Title : Skizofrenia

Main cast : Mingyu x Wonwoo (Meanie)

Genre : Romance - Friendship

Rate : T

x BL - Typo x

.

.


Lorong rumah sakit yang sepi itu memudahkan akses Mingyu menuju ke ruang kerjanya- ruangan kerja petugas Seungcheol tepatnya. Kaki panjangnya mengayun secara otomatis membawa Mingyu yang masih berkutat dengan hal-hal di renungannya.

Ia ingin berterima kasih kepada si Seokmin itu, seperti jackpot, Mingyu bahkan tidak berniat awalnya untuk mengambil kunci bangsal Wonwoo, benda silver itu 'milik' Wonwoo dan Mingyu rasa itu bukan haknya untuk meminta Wonwoo memberikan kunci itu padanya.

Namun sesuatu yang lebih buruk bisa saja terjadi jika sebaliknya Mingyu membiarkan kunci itu bergantung disana saat Seokmin memanggilnya -apalagi jika Seokmin tidak pernah tau tentang kebebasan diam-diam yang dimiliki Wonwoo.

Sesampainya di ruangan kerja itu, Mingyu menghampiri lokasi meja hitam lumayan besar milik petugas Seungcheol. Si empunya kini tengah menyesap kopi sesekali meniup agar panasnya berkurang. Tanpa aba-aba, Mingyu memukulkan tangannya di meja petugas Seungcheol dengan kunci di sela jari telunjuknya.

Kopi hitam panas itu bertumpahan di tangan dan paha petugas Seungcheol, ia sontak menjerit dan berdiri lalu mengalihkan matanya menuju Mingyu dramatis. Siapa juga yang tidak akan menjadi dramatis saat ketumpahan kopi

Dan jangan lupa itu sangat panas, seragam putihnya menjadi hitam, dan mungkin kulitnya berubah merah di balik kain itu.

"sialan." ucap petugas Seungcheol sambil menggelengkan kepalanya tidak percaya "apa itu caramu menyapa seseorang?!" lanjutnya sambil meletakkan kedua tangannya di pinggang

Jangan kira Mingyu akan segera sujud dan mencium kaki petugas Seungcheol untuk meminta maaf, kenyataannya ia tidak mengeluarkan sepatah kata pun layaknya orang bersalah, Mingyu bungkam, menatap tajam petugas Seungcheol tepat di matanya dengan kedua tangan masih bersandar di meja yang lebih tua.

"apa yang kau lihat huh? Apa?" balas petugas Seungcheol sambil memaju-majukan dagunya salah tingkah melihat aksi Mingyu; ia sedikit merasa terintimidasi, tatapan menusuk Mingyu memaksanya segera menurunkan kedua tangan yang berada di pinggang tadi.

Petugas Seungcheol tidak mampu mendeskripsikan ekspresi Mingyu kali ini, apa dia sedang serius sekarang? Apa yang membuatnya menjadi seperti ini?

"kau.. apa ada sesuatu yang belum aku ketahui tentang pasienmu itu?" tanya Mingyu, suaranya jadi sangat tegas, mungkin ia benar-benar serius sekarang.

Petugas Seungcheol menghela nafas dan memijiat pelipisnya.

"jadi kau hampir menghancurkan mejaku, membuat kulitku terbakar karena minuman panas itu, hanya untuk menanyakan Wonwoo? Apa kau serius Mingyu?!" tanya Petugas Seungcheol masih dramatis sambil mengerutkan alisnya

"apa yang kalian lakukan lebih gila dari apapun. Serius hyung.. kau memberikan kunci bangsal pada penghuninya? Apa yang sebenarnya terjadi disini?"

Petugas Seungcheol mulai memproses ucapan Mingyu satu persatu, kunci.. kunci bangsal.. pemilik..

Matanya membulat seketika, Petugas Seungcheol membuka mulutnya untuk berbicara namun tak satu pun kata terdengar disana. Ia mengarahkan pandangannya kemanapun kecuali Mingyu, jantungnya berdegup dan masih mencoba menyusun kata yang tepat untuk membalas pemuda yang lebih tinggi, Petugas Seungcheol bahkan sudah lupa jika pahanya baru saja tersiram kopi panas.

"o-oh ming—"

"aku tau kau bisa menjelaskan ini padaku" ucap Mingyu sambil menarik beberapa tisu dari meja Petugas Seungcheol dan memberikannya pada lelaki yang lebih tua "celanamu hyung" lanjutnya datar sambil menunjuk area tubuh bagian bawah Petugas Seungcheol menggunakan dagunya.

Bisakah ia membersihkannya dulu? Aku bisa menunggu, oke, Aku tidak mau terus menatap kesana karena itu terlihat sangat kontras di depan mataku, ayolah aku tidak ingin melihat yang aneh-aneh, pikir Mingyu gelisah.

Petugas Seungcheol kemudian merampas tisu itu dari tangan Mingyu sambil mendengus, nodanya menyebar ke bagian atas pahanya dan itu bukan tempat yang baik untuk Petugas Seungcheol sentuh di depan Mingyu, baiklah sepertinya sedikit awkward disini.

Kim Mingyu sialan, kau hampir menghancurkan masa depanku - Petugas Seungcheol

Kenapa nodanya harus menyebar disana? Sialan.. - Kim Mingyu

"hyung sepertinya kau harus mengganti pakaianmu, ugh.. itu.."

"tutup mulutmu! aku tau apa yang harus aku lakukan." balas Petugas Seungcheol menahan dirinya untuk menarik rambut Mingyu, si bocah sialan itu seperti tidak merasa bersalah sedikitpun, insiden ini terlalu beresiko dan ia malah terus mendesak Petugas Seungcheol.

"aku akan menunggu sampai kau menjawab semua pertanyaanku hyung" ucap Mingyu menatap punggung lelaki di depannya, si empunya dengan frustasi mengacak-acak rambutnya, bolehkah ia mengatakannya? Tapi ini adalah sesuatu yang tidak boleh diketahui orang lain, tapi Mingyu sudah tau, bolehkah ia kembali ke rahim ibunya saja? Petugas Seungcheol sudah di ambang batas, kasihanilah ia.

Ini kejadian di luar jangkauan Mingyu, apa semua orang tau tentang hal ini kecuali dirinya? Baiklah, mungkin Mingyu adalah orang baru di rumah sakit ini, apakah ia tidak tau jika seluruh pasien disini boleh memiliki kunci bangsal mereka sendiri?

