"Ohayou gozaimasu, Wakadanna!"
Puluhan suara berat khas pria dewasa terdengar tegas membahana di sepanjang koridor rumah yang masih kental dengan arsitektur Jepang kuno itu. puluhan pria besar nan kekar dengan tampang menakutkan berdiri berjajar, membuat dua baris saling berhadapann. Memagari ruang lumayan lenggang di tengah –memberi jalan pada sang Tuan Muda. Aura berat dan mencekam mengelilingi kala sang Tuan Muda akhirnya berjalan diantara pagar manusia itu. Dagu terangkat angkuh, berjalan berwibawa dengan tubuh tegap tinggi –namun tidak berotot berlebihan. Wajah putihnya tak menampilkan ekspresi apapun. Datar, dengan tatapan setajam Elang. Memandang rendah para pria di kanan dan kirinya yang kini sudah membungkukan badan hampir sembilan puluh derajat.
Sesampainya ia di ujung barisan, dimana ia juga sudah sampai di pintu utama rumah kuno itu, secara serentak semua pagar manusia itu kembali menegakan badan mereka. Di luar rumah megah itu sudah tersedia sebuah mobil hitam mahal dan seorang supir yang setia berdiri sambil membuka pintu kursi penumpang.
Sang Tuan Muda berjalan dengan kecepatan konstan ke arah mobil. Saat ia sudah duduk nyaman di bagian kursi penumpang dan pintu mobil sudah ditutup sang supir. Dengan sama serentaknya, pria-pria barusan kembali membungkuk.
"Selamat jalan ke sekolah. Mohon jaga diri anda, Wakadanna!" ujar mereka bersamaan.
Dan dengan selesainya kalimat itu, mobil hitam yang ditumpangi sang Tuan Muda pun melaju, meninggalkan halaman luas rumah tersebut. Mengantarkan sang Tuan Muda ke sekolahnya tercinta.
Di SMA Konoha.
Hari ini merupakan hari penyambutan siswa baru. Upacara penyambutan diisi dengan pidato sang kepala sekolah dan penyematan bunga pada seragam para siswa baru. Beberapa siswa baru yang kebetulan bertemu dengan teman satu SMP nya dulu sibuk bercengkrama, saling bertanya apakah mereka akan mendapat kelas yang sama atau tidak. Beberapa siswa lain sibuk mulai berkenalan dengan teman-teman baru. Ada pula bagian dari siswa yang malu-malu dalam memulai perkenalan sehingga hanya diam sambil memandang sekeliling sekolah.
Para kakak kelas banyak yang melongok dari jendela kelas demi melihat tampang adik-adik kelas mereka yang baru akan mencicipi kehidupan SMA. Beberapa siswi mulai cekikikan kala menemukan adik kelas yang mereka anggap tampan, begitu pula dengan yang pria, bergerombol di jendela melihati siswi baru yang manis. Seperti dua orang sahabat ini. Naruto dan Kiba. Keduanya sedang sibuk bertengger di jendela kelas 2-3, kelas mereka. Dimana Kiba duduk di meja dan Naruto duduk di kursi di depannya.
"Naruto, kau lihat gadis yang itu?"
"Mana, mana?"
"Itu, itu, yang rambutnya hitam panjang. Wooooh, cantik sekali!"
"Hah? Yang sibuk celingak-celinguk itu, Kiba?"
"Hum, hum!"
"Errr… aku malah takut. Apa poninya tidak terlalu panjang? Seperti Sadako saja. Hiii!"
"Ah kau ini. Ngomong-ngomong menurutmu apa dia mirip seseorang ya? Kok aku rasanya familiar dengan wajah dan matanya itu." Kiba mengerutkan dahinya sambil mengusap-usap dagu.
"Hmm, iya juga." Naruto menggaruk pipinya. "Mirip Neji, tidak, sih?"
"Oh, kau benar! Mirip Neji-Senpai. Apa mungkin adiknya, ya?"
