Summary: Naruto begitu merasa peduli pada seorang gadis penyendiri. Bagai mana cara mengenal orang semacam itu? Apa yang diharapkan Naruto dengan mengenal Hinata?
Naruto By Masashi Kishimoto
Password By Surel
Genre: Friendship
Rated: T
Warning: typo(s), AU, Naruto's pov, dll
Chapter 6: Teman
Hari ini adalah hari pertama aku kembali bersekolah. Cuaca sedingin ini membuat aku betah berlama-lama di tempat tidur. Jika saja Kaa-chan tidak datang ke kamarku dan memanggilku dengan suaranya yang memekakan telinga, mungkin aku masih terlelap hingga tengah hari. Terkadang aku meresa terganggu dengan suara Kaa-chan, tapi dalam kondisi ini aku merasa tertolong oleh suara Kaa-chan yang khas.
Walau begitu, tetap saja aku tidak sempat sarapan. Aku hanya menenggak setengah gelas susu yang Kaa-chan sediakan untukku. Setelah sepatu terpasang dengan benar di kakiku, aku berlari dengan cepat menyusuri jalan yang biasa aku lewati untuk sampai ke sekolah. Aku sudah tidak melihat siswa siswi yang melakukan perjalanan ke sekolah. Itu artinya sekarang aku akan terlambat.
Aku nyaris saja tidak bisa mengisi absensiku. Aku datang sebelum Iruka-sensei memanggil namaku. Aku duduk di tempat dudukku dan mengatur nafas. Beruntung sekali nama depanku berawalan huruf U, sementara sekarang masih sampai absen siswa yang memiliki nama dengan huruf awal F.
"Hyūga Hinata?" Iruka-sensei memanggil nama Hinata untuk memastikan kehadiran gadis itu di kelasnya. Tapi tidak ada satupun yang mengangkat tangannya untuk menjawab panggilan Iruka-sensei. Hinata tidak hadir? Kemana dia?
Tersisa sepuluh orang yang belum disebut namanya oleh Iruka-sensei, tapi Hinata belum menunjukkan batang hidungnya sama sekali. Aku berharap dia hadir hari ini, jika tidak maka aku harus menunggu besok untuk kembali mendekati Hinata. Ayolah! empat orang lagi. Walaupun Hinata hadir, tapi Iruka-sensei sudah selesai mengabsen murid-muridnya maka Hinata dinyatakan tidak hadir hari ini.
"Yamanaka Ino!" Dua orang lagi, tapi…
Suara pintu yang dibuka membuat semua mata menoleh ke sumber suara, tak terkecuali aku. Hinata berdiri di ambang pintu. Entah perasaanku saja atau memang wajahnya menjadi lebih pucat dari sebelumnya. Apa itu efek musim dingin?
"Eh? Hyūga Hinata, beruntung aku belum selesai mengabsen. Duduklah!" Iruka-sensei melanjutkan kegiatan mengabsennya hingga selesai.
Aku kira Hinata tidak akan datang. Jika saja dia benar-benar tidak sekolah hari ini, maka aku akan datang ke rumahnya untuk memastikan bahwa tidak ada hal buruk yang menimpanya. Bukannya aku berharap terjadi hal buruk pada gadis bermata keperakan itu. Tapi, sampai saat ini Hinata masih belum bisa keluar dari lingkaran citra buruk yang entah diciptakan oleh siapa.
Selama pelajaran berlangsung, aku melakukan kegiatan yang biasa aku lakukan selama ini, memperhatikan gerak-gerik Hinata. Di sepanjang pelajaran ini, dia terlihat baik-baik saja. Bahkan dia bisa menjawab pertanyaan dari Iruka-sensei. Awalnya pertanyaan itu ditujukan pada Kiba, namun pemuda berambut coklat itu tidak bisa menjawabnya.