Mungkin saja memang keadaannya seperti ini, pikir Mingyu. Tapi itu tidak mungkin, jika semua pasien memiliki kunci, mereka tidak akan bertahan di dalam ruangan dingin itu, rasional Mingyu bekerja.

Jadi Wonwoo berbeda? Pikirnya lagi, Mingyu jauh dan jatuh di dalam dunianya sendiri. Ini semakin membingungkan.

"Mingyu, Mingyu?" panggil Petugas Seungcheol di balik pintu kamar mandi di ruangan itu. Mingyu tersentak dan menoleh ke asal suara

"kau memanggilku?" balasnya sambil menatap pintu cokelat itu

"menurutmu?"

"baiklah, ada apa?"

"beranjaklah dari kursimu dan ambilkan aku es disana, di lemari pendingin di ujung ruangan, kau lihat?"

"ya? Lalu?"

"berdirilah sebentar Mingyu, ku mohon" apa pandangan Petugas Seungcheol bisa menembus pintu? Ia tau betul Mingyu masih duduk di kursinya, pemuda tinggi itu pun berdiri sambil membuka lemari es berukuran sedang di hadapannya

"berapa banyak yang kau inginkan?"

"sebisamu, Mingyu"

"oh, aku bisa membawa lemari es ini kesana, kau mau?"

"ya! Jangan bermain-main, disini benar-benar tidak nyaman kau tau?!" Mingyu tertawa mendengarnya, bahkan sampai memegang perutnya karena tidak tahan dengan image Petugas Seungcheol di dalam sana karena ulahnya.

"baiklah baiklah, aku akan mengantarnya kesana" ucap Mingyu seraya memutar tubuhnya menghampiri petugas Seungcheol "ini hyung, buka pintunya" ucapnya memanggil.

Petugas Seungcheol menurutinya untuk mengambil beberapa es yang dibawa Mingyu, mereka saling menatap dan memegang tempat es itu, petugas Seungcheol menarik dan Mingyu menahan, petugas Seungcheol mulai mengerutkan dahi karena Mingyu tetap bertahan pada kehendaknya untuk tidak melepaskan es itu

"hey apa masalahmu? Aku butuh es ini!"

"apa..apa itu sangat buruk hyung?" tanya Mingyu perlahan, petugas Seungcheol tau benar maksudnya, namun ia hanya menghela nafas dan merampas -lagi- tempat es itu, lalu membanting pintu tepat di depan wajah Mingyu.

Aku kan tidak tau jika kopi itu bisa menyebar sampai kesana, jadi itu bukan salahku, pikir Mingyu, tapi tetap saja ia butuh es, Mingyu.

.

.

"bagaimana hari ini? Apa kau merasa baik?" tanya seorang pemuda yang menggunakan kemeja berwarna olive di hadapan Wonwoo, si teman sekolah alias Seokmin itu menyudahi panggilan ponselnya dan kembali menghampiri Wonwoo

"ya, kupikir begitu" jawab Wonwoo dan Seokmin tersenyum mendengarnya

"si petugas baru itu, bagaimana bisa ia melupakan kuncinya disini?" Seokmin tertawa lagi "coba saja pikir jika ia meninggalkannya di bangsal lain saat aku tidak lihat, apa kau yakin ia bisa mengumpulkan pasiennya yang kabur? Benar-benar lucu, namun aku memaklumi karena ia masih sangat asing dengan rumah sakit ini, benar kan?"

"itu kunciku, bodoh"

"apa?! Wonwoo, kau.. kau memberitahunya?"

"hm, apakah aku salah?" tanya Wonwoo menguji Seokmin yang gelagapan

"ba-bagus sekali, sekarang kunci itu ada padanya dan ia akan mengatakan kepada satu rumah sakit ini bahwa pasien jeon Wonwoo menyimpan benda itu"

"jangan berlebihan, kau sendiri yang memanggilnya" ucap Wonwoo santai

"aku tidak tau, oke? Bagaimana aku tau jika itu milikmu atau tidak" balas Seokmin frustasi, ia mengusap wajahnya dan kemudian melihat ke arah Wonwoo yang hanya mengangkat bahu

"tenang saja seok, dia akan mengembalikannya padaku"

"wow, kau bahkan bisa mempercayai orang lain sekarang?" tanya pemuda itu dan sekali lagi Wonwoo hanya mengangkat bahu untuk membalasnya

Kehadiran Seokmin di rumah sakit sudah jadi hal yang sangat umum bagi Wonwoo, lelaki itu akan mengunjungi Wonwoo jika ia memiliki waktu luang, ia jelas tau bagaimana kondisi mental Wonwoo bahkan sejak pertama kali Wonwoo menginjakkan kaki di rumah sakit itu.

Ya benar, mereka mulai saling mengenal sejak di bangku sekolah. Seokmin adalah pemegang peringkat teratas satu sekolahan, anak itu selalu bolak balik perpustakaan seperti yang dilakukan siswa unggulan lainnya, menjadi kebanggaan orang tua dan gurunya, prestasinya dalam bidang akademik tidak perlu kita tanyakan lagi.

Tetapi siapa tau kalau ia enggan mengenal apa itu teman, Seokmin memandang siswa lain sebagai musuh, yang bisa kapan saja mengambil posisi dan kebanggaannya, Seokmin pantang kalah, menurutnya sekali berada di nomor pertama maka ia akan membuat posisi itu permanen untuknya.

Untungnya Seokmin tidak dibully, beberapa siswa mencoba mendekatinya dan mengajaknya makan bersama, sekali dua kali ia turuti, namun semua perlakuan mereka menjadi sia-sia karena Seokmin masih berpegang pada prinsipnya, bagi Seokmin orang-orang itu hanya berusaha untuk memanfaatkannya, tentu saja.

Flashback

Suatu sore yang sendu, sekolah baru saja dibubarkan dan para orang tua sibuk menunggu anak-anaknya yang berlarian dan kemudian menghampiri mereka. Wonwoo tau ayah dan ibunya tidak pernah muncul di saat seperti ini, ia terbiasa, ia tau betul kenapa tidak ada yang menunggunya di gerbang sekolah dan menanyakan apa saja yang sudah dilakukannya hari ini.

Di persimpangan jalan, sebuah mobil sedan hitam terparkir disana, anak lelaki nomor satu itu tertunduk lesu di depan ibunya, sambil menggenggam kedua tangan dan menutup kedua matanya, sang ibu memaki dan menunjuk-nunjuknya beberapa kali, Seokmin yang malang tidak bisa berbuat apapun selain menerima.

