Perhatian

Fanfiction ini adalah remake dari novel karya R. berjudul runaway

SELAMAT DATANG DI SEOGU, sambutan tersebut tertulis pada papan di hadapannya.

Kegelapan telah menyelimuti sore saat Lee Sungmin, melihat papan tersebut. Awan pekat tergantung rendah di langit, mengancam akan membuatnya basah kuyup sekali lagi.

"Seogu," bisiknya. Nama yang asing di telinganya.

Ia menyapukan tangan ke celana jeans-nya, tapi tidak banyak membantu. Ia basah kuyup dari ujung rambut ke ujung kaki. Celana jeans-nya terasa berat dibebani air hujan. Sepatu sneakers-nya terasa lunak dan berair. Ekor kuda-nya yang cokelat meneteskan air sedingin es ke punggungnya.

Sungmin berusaha memandang ke balik papan SELAMAT DATANG tersebut. Ia melihat sebuah jembatan, membentang di atas sungai yang mengalir deras, menyapu dedaunan dan patahan cabang pohon.

Sungmin memindahkan ransel pink-nya yang berat di bahunya. Ia menarik topi pet hitam lebih rendah menutupi matanya yang juga hitam.

Seogu, Sungmin menyukai nama itu, mungkin aku akan aman di sini, pikirnya. Mungkin aku bisa memulai lembaran baru di Seogu. Ia merasa bagai ada yang mengganjal di tenggorokannya. Ia tidak ingin memulai hidup baru. Ia ingin pulang. Pulang ke rumah tempat teman-teman dan orang-orang yang menyayanginya.

Tapi tidak bisa. Ia tidak akan pernah bisa pulang. Tidak setelah apa yang sudah dilakukannya. Jangan menangis lagi Sungmin, perintahnya sendiri. Kau sudah terlanjur basah. Ia berbalik dan menatap ke arah yang berlawanan. Apa Seogu layak dicoba- atau sebaiknya ia meneruskan perjalanannya?

Sungmin berharap bisa melupakan apa yang telah terjadi. Melupakan segalanya da semua orang dari masa lalunya. Memulai dari awal lagi. Tapi kenangan tidak akan pernah lenyap. Laboratorium. Kabel-kabelnya. Para dokter-nya.

Terutama Dr. Song.

janggut ubanannya yang berminyak dan suaranya yang keras. Sungmin teringat saat pertama kali mereka bertemu. Mereka membimbingnya masuk ke dalam laboratorium. Lampu-lampu neon yang terang benderang menyakiti matanya. Mereka mendudukkanya di sebuah kursi kayu bersandaran tegak. Kursi paling tidak nyaman yang pernah didudukinya.

mereka mengerumuninya. Bekerja, bekerja, dan bekerja. Seorang pria kurus berkacamata menempelkan elektroda-elektroda berperekat di keningnya. Kabel-kabelnya hijau, hitam, merah, biru, dan kuning menghubungkan elektroda-elektroda tersebut dengan sebuah terminal komputer besar. Para asisten meneriakkan perintah terus-menerus.

"Uji coba modul empat," kata seorang wanita berubahn yang mengenakan mantel putih.

"Modul empat laksanakan," jawab pria kurus berkacamata. Ia menceklek sebuah sakelar, dan salah satu mesin pun mengeluarkan bunyi "bip" yang keras dan berirama. "Denyut tujuh puluh sembilan, tekanan darah satu-dua puluh."

"apa itu bagus?" Tanya Sungmin.

Tidak ada yang menjawab. Selalu begitu. Mereka selalu tidak mengacuhkan pertanyaannya.

Pria berkacamata tersebut meletakkan sebuah meja di depan Sungmin. Asisten yang lain mendorong kursinya.

"Beritahu Dr. Song, subjek telah siap," kata wanita beruban tersebut.

"Namaku Sungmin," katanya mengingatkan mereka. "Kenapa kalian tidak pernah mau menyebut namaku?"

Wanita beruban tersebut tidak memedulikan-nya, tidak mengatakan apa-apa. Ia meraih sebuah clipboard dan mulai mencatat.