Sepuluh menit lagi jam istirahat akan tiba. Iruka-sensei, sudah memberikan tugas yang harus dikumpulkan pada pertemuan berikutnya. Aku terlalu fokus mencatat semua tugas yang Iruka-sensei berikan. Sampai-sampai aku tidak tahu jika beberapa murid sudah meninggalkan ruangan ini. Aku melihat ke arah Hinata, sepertinya dia sudah selesai mencatat semuanya.
Namun Hinata tetap diam di tempat duduknya, dia memang selalu seperti itu. Aku bersyukur Hinata tidak seperti siswa lain yang akan pergi ke luar ruangan saat jam istirahat. Jika Hinata seperti itu, aku pasti kesulitan untuk mencarinya.
"Ayolah tangan berkecepatan siput, cepat selesaikan catatan tugasnya!" Kiba mengejek kecepatan menulisku yang memang lamban, hanya aku yang belum selesai mencatat.
"Apa kami harus menunggu?" Sai tersenyum palsu seperti biasa.
"Um, tidak perlu, kalian duluan saja." Aku mendelikkan mataku.
Akhirnya catatan tugasku selesai juga. Aku berniat untuk mulai berbicara dengan Hinata hari ini. Tapi, aku tidak tahu bagai mana cara memulainya. Hinata sendiri yang memintaku untuk menjauhinya, bagai mana jika dia mengusirku bahkan sebelum aku bicara?
Hinata memang tidak bergerak sedikitpun di tempat duduknya. Tapi jarum detik di jam tanganku tidak bisa berhenti untuk bergerak berputar di titik pusatnya. Sebelum bel tanda istirahat berakhir berbunyi, aku harus bisa bicara dengannya.
Aku berdiri dari tempat dudukku, perlahan aku memberanikan diri untuk berjalan mendekat ke arah tempat di mana Hinata berada. Hinata masih bersikap seolah tidak ada orang lain di sekitarnya. Bahkan setelah aku menarik salah satu kursi terdekat untuk aku duduki. Dia tidak ingin berurusan dengan siapapun termasuk aku.
"Hinata!" Aku memanggilnya dengan suara yang penuh keraguan. Aku ragu Hinata mau mendengarkanku. Tapi ternyata keraguanku hilang setelah Hinata menoleh ke arahku.
"Saat di lapangan olahraga itu… Bisakah kau melupakannya?" Aku menggaruk kepala bagian belakangku.
Jujur saja aku jauh lebih gugup daripada saat aku bicara padanya untuk pertama kali. Ekspresi wajah Hinata selalu lurus, aku tidak bisa menebak emosinya. Saat interaksi kami yang terakhir kali di tribun lapangan olahraga, aku bahkan tidak mengira bahwa dia akan mendorong bahuku. Dia benar-benar membingungkan dan sulit ditebak.
"Kenapa?" Hinata bicara dengan nada yang sama datarnya dengan ekspresinya.
Kenapa? Benar juga, kenapa aku harus berkata seperti itu? Sialan! Mulutku mengkhianati pikiranku. Aku menarik nafas dalam-dalam, kemudian menghembuskannya perlahan. Semua ini membuatku merasa seolah aku ini adalah pencuri yang tertangkap basah, kemudian mencari alasan agar aku tak ditahan oleh polisi.
"Aku masih ingin menjadi temanmu." Nah! Itu dia kata-kata yang lebih tepat. Aku menghela nafas lega, sementara Hinata hanya diam selama beberapa saat.
"Jika terjadi sesuatu padamu? Bagai mana?" Hinata mengerjapkan matanya beberapa kali, namun aku masih belum bisa memastikan jika dia bisa menerimaku sebagai temannya atau tidak.
"Hinata, jika seseorang menyediakan teh di hadapanmu dan kau tidak tahu bagai mana rasa teh itu, apa yang akan kau lakukan?" Aku akhirnya menggunakan pertanyaan itu.
"Aku tidak akan meminumnya, bisa jadi teh itu beracun. Tapi lain halnya jika yang menyediakan teh itu adalah Utsumi-san, aku akan meminumnya tanpa berpikir." Aku terkejut kerena jawaban Hinata.