"Hee... dia punya adik lain? Kukira adiknya, ya, kembarannya itu. Siapa namanya?"
"Hinata-Senpai, maksudmu?" tanya Kiba. Naruto menggumam 'hoo' sambil menepuk tangannya pelan.
Suara kursi yang digeser membuat dua sahabat itu menoleh. Sebuah kursi digeser hingga berada di sebelah meja yang di duduki Kiba. Pemuda dengan wajah mengantuk dan rambut cokelat terkuncir tinggi lalu mendorong pinggul Kiba, bermaksud mendapatkan tempat di meja itu untuk meletakkan tangannya. Sayangnya hal itu membuat Kiba jengkel. Bukannya bergeser, ia malah kemudian sengaja mengangkat bokongnya dan menduduki tangan si pemuda.
"Akh! Kau itu apa-apaan?" pekik si pemuda.
"Kau yang apa-apaan! Jangan mengganggu kesenanganku. Kalau kau mau tidur, sana kembali ke mejamu, bukannya malah mengusikku begitu." Protes Kiba.
Pemuda yang diketahui bernama Shikamaru itu berdecih. Ia kemudian mencengkeram pinggang Kiba. Kiba yang memang pinggangnya merupakan daerah sensitive itu, langsung memekik kegelian. Shikamaru baru melepas cengkeramannya saat Kiba akhirnya menyerah dan bergeser mendekat pada jendela. Menyisakan area yang cukup di meja itu untuk Shikamaru meletakkan kepalanya –tidur.
"Kalian itu, aku bingung mau mengatai kalian 'kucing dan anjing' atau 'pasutri yang sudah 10 tahun menikah'." komentar Naruto. Ia buru-buru minta maaf saat dilihatnya Kiba sudah siap mengepalkan tangan kanannya –mau memukul Naruto.
Suara berisik datang dari tiga orang yang juga mendekat pada jendela kelas tidak jauh dari tempat Naruto-Kiba-Shikamaru. Ketiga pemuda itu sampai menempelkan wajah di jendela saking ingin melihat sesuatu yang mereka ributkan.
"Yang model rambutnya emo itu?" tanya pemuda berambut hitam.
"Iya yang itu. Aku tidak percaya kalau dia siswa baru." sahut temannya yang surainya dicat merah.
"Mustahil. Badan setinggi itu baru lulus SMP? Bahkan temanku yang anak atletik saja tidak seperti itu. Apa dia anak campuran?" Ujar surai hitam yang lain.
Kiba dan Naruto yang kebetulan mendengarnya langsung merapat ke jendela. Mereka mencari ciri-ciri yang disebutkan ketiga siswa tadi. Menelusuri seluruh area halaman sekolah yang mampu dilihat dari tempat mereka. Tak butuh waktu lama bagi keduanya untuk menemukan siswa baru yang dimaksud. Pandangan keduanya langsung menemukan sosok siswa dengan tubuh tinggi dan lumayan atletis. Kulitnya yang putih cenderung pucat membuat rambutnya yang hitam terlihat begitu kontras. Siswa itu berjalan santai dengan kedua tangan yang dimasukan kedalam kantung celana.
"Huwah, benar, tidak ada wajah-wajah SMPnya sama sekali." Komentar Kiba sambil menahan tawanya.
"Mustahil kalau dia anak campuran." Ujar Naruto kemudian.
"Memangnya kenapa?" tanya Kiba, ia menoleh pada Naruto yang sekarang sudah bersidekap sambil memasang wajah serius.
"Tinggi tubuhnya memang di atas rata-rata sih, tapi wajahnya terlalu oriental. Wajah orang Jepang seratus persen." Jelas Naruto sambil mengangguk-angguk puas akan konklusinya.
"Heee, iya juga. Kalau dia anak campuran harusnya terlihat seperti kau ya, Naruto. Rambut pirang dan mata biru. Hahaha sialnya kau malah bertubuh pendek ya."