Mata Wonwoo membulat bagaimana wanita itu dengan cepat menampar wajah Seokmin, ia terperanjat dan segera menutup mulutnya. Wonwoo yang bersembunyi di balik tembok itu menyaksikan bagaimana air mata Seokmin mengalir di wajahnya yang memerah, tangisannya tak bersuara, namun bahunya yang bergetar membuat Wonwoo mengusap wajahnya kasar, ia geram.

Wanita itu menghardik Seokmin tanpa jeda, bocah lelaki yang memakai seragam sekolah hanya terdiam hingga tamparan sang ibu mengenai wajahnya untuk kedua kali, menyakiti hatinya sekali lagi.

Ia menatap sang ibu, lalu mundur beberapa langkah dari hadapannya. Seokmin menggeleng tidak percaya dengan apa yang baru saja dialaminya. Buku yang ada di genggamannya terlempar tepat di bawah kaki wanita itu, Seokmin berlari menjauhinya, berlari dari kesakitan sejauh mungkin untuk berlindung dari ketidakberdayaannya.

Seokmin masih merasakan air matanya yang panas jatuh bersamaan dengan air hujan, ia terisak mengeluarkan semua sakit yang terpendam, Seokmin ingin hujan mengurangi perihnya, menyejukkan luka hatinya, mengalahkan suara teriakan kekesalan yang telah lama ia simpan sendiri.

Mereka selalu ingin bocah lelaki itu sempurna, tanpa kesalahan dan kekurangan.

Namun di saat yang sama mereka membuatnya bingung, terpuruk dan kesepian.

"kau bisa menggunakan payungku" ucap seseorang menyentuh pundak Seokmin, Wonwoo memberikan benda itu padanya, Seokmin memandang terkejut anak yang sedikit lebih tinggi darinya, ia mencoba berlari namun kakinya kehilangan daya untuk membawa tubuh ringkih itu.

Seokmin yang lemah, Seokmin yang menyedihkan, Seokmin yang tidak sempurna. Wonwoo melihatnya semuanya. Ia kembali menghampiri anak itu setelah terjatuh dari usahanya untuk menghindari Wonwoo.

"tidak apa menangis, aku juga sering..." ucap Wonwoo, ia kembali memayungi bocah lelaki itu

"apa kau akan mengatakannya pada teman-temanmu?"

"tentu tidak, kau bisa percaya padaku"

"apa kau senang melihatku seperti ini?"

"hei, apa untungnya bagiku?" protes Wonwoo

"apa kau—"

"ah sudahlah, ayo cepat berdiri, adikku menunggu di rumah" ucap Wonwoo menggapai Seokmin membantunya bangun dari rumput yang berlumpur itu

"apa aku.. apa aku boleh—"

"ya, kau boleh ke rumahku jika kau mau"

"ya! Kenapa kau suka sekali memotong pembicaraan?!"

"karena aku tidak ingin membuang-buang waktu, ayolah hujannya sangat deras"

Flashback end

Wonwoo itu anak yang menyenangkan hingga insiden fatal terjadi. Dunianya berbalik arah. Ia sudah berhasil membawa Seokmin mengenal orang lain saat anak itu anti terhadap teman, namun Seokmin tidak bisa berbuat banyak ketika orang lain mencela kondisi depresi Wonwoo akibat kehilangan.

Semua orang perlahan menjauh, meninggalkan Wonwoo dan melupakannya. Mereka muak dengan sikap Wonwoo yang belum mampu melihat kenyataan waktu itu.

Seokmin, hanya Seokmin yang betah menerima Wonwoo bahkan saat ia tidak mampu membantu Seokmin seperti dulu lagi.

Seokmin tau hal itu, Seokmin memahami keadaan rumah sakit dengan baik, kunci yang dimiliki Wonwoo bukanlah sesuatu yang mengejutkan lagi baginya.

"kau baru mengenalnya, berhati-hatilah sedikit" ucap Seokmin pada pemuda bersurai hitam

"apa ia terlihat mengecewakan bagimu?" tanya Wonwoo padanya

"wow ada apa denganmu? Apa ada sesuatu terjadi di antara kalian?"

"lupakan, kau pulanglah sebelum petugas berjalan kesini dan mengusirmu"

"lihat siapa yang mengusirku sekarang.." ucap Seokmin tertawa, ia sudah terbiasa dengan sikap dingin Wonwoo barangkali. Seokmin menegakkan tubuhnya dan membersihkan bagian belakang celananya, ia mau berpamitan sekarang

"seok, ada yang ingin aku katakan" potong Wonwoo, Seokmin memutar matanya, ia baru saja berdiri dan kini Wonwoo menahannya, Seokmin masih punya waktu kan? Benar, ia kembali duduk

"baiklah, apa?" ia memandang Wonwoo, lelaki itu menatap lurus ke bawah tanpa memperdulikan wajah penasaran Seokmin yang mematung di depan pintu, Seokmin mengangkat alisnya

"Wonwoo?" panggilnya lagi

Seokmin menghembuskan nafas karena Wonwoo masih bungkam

Apa dia sedang berpikir sekarang? Baiklah kita tunggu saja, pikir Seokmin

"Wonwoo ayolah" Seokmin mulai bosan, menit berlalu tanpa reaksi yang pasti dari Wonwoo, lalu ia menyentuh bahu Wonwoo melalui sela pintu, lelaki itu langsung menatapnya, tajam dan tepat di mata Seokmin, membuat si teman sekolah terperanjat.

Wonwoo menunjukkan eye smile-nya, tanpa diduga, tanpa aba-aba. Poni panjang yang hampir menutupi mata itu membuat senyumannya semakin diinginkan, bola mata cokelatnya bercahaya dan sudah lama sekali rasanya Seokmin tidak melihat formasi Wonwoo yang ini, ia ikut tersenyum.

"hm aku pikir lebih baik mengatakannya lain waktu saja"

"ya jeon Wonwoo! Jangan bermain-main denganku, kau sudah membuatku duduk kembali disini, cepat katakan sekarang" ucap Seokmin memegang pintu besi itu dengan kedua tangannya, ia sedikit memukul benda itu dan menghasilkan bunyi dentingan yang cukup keras, Wonwoo tertawa melihat image Seokmin yang masih setia menunggunya

"maaf, ku pikir jam kunjungmu sudah habis" ucap seseorang, Seokmin melihat ke asal suara dari arah belakang, jelas sekali itu adalah petugas rumah sakit yang berjaga

"iya aku tau, kau tidak perlu menjemputku" balas Seokmin, ia berdiri dan melirik Wonwoo, lelaki itu masih tersenyum padanya

Ada apa denganmu? Kenapa kau tersenyum seperti itu? Pikir Seokmin, Wonwoo benar-benar aneh hari ini.