Hinata tidak percaya pada siapapun kecuali pengasuhnya. Itu artinya, tidak mudah bagiku untuk membuatnya percaya bahwa aku tidak memiliki niatan buruk padanya. Jika seperti ini, apa yang harus aku lakukan? Lagi pula, mengapa Hinata tidak bisa menerima orang lain dalam kehidupannya. Semua orang di dunia ini seolah berbahaya baginya. Dia tidak ingin mendekati maupun didekati oleh siapapun.
"Apa yang membuatmu tidak ingin berteman dengan siapapun? Termasuk tidak berusaha mengakrabkan diri dengan ayahmu sendiri?" Aku bertanya sambil mengerutkan dahiku. Hinata berusaha menghindari kontak mata denganku, dia terlihat ragu. Entah ragu untuk hal apa, mungkin dia ingin mengatakan sesuatu.
Aku menanyakan semua itu pada Hinata, bahkan aku tidak tahu kebenaran berita renggangnya hubungan Hinata dengan ayahnya. Bisa saja semua itu hanya kebohongan yang dibuat oleh orang yang ingin memperburuk citra Hinata. Bodoh sekali aku percaya begitu saja pada setiap rumor tentang Hinata. Untuk sekarang hingga seterusnya, aku akan menanyakan kebenaran rumor itu langsung pada Hinata.
"Aku khawatir… Aku khawatir pada semua orang, aku bukan manusia yang tidak mempunyai kepedulian terhadap orang-orang. Aku sangat peduli, maka dari itu aku memutuskan untuk tidak dekat dengan siapapun agar orang itu tidak berada dalam bahaya." Jadi ini yang ingin dia katakan.
Mata berwarna keperakan itu menatap lurus ke lantai berubin putih. Aku tidak tahu jika dia ternyata memiliki pemikiran seperti itu. Dia bahakan menyalahkan dirinya sendiri atas kesialan yang menimpa orang-orang terdekatnya. Padahal tidak ada hal seperti itu di dunia ini. Itu hanya takhayul turun temurun yang tidak benar sama sekali. Aku tidak habis pikir, keluarga terhormat sekelas Hyūga bisa percaya pada hal semacam itu.
Aku yakin dia sangat membutuhkan seorang teman. Dia menginginkan teman, tapi dia terlalu takut mencelakai siapapun yang menjadi temannya.
Aku harus bisa meyakinkan padanya bahwa takhayul turun-temurun keluarga Hyūga itu hanya omong kosong belaka. Aku yakin bahwa seseorang telah menciptakan image buruk pada diri Hinata. Orang itu mungkin juga menanamkan rasa takut untuk berteman dalam diri gadis berambut biru tua itu.
Tapi siapa orangnya? Dugaan pertamaku adalah Kou, penjaga gerbang rumah Hyūga. Lelaki itu memperingatkanku untuk tidak berdekatan dengan Hinata. Bukankah itu salah satu cara untuk membangun citra buruk? Apakah benar lelaki itu? Tapi, aku rasa dia tidak cukup dekat dengan Hinata untuk menanamkan ketakutan akan mencelakai orang lain dalam diri Hinata. Lagi pula apa yang mendasarinya untuk melakukan semua ini? Ah, aku belum menanyakan pada Hinata soal kucing itu.
"Hinata, saat liburan kemarin, aku melewati rumahmu dan aku melihat seekor kucing yang berlari dari tempat tinggalmu dengan ekor yang sudah terputus, apa kau tahu apa yang terjadi pada kucing itu?" Hinata menggulirkan pandangannya ke arahku.
"Itu kucingku…" Dia menggantung kalimatnya.
"Apa yang terjadi padanya?" Aku bertanya dengan ragu. Hinata menghela nafas dengan perlahan.
"Aku mendengar suara kesakitan dari kucingku di arah ruang tengah, saat aku lihat, ternyata di sana hanya ada ekornya yang sudah putus, banyak darah di sana, dan itu membuatku sangat terkejut dan panik. Tapi aku hanya bisa berteriak. Aku tidak tahu jika kucingku berlari ke luar rumah." Setelah menceritakan cerita tentang kucing itu dari sudut pandangnya, Hinata kembali diam seperti sedia kala.