"Diam kau." Protes Naruto. Ia kemudian menjitak pelan kepala Kiba. "Tapi, kenapa rasanya aku pernah melihat wajah anak itu ya?"
Yakuza X Kouhai
By: Ame Pan
Genre:
Age-gap Romance, Yakuza (?), Slice of life
Rate: T+
Naruto © Masashi Kishimoto
Warning! OOC maksimal karena tuntutan plot. Mohon dimaklumi.
.
.
.
Chapter One
Kelas 1-2, SMA Konoha.
Kelas yang dihuni oleh 26 siswa baru itu diselimuti cahaya matahari pagi. Begitu hangat dan ramah. Disana sudah ada seorang pria muda dengan luka horizontal di sekitar hidungnya. Walau lukanya termasuk menyeramkan, namun karena wajahnya yang ramah, tak ada satupun siswa disana yang takut padanya.
"Nah, semuanya. Secara pribadi saya mengucapkan selamat datang di SMA Konoha. Nama saya Iruka Umino. Wali kelas 1-2. Saya disini sebagai guru Sejarah. Semoga kita bisa saling mengenal dan akur." Jelas pria yang ternyata bernama Iruka tersebut. Semua siswa terlihat begitu antusias dan menghormati sang wali kelas. Beberapa di antara mereka ada yang memberanikan diri bertanya seputar sang guru. Seketika semuanya sudah akrab dengannya.
Kelas kemudian masuk dalam sesi perkenalan. Satu persatu penghuni kelas itu berdiri di tempat duduknya. Memperkenalkan nama, asal sekolah dan hobinya. Hingga sampailah giliran seorang siswa laki-laki berkulit putih yang duduk di belakang. Semua penghuni kelas menoleh padanya, penasaran dan menanti giliran ia berdiri.
Dia kemudian berdiri. Semua mata membelalak saat menyadari sang pemuda memiliki tubuh yang begitu tinggi. Tak ada yang begitu sadar (atau mungkin peduli) sebelumnya. Siswa yang duduk di samping kanan-kiri dan depannya sampai agak mundur, kaget.
"Nama, Sasuke Uchiha, salam kenal." Lalu ia kembali duduk.
Singkat, dan sepertinya belum ada satupun dari penghuni kelas yang berhasil mencerna kata-katanya, hampir semuanya masih shock akan tinggi badannya.
"A... ah! Uchiha-kun, ya? Apa begitu saja?" tanya sang wali kelas, memecah suasana sunyi. Yang ditanya hanya mengangguk konstan dua kali. Ia sama sekali tidak mengubah ekspresi wajahnya sejak pertama bicara tadi.
"A-ano, Uchiha-san, boleh tanya?" ucap salah satu siswa di kelas itu sambil mengangkat tangan kanannya dengan ragu. Yang bersangkutan kembali hanya mengangguk konstan dua kali. "Kau… dari SMP mana?"
"Tidak SMP."
"He?"
"Aku tidak SMP." ulang Sasuke.
"Ma-maksudnya?" tanya anak tadi lagi.
"Home Schooling." Jawab Sasuke singkat. Tanpa sama sekali mengubah ekspresi maupun intonasinya.
"Ho-hobi-…"
"Latihan menembak dan tinju."
"He?" kini yang menyahut sampai satu kelas.
"Oh, mu-mungkin maksudmu menonton acara tinju di televisi, begitu kah, Uchiha-kun?" ujar Iruka mencoba menebak.
Sasuke menggeleng pelan. "Tinju sungguhan. Latihan tinju."
Suara bisik-bisik mulai membahana di kelas itu. Mulai dari yang mengatakan 'dia orang kaya', 'dia preman' sampai komentar 'tampan sih, tapi seram' dari beberapa siswi. Tapi tak ada yang berani bertanya apapun lagi sampai sepuluh menit kemudian.
