Kuroko Tetsuya, 25 tahun, akan memasuki dunia kerja sebagai perawat mulai hari ini bersama rekan seperjuangan semasa kuliah, Kagami Taiga.

Hubungan keduanya telah terkenal. Orang-orang memanggil mereka dengan sebutan duo cahaya-bayangan. Di mana Kuroko yang menjadi bayangan dan Kagami yang menjadi cahaya. Di mana Kuroko yang bekerja di balik layar dan Kagami yang menerima pijaran lampu sorot. Di mana Kuroko yang membuat makalah dan Kagami yang presentasi di depan kelas. Kalau dipikir-pikir, sebenarnya Kuroko selalu berada di posisi yang tidak menguntungkan dalam simbiosis ini.

Tapi tenang, semuanya. Meski Kagami telah berbuat begitu zalim semasa kuliah, Kuroko tetap bisa optimis, kok. Habis, tempat yang menerimanya adalah Rumah Sakit Teiko!

Kuroko yakin karirnya pasti berjalan lancar.

Mestinya, Kuroko berpikir ulang kenapa RS Teiko mau menerimanya yang baru menyelesaikan program Strata 1 plus Ners tanpa banyak penyeleksian. Pasti ada yang tidak beres.

.

.

Kuroko no Basuke (c) Fujimaki Tadatoshi

Pairing : Aka x Nurse!Kuro, Ao x Nurse!Kaga, and many other.

Warning : tenang, tidak ada rumah sakit yang seperti ini, kok.

.

.

Kagami dan Kuroko kini berada di ruang jaga perawat. Keduanya langsung melakukan operan jaga dengan perawat shift malam. Nijimura Shuuzo selaku kepala ruangan bertugas mengkoordinir mereka. Namun itu hanya sekitar 20 menit. Dengan alibi ada telepon dari salah satu perawat shift pagi yang berhalangan hadir, Nijimura hengkang.

Ssttt, ini rahasia. Kuroko sempat mendengar perbincangan Nijimura, lho. Seram, bung. Ada kalimat, "Maumu itu apa? Dipecat, digunting, atau dibedah?"

Kuroko positif thinking kalau Nijimura hanya salah bicara. Atau bisa jadi ia yang salah dengar.

"Ada yang ingin kautanyakan, Kuroko?" Izuki Shun, perawat shift malam yang satu tim dengan Kuroko bertanya setelah membeberkan informasi mengenai pasien yang akan diserahkan pada Kuroko.

Melalui Izuki, Kuroko sedikit banyak telah mendapatkan gambaran pasien yang akan dirawatnya. Namanya adalah Akashi Seijuuro. Diagnosa medisnya adalah demam tifoid. Terhitung hingga hari ini, Akashi telah menjalani prosedur perawatan selama tiga minggu lebih empat hari. Keadaannya, bisa dibilang sudah sehat.

Kuroko menarik ujung seragamnya. Ia gugup. "Akashi-san, 'kan pengusaha besar. Bagaimana aku harus bersikap di depan dia?"

"Bersikap seperti biasa saja, Kuroko. Sopan dan profesional."

Kuroko mencoba berkaca. Apa sikapnya sudah cukup sopan selama ini? Apa dia profesional? Kuroko takut jawabannya tidak.

Izuki menepuk pundak Kuroko sambil tertawa ceria. "Kau tidak perlu tegang begitu. Aku bersamamu, kok. Di rumah pun, aku pasti masih mendoakanmu."

Perlahan, ucapan Izuki berhasil membuat ketakutan Kuroko sirna. Bibirnya membentuk senyum tipis. Syukurlah, Kuroko mendapatkan senior yang begitu ramah dan pengertian. Rajin berdoa pula. Heh, Kuroko tidak tahu saja pasiennya itu seperti apa!

"Ah, aku hampir lupa! Kalau membuat kopi untuk Akashi-kun jangan terlalu manis, ya?"

Kuroko menelengkan kepala. Instruksinya mulai aneh.