Aku ingat kata-kata Shino saat berkemah di bukit tempo hari. Dugaannya ternyata benar, Hinata berteriak karena melihat ekor kucingnya sudah terutus. Siapa yang tidak berteriak jika melihat ceceran darah dan ekor kucing di rumahnya? Jika hal itu terjadi pada diriku, aku juga pasti akan berteriak.
Tapi bagai mana bisa Kou membuat ekor kucing itu putus sementara dia selalu diam di posnya? Apa mungkin pelakunya tidak hanya Kou saja? Apa mungkin beberapa orang bekerja sama untuk menciptakan citra buruk itu? Kemungkinan itu bisa saja benar. Aku hanya bisa menerkanya, setelah itu mencari cara untuk membuktikannya.
"Apa kita sudah berteman?" Mata beriris biru milikku menatap dengan ragu wajah tanpa ekspresi itu.
"Baka!" Hinata mendelikkan matanya, tapi aku juga bisa melihat rona merah yang mewarnai pipinya.
"Kalau begitu, sebagai tanda pertemanan ini, bagai mana jika aku berkunjung ke rumahmu?" Dan mencari bukti keterlibatan Kou dalam pencitraan buruk itu, tambahku dalam hati.
"R-rumah…ku?" Hinata menggerakan alisnya ke tengah-tengah, dia pasti terkejut. Aku sepertinya terlalu terburu-buru, dasar payah!
Tapi mau bagai mana lagi, aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi untuk membebaskan Hinata dari citra buruknya. Selain itu, aku juga harus lebih dekat dengan Hinata. Jika seperti itu, aku harus lebih berhati-hati. Masalahnya, siapapun yang berdekatan dengan Hinata kemungkinan besar berada dalam bahanya. Terancam oleh citra buruk itu.
Seterlah semuanya terungkap, tidak akan ada lagi yang menganggap Hinata sebagai pembawa sial. Dan Hinata tidak akan takut lagi untuk berinteraksi dengan orang-orang. Baik itu Aku, Ankaa, ayahnya, atau siapapun itu. Tidak hanya dengan Utsumi-san dia berinteraksi. Dia butuh lebih banya orang bersamanya.
"Ano… Apa kau tidak akan makan siang?" Hampir saja aja aku lupa. Tadi pagi Okaa-chan membuatkan bekal untukku. Dan aku yakin Hinata juga lapar.
Aku beranjak dari kursi yang aku duduki. Kemudian mengambil kotak makan siang yang ada di tas sekolahku. Aku kembali duduk di depan Hinata. Rupanya dia juga sudah mengeluarkan kotak makan siangnya. Untuk pertama kalinya kami makan siang bersama. Mungkin lain kali aku akan mengajak dia untuk makan siang di tempat lain dari pada hanya di kelas saja. Atau mungkin mengajak teman-temanku untuk makan siang bersama dengan Hinata. Agar Hinata memiliki lebih banyak teman.
Tidak ada percakapan di antara kami selama makan. Tapi aku tahu dia belum terbiasa makan bersama orang lain. Itu terbukti dari tangannya yang gemetar saat menggunakan sumpit. Apa lagi saat aku menatapnya. Dia berusaha untuk hanya terfokus pada kegiatan makannya. Tapi menurutku itu terlihat lucu. Hingga akhirnya setelah aku habiskan semua isi kotak makan siangku, aku berpikir untuk sedikit mengganggunya.
"Apa dengan melihatku seperti itu bisa membuat makanan yang tersisa di tenggorokanmu turun ke lambung?" Aku tersentak, ucapannya ternyata pedas juga.
