Not Just Babysitter
Chapter 1
Main Casts : Oh Sehun, Xi Luhan (GS), Oh Haowen (OC)
Support Casts : Find it by yourself
Genre : AU, Family, Romance
Length : Multichapter
2016©Summerlight92
"Nah, Jiyoon. Jangan lupa kerjakan soal-soal latihan yang sudah kuberikan tadi. Aku akan memeriksanya Senin depan."
"Iya, Ssaem."
"Untuk pertemuan kali ini sampai di sini saja," wanita bersurai cokelat itu terlihat melepas kacamata yang ia kenakan. Lalu mulai membereskan beberapa buku dan alat tulisnya. Ia menyudahi kegiatan mengajar les privat Matematika pada Lee Jiyoon—putri semata wayang dari seniornya sewaktu kuliah dulu.
"Yeay! Selamat datang hari Minggu!" pekik Jiyoon senang.
"Jiyoon senang sekali karena besok hari Minggu, eoh?"
"Iya, Luhan-ssaem," Jiyoon berkata dengan senyumnya yang kian mengembang. "Besok aku akan pergi jalan-jalan bersama appa dan eomma."
"Benarkah?" Wanita dengan mata rusanya yang cantik itu—Xi Luhan—terlihat antusias mendengarkan rencana Jiyoon bersama keluarganya di hari Minggu besok.
"Eum, apa Luhan-ssaem mau ikut?"
"Eh?"
"Luhan-ssaem tidak bisa ikut, Sayang ..."
Jiyoon menengok ke arah pintu kamarnya. Ia melihat sosok sang ibu sudah berdiri di sana sambil menggelengkan kepala. Tampaknya obrolan Jiyoon bersama Luhan terdengar oleh wanita berusia 30 tahun itu—Lee Minjung.
"Kenapa tidak bisa ikut, Eomma?"
"Luhan-ssaem sudah punya rencana lain," Minjung tersenyum jahil kepada Luhan.
Luhan terkekeh. Ia tahu persis maksud di balik senyuman jahil milik Minjung. Wanita itu memang sudah hafal kebiasaan Luhan di akhir Minggu—bersantai di apartemennya selama seharian penuh.
"Benarkah?" Jiyoon mengerjap lucu, "Luhan-ssaem juga mau pergi jalan-jalan?"
"Tidak," Luhan tersenyum manis, "Aku lebih senang menikmati hari liburku di apartemen saja, Jiyoon."
Kedua alis Jiyoon bertaut, "Apa tidak bosan, Ssaem?"
"Itu memang sudah hobinya, Sayang ..."
"Eonni ..." Luhan mengerucutkan bibirnya imut, sedikit kesal karena hobi bersantai—atau kata lainnya bermalas-malasan—di hari Minggu diumbar begitu saja di depan anak didiknya.
Minjung hanya tertawa geli sambil berjalan menghampiri Luhan dan Jiyoon. "Kalian sudah selesai?" tanyanya beralih topik pembicaraan.
Luhan mengangguk, "Aku akan pulang sekarang, Eonni," ucapnya berpamitan pada Minjung dan Jiyoon.
"Eh, tidak ikut makan malam bersama kami?" Minjung sedikit heran karena tidak biasanya Luhan buru-buru pulang seperti ini. Biasanya Luhan ikut makan malam bersama di rumah mereka, terlebih karena jadwalnya mengajar Jiyoon yang berlangsung di sore hari—jelang jam makan malam.
"Tidak, Eonni. Aku harus membeli beberapa bahan makanan yang sudah habis," jawab Luhan sambil menenteng tasnya. "Nanti aku makan malam di apartemen saja."
"Ya sudah, hati-hati di jalan, Lu," balas Minjung.
"Ne," Luhan yang sudah mengenakan coat miliknya tampak sedikit berjongkok di depan Jiyoon. "Ssaem pulang dulu, ya."
"Eum. Sampai jumpa lagi, Ssaem," Jiyoon tersenyum, "Terima kasih sudah mengajari Jiyoon."
Luhan ikut tersenyum sambil mengusap rambut Jiyoon, kemudian melirik sekilas pada Minjung. "Sampaikan salamku pada Hyunjae-oppa, Eonni," ucapnya menitipkan salam untuk Lee Hyunjae—suami Minjung dan ayah Jiyoon.
"Tentu," Minjung mengangguk, lalu bersama Jiyoon keduanya mengantar Luhan sampai depan rumah. Wanita berusia 27 tahun itu terlihat memasuki mobil yang terparkir di halaman depan rumah mereka. Sebelum melajukan mobilnya, Luhan melambaikan tangannya kepada Minjung dan Jiyoon.
Itulah sepenggal rutinitas Luhan sebagai pengajar les privat di salah satu lembaga bimbingan belajar tempatnya bekerja. Sesuai dengan latar belakang pendidikannya di bidang Matematika, Luhan mengajar mata pelajaran Matematika untuk siswa tingkat SD sampai SMA. Predikatnya yang menjadi lulusan terbaik kala itu, membuat Luhan banyak dipilih oleh orang tua siswa menjadi pengajar les privat bagi anak mereka, termasuk Jiyoon. Selain karena pengakuan anak mereka yang merasa cocok dengan gaya mengajar Luhan, mereka juga melihat progress dari anak mereka dalam bidang Matematika usai diajar oleh Luhan.
Tidak heran jika jadwal mengajar Luhan selama 6 hari dalam 1 minggu sangat padat. Karena itu, di hari Minggu Luhan akan menghabiskan waktunya selama seharian penuh di hunian apartemennya yang terletak di daerah Apgujeong.
Sejak kuliah, Luhan memang sudah tinggal sendiri di apartemen, terpisah dari orang tuanya yang tinggal di Incheon. Ia ingin hidup mandiri seperti kakak sulungnya—Yifan, yang saat ini berada di China untuk mengurus perusahaan yang didirikan ayah mereka. Sang ayah yang usianya tidak lagi muda, sudah menyerahkan tanggung jawab memimpin perusahaannya di China kepada Yifan. Dan sekarang ia memilih tinggal di Korea—tanah kelahiran ibu mereka. Ya, ibu Luhan dan Yifan memang asli orang Korea, sedangkan ayah mereka asli orang China. Bisa dibilang, keduanya ini berdarah campuran China-Korea.
Sebenarnya ibu Luhan khawatir jika putri bungsunya ini tinggal sendirian di apartemen. Tapi berkat usaha keras Luhan yang meyakinkan orang tuanya bahwa ia bisa menjaga dirinya sendiri dan memastikan akan baik-baik saja, mereka pun mengizinkan Luhan untuk tinggal sendiri di apartemen.
..
..
..
"Hmm ... kira-kira masih ada yang kurang tidak, ya?" Luhan memeriksa kembali beberapa bahan makanan yang sudah masuk ke dalam trolley belanjanya. Saat ini Luhan sudah berada di supermarket langganannya—berjarak sekitar 3 km dari apartemennya.
Ia mengecek daftar belanjaannya di ponsel, memastikan apakah barang dalam daftar itu sudah diambil semua atau belum. Setelah dirasa lengkap, barulah Luhan mendorong trolley belanjanya menuju kasir.
"Terima kasih," ucap Luhan pada petugas kasir yang melayaninya.
Dengan 2 kