaan Inggris mati?" Stevan mengangkat bahunya acuh. "Mungkin.."
Kris berdecak kesal mendengar jawaban Stevan. "Aku benar – benar tidak mengerti...Kau tidak takut Tone memberimu hukuman karena hampir membunuh salah satu manusia?" tanyanya dengan alis terangkat.
Perbincangan yang terdengar membingungkan itu terhenti ketika pelayan wanita tadi kembali menghampiri meja Stevan dan Kris. Pelayan itu lalu meletakkan gelas berisi kopi pesanan Kris dengan pelan. "Your coffee, sir"
"Okay..Thank's, sweety" balas Kris pelan. Tangan pemuda itu terangkat dan mengusap pelan leher putih gadis didepannya itu. "Hmm..Baumu manis sekali..Boleh aku menyedot putingmu?"
"Kris!" Stevan menegur Kris dengan suara beratnya. Ia menatap laki – laki didepannya itu dengan wajah datar namun dengan kedua bola mata yang kini berwarna hijau zamrud.
Kris lantas tersentak kaget mendengar suara dengan nada mengancam itu. Ia menjauhkan tangannya dari leher pelayan wanita yang kini memasang raut setengah bingung dan takut. Wajah pemuda Kanada-Cina itu nampak gugup dan pucat.
"Sudah kubilang berapa kali padamu untuk tidak melakukan itu jika sedang bersamaku!"
"Maafkan aku"
Pelayan wanita itu hanya memasang raut antara bingung dan ketakutan. Selain kedua pria itu berbicara dalam bahasa yang tidak ia mengerti, ia juga cukup tersentak takut mendengar suara berat yang mengancam dari pemuda pucat di depannya itu.
Stevan menyenderkan punggungnya pada senderan kursi yang didudukinya. Kedua bola mata yang tadi menyala dengan warna hijau zamrud itu kembali berpendar menjadi warna hitam legam. Ia menoleh pada pelayan wanita yang masih setia menundukkan kepalanya disamping Kris. "Pergilah" usirnya dingin dengan bahasa Inggris.
Wanita dengan rambut pirang itu kemudian langsung melesat pergi meninggalkan meja Stevan dan Kris setelah sebelumnya mengucapkan 'Sorry' pada kedua pemuda itu. Setelah kepergian pelayan itu, suasana menjadi hening untuk sesaat.
"Apa yang ingin kau sampaikan padaku, Kris" Suara Stevan terdengar memecah keheningan. Pemuda pucat itu berujar pelan dan menyesap kopinya. Kris nampak memasang wajah gugup lalu berdehem pelan guna menghilangkan kegugupannya itu. Ia memandang wajah datar Stevan. "Mm..Tone memiliki rencana menggelar pesta ulang tahun untukmu minggu depan..". Setelah mendengar perkataan Kris, Stevan terdengar menghela napas lelah. "Untuk apa?"
"Dalam rapat yang disampaikan Tone kemarin, ia berencana menggelar pesta ulang tahunmu. Tone juga akan mengundang banyak wanita dan pria dalam pesta itu.." Stevan mengangkat alisnya mendengar penuturan Kris.
"Umurmu sudah 345. Sudah saatnya kau mencari pasanganmu, Stev.."
"Jadi..Dia menggelar pesta itu untuk menjodohkanku?" Stevan kembali terdengar menggeram tidak suka. Kris terlihat kelabakan dikursinya. "Bu-bukan begitu.."
"Lalu apa?"
Kris berdehem mencoba tenang. "Tone bilang, dia lelah jika terus menunggu untuk tahun – tahun berikutnya. Dia ingin kau cepat menemukan pasanganmu"
Tanpa Kris sadar, kedua tangan Stevan terlihat mengepal erat dikedua sisi tubuhnya. "Dengar. Sampaikan pada Tone jika aku bisa menemukan pasanganku sendiri! Jangan terlalu mengatur hidupku karena aku tidak suka itu!" ujarnya dingin. Kris terdiam sejenak. Ia menyeruput kopinya pelan.
"Aku..Tidak tahu apakah aku bisa mengatakannya, Stev.."
Stevan kembali menghela napas lelah. "Sudahlah..Aku lelah terus membahas permasalahan yang sama hampir setiap hari" gumamnya. Kris menatap prihatin pada Stevan. Wajah pucat itu terlihat semakin pucat dengan gurat kelelahannya. "Dia tidak akan mendengarkan perkataanku" lanjut pemuda pucat itu.