"Buat apa kopi?" Kalau mau minum obat pakai air putih saja. Pasiennya baru sembuh, 'kan?

Izuki menjawab enteng. "Akashi-kun kadang suka meminta." Itu tidak menjawab pertanyaan!

Melepas kebingungan, Kuroko diam-diam melirik Kagami yang ternyata tengah terlibat diskusi panas dengan perawat senior bernama Koganei Shinji.

"Camkan kata-kataku! Kau harus memperhatikan seluruh gerak-geriknya. Kalau dia tersenyum, artinya dia menyukaimu. Tapi kalau dia tersenyum lebih dari 5 detik, itu justru berarti dia tidak terlalu menyukaimu. Perhatikan juga tatapan matanya. Jika saat kau bicara dia melihat ke bawah, itu artinya dia sedang tidak ingin diganggu. Dia mungkin sedang badmood. Jika itu sampai terjadi, sebaiknya kau keluar saja dari ruangannya dan datang lagi lima belas menit kemudian." Kelihatannya, Kagami mendapatkan pasien yang menyusahkan.

Kuroko tidak terlalu mengerti, namun Kagami memang diperlakukan berbeda. Nijimura memberi mandat pada Kuroko untuk merawat satu pasien. Untuk Kagami, Nijimura menyerahkan dua pasien untuk ditangani.

"Kuroko, mau menuju kamar Akashi sekarang?"

Pertanyaan Izuki membuat Kuroko kembali fokus. Ia mengangguk. Oke! Ia harus siap dengan segala yang akan terjadi.

.

.

"Selamat pagi, Mitobe-san. Saya, perawat Koganei Shinji sudah menyelesaikan jadwal saya dan akan digantikan oleh perawat Kagami Taiga. Dia akan menemani Mitobe-san mulai dari pukul 8 pagi sampai pukul 4 sore nanti. Ada yang ingin Mitobe-san tanyakan?"

Mitobe Rinnosuke, terdiam. Ia baru bangun tidur. Pikirannya masih belum berkumpul dan sudah ditanya macam-macam. Bagaimana ia harus meresponnya?

"..."

"..."

"Ng."

Lama menunggu, jawaban Mitobe ternyata hanya dengungan tanpa makna-menurut Kagami. Namun di telinga Koganei, serentetan kalimat diterjemahkan. Raut wajah sang pasien diartikan.

"Katanya tidak ada yang ingin ia tanyakan. Tapi sekarang ia ingin minum. Kepalanya pusing," bisik Koganei pada Kagami. "Kagami, bisa kau ambilkan?"

Kagami melotot pada sang senior. Artinya bisa sampai sepanjang itu, ya?

"Mitobe-san, Kagami yang akan melakukannya untukmu. Saya permisi dulu."

"Ng."

Kini Kagami terjebak di sana. Ia menyesal tidak pernah mengikuti seminar bahasa non verbal semasa kuliah.

Tunggu! Memang seminar semacam itu ada, ya?

.

.

Beda Kagami, maka beda pula Kuroko. Begitu pintu kamar super VIP bernomor 4 dibuka lebar, Kuroko langsung apnea. Kakinya terpaku di tempat yang sama. Mata terbelalak.

Sebuah ruangan maha luas terpantri di depannya. Isinya dibagi menjadi empat ruangan; kamar tidur, ruang kerja, dapur, dan kamar mandi. Lantainya keramik putih bersih yang dilapisi permadani bermotif bunga, entah bunga apa. Ranjangnya ada di dekat jendela. Sisi kanan ranjang ada meja kecil yang di tengahnya ditempati vas bunga. Lilium longiflorum tersiram cahaya mentari pagi.

Berbagai fasilitas menghambur rapi pada tempatnya. Ada sofa, meja kerja lengkap dengan kursinya, rak buku yang terisi penuh, tv, ac, meja makan, perlengkapan dapur, dispenser, lemari dua pintu, kulkas,, seperangkat komputer, mini bar─ini ruang rawat inap atau kamar hotel tipe president room?

Dari arah kamar mandi, si pasien menunjukkan diri. Sudah mengenakan kemeja berlengan pendek dan celana biru panjang.