Aku hanya bisa tertawa kikuk sambil menggaruk kepala bagian belakangku. Niatku ingin mengganggunya, tapi aku sendiri yang menjadi kikuk. Tanganku meraih botol minum yang ada di meja Hinata. Kemudian membuka tutupnya, tapi sebelum aku bisa mengalirkan air minim yang ada di dalamnya menuju mulutku, Hinata dengan cepat mencegahku.
"Itu punyaku!" Ucapnya.
Saat aku melihat botol minum di tanganku, aku sadar bahwa benda itu berwarna merah jambu, bukan hijau seperti yang aku bawa dari rumah. Itu artinya botol itu benar-benar bukan milikku. Sial! Aku jadi terlihat aneh.
Skip time
Langit sudah mulai menunjukan semburat orange. Suhunya menjadi semakin dingin. Aku berdiri di depan pintu keluar, menunggu Hinata yang belum sama sekali terlihat di pandanganku, mungkin dia masih di loker. Aku akan berkunjung ke rumahnya, maka dari itu aku harus pulang bersama gadis Hyūga itu.
"Hinata! Aku di sini!" Aku memanggil Hinata dengan semangat, tanganku melambai ke arahnya.
Kami mulai menyusuri jalan yang bisa kami lewati untuk menuju rumahku maupun rumah Hinata. Bukan berarti aku selalu pulang bersama HInata, hanya saja rumah kami memang searah dan berada di blok yang sama. Pikiranku terbagi dua, memikirkan apa yang akan aku lakukan di rumah Hinata, dan memikirkan topik obrolan bersama Hinata agar perjalanan pulang ini tidak terlalu terasa canggung.
"Ano… Hinata, apa tidak masalah jika aku berkunjung ke rumahmu? Er- maksudku orang tuamu tidak-" Aku tahu Hinata tidak tinggal bersama ayahnya, tapi apa salahnya bertanya? Namun sebelum aku menyelesaikan pertanyaanku, Hinata sudah memotongnya.
"Aku tidak tinggal dengan orang tuaku. Aku tinggal dengan Utsumi-san, hanya berdua." Ternyata benar, hanya Utsumi-san.
Kami telah sampai di rumah kecil yang terletak tepat di samping rumah utama. Tidak ada papan nama Hyūga di sana, itu artinya siapapun yang tinggal disana bukanlah Hyūga. Dari cerita yang aku dengar dari Hinata, rumah itu dibuat untuk Utsumi-san yang dulunya merupakan kepala pelayan di rumah utama. Tapi semenjak Hinata lahir, rumah kecil itu juga dihuni olehnya.
Garasi rumah utama terbuka, terlihat sebuah mobil hitam yang sepertinya milik ayah Hinata. Apa beliau tidak pergi bekerja hari ini? Entah lah, tidak mungkin juga aku bertanya pada Hinata. Ah! Sebuah ide terlintas di benakku. Aku akan menemui ayah Hinata dan memperkenalkan diri sebagai temannya Hinata. Dengan ini setidaknya aku bisa menilai seperti apa Hubungan antara Hinata dengan Ayahnya. Aku akan melakukannnya sebelum pulang.
"Tadaima!" Ucap Hinata.
Tidak ada satupun yang menjawabnya. Tidak ada Utsumi-san, bahkan penjaga gerbang yang biasa ada di posnyapun tak aku lihat ada pada tempatnya. Sepertinya tidak ada siapapun di rumah ini.
"Hinata, apa Utsumi-san sedang pergi?"
"Aku tidak tahu."
Aku melihat ke sekeliling ruang tamu, hanya terdapat tempat duduk dan meja, lemari tv, dan sebuah meja kecil dengan telpon di atasnya. Hinata meninggalkan aku sendirian di tempat ini, gadis berambut biru tua itu masuk ke dalam ruangan yang sepertinya adalah kamarnya, mungkin dia akan mengganti pakaiannya.
Setelah menunngu sekitar lima menit, Hinata akhirnya keluar dan telah mengganti seragamnya dengan kaus biru muda berlengan panjang dan celana selutut berwarna putih. Dia berlalu begitu saja menuju ruangan lain, tanpa melihat ke arahku sedikitpun. Tak lama kemudian dia datang dengan membawa sebuah nampan, terdapat kotak jus berukuran satu liter dan dua buah gelas di atas nampan itu.