"Ejaannya S-U-N-G-M-I-N," kata Sungmin dengan nada menggerutu.

Wanita beruban tersebut berhenti mencatat dan menatap Sungmin.

"Apa aku terlalu cepat?" Ejek Sungmin.

Wanita tersebut meletakkan pensil dan clipboard lalu meninggalkan ruangan.

Beberapa detik kemudian, seorang pria botak berjanggut tebal berderap masuk ke dalam ruang periksa, mantel putihnya melambai-lambai seiring setiap langkahnya. Tingginya lebih dari 170 cm dan berperut besar. Hidungnya panjang dan bengkok. Matanya dalam.

Mata yang marah, pikir Sungmin. Tidak ada tawa di sana. Cuma kehampaan besar, dingin, dan gelap.

"Sungmin,"kata pria tersebut, melipat lengannya di dada. "Bagaimana kabarmu hari ini?"

"Baik."

"Bagus. Namaku Dr. Song. Aku yang menjalan percobaan tahap ini. Tidak seperti Dr. Hwang, aku tidak akan mentoleransi kesinisan apa pun. Kau harus mengerti, Sungmin. Kau datang kemari bukan hanya untuk belajar tapi juga untuk mengajar. Kami perlu belajar darimu. Jadi kau harus mengosongkan pikiran-pikiranmu dan berkonsentrasi. Kalau kau menolak untuk mematuhi satu peraturan sederhana itu, kau akan di usir dari Gwahag College ini. Jelas?"

Kemarahan meledak dalam diri Sungmin. Memangnya orang ini siapa? Mereka yang lebih memerlukan aku daripada aku memerlukan mereka.

Sungmin menatap lurus ke mata cekuhg Dr. Song. Pria tersebut tidak bergerak. Ia balas menatap Sungmin. "Kau harus belajar mengendalikan bakatmu. Kalau tidak, kau bisa membahayakan jiwa orang lain dan dirimu sendiri."

Sungmin mengigil. "Aku mengerti," jawabnya kemudian.

"Bagus. Mari kita mulai." Dr. Song mencabut sebatang pensil dari saku mantel pnya dan meletakkannya di atas meja di depan Sungmin. "Coba geser pensil ini."

"Apa?"

"Geser pensil ini," ulang Dr. Song.

"A-ku tidak yakin kalau bisa," kata Sungmin. Ia mendengar bunyi "bip" dari mesin-nya meningkat seiring dengan kecepatan jantungnya. Telapak tangannya mulai berkeringat.

"Itu tidak masuk akal," jawab Dr. Song. "Geser pensil ini!"

"Aku tidak bisa, tahu!"

Dr. Song menggebrak meja. "Apa yang baru saja kukatakan padamu? Ini bukan permainan. Ini bahkan bukan uji coba. Ini hidupmu, Nona!"

"Jangan membentakku!" Jeritnya. "Aku tidak bisa berbuat apa-apa! Aku bukan salah satu dari mesin bodohmu itu! Kau tidak bisa menghidupkan atau mematikanku seenakmu! Pergi kau!"

Dr. Song menghela napas dalam. Ia membungkuk di atas meja, memegang kedua tepi meja. Ia membungkuk begitu dekat hingga Sungmin bisa merasakan napas pria tersebut mengembus wajahnya. Baunya campuran antara bawang putih dan permen.

"Nona kecil, entah kau tahu atau tidak, kau dikarunai salah satu bakat paling luar biasa di muka bumi ini. Sebaiknya kau bekerja sama dan memusatkan perhatian. Kalau tidak, sudah menunggu orang-orang yang akan melakukan uji coba yang jauh lebih sakit daripada ini. Jelas?"

Sungmin inin mencabut elektroda-elektroda dari keningnya, yang menyebabkan kulitnyabterasa gatal, dan melarikan diri dari laboratorium. Tidak, katanya sendiri. Aku harus kuat. Aku harus mencobanya.

Karena ia tahu Dr. Song tidak berbohong. Ayahnya telah mengatakan hal yang sama-sederet panjang dokter telah menunggu untuk menguji bakat anehnya. Song bukanlah yang paling buruk.