Kuroko menaikkan satu alis. Dari terkejut, kini dia heran. Kata Izuki, Akashi sudah cukup sehat. Bagi Kuroko, Akashi sudah sejahtera─tingkatan terbaik dari rentang sehat-sakit.

"Selamat pagi, Akashi-kun!" Izuki menyapa riang, seperti tidak ada hal aneh di dalam ruangan.

"Pagi," balas Akashi seraya mengambil duduk di balik meja kerja. Handuk masih bertengger di leher. "Pergantian shift?"

"Yah, tugasku akan dilanjutkan oleh Kuroko Tetsuya. Dia akan merawatmu mulai-"

"Apa dia perawat baru?"

Izuki menelan ucapan di ujung lidah dan menjawab pertanyaan Akashi. Senyumnya mulai terlihat kaku. Kuroko tak bisa tak kasihan.

"Iya. Dia mulai bekerja hari ini."

"Aku mengerti," kata Akashi. "Kau boleh keluar, Izuki."

Eh? Kuroko menoleh ke arah Izuki yang mengangguk patuh dan berjalan pergi. Pintu ditutup dari luar. Kuroko balik melirik ke arah Akashi.

"Kuroko Tetsuya…, benar?"

Di bawah tatapan tajam Akashi, Kuroko mengangguk lemah.

"Kau mulai bisa bekerja," kata Akashi. Oh, pikir Kuroko. Entah bagaimana ia merasa lega. Terjebak berdua dengan Akashi di ruangan yang sama membuat Kuroko telah berpikir yang aneh-aneh.

Penuh percaya diri ia bertanya, "Apa yang bisa saya bantu untuk Akashi-san?"

"Ambilkan map merah di sana. "

Sebenarnya, ini tidak sesuai dengan harapan Kuroko. Walau demikian, Kuroko menurut. Map merah yang awalnya tergeletak di sofa diserahkan pada Akashi.

"Kau lihat di dapur ada tumpukan sampah? Nah, buang itu."

Meski terasa ganjil, Kuroko membuang sampah keluar.

"Tehku habis. Isikan." Lagi-lagi Kuroko menurut. Tapi dalam hati ia mulai mempertanyakan profesinya. Seriusan! Akashi melihat Kuroko sebagai apa, sih?

"Ini tehnya, Akashi-san."

"Hm." Akashi menatap sebentar pada perawat barunya yang dengan hati-hati meletakkan teh di atas meja. Senyumnya terkembang. "Kau ternyata penurut juga, ya? Aku menyukaimu. Mulai sekarang, kau akan jadi favoritku." Sayang sekali, Kuroko masih terlalu bingung untuk bisa merespon pujian tersebut.

"Simpan handuk ini."

─tapi masih cukup sadar untuk mengerjakan perintah.

Nada dering terdengar ketika Kuroko masih sibuk dengan rak handuk di depan kamar mandi. Akashi tak punya pilihan selain mengangkat teleponnya sendiri. Usai bertelepon, sebuah perintah meluncur lagi. "Tetsuya, ambil berkas yang dititipkan bawahanku di meja resepsionis di depan rumah sakit. Kuberi kau waktu sampai 15 menit."

"15 menit?!" Kuroko tanpa sadar menaikkan volume suara. Ia keberatan. Kamar Akashi ke resepsionis jaraknya sama dengan panjang lapangan sepak bola. Bangunannya saja pisah. Kuroko butuh perpanjangan waktu.

"Kalau begitu kujadikan 10 menit."

Kenapa malah berkurang?!

"Aku tidak bisa."

Mata Akashi menajam. "Kau berani membantahku?" Sisi gelapnya keluar.

Kuroko menelan ludah. Walau kakinya gemetaran di bawah intimidasi, ia berusaha menjawab, "Beri aku waktu lebih." Plislah, tidak ada ojek di dalam rumah sakit ini.

"Sekarang kau memerintahku?!" Akashi murka. "Asal kau tahu, aku ini absolut. Perintahku ini mutlak. Sadari posisimu, Bocah."