Keadaan kembali hening. Kris dan Stevan meminum kopi mereka dalam diam. "Maafkan aku telah membahasnya.." sesal Kris dengan tangan yang menggenggam gelasnya erat. "Aku tahu kau sudah berusaha keras mencarinya.."
Stevan mengusap wajahnya kasar. Ia lalu menggeleng pelan "Terlalu berusaha lebih tepatnya..Kau tahu aku hampir seperti berkeliling dunia untuk mencarinya..Tapi dari semua usahaku..Tidak ada yang berbuah manis..". Kris menangkap kesedihan dari kedua mata Stevan. "Ya..Aku tahu"
Kris kemudian merogoh saku mantel abu – abunya lalu mengeluarkan amplop putih dari dalamnya. Ia melirik sejenak amplop itu, mencoba menimbang apakah harus ia berikan atau tidak. Tangan pemuda itu lalu terjulur memberikan amplop itu pada Stevan. Stevan terlihat mengernyit heran menatap amplop yang disodorkan didepannya itu. "Apa ini?" tanyanya ingin tahu.
"Aku ragu memberikannya padamu. Tapi aku sudah memikirkan ini matang – matang.." Jawab Kris. Stevan mengambil amplop itu perlahan dari tangan Kris. Sesaat, ia memandang amplop itu lalu beralih ke Kris. Pemuda Kanada-Cina itu terlihat menganggukkan kepalanya. Mengisyaratkan Stevan untuk membuka isi amplop itu. Stevan kemudian membuka amplop itu dan mengeluarkan secarik kertas horizontal didalamnya. Keningnya mengerut bingung.
"Tiket?"
"Ya" Kris membenarkan posisi duduknya. "Aku dan perusahaanku mengadakan kerja sama dengan salah satu daerah di negera Korea"
Stevan menoleh pada Kris. "Lalu? Apa hubungannya?"
"Aku akan berkunjung kesana selama 1 minggu untuk melihat perkembangan perusahaanku. Kupikir mengajak teman tidak ada salahnya" Kris mengangkat bahunya acuh. "Kudengar negara itu punya hiburan yang menarik" lanjutnya dengan tangan kanan mengusap dagu. Stevan berdecak mendengar perkataan Kris. "Aku tidak ikut" tolaknya.
Kris terlihat tersentak pelan mendengar penolakan Stevan. "Why not?"
"Aku malas berpergian" jawab Stevan cepat dan singkat. Ia kembali meminum kopinya. "Ayolah, Stev..Aku yakin kau pasti suka disana! Kita tidak akan lama belajar bahasa disana..Selain itu.." Kris menggantung kalimatnya. Ia menatap Stevan yang kini memasang raut datarnya. "Banyak wanita dan pria disana yang kudengar sangat menggoda dan rasanya lumayan enak" lanjut Kris setengah berbisik dengan alis yang naik turun.
Stevan masih setia memasang raut wajah datarnya. "Aku tidak suka bermain – main sepertimu" ucapnya malas. Kris mengerang kesal mendengarnya "Ck! Aku tahu kau hanya ingin yang berkualitas" ejeknya malas. "Tapi..tidak ada salahnya mencoba? Aku yakin disana banyak wanita dan pria yang berkualitas sesuai seleramu.."
"Tidak"
"Oh..Stevan Clart! Aku mencoba membantumu!"
"Membantu apa? Menjodohkanku?"
"Tidak! Bukan begitu maksudku"
"Kau sama saja dengan Tone. Tidak ada bedanya!" Stevan mendengus kesal. Ia mulai jengah dengan perbincangan ini. "Stev..tolong dengarkan aku..Aku hanya ingin mencoba membantumu untuk berlibur..Melepas penat dan beban yang kau rasakan untuk sesaat..Tujuanku baik! Liburan dinegara itu tidak buruk seperti yang kau bayangkan!" jelas Kris. "Lagipula..Aku yakin kau belum pernah kesana.."
Stevan melipat tangannya dibawah dada. Memperhatikan Kris yang sedari tadi asyik mengoceh bak ibu – ibu yang khawatir pada anaknya. "Tidak ada salahnya mencoba, kan? Jika seandainya, pasangan yang selama ini kau cari ada disana? Bagaimana? Apa yang akan kau lakukan?" Stevan langsung menegakkan badannya. Memandang dingin pada Kris. "Apa yang kau tahu tentang pasanganku, huh?" tanyanya angkuh. "Jangan ikut campur!"