"hati-hati seok, jangan lupa datang lagi" lanjut Wonwoo sambil melambaikan tangannya

"awas kau jeon Wonwoo" ucap Seokmin sambil menunjuk Wonwoo, mereka tertawa dan sedetik kemudian Seokmin pergi sambil membalas lambaian tangannya

.

.

Sudah seharian Jisoo lalu lalang di gedung kampus tanpa melihat kehadiran Mingyu. Suasananya sedikit berbeda dari biasanya karena hari ini Jisoo bebas dari gangguan dan rengekan Mingyu.

Namun hal itu yang membuat Jisoo masih menunggu kehadirannya, Jisoo bosan dan sepi, ia butuh distraksi.

Seluruh kuliah sore hari ini telah usai, tanpa kehadiran Mingyu pastinya. Jisoo masih mengingat dengan jelas pertengkaran mereka sehari yang lalu, Mingyu memilih Wonwoo dan meninggalkannya begitu saja, ia menjadi sangat keras kepala dan membantah Jisoo berkali-kali.

Mereka cukup sering ribut, bahkan hanya karena hal sepele. Kekhawatiran Jisoo yang berlebihan dan Mingyu yang sulit diatur, itulah yang menyebabkan mereka selalu berbenturan satu sama lain.

Namun, isu kali ini bukan tentang permainan bola kaki Mingyu ataupun muka masam Jisoo, ini begitu rumit, Jisoo pikir Mingyu sedang menuruti hasratnya, Jisoo pikir Mingyu sudah tidak ingin mendengarnya lagi, Jisoo pikir Mingyu pergi darinya.

Sikap Jisoo kemarin semata-mata untuk melindungi, sosok Mingyu memang berarti baginya, seperti soulmate mungkin?

Jisoo tetap mempertahankan egonya karena ialah yang paling benar, menurutnya. Jisoo beranggapan Mingyu akan terluka lagi, sakit lagi seperti kemarin, sungguh, demi nyawanya, Jisoo tidak mau itu terjadi, ia merasa terbawa ke dalam mimpi buruk di masa lalu, memaksa Jisoo mengingat kenangan pahit itu lagi.

Alasan Jisoo sebenarnya tidak berbelit, hanya persepsi Mingyu yang tidak bisa menggapai itu semua.

Kini Jisoo sendiri, tanpa Mingyu, menendang batu kerikil di jalan menuju rumahnya. Ia menyerahkan semuanya pada Mingyu, berusaha tidak peduli namun ketakutannya masih menyertai, yang Jisoo inginkan sekarang adalah segala sesuatu akan baik-baik saja seperti biasanya.

Lelaki bersurai cokelat tua itu menyusuri jalanan sepi, ia berbelok arah menuju swalayan untuk mendapatkan minuman yang bisa menenangkan pikirannya, Jisoo masuk kesana dan mengabaikan salam dari pegawai mereka, ia langsung menuju lemari pendingin dan mengambil sebotol air mineral.

Jisoo meneguk habis isinya, meremukkan botol minum itu dan membuangnya. Ia berjalan menuju kasir lalu meninggalkan lembaran uang disana tanpa sepatah katapun, Jisoo membuka pintu kacanya sedikit saja dan meninggalkan pegawai kasir yang masih kehilangan kata-kata.

Kim Mingyu tidak tau apa yang sedang dihadapinya

Kim Mingyu, kau akan lihat bahwa pilihanmu itu salah

Jika terjadi apa-apa padamu, jangan berharap untuk melihatku

Jika kau terluka, jangan datang padaku

Aku tidak peduli, karena kau tidak peduli padaku

Masih Mingyu, Jisoo memikirkan Mingyu sepanjang jalan, ia berada di antara 'ingin menarik Mingyu kembali' dan 'tidak ingin peduli pada Mingyu lagi'.

Jisoo benar-benar dilema.

"kemana saja kau bocah! Cepat berikan uangnya!" teriak seorang pemuda pada bocah perempuan di hadapannya, Jisoo melihat mereka

"tapi aku tidak mendapatkannya.." balas gadis itu, ia menunduk takut seakan-akan pemuda itu akan menghabisinya

"apa?! Kau bebas seharian dan tidak ada seorang pun yang memberimu?! Dimana kau menyimpannya cepat katakan padaku!"

"ta-tapi.. aku tidak punya apa-apa" bela gadis itu lagi, jawabannya membuat yang lebih tua murka, ia menarik rambut anak itu dan mendorong tubuh mungilnya ke aspal, mereka berdua terlihat lusuh, noda debu terlihat di seluruh pakaian, bahkan tanpa alas kaki sekalipun.

Jisoo masih terpaku pada posisinya, hingga pemuda itu meraba seluruh bagian tubuh gadis malang itu untuk mencari benda yang diinginkannya, gadis itu berteriak, menjerit sekuat tenaga dan berusaha melawan semampunya.

Tapi tubuh mungilnya tidak berdaya, pemuda itu berusaha menutup mulutnya dan mulai mencekik lehernya. Seluruh bagian tubuhnya memberontak untuk dibebaskan, ia memukul-mukul tangan pemuda itu sambil berurai air mata, namun lelaki itu hanya tertawa layaknya psikopat.

Jisoo berlari, itu pergerakan paling cepat yang pernah dilakukannya dalam 19 tahun, demi sebuah nyawa. Ia mendorong pemuda itu hingga mereka berdua terguling ke aspal.

Sang gadis terengah-engah mengumpulkan udara di tenggorokannya, ia perlahan bangun dan merangkak menjauhi dua pemuda yang sedang mendorong satu sama lain, berteriak mencari pertolongan.

Jisoo berusaha memutar posisi mereka saat pemuda itu duduk tepat di atas perutnya, sangat sulit karena tenaga Jisoo perlahan menghilang saat ia ingin melawan pemuda itu, ia teringat satu hal

Masa lalunya.

Jisoo merasa ia melihat dirinya, ingin sekali rasanya melayangkan pukulan namun hati Jisoo berkata jangan.