"Tapi, Akashi-san-"

Belum selesai bicara, pena melesat melewati sisi kiri Kuroko. Anginnya terasa kuat di samping telinga. Di hadapannya, Akashi Seijuuro tersenyum miring.

"Aku memerintahkanmu untuk mengambil berkas di meja resepsionis dalam waktu 10 menit. Apa jawabanmu?"

"Setidaknya aku butuh waktu-"

Kali ini gunting yang melesat. Arahnya benar-benar ditujukan lurus ke wajah. Jantung Kuroko jumpalitan. Untungnya, gerak refleks Kuroko cukup bagus.

"Kuulangi. Apa jawabanmu?" Akashi bertanya dingin.

Kuroko terdiam. Kini ia tahu mengapa Izuki dengan sukarela memasukkan namanya dalam doa siang dan malam. Pasiennya penganut paham sadistis.

Demi menjaga perdamaian dunia yang dielu-elukan PBB─dan tentu demi nyawanya sendiri─Kuroko menjawab dengan jawaban yang benar kali ini.

"Aku permisi ke ruang resepsionis. Jika Akashi-san membutuhkan bantuan, silakan ke ruang jaga perawat atau menekan bel di samping ranjangmu."

.

.

Sementara itu, Kagami sudah pindah ke kamar semi VIP nomor 9A. Ini adalah pasien keduanya. Namanya Aomine Daiki. Kaki kirinya dipasang traksi, pertanda bahwa ada fraktur di sana.

"Selamat pagi, Aomine-san!" sapa Koganei. Bibirnya mengukir senyum hingga matanya terpejam.

Aomine apatis. Ia hanya membalas "pagi" sambil memainkan ponsel.

"Tugasku merawatmu akan dilanjutkan oleh perawat Kagami Taiga. Dia akan merawatmu mulai dari pukul 8 pagi sampai pukul 4 siang."

Aomine menoleh. Nama yang disebut oleh Koganei membuatnya terkenang masa lalu. Begitu ia menemukan sosok yang bernama Kagami Taiga, ponsel di tangan meluncur jatuh ke sisi ranjang yang kosong. Tatapannya lekat. Tak bisa berpaling.

"Siapa namanya tadi?"

Karena tatapan Aomine sudah jatuh padanya, Kagami mengambil inisiatif untuk menjawab. Koganei sendiri juga satu pikiran dengan Kagami. Senior tersebut menepuk punggung Kagami dan berlalu.

"Nama saya Kagami Taiga. Aomine-san bisa memanggil saya Kagami."

"Kagami Taiga," gumam Aomine, seperti tengah berpikir. "Aku menyukai namamu."

Jika yang mengatakan adalah idolanya, mungkin Kagami akan merona. Sayangnya, yang mengatakan hal ini adalah orang asing. Baru pertama kali bertemu pula. Kesannya malah jadi gombal. Kagami tak bisa memberi respon lebih selain ucapan terima kasih.

Aomine kemudian mengangkat tangannya. "Bisa kau mendekat kemari? Tanganku kesemutan. Sakit, nih."

Kagami pasang wajah skeptis. Jelas-jelas tangan Aomine tadi habis main hp dengan lincahnya. Bagaimana bisa sekarang kesemutan?

Namun menuruti peraturan pokok pertama mengenai nyeri; perawat percaya pada pasien saat mereka menunjukkan mengalami nyeri, Kagami mendekati ranjang Aomine dan bersiap melakukan manajemen nyeri.

"Bisa tunjukkan bagian mana yang sakit?"

Bukan menjawab, tangan yang katanya kesemutan itu justru terangkat dan meraih tengkuk Kagami. Timming-nya terlalu tepat. Kagami bahkan tidak bisa menghindar ketika bibirnya didaratkan paksa ke bibir Aomine. Sebuah ciuman tercipta.

Melepas perlahan ciumannya, Aomine selaku tersangka tersenyum puas.

"Apa ini yang pertama bagimu? Mukamu sampai merah-ADUH!"