"Yasudah, anak-anak. Sekarang giliran yang disebelah Uchiha-kun. Ayo, perkenalkan dirimu." Ujar sang Guru, lagi-lagi untuk menyelamatkan dari waktu yang terbuang.
Semua siswa kelas 1-2 lalu mengalihkan pandangan dari Sasuke ke anak yang duduk di sebelahnya. Sasuke sendiri tidak menggerakan tubuhnya barang sesenti. Ia tetap memandang lurus ke arah papan tulis dengan posisi tubuh tegap dan wajah datar.
.
.
.
Suara bel tanda istirahat terdengar di seluruh sekolah. Kegiatan belajar-mengajar berhenti, dan semua penghuni kelas berhamburan keluar. Ada yang menuju kantin, halaman sekolah, bahkan beberapa ada yang nekat pergi ke atap.
Seperti pemuda pirang satu ini. Pemuda yang diketahui bernama Naruto itu dengan langkah ringan dan senyum terkembang kemudian membuka pintu menuju atap. Sesekali bersenandung entah lagu apa, ia melangkah menuju salah satu sisi atap dan duduk di dekat pagar. Tidak perlu takut panas karena saat ini awan putih masih cukup tebal untuk menghalau Matahari.
Naruto kemudian mengeluarkan salah satu Roti Kare yang ia beli dari dalam kantung plastik juga sekotak susu. Memang tidak banyak yang mau berada di atap, apalagi tempat begini biasanya dimanfaatkan anak-anak yang depresi untuk bunuh diri. Naruto merinding mengingat hal itu, tapi itu tidak menurunkan kesukaannya akan tempat ini. Masalahnya kalau disini, ia bisa memandang langit tanpa harus khawatir tertutup pohon atau gedung. Tempat ini juga begitu tenang, Lumayan untuk menenangkan diri.
Sibuk mengunyah ia tak begitu memerhatikan kalau ada yang datang ke atap itu. Dari posisi Naruto saat ini, jika ada yang keluar dari pintu menuju atap itu harusnya jelas terlihat. Yah, nyatanya Naruto juga tidak begitu peduli. Tanpa ia tahu, orang yang baru sampai di atap itu langsung mengambil tempat tidak jauh dari tempatnya duduk.
"Kau mau?"
Suara baritone terdengar asing di telinga Naruto. Ia yang sejak tadi masih sibuk mengunyah dan memuji sang pembuat Roti Kare, kini tolah-toleh mencari asal suara. Kemudian matanya menangkap sosok yang juga balas menatapnya, jarak mereka hanya sekitar tiga meter.
"Kau mau?" ulang sang pemilik suara. Ia menyodorkan kotak bekalnya pada Naruto.
Naruto diam. Pandangannya turun, dari wajah sang pemilik suara ke kotak bekal yang disodorkan padanya. Kotak bekal berwarna hitam dengan ukuran lumayan besar itu memuat pakanan 4 sehat (5 sempurna kalau ada susu). Susunan lauk dan sayurannya begitu cantik. Sebelah alis Naruto terangkat. Masa sih ada cowok yang bekalnya bagus begini? Pandangan Naruto naik kembali ke wajah yang punya bekal. Wajahnya sih, manly. Mungkinkah tipe 'anak mami'? Pintar masak kah?
"Kau mau?" ulang orang itu ketiga kalinya. Kali ini dengan tubuhnya yang agak bergeser ke Naruto. Mungkin ia mengira suaranya tidak cukup terdengar oleh si pirang.
"Ah, tidak. Terimakasih." Jawab Naruto pada akhirnya. Pemuda itu kemudian mengangguk sekali dan kembali pada posisi awalnya: duduk tegap bersandar pada pagar.