Jisoo sudah lebih dulu seperti ini, ia tau apa resiko apa yang akan diterima pemuda itu jika ia tidak pulang membawa uang, Jisoo pernah mengalaminya, ia didorong ke tembok secara paksa dan mereka membenturkan kepalanya, Jisoo tidak tahan, memorinya mengenaskan.

Lalu orang itu melihat ke arah gadis yang hampir dibunuhnya tadi, dengan cepat ia berlari menuju gadis itu dan menahan tangannya.

Jisoo bebas, tapi gadis itu tidak.

Pemuda lusuh itu mengambil tas kecil yang dari tadi dipertahankan sang gadis dan ia masih mencoba untuh menahan, namun mereka tidak sebanding, ia berhasil merampasnya dan berlari meninggalkan mereka, anak itu berteriak hingga terduduk dengan air mata mengalir di wajahnya.

Jisoo ikut berlari, meninggalkan gadis itu menuju jalan yang dilalui si pemuda, ia mengumpat sepanjang jalan dan mengerahkan sisa-sisa tenaganya.

Jisoo melihatnya, ia berlari hingga jarak mereka tidak berbanding jauh, pemuda itu kembali berbelok di tikungan dengan Jisoo yang masih mengejar di belakangnya, Jisoo ingin menangis karena ia tidak merasakan apa-apa lagi di kakinya, ia berlari menggapai pemuda itu dan melompat ke arahnya, mereka mendarat di tanah bersamaan, Jisoo menghimpitnya dengan nafas menderu tak beraturan.

Ia membuka mata, mereka tepat berada di penghujung jalan, tidak ada jalan keluar, itu buntu.

Namun sudah ada yang menunggu di depan mata Jisoo, dengan tubuh besar dan kalung rantai, mereka memegang kayu dan mengapit rokok di antara kedua bibirnya, Jisoo benar-benar terintimidasi dengan tampang orang-orang itu.

Jisoo berusaha bangun dan mereka berdua sama-sama kehabisan energi. Saat tangan Jisoo sudah mampu menopangnya, salah satu dari mereka membuka suara

"apa kau bisa berdiri, bocah?"

"tutup.. mulut bodohmu" balas Jisoo lemah, mereka tertawa terpingkal

"apa yang bocah sepertimu bisa lakukan untuk menutup mulut bodohku ini? Dengan menciumku?"

"dasar menjijikkan!"

Ia menatap tajam satu persatu dari mereka, yang mereka lakukan hanya tertawa dan mendorong satu sama lain

"ayolah berdiri sayang" ucap orang itu lagi, Jisoo benar-benar merinding sekarang, saat salah satu kakinya berusaha digerakkan dan membantunya bangun, Jisoo kembali jatuh karena tendangan salah satu dari mereka mengenai pinggangnya.

Tendangan kedua mengenai punggungnya, Jisoo dapat mendengar hentakan di tulangnya. Ia bisa merasakan tapak sepatu mereka yang tebal ikut menghantam tubunya.

Lalu sebuah balok kayu tepat melayang di bahunya, Jisoo sakit luar biasa.

Pukulan lainnya, tendangan lagi dan lagi, mereka bergantian menghabisi lelaki malang itu.

Ia menangis terisak, air mata Jisoo menderu dan memori pahit masa lalu bergantian muncul seperti sebuah slide, kepalanya pusing, Jisoo merasakan memar di seluruh tubuhnya, ia memuntahkan darah dan matanya berkunang-kunang.

Jisoo seperti mati, ia tidak merasakan apapun selain perih, semuanya menyakitkan.

Lukanya, hatinya, trauma masa lalunya.

Orang-orang itu pergi meninggalkannya setelah memberikan pukulan telak yang membuat Jisoo mati rasa.

Jisoo bertanya kepada dirinya kenapa ia tidak pingsan saja dan malah merasakan ini semua dengan sadar, kenapa tubuhnya memberikan toleransi untuk menahan rasa sakit, ia tersenyum.

"g-ga.. gadis.. gadis itu.." ucap Jisoo terbata, cairan merah kental itu masih terus memaksa keluar dari mulutnya "ah, ma-maafkan... aku"

Alangkah Tuhan menyayanginya, pandangan Jisoo semakin gelap dan langit pun berputar sangat cepat hingga Jisoo kehilangan kesadarannya.

.

.

"aku menunggu sejak pagi, mengikutimu kemanapun kau pergi, tidak melihat Wonwoo-ku, demi menunggu penjelasan darimu, dan sekarang aku masih menunggu disini, masih dengan pertanyaan yang sama, kau tau hyung? Dunia ini memang sangat tidak adil" celoteh Mingyu panjang lebar sambil berdiri menyandar di pintu yang sama, pintu kamar mandi.

"ya! Bisakah kau diam?! Aku tidak bisa konsentrasi!" teriaknya dari dalam, Mingyu hanya menghela nafas dan memandang langit-langit ruangan, mengabaikan petugas Seungcheol yang sibuk di sisi pintu yang lainnya.

"ah.. kau bahkan tidak perlu berkonsentrasi untuk buang a—"

"DIAM!"

"kau tau hyung, dari suaramu aku bisa memahami kalau sekarang hyung sedang berjuang"

"KIM MINGYU!"

"kau tau hyung, sangat tidak nyaman jika ada yang menunggumu untuk keluar dari kamar mandi"

Mingyu tersentak karena bunyi dentuman keras dari belakangnya, Mingyu memegang dadanya karena detak jantungnya berpacu dengan cepat

"hyung! Apa kau baik-baik saja? Toiletnya tidak meledak kan?"

Padahal petugas Seungcheol hanya melempar sepatunya ke arah pintu, Mingyu yang polos..

"..."

"HYUNG!" teriak Mingyu, ia mulai panik dan berusaha menggedor pintu itu.

"..."

"hyung, ayo buka pintunya, apa kau baik-baik saja? Jawab aku hyung!" rengek Mingyu sambil memaksa gagang pintu itu terbuka, percuma saja, itu 100% terkunci

Mingyu menempelkan telinganya disana tapi ia tidak mendengar apapun, ia mencoba mendobrak pintu itu dan dengan mudahnya benda itu terbuka, tentu saja karena petugas Seungcheol yang membukanya

"apa yang kau lakukan disana?" tanya petugas Seungcheol cuek melihat Mingyu yang terbaring di lantai dan menatapnya tidak percaya, matanya berkedip dan mulutnya terbuka ingin mengucapkan sesuatu, namun tidak ada satupun yang terdengar

"ayo cepat berdiri, bukankah kau tadi menungguku?" lanjut petugas Seungcheol, ia dengan tidak acuhnya berjalan meninggalkan pemuda yang masih mematung pada posisinya

Mingyu's POV

Lelaki tua itu benar-benar merisaukan, aku bertahan untuk mengekorinya sepanjang hari dan mendengar omelan-omelannya. Aku tidak sedang bercanda, aku memang bersamanya dari pagi hingga sore hari, lalu absen dari kelasku, tidak kembali ke bangsal Wonwoo hanya karena orang ini.

Tapi aku merasa aneh, aku melakukan segala hal untuk membuatnya bicara, namun Seungcheol hyung terus mengelak dan mengalihkan maksudku. Terkadang aku berhenti saat ia sibuk dan kembali untuk bertanya ketika ia lengah, namun sekali lagi Seungcheol hyung mengabaikanku.

Sepanjang hari, aku berpikir tentang korelasi dari semua ini. Aku hanya ingin tanya kejelasan tentang kunci yang dimiliki Wonwoo. Seungcheol hyung jelas menyembunyikan sesuatu dariku dan sekarang sangat sulit untuk membuatnya terbuka.

Aku bangkit dari posisiku yang memalukan dan menyusulnya. Seungcheol hyung melangkah keluar dari ruang kerjanya sambil memasukkan kedua tangannya di saku celana.

Ah tolonglah, kita sudah empat kali berkeliling rumah sakit ini, sekarang ia mau jalan-jalan lagi?

Ingin sekali aku memaksanya duduk di kursi dan mengikat tubuhnya, lalu mengancamnya untuk berbicara layaknya di film-film, tapi ia hyung yang aku hormati, ia banyak membantuku sejauh ini, mustahil aku melakukannya.

Jadi yang hanya bisa seorang kim Mingyu lakukan sekarang hanyalah mengikutinya.

Seungcheol hyung hanya bungkam dalam setiap langkah kakinya, aku melakukan hal yang sama dan mengikuti arahnya, ia berjalan di lorong menuju bangsal favoriku, bangsal Wonwoo, namun ada perasaan menggelitik dari dalam diriku, aku menimbang-nimbang apakah akan mengikutinya ke dalam sana atau tidak.

Entah apa yang membuatku tak siap, suasananya aneh sekali ditambah dengan Seungcheol hyung yang memilih diam, apa yang sedang direncanakannya?

Tanganku berkeringat dan aku berkali-kali menggaruk kepalaku, aku ingin bertanya pada Seungcheol hyung namun sepatah katapun tidak mampu kuucapkan.

Aku memutuskan untuk menahan lengan Seungcheol hyung dan membuatnya berhenti lalu menatapku.

"apa?" tanyanya datar

'tolong jelaskan tentang drama ini padaku sehingga aku tidak harus mengikutimu sepanjang hari dan dan dan—'

Aku hanya menggeleng sebagai jawaban dan kemudian melepaskan lengannya.

Seungcheol hyung tidak memberiku respon apapun melainkan melanjutkan jalannya yang terhenti.

Kali ini terserah saja, aku sudah melewati sesuatu yang lebih berat dari pada ini, apapun yang akan dikatakan Seungcheol hyung di depan Wonwoo nanti sepenuhnya aku serahkan pada takdirku, apapun yang terjadi aku hanya akan menghadapinya kan?

Aku menghela nafas dan menyusulnya, tapi Seungcheol hyung melintasi pagar kecil yang menjadi pembatas antara lorong dan rerumputan di taman rumah sakit, aku menatapnya heran karena tidak ada seorangpun yang melakukan hal ini sebelumnya.

Mereka merawat tanaman disini dengan sangat baik sehingga tidak diperbolehkan untuk berpijak di rerumputan itu, namun ia dengan santainya berjalan disana.

Seungcheol hyung berbalik dan melihatku.

"kemarilah" ucapnya, aku menerobos pagar itu dan berjalan ke arahnya, aku melihat sekeliling dan entah kemana perginya semua orang, sangat sunyi.

Kami berjalan melewati tanaman dan rerumputan itu dengan Seungcheol hyung yang menuntunku, jalan kecil yang terbelah diantara rerumputan berakhir di bagian belakang bangunan bangsal, aku tidak tau jika rumah sakit jiwa bisa memiliki taman seindah ini, benar-benar bersih dan tertata, tidak ada yang datang kesini namun mereka masih tetap menjaganya.

"aku sering mengajak Wonwoo kesini jika anak itu mulai bosan" ucap Seungcheol hyung tiba-tiba, ia berjalan menuju meja bekas yang tidak terpakai dan duduk disana.

"aku akan masuk dari pintu depan dan keluar disana bersamanya" sambungnya sambil menunjuk bangunan di belakang kami, disana tidak terdapat apa-apa selain tembok yang kokoh dan sebuah pintu yang tertutup rapat.

Aku mengalihkan kembali pandanganku dan ikut duduk bersama Seungcheol hyung di atas meja itu.

Sedetik kemudian aku merindukannya, apa Wonwoo di dalam sana baik-baik saja?

"kau diperbolehkan masuk olehnya?" tanya Seungcheol hyung padaku, ia mulai mengungkit tentang hal ini

"hm, aku disana bersamanya, tanpa penghalang pintu lagi"

"ia bahkan tidak mengizinkan ibunya masuk karena Wonwoo tidak ingin orang lain bersamanya, kecuali aku tentu saja" aku mendengus dan memutar mata, lelaki ini percaya diri sekali ternyata

"Wonwoo itu lebih gila dari yang kau bayangkan, Mingyu" ucapannya membuatku tersentak

"apa maksudmu?" tanyaku balik, aku kurang menyukainya berkata seperti itu

"ku pikir kau sudah sedikit memahami anak itu dari ceritaku saat kau dirawat, ini tentang kejadian itu lagi"

"ya, kejadian tentang bohyuk dan Wonwoo kan?"