Ia menatap pensil di meja.

"Konsentrasi," kata Dr. Song memerintah. Sungmin memusatkan perhatian pada pensil tersebut. Pada penghapus merah mudanya. Warna kuning pensil itu. Ujungnya yang tajam dan hitam.

Di latar belakang, bunyi "bip" terdengar semakin celat. Jantung Sungmin berdebur dalam dadanya. Penuh ketakutan. Penuh kemarahan.

Lakukan, katanya sendiri. Lakukan saja.

"Kau tidak memusatkan perhatianmu!" Bisik Dr. Song.

Tapi justru itu yang sedang dilakukannya. Sungmin melontarkan seluruh energinya ke pensil tersebut. Dan ia merasakan sesuatu. Seusatu yang bertumbuh dalam dirinya sendiri. Menggembung perlahan-lahan, seperti sebuah balon.

"Konsentrasi," ulang Dr. Song. Suara pria tersebut menancap jauh ke dalam otak Sungmin. Kekuatannya bertambah besar. Ia berusaha semakin keras.

Sementara bunyi "bip" pada mesin semakin cepat dan semakin cepat. Sungmin merasakan darah mengalir deras dalam pembuluhnya.

"Detak jantung satu-sepuluh," terdengar suara seseorang, entah dari mana. "Tekanan darah satu-delapan puluh."

Kuku-ku Sungmin menancap ke dalam tangannya sendiri. Lalu tangannya terasa lembap, mungkin keringat-atau darah.

"Konsentrasi," ia mendengar suara itu lagi. Suara dokteritu. Suara musuh.

Bunuh musuh itu.

Kekuatan Tersebut bagai meledak dalam benak Sungmin. Seketika pensil tersebut menjadi bagian dari kehendaknta. Dan ia tahu persis apa yang ingin dilakukannya dengan pensil itu.

Pensil tersebut bergerak-gerak. Perlahan-lahan berputar di meja, ujungnya mengarah ke Dr. Song.

Dalam benaknya, Sungmin mencengkram pensil tersebut sekuat tenaga. Pensil itu tidak lagi bergoyang-goyang, tapi terangkat beberapa inci dari meja, melayang, seakan menunggu perintah.

Sekarang, pikirnya. Lakukan!

Ia yang menyebabkannya. Ia memaksa seluruh kemarahannya, ketakutannya, dan frustasinya ke dalam batang pensil itu . Ia tahu kalau perbuatannya salah. Tapi tidak bisa menahan diri.

Sungmin mengincar satu-satunya sasaran yang bisa dilihatnya-dan melontarkan pensil tersebut sekuat tenaga.

Sungmin menjerit seiring dengan usahanya. Rasanya seperti melontarkan sebatang tombak raksasa. Berhasil! Pikirnya. Ya!

Laku ia mengawasi pensil tersebut melesat ke sebrang ruangan-ke arah mata kiri Dr. Song.

CONTINUE...

HALO JOYERS! Seperti yang saya katakan di atas cerita bahwa ini ada ff remake dari novel mistery favorite saya hoho. Entah mengapa pas baca novel ini langsung terbayang Kyumin. Walaupun di cerita ini lebih ditekankan pada mistery dan thrillernya tapi romance tetep jadi bumbu penyedap yang bikin cerita ini begitu lengkap. Saya memilih remake karena mungkin ini lebih mungkin saya kerjakan di antara jadwal kuliah yang padet.

Untuk yang menunggu darkness of destiny, saya mohon maaf atas updatenya yang begitu lama. Kemarin saya di sibukkan oleh kegiatan kampus, maklum saya masih maba#nasibmaba. Dan yang paling menyebalkan laptop saya rusak dan draft darkness of destiny hilang/sad. Sulit untuk menulis ulang sesuai dengan cerita pertamanya, tpi saya sedang berusaha untuk menyelesaikannya. Terimakasih untuk yang menunggu darkness of destiny dengan sabar.

Tetap dukung Kyumin ya!

Regards,

HarinJoy