Aku mengucapkan terimakasih saat dia memberiku segelas jus jeruk, tapi warnanya terlihat lebih pucat. Aku hampir saja akan meminumnya, namun hidungku mencium bau yang tidak biasa dari jus ini, baunya menyengat. Jika dugaanku tidak salah, maka… Aku meraih kotak jus itu, kemudian memeriksa setiap incinya. Nah, ini dia tulisannya. Benar, jus ini sudah kadaluarsa sekitar lima minggu yang lalu.
"Hina… ta!" Aku terkejut saat melihat gelas milik Hinata telah tandas isinya. Dia benar-benar meminum jus kadaluarsa itu. Bisa-bisa dia terkena diare.
"Apa?" Tanyanya dengan polos, seolah tidak merasakan rasa yang buruk dari jusnya.
"Jusnya sudah kadaluarsa lima minggu yang lalu." Aku berpikir dia akan panik setelah aku beri tahu. Tapi aku salah, dia terlihat tenang.
"Baiklah, jangan di minum." Setelah mengatakan itu, dia pergi ke dapur dengan membawa kotak jus itu, dia pasti akan membuangnya.
Hinata kembali duduk di hadapanku. Baik lah, tidak diberi minum pun tidak masalah. Aku mengajaknya untuk mengobrol, tapi sepertinya aku yang lebih mendominasi obrolan ini. Hingga tak tersa hari sudah mulai sore, dan aku harus segera pulang. Tapi sebelum itu aku akan menemui ayah Hinata.
"Hinata, aku harus segera pulang, tapi sebelum itu bisakah kau mengantarku untuk menemui ayahmu? Beliau tidak pergi bekerja bukan?" Hinata terlihat ragu dengan permintaan dan pertanyaanku.
"Baiklah."
Hinata mengetuk pintu rumah utama, tidak ada jawaban sama sekali. Aku dengar dari Hinata, semua pelayan di rumah utama telah mengundurkan diri kemarin, termasuk penjaga gerbang itu, tapi dia tidak menceritakan detail penyebab mereka mengundurkan diri. Aku pikir, jika Utsumi-san tidak ada di rumahnya, mungkin beliau ada di rumah ini untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Tapi jika memang benar, seharusnya Utsumi-san sudah membukakan pintu untuk kami.
Hinata menatapku, kemudian dia menghela nafas. Tangannya memegang gagang pintu, kemudian mendorongnya. Jika dia tahu bahwa pintunya tidak terkunci, untuk apa dia harus mengetuk pintu dan menunggu seseorang membukakan pintu untuknya? Aku hanya bisa memasang wajah kaku karenanya.
Aku belum sepenuhnya masuk ke dalam rumah ini, tapi langkahku sudah berhenti seketika. Aku melihat tubuh seorang pria dan seorang wanita tua yang tergeletak di lantai ruang tamu. Tubuh mereka berlumuran darah, kulit mereka telah memucat. Itu pasti Hiashi-san dan Utsumi-san. Saat mataku beralih pada Hinata, wajah gadis itu terlihat tanpa ekspresi, seolah tidak peduli bahwa yang ada di hadapannya adalah ayah dan pengasuhnya sendiri.
Beragam spekulasi mulai hinggap di benakku. Hinata kah yang melakukan semua ini? Atau orang lain yang ingin membuat Hinata terlihat bersalah?
To Be Continue
Halo Reader-san, gomen Surel updatenya kelamaan banget, sampe berjamur dan kadas kurap. Eh? Arigato buat semua reader-san yang masih mau baca Password, atau baru baca Password. Arigatou juga buat review, fav sama follownya. Gomen kalau ada sesuatu yang ga sesuai harapan Reader-san di fict ini. Mohon bimbingannya juga. Untuk balasan review dari Reader-san yang login, dibalas lewat PM ya.