Suara pintu tertutup terdengar. Eksistensi Kagami hilang setelah sebelumnya Kagami berhasil menyikut abdomen si pasien mesum.

.

.

Sekarang Kuroko mengerti mengapa ia hanya diberi satu tanggungan. Ternyata mengurusi Akashi Seijuuro bisa menghabiskan seluruh jam shift-nya. Kuroko dipaksa mengambil berkas di meja resepsionis, membeli pena baru, memfotokopi beberapa berkas, membuatkan teh atau kopi tergantung selera Akashi yang senantiasa berubah, mengantarkan makan siang yang begitu masakan dirasa tidak enak, Kuroko mesti kembali ke dapur dan minta menu baru, juga berbagai tindakan lainnya. Lima jam terjebak dengan Akashi, Kuroko merasa tulang kakinya telah berubah jadi agar-agar begitu lemasnya.

Mirisnya, di kala lelah begini, Kagami justru muncul berlinangan air mata dan meminjam bahunya sembari mereka berjalan menuju nurse station. Lilium longiflorum menemani di sepanjang jalan. Berdasarkan cerita yang disampaikan, Kagami rupanya kecurian first kiss. Kuroko hanya mampu menghela napas. Ternyata ada yang lebih parah daripada dirinya yang mendadak beralih profesi jadi sekretaris pribadi.

"Siapa nama pasiennya?" Kuroko bersedia menemui si pasien untuk memberi peringatan. Menjadi sandaran untuk Kagami itu melelahkan, tahu. Kagami itu berat!

"Aomine Daiki."

Kuroko terpengkur. Ia merasa akrab dengan nama tersebut. Namun memasuki alam bawah sadar sekalipun, Kuroko tetap tidak bisa mengingat di mana dulu ia pernah mendengar nama itu.

"Oh, Kuroko dan Kagami! Kerja bagus untuk kalian─lho? Kagami kenapa mukanya kusut begitu?" sapa Kasamatsu, dari kursinya di balik meja ruang jaga. Dokter Midorima duduk di sampingnya. Itu, lho, yang rambutnya hijau.

Kagami menggeleng menjawab pertanyaan Kasamatsu. Ceritanya tidak ingin membuat orang lain khawatir.

"Kagami baik-baik saja." Kuroko kemudian menyapa si dokter. "Senang bertemu dengan Anda, dokter Midorima."

Midorima mengangkat kacamatanya. "Senang bertemu denganmu juga…, umm, perawat Kuroko dan perawat Kagami. Boleh kupanggil begitu, nanodayo?"

Nanodayo?

Kuroko mencoba tak peduli dengan logat si dokter dan mengangguk. Kagami meniru. Keduanya kemudian mengambil duduk di kursi yang tersedia. Suasana tenang. Lagi-lagi Kuroko menemukan Lilium longiflorum di sudut-sudut ruangan.

"Senpai," panggilnya, kebetulan tempat duduk Kuroko dekat dengan Kasamatsu, "kenapa banyak bunga bakung di ruangan ini?"

"Oh, itu dokter Midorima yang membawanya."

Midorima punya ladang bunga bakung paskah atau gimana, sih?

"Lho, dokter?" Kuroko menyeberangi Kagami demi bertanya langsung. "Kenapa bawa-bawa test pack?"

"Ini lucky item dari Oha-asa untuk cancer, nanodayo."

Lucky item? Oha-asa?

Pening kepala, Kuroko tidak mau peduli lagi dengan keanehan dokter satu ini.

Tiba-tiba dari ujung koridor, suara cempreng mengotori udara. Pemiliknya tengah berlari ke ruang jaga.

"Kasamatsu-senpaiiiii!"

Semua langsung menoleh ke sumber suara. Kasamatsu jelas menoleh karena namanya yang dipanggil. Midorima yang kenal dengan pemilik jeritan menoleh karena punya niat ingin melabrak. Sementara Kagami dan Kuroko menoleh karena merasa tidak asing dengan suara tersebut.

"KISE?!"

"Kise-kun?"