"Aku tidak ikut campur! Stevan..Kumohon dengarkan aku! Aku sudah memesan tiket untukmu..Hanya kau yang ingin aku ajak kesana..Bahkan aku tidak mengikut sertakan Samuel.." Kris melirik tiket yang sempat ia beri pada Stevan, telah kembali tergeletak diatas meja. "Aku jamin kau tidak akan menyesal.."
Stevan menghela napas kasar. Ia melirik tiket yang berada di atas meja tersebut.
"Jong In!"
Jong In menoleh. Melihat wanita dengan ikat kuncir kuda tengah berlari menghampirinya.
"Ada apa?"
Wanita itu terlihat mengatur napasnya sejenak "Jong In..Apa kau masih sibuk?" tanyanya. Jong In mengangguk pelan. "Ya..aku harus mengantarkan buku – buku ini kegudang belakang.." jawabnya seadanya. Wanita itu melirik tumpukan buku yang tengah dibawa Jong In. Kedua mata sipitnya kemudian membulat lucu dan tangannya mengambil buku paling teratas dari tumpukan buku yang dibawa Jong In itu. "Ini..! Kenapa buku ini juga ada disini?" tanya wanita itu kembali dengan nada terkejut.
Jong In mengangkat sebelah alisnya heran. Bingung dengan reaksi berlebihan yang ditunjukan wanita didepannya itu. "Memangnya kenapa, Tae?" tanyanya balik.
"Kau tidak boleh membawa buku ini kegudang belakang! Buku ini sangat menarik untuk dibaca!"
"Buku dengan pembahasan makhluk mesum yang menghisap puting manusia sebagai sumber energinya kau bilang bacaan yang menarik?" Jong In bertanya cepat dengan nada tidak percaya. Ia menatap wanita didepannya itu dengan kernyitan kening.
Wanita itu lantas menggeleng cepat dengan rona merah yang menghiasi kedua pipi putihnya. "Bukan itu maksudku, hitam! Banyak orang yang tidak tahu tentang makhluk yang ditulis pada buku ini..Aku pikir, buku ini akan laris dibaca banyak orang yang ingin tahu!" sergahnya cepat. Jong In memutar malas bola matanya. "Taeyeon, dengarkan aku! Mana ada manusia dijaman sekarang yang percaya dengan makhluk – makhluk fantasi. Mereka bahkan sudah tidak percaya dengan vampire lagi.." tukas Jong In dan menyentil kening Taeyeon pelan. "Aku curiga kalau kaulah yang memesan buku semacam ini" lanjutnya dan merebut kembali buku yang berada didalam genggaman Taeyeon.
Taeyeon mengerucutkan bibirnya "Tapi aku pikir itu hal yang keren!". Jong In menghela napas pelan. "Daripada membaca hal yang tidak berguna semacam ini, orang – orang akan memilih membaca buku sejarah peperangan Korea Selatan dan Korea Utara!" kata Jong In mengejek. "Kau tahu? Waktuku terbuang banyak hanya gara – gara membaca isi buku ini! Pekerjaanku disini masih banyak! Ada berlusin – lusin buku yang harus kubaca dan kupilah untuk membedakan mana yang layak dibaca pengunjung dan mana yang tidak layak dibaca pengunjung!" Jong In mengeluh kesal.
"Jadi, aku sarankan untukmu...Sering – seringlah pergi ke tempat ibadah! Otakmu sudah terkontaminasi dengan hal – hal tabu dan mesum!"
Taeyeon melotot marah pada Jong In. "Aku tidak mesum! Aku bahkan sering ke gereja! Jadi jangan tuduh aku sembarangan seperti itu!" elaknya tidak terima. Wanita itu kemudian berbalik dan pergi dengan menghentak – hentakan kakinya kesal. Jong In yang melihat tingkah wanita itu hanya bisa menggeleng pelan. "Ck! Sadarlah berapa umurmu!" gumamnya dan kembali melanjutkan langkahnya menuju gudang perpustakaan.
Kim Jong In. Pemuda berumur 24 tahun dengan perawakan tinggi dan kulit tannya. Sangat kontras dengan kulit orang Korea lainnya. Meskipun kulitnya berbeda dari orang Korea pada umumnya, Jong In tetap terlihat biasa – biasa saja. Wajahnya manis dengan lekuk tubuh yang terlatih. Membuat sebagian orang tergoda padanya. Apapun yang dikenakan namja tan itu, semuanya terlihat sexy dan manis. Walaupun ia selalu mengatakan dirinya penuh dengan kharisma. Tapi nyatanya teman – temannya selalu mengatakan kalau dia itu manis dan sexy. Ck! Padahal dia itu pria!. Manis darimananya, huh?.