Naruto juga kembali meluruskan posisi duduknya. Namun matanya tidaklah lepas dari sosok pemuda di sebelahnya. Agaknya Naruto penasaran. Kalau tidak salah, anak ini adalah anak baru yang tadi pagi ia dan Kiba bicarakan. Kalau dilihat secara langsung benar-benar terlihat tidak seperti anak yang baru lulus SMP. Dalam posisi duduk saja, tinggi Naruto (yang juga duduk) tidak mampu menyamai. Bagaimana kalau dia berdiri?
"Ano, boleh aku tahu namamu?" tanya Naruto.
Pemuda itu menoleh. Tangannya yang tengah mengambil udang goreng berhenti di udara. Ia memandang Naruto cukup lama, dengan tatapan dan ekpresi yang sama datarnya. Naruto salah tingkah sendiri. Eh, tidak, sebenarnya takut deh. Entah apa alasannya, tapi Naruto merasa inferior berhadapan dengan anak baru itu.
Pemuda itu memalingkan pandangannya pada bekalnya lalu menaruh kembali udang yang sudah sempat ia sumpit tadi. Ia menaruh kotak bekalnya di lantai beserta sumpitnya. Tanpa diduga ia beranjak berdiri lalu melangkah ke depan Naruto. Naruto yang bingung sekaligus kaget dengan refleks mundur, merapatkan tubuhnya pada pagar. Ia mendongak kala kini pemuda jangkung itu bediri menjulang di hadapannya. Bayangan pemuda itu bahkan menyelimuti seluruh tubuh Naruto. Ia memandang –menunduk- pada Naruto. Memerhatikannya agak lama. Berikutnya pemuda itu membungkukan tubuhnya, hampir sembilan puluh derajat.
"Sasuke Uchiha, salam kenal, Senpai." Suara berat pemuda itu terdengar monoton, namun terselip intonasi senang kalau mau teliti.
"O-ooh-huwa!" pekik Naruto. Ia kaget, pemuda bernama Sasuke itu lalu berlutut dihadapan Naruto. Mendekatkan tubuhnya kearah sang senior.
"Maaf Senpai, Saya tidak tahu kalau anda kakak kelas. Bolehkah saya tahu nama anda?" ujar Sasuke.
'Kenapa jadi formal?' batin Naruto bingung. "Ah, itu, aku Naruto. Naruto Namikaze."
"Mohon bimbingannya, Senpai!"
'Hiii! Kali ini ia bahkan bersujud. Anak ini kenapa sih?' "Anoo… Uchiha-kun, tolong jangan begitu. Aku jadi tidak enak kalau kau sampai bersujud begitu." Ujar Naruto. Ia mendekati Sasuke yang masih pada posisi sujudnya, bermaksud menghentikan aksi terlampau sopan adik kelasnya itu. Namun,
DUAK! Kepala belakang beradu dengan dagu. Naruto terpental kebelakang, jatuh terduduk.
"Aaakh, sakit~" ringis Naruto.
Sasuke (yang entah bagaimana sepertinya tidak merasakan sakit) malah memandang bingung pada sang senior. Ia hendak bangun dari sujudnya tadi. Namun tiba-tiba ada suara benturan keras, dan sang Senpai sudah jatuh terduduk sambil meringis memegangi dagunya.
"Anda kenapa, Senpai?" tanya Sasuke, setia dengan tampang datarnya.
"Daguku terbentur kepalamu, bodoh!" geram Naruto. 'Pakai tanya segala lagi. Anak ini selain aneh ternyata juga bodoh.'
Mata sipit Sasuke agak membelalak. Rautnya (lumayan) terlihat panic walau tetap datar. "Anda tidak apa-apa, Senpai? Apa anda terluka? Apa saya harus memanggil Ambulan? Ah, tidak. Sebaiknya saya telpon dokter pribadi keluarga saya saja." Cerocos Sasuke. Ia kemudian sibuk mengutak-atik ponsel pintarnya.
"Oi, Uchiha-kun, tidak usah berlebihan begitu. Daguku hanya terbentur. Ya, walau masih nyut-nyutan sih." Protes Naruto melihat adik kelasnya itu kini sudah berjalan bolak-balik dengan ponsel yang menempel pada telinganya. Kesal karena diacuhkan akhirnya Naruto ikut berdiri, mencekal lengan sang pemuda tinggi. Niatnya sih mau pegang bahunya, namun apa daya, dengan berjinjitpun puncak kepala Naruto mungkin hanya sampai bahunya lebih sedikit. Sial, anak ini makan tiang atau apa?
"Kubilang jangan berlebihan. Lihat, daguku sudah tidak apa-apa." ujar Naruto sambil mendongak, menunjukan dagunya (juga karena tinggi badan).
Sasuke menoleh (menunduk). Ponsel yang masih bertengger di telinga kanannya kemudian ia kantongi. Ia lalu membalikan badannya, menghadap Naruto. Dengan tiba-tiba kedua tangannya sudah berada di masing-masing pipi Naruto. Naruto yang tidak siap hanya berjengit.
"Oi, Uchiha, kau itu ngapain, sih?" protes si pirang. Ia mencoba melepaskan kedua tangan besar Sasuke dari pipinya. Namun bukannya lepas, tangan itu justru menekan kedua pipinya, membuat wajahnya jadi berbentuk lucu dengan bibirnya mengerucut.
"Kuh," suara Sasuke.
Urat kesabaran Naruto putus. Wajah Sasuke tetap datar. "Jangan tertawa!" pekik Naruto saat tahu adik kelasnya itu sedang menahan tawa. Ia memberontak makin kuat. Namun cengkeraman Sasuke tetap tidak lepas.
Kepala Sasuke kemudian turun, mendekat pada wajah sang kakak kelas. Naruto yang akhirnya diam malah mendapatkan suguhan wajah putih Sasuke secara close up. 'Aduh anak ini mau apa lagi?' batin Naruto panik.
Dekat. Makin dekat. Panik. Makin panik. Wajah Naruto bahkan sudah pucat. Lalu mata sipit Sasuke kembali membola.
"Anda harus dirawat, Senpai!"
"Eh?"
"Wajah anda pucat! Dagu anda juga masih merah! Ini bahaya!" kini Sasuke yang panik malah menambah tekanan pada pipi Naruto. Naruto sendiri sudah pasrah. Ia tidak tahu harus bagaimana lagi. Fix, Naruto tidak suka pada siswa baru ini. Adik kelasnya ini memang tampan, tapi kalau aneh dan bodoh begini, yang ada Naruto malah illfeel dibuatnya.
"Ah, saya mengerti. Mari, Senpai." Ujar Sasuke sambil menarik tangan Naruto –bermaksud meninggalkan atap.
"Eh, tunggu dulu!" Naruto yang sadar kemudian menarik tangannya hingga berhasil lepas dari genggaman Sasuke. "Kau itu mau membawaku kemana? Lagipula enak saja main seret-seret begitu."
Kedua alis Sasuke naik, ia paham. "Maafkan saya atas ketidak sopanan saya, Senpai." Sasuke kemudian membungkuk dalam. Tapi, baru saja Naruto mengangguk puas kalau adik kelasnya itu akhinya paham kesalahannya, ia malah merasa tubuhnya terangkat.
"Sebaiknya saya gendong saja. Anda pasti tidak sanggup berjalan." Yak, Sasuke baru saja menggendong Naruto di kedua tangannya. Bridal style.
Naruto mematung. Ia lambat mencerna. Hingga Sasuke berhasil membawanya mencapai pintu atap, ia baru sadar.
"TUNGGU DULU!" bentak Naruto. Sasuke menunduk.
"Ada apa lagi, Senpai? Apa ada yang tertinggal?" tanya Sasuke dengan nada datar.
'Ketinggalan?' Naruto berpikir sejenak. "Ah kau benar. Roti Kare dan susu kotak-ku ketinggalan."