Perkenalkan semuanya, perawat berambut pirang di ambang pintu masuk ini bernama lengkap Kise Ryouta. Teman seangkatan Kagami dan Kuroko di perguruan tinggi.

"Whoa! Aku tak menyangka kita akan bertemu di sini. Apa kabarmu, Kagamicchi?" sapa Kise. "Senang bertemu denganmu lagi, Kurokocchiiiii!" khusus untuk Kuroko, Kise sekalian menerjang demi sebuah pelukan sepihak. "Aku kangen banget sama Kurokocchi."

"Kise-kun, lepas…" Kuroko bisa hilang napas kapan saja.

"Kiseeee! Apa yang kaulakukan padanya?! Kau tidak lihat dia kelelahan begitu?!" kata Kasamatsu sambil menarik si pirang.

Kise tertawa dengan cueknya.

"Kise, kau kerja di rumah sakit ini juga?" tanya Kagami. Kuroko, mah, sudah tidak kuat ikut dalam percakapan.

"Iya. Aku sudah kerja di sini sejak setahun lalu-ssu."

"Kok bisa?" Padahal mereka wisuda barengan.

"Kenalanku di agensi model itu seorang perawat. Nah, dia yang mempromosikanku masuk rumah sakit ini-ssu."

Enak, ya, yang punya banyak kenalan. Rasa dengki bercokol dalam hati duo cahaya-bayangan.

Jadi seperti inikah lingkungan kerja Kuroko? Ia punya kepala ruangan yang emosian. Pasiennya memperlakukannya seperti budak. Jika membantah sedikit ia langsung disodori benda tajam. Salah satu pasien rekannya adalah orang yang mesum. Ia bertemu lagi dengan Kise yang kerjaannya hanya memeluk dan menebar rasa iri di hati setiap insan. Kuroko kadang tidak mengerti keinginan dokternya. Syukurlah Kasamatsu-senpai cukup normal.

"Sudah dulu, ya?" Kise tiba-tiba berujar. "Aku mau ke ruang karu."

"Buat apa?"

"Mau menemui Nijimura-lah, Senpai sayang." Kise menjawab sambil menghindari hantaman kotak P3K dari Kasamatsu.

Kuroko kaget. Ternyata Kasamatsu-senpai tidak senormal yang ia kira. Tidak ada yang normal kecuali ia dan Kagami di ruangan ini!

"Maksudku kau ada urusan apa dengan Nijimura?"

"Kasamatsu-senpai perhatian banget, sih, nanya terus." Kali ini Kise mesti menghindari lemparan sepatu.

"Baru juga dua kali, Kise!"

Kise menghela napas. Ekspresinya mulai serius. "Pokoknya aku mau menemui Nijimura-senpai. Dia mengancam akan memecatku kalau sampai tidak datang shift pagi. Padahal, 'kan aku benar-benar sibuk ambil foto."

Jadi yang tadi pagi bikin Nijimura gondok itu kamu, Kise? Seluruh personil perawat sihft pagi jadi tidak selera melanjutkan percakapan.

"Oke, semuanya. Aku berangkat dulu-ssu."

"Oi, tunggu, Kise! Aku ikut." Kagami berdiri. Kuroko yang kakinya gemetar hebat juga memaksakan diri ikut berdiri.

"Lho? Kalian berdua juga diancam Nijimura-senpai?"

"Bukan, Kise-kun. Ada sesuatu yang ingin kami sampaikan padanya."

Kuroko dan Kagami berpandangan. Dalam diam mereka mencapai kesepakatan bersama. Mereka ingin minta pasien mereka diganti. Mutasi kalau perlu.

.

.

Setengah jam kemudian, Kagami dan Kuroko keluar dari ruang karu dengan ekspresi kecewa. Permintaan mutasi mereka ditolak Nijimura dengan pertimbangan bahwa jumlah perawat yang mau menangani pasien di ruang Anggrek sudah sangat minim. Satu shift hanya ada 4 perawat.

Ya iyalah, pasiennya gitu!

Tbc.