"hm" lebih mengangguk sambil menatap rerumputan di hadapannya "sebelum berada disini, Wonwoo mengalami kesunyian luar biasa karena ia sendirian, tertekan dan merasa bersalah. Ibu keluarga jeon adalah dokter jiwa dan kau tau itu, ia berusaha membawa Wonwoo kembali dari kondisi terpuruknya"

Aku masih diam mencoba mencerna setiap kata yang hyung ucapkan

"Wonwoo menolak pergi ke sekolah, ia mengurung diri di kamar dan mulai membanting barang-barang. Ia melewatinya sendirian, bahkan aku dan Seokmin tidak bisa menggapainya, ketika kau mencoba berbicara dengannya maka Wonwoo hanya akan berteriak untuk menyuruhmu diam, apalagi jika kau menasehatinya seperti orang paling mengerti keadaan, ia hanya akan menertawakanmu. Itu yang kami lalui untuk memberi perhatian padanya, tapi tentu saja Wonwoo tidak melihatnya"

Aku menggigit tepian bibirku karena terlalu miris untuk membayangkannya

"jeon eommonim mengambil masa cuti dari rumah sakit hanya untuk bersama Wonwoo, seharusnya merekalah para orang tua yang mengalami kesakitan lebih, ia menghadapi dua kali lipat masalah saat salah satu anak mereka pergi dan satunya ingin pergi." Lanjutnya.

"Wonwoo mulai membuka pintunya untuk orang lain, perlahan aku mencoba bicara padanya lagi, ibunya memberikan apapun yang ia inginkan, perhatian berlebih hanya pada putra satu-satunya saat itu, ia meninggalkan rumah sakit, tuan jeon memperlakukan Wonwoo layaknya anak bayi yang baru lahir ke dunia, suasana rumah menjadi sangat tentram dan hangat, bahkan diriku sendiri sangat betah jika berada disana"

Aku mengangguk dan merasa sedikit lega karena hal yang disampaikan Seungcheol hyung

"ia memutuskan untuk home schooling dan orang tua jeon mengabulkannya, Wonwoo kembali bergabung bersama teman-temannya dan intensitas kesedihannya berkurang, saat itu Wonwoo kembali bebas seperti biasa dan mengizinkan ibunya kembali ke rumah sakit, tidak ada yang kami khawatirkan saat itu karena kondisinya benar-benar normal" Seungcheol hyung menunduk dan mendesah pelan "tapi saat itulah ia memulainya"

Aku terheran lagi dan menatapnya

"sore itu kami mendapatkan panggilan dari kantor polisi karena Wonwoo, anak itu pergi sendirian dan membuat laporan mengenai kematian adiknya, ia merangkai cerita dan mengumpulkan bukti palsu yang menunjukkan seolah-olah Wonwoo yang bersalah dalam peristiwa itu, seperti pelaku yang sedang membuat pengakuan tentang dirinya sendiri"

Jantungku berdetak dengan sangat cepat namun aku hanya bisa menunggunya menyelesaikan cerita ini segera.

"entah apa yang dipikirkan Wonwoo saat itu, ketika ayah dan ibunya berada disana, ia hanya tersenyum ke arah mereka. Wonwoo bilang sudah saatnya ia mengakui kesalahannya"

Aku tertawa pelan karena tidak percaya jika alur pikiran Wonwoo ternyata seperti ini.

"dan polisi mempercayai pengakuannya? Apa mereka semudah itu untuk ditipu?" lanjutku

"tentu tidak, orang tua jeon menjelaskan peristiwa yang telah berlalu itu kepada petugas, dan kau tau Mingyu, bahkan mereka mengatakan jika bukti-bukti yang diberikan Wonwoo sama sekali tidak masuk akal. Saat polisi mewawancarai ayah dan ibunya, Wonwoo memberontak dan memaksa bahwa itulah yang sebenarnya terjadi, buktinya adalah kebenaran dan ia membantah setiap pernyataan orang tuanya"

Aku yakin ayah dan ibu jeon mengalami waktu yang benar-benar sulit saat itu.

"keadaannya kacau, kami berpikir bahwa Wonwoo sudah kembali membaik tapi ternyata.." Seungcheol hyung mendesah pelan.

"kejadiannya kembali seperti di awal, Wonwoo mengurung diri dan membenci semua orang, hingga pagi itu ia datang kepada ibunya memberikan dua pilihan" aku melihat petugas Seungcheol tersenyum, namun aku tidak bisa mengartikannya

"anak itu.. membawa pecahan kaca yang entah darimana ia dapat, mengancam ibunya jika ia tidak segan menusukkan kaca itu ke perutnya kalau saja nyonya jeon tidak mau membawanya ke rumah sakit ini, Wonwoo ingin dikurung, ia ingin menghukum dirinya sendiri"

Aku menghela nafasku, tertawa pelan mendengar untaian kalimat hyung. Wonwoo menawarkan dua pilihan, hanya dua dan keduanya menyakitkan.

"apa yang harus aku lakukan hyung.."

"hentikanlah Wonwoo, ia sudah sangat lelah dengan semuanya"

Lalu Seungcheol hyung pergi tanpa menghiraukanku, sejujurnya yang aku inginkan saat ini hanyalah sendirian, aku merebahkan tubuhku di atas meja yang kami duduki tadi, menutup mataku dari silaunya matahari sore.

Entahlah, aku juga tidak bisa menyebutkan bagaimana perasaanku, aku ingin melupakannya sekarang, sebentar saja.

.

Author POV

Mingyu merasakan sejuk menerpa kulitnya, ia membuka pelan matanya dan melihat sekeliling, gelap dan berangin.

Benar, Mingyu ketiduran.

Ia bangun dan lompat dari meja, tubuhnya terhuyung karena belum sepenuhnya sadar dari mimpi sore hari.

Tapi ini bukan sore lagi, Mingyu mengecek ponselnya dan melihat sudah hampir pukul 9 malam, katakan saja ia benar-benar pulas tadi karena hari ini cukup melalahkan, ya, melelahkan karena mengekori petugas Seungcheol seharian.

Mingyu kembali ke bangunan rumah sakit, sudah tidak banyak perawat berlalu lalang, pasien juga sudah masuk pada jam tidur. Lelaki berseragam putih itu menambah kecepatan langkahnya di sepanjang lorong yang sunyi, masih sok cool padahal tidak ada yang melihatnya, Mingyu memasukkan kedua tangannya ke saku dan ia merasakan benda silver itu masih ada disana.

Kuncinya, ucap Mingyu dalam hati, ia berhenti dan memutar arah, Mingyu tau kemana ia harus pergi.

Bangsal yang paling spesial, dimana penjaganya tengah tertidur pulas dan mempermudah jalan Mingyu untuk menemui Wonwoo.

Dengan percaya diri ia tersenyum sambil melewati ahjussi yang berjaga di depan, assa kim Mingyu!