Sasuke mengangguk. Ia berbalik dan berjalan kembali ke tempat Naruto duduk tadi. Sampai disana, ia mengaitkan kantung plastik makanan Naruto diujung sepatunya lalu mengayunan kakinya, membuat kantung plastic itu melayang cepat lalu jatuh tepat di dada Naruto.
"Nah, sudah. Apa sekarang kita sudah bisa pergi, Senpai?"
"Wah, terimakasih, ya. Yosh, sekarang bisa berangkat!"
"Baik. Dimengerti, Senpai." Dan Sasuke pun berjalan meninggalkan atap. Diiringi dengan suara bel tanda istirahat sudah selesai, keduanya mengarungi koridor sekolah hingga parkiran dan menghilang ke dalam mobil hitam mewah milik Sasuke.
"Kediaman Uchiha. Berangkat sekarang." Perintah Sasuke pada sang supir.
"Dimengerti, Wakadanna." Dan dengan itu mobil hitam itupun melaju meninggalkan SMA Konoha.
.
.
.
Bersambung…
"Eh, tunggu dulu." Ujar Naruto.
"Ada yang bisa saya bantu, Senpai?" sahut Sasuke sambil menoleh. Ia duduk di sebelah Naruto.
"Kita mau kemana, tadi?"
"Ke kediaman Uchiha. Rumah saya."
"Apa?! Ta-tapi, kita masih ada kelas-…"
"Tidak usah khawatir, Senpai. Saya akan menyuruh salah satu bawahan saya untuk menyerahkan surat izin kepada wali kelas anda."
"Hah? Eh, bu-bukan itu!"
"Ada apa? Apa masih ada barang anda yang tertinggal?"
"Ah, benar juga. Tas dan buku-bukuku masih di kelas."
"Baik. Biar saya suruh salah satu bawahan saya untuk ke sekolah dan mengambilnya."
"He… Aduh, bukan itu!"
"Lalu?"
"Kenapa aku harus ikut kerumahmu, hah?!"
Sasuke terdiam. Ia menatap sang senior lekat. Tangan kanannya kemudian terulur, mendekat pada wajah Naruto yang menampilkan ekspresi berang. Telapak besarnya lalu menangkup pipi Naruto.
"Maaf Senpai, saya hanya ingin bertanggung jawab." Pipi Naruo diusapnya. Jemari laltu merambat dan menarik dagu Naruto naik, menghadap lurus pada wajahnya. "Dagu anda masih memar, kita harus mengobatinya."
Suara baritone milik Sasuke berhasil menyihir Naruto. Intonasinya yang begitu lembut membuat Naruto mematung. Ia hanya diam saat safir kembarnya menatap lurus pada mutiara hitam milik Sasuke. Ia terpesona.
Apa? Terpesona? Pada Sasuke? Mata Naruto membola.
"SALAH! INI SALAAAH!" pekik Naruto. Ia menepis tangan Sasuke dari dagunya.
"Apanya yang salah, Senpai?" tanya sasuke, kembali dengan nada datar.
"Jelas salah! Aku tidak mau kerumahmu. Pulangkan aku kerumah orangtuaku!"
Sasuke diam. Ia mencoba mencerna maksud dan keinginan sang senpai. Oh, Sasuke tahu! "Putar arah. Cari rumah keluarga Namikaze. Kita harus mengantarkan Senpai untuk mengambil beberapa baju ganti. Ia akan memerlukannya karena akan dirawat di kediaman Uchiha." perintah Sasuke pada sang supir.
"Dimengerti, Wakadanna." Sahut sang supir.
"Eh?"
"Anda tidak perlu khawatir Senpai. Akan saya pastikan anda kerasan dirawat di kediaman Uchiha nanti."
"EEEEEEH?!"
.
.
.
Bersambung sungguhan.
A/N:
Yasudah begitu saja. Semogga suka *tebar roti manis*