Namja itu bekerja disalah satu perpustakaan kota didaerah Busan. Ia tidak kuliah. Setelah menamatkan SMA, Jong In langsung mencari pekerjaan. Selain biaya yang cukup mahal untuk mendaftar kuliah, ia juga prihatin dengan keadaan ayahnya. Ia hidup hanya bersama ayahnya disalah satu kontrakan tak jauh dari tempat kerjanya. Ayahnya bekerja sebagai pegawai restoran. Ibunya meninggal saat ia masih SMA karena penyakit yang diderita ibunya.
Belakangan ini, ia mendapati ayahnya tengah terbatuk – batuk dengan tubuh panas setelah pulang kerja. Jong In tidak tega melihat kondisi ayahnya tersebut dan berniat membantu beliau. Ayah Jong In awalnya menolak dan melarang Jong In bekerja. Tapi, Jong In tidak menyerah meyakinkan ayahnya itu.
"Aku pulang.."
Jong In melepas sepatunya dan meletakkannya pada rak sepatu disamping pintu. Ia memakai sendal rumahan dan melangkahkan kakinya perlahan masuk kedalam rumah. Sesekali, namja tan itu terlihat memegangi bahunya yang terasa pegal. Memijatnya pelan berharap rasa pegal itu sedikit berkurang. Bolak – balik gudang dan membawa tumpukan buku yang bisa dibilang lumayan tebal bukanlah suatu hal mudah.
"Ohh..Jongie..Kau sudah pulang? Uhuk" Suara seorang pria paruh baya membuat Jong In menoleh. Ia mendapati ayahnya tengah berjalan pelan menghampirinya. Jong In lantas berjalan mendekat. "Ayah..kenapa ayah turun dari tempat tidur? Kondisi ayah masih belum baik.."
Ayah Jong In hanya mengulum senyumnya. Mereka berdua kemudian duduk di sofa ruang santai. Ruang santai yang terlihat biasa – biasa saja. Hanya ada satu tv kecil, sofa yang lumayan besar, karpet merah maroon dan meja nakas kecil disamping sofa. Tidak ada yang istimewa.
"Aku ingin menyambut anakku pulang..Bagaimana pekerjaanmu hari ini, Jong?" tanya ayahnya pelan. Pria paruh baya itu mengusap pelan rambut cokelat anaknya. Jong In tersenyum samar. "Seperti biasa..Hari ini ada beberapa buku yang datang dan aku harus menyusunnya.." tukasnya.
Ayah Jong In terlihat memasang raut sedih. "Pasti melelahkan, ya? Maafkan ayah Jong..Ayah membuatmu bekerja.." Jong In menggeleng tidak setuju mendengarnya. "Tidak ayah! Aku sudah terbiasa! Dan ini menyenangkan! Aku bisa membaca buku lebih banyak.." Jong In berkata dengan senyum hangatnya. Pemuda itu mencoba membuat ayahnya kembali tersenyum.
Ayah Jong In lalu tersenyum "Aku tahu.." jeda sejenak. "Seharusnya kau kuliah.."
"Ayah! Sudah berapa kali aku bilang tidak apa – apa? Bukankah kita selalu membahasnya?" Jong In berucap sedih diakhir kalimat. Ia merasa sedih ketika melihat ayahnya yang terlihat rapuh. Ia tidak ingin ayahnya sedih!. Jong In ingin ayahnya terus tersenyum!.
Pria paruh baya itu memandang wajah anaknya dengan sendu. "Baiklah..Maafkan ayah.." ujarnya dan menepuk – nepuk pelan bahu Jong In. Ayah Jong In tersenyum kembali. Jong In terlihat semakin menyematkan senyum hangatnya pada wajahnya. "Jjaa! Ayah sudah makan? Bagaimana kalau aku buatkan ramyun? Setelah itu aku akan keluar sebentar membeli bahan makanan...Bahan – bahan dikulkas sudah habis.." Jong In berdiri dan meregangkan otot – ototnya. "Ayah makan ya? Setelah itu minum obat dan tidur! Jongie ingin ayah cepat sembuh!"
Ayah Jong In mengangguk pelan memandang anaknya. Lalu mereka berdua berjalan menuju dapur.
TBC
Ket:
Tone : nama pemimpin pada kelompok Puttish
Lucus : Semacam menteri dan penasehat dalam bangsa Puttish
Hai! Aku bawa ff baru..Kkk.. Bagaimana menurut kalian? Ada yang mau nanggapin? :3
Salam hangat"SM1719"