"he-hei! Mau kemana?"

Sial..

Mingyu berhenti dan melihat ke belakang, ahjussi itu bertanya dengan mata setengah terbuka

"ngg.. itu, aku.. aku shift malam hari ini, ingin memastikan pintu belakang sudah terkunci atau belum, Seungcheol hyung menyuruhku untuk melihatnya.. iya begitu" sahut Mingyu sambil menggaruk tengkuknya

"oh.." ia kembali duduk

"ahjussi.. maaf, boleh aku pinjam kunci pintu belakang? Siapa tau Seungcheol hyung benar-benar lupa tadi untuk menutupnya"

Lelaki itu mengambil sekumpulan kunci dari laci mejanya, ia sedang melihat satu persatu manakah yang harus ia berikan.

"ini, yang tandanya biru" ucapnya sambil memberikan Mingyu tanpa curiga. Lelaki yang lebih muda membungkuk dan ahjussi tadi mengibaskan tangannya ke arah Mingyu menyuruhnya cepat-cepat pergi agar ia bisa melanjutkan tidurnya.

Tidur yang nyenyak, ahjussi..

Ketika Mingyu sampai di hadapannya, Wonwoo langsung menangkap manik cokelatnya, ia melihat Mingyu tajam, seperti biasa.

Mingyu hanya tersenyum sambil menyamakan tingginya dengan Wonwoo, membalas tatapan pemuda di balik pintu besi dengan tatapan hangat, membuat Wonwoo kalah dan mengalihkan pandangannya.

"sudah makan?" tanya Mingyu dengan posisi favoritnya, memandang tulus orang yang masih tidak melihatnya

"hm"

"apa kau lelah? Mau tidur?"

"hm"

"kau tidak senang melihatku lagi?"

"hm"

"Wonwoo ayolah"

"apa maumu?" tantang Wonwoo, ia mendecih dan menatap sinis Mingyu

"kau menungguku? Aku lama ya? Maaf.." tanya pemuda bersurai cokelat sambil memajukan bibirnya

Hentikan tingkahnya itu – jww

Wonwoo hanya memutar matanya malas, memang benar, ia menunggu Mingyu kembali setelah Seokmin pergi, tapi nyatanya ia baru datang sekarang, Mingyu harus tau tidak ada yang suka menunggu di dunia ini.

"sudah tidak usah kesini" ucap Wonwoo cuek sambil mengerutkan dahi, Mingyu hanya tertawa

"mana bisa, sebentar saja sudah rindu" balasnya sambil mengusak rambut Wonwoo dan ia hanya melirik Mingyu tanpa menepis tangannya

"omong kosong"

"aku kan sudah minta maaf, ayolah.."

Wonwoo menghembuskan nafasnya.

"hanya kali ini saja ya, besok jangan harap aku mau bertemu denganmu lagi" ucap Wonwoo sambil memalingkan wajahnya

"apapun untuk jeon Wonwoo" canda Mingyu sambil tertawa memperlihatkan gigi taringnya

Tanpa menunggu lama, ia merogoh saku celananya mencari benda silver yang ia ambil dari Wonwoo tadi pagi. Mingyu mengangkat tubuhnya dan memasukkan anak kunci itu perlahan sambil membukanya.

"ayo jalan-jalan" ungkapnya sambil mengulurkan kedua tangannya pada Wonwoo, namun yang lebih tua hanya memandang heran Mingyu yang kini sudah di hadapannya tanpa penghalang pintu lagi

"tidak bisa.." balas Wonwoo pelan sambil menundukkan wajahnya, menjadikan Mingyu iba, ia kembali duduk dan menarik dagu Wonwoo dan lelaki itu mau tidak mau menatap ke arah Mingyu

"sayangnya aku tidak menerima kata 'tidak'"

Mingyu menggapai kedua tangan Wonwoo dan menariknya untuk berdiri, ia tersenyum dan Wonwoo hanya memutar mata. Mereka meninggalkan bangsal Wonwoo tanpa suara, Mingyu merangkulnya hingga mereka sampai di pintu belakang bangsal yang tadi hanya bisa ia lihat dari luar.

"mau kemana?" tanya Wonwoo

"ke tempat yang hanya bisa berdua saja" canda Mingyu, Wonwoo menundukkan wajah seraya menyembunyikan semburat merah di pipi putihnya

Mingyu membuka pintu akses menuju taman, angin menerpa wajah mereka sesaat ketika langit malam tepat berada di pandangan keduanya.

Malam yang tenang diterangi cahaya bulan dan lampu taman yang sudah meredup. Mingyu melirik ke arah Wonwoo, meskipun tanpa penerangan Mingyu dapat melihat kesempurnaan dari setiap garis wajah Wonwoo

Ia memang sangat manis untuk dilihat, namun pastinya akan lebih manis jika dimiliki. Curhat Mingyu pada dirinya sendiri.

"jangan melihatku seperti itu" ucap Wonwoo tiba-tiba membuat Mingyu gelagapan

"aku kan hanya melihat saja"

"tapi kau membayangkan yang tidak-tidak di pikiranmu"ups..

"apa kau membaca pikiranku?"

'Tolong baca perasaanku juga'

"aku tidak ingin membuang waktu untuk bicara omong kosong, jadi bolehkah aku kembali ke—"

Belum sempat Wonwoo menyelesaikannya, Mingyu sudah menariknya ke taman belakang rumah sakit. Wonwoo tidak menahan melainkan hanya mengikuti kemana Mingyu membawanya.

Satu hal yang Wonwoo tau, kemanapun ia pergi, asal bersama Mingyu, ia akan merasa hidup kembali.

.

.

tbc sayyy


aku tau ini gaje dan nggantung abisss, ga sempet nambahin lagi dan ini udah setahun mba kesimpen tapi ga diterusin, akhirnya bikin ending dadakan:'

ini ngelanjutin niat ga niat ya gimana akutuh:" maaf y apdetnya lama dan meanienya cuma dikit, pengen nambahin lagi tapi belum kepikiran daripada ga dipost sampe taun depan ya mending apa yang ada, author macam apa...

semoga kalian suka ya/ngarep/ ff ini kayanya mau difinish cepet aja biar bisa bikin cerita yang baru, macem iya aja wkwk

REKOMENDASI NEXT CHAP PLIS CARATDEUL, butuh inspirasi akutuh:") jangan lupa komen yaaa, makasih juga yang udah nungguin selama dua kali lebaran + favnya, see u in next chapter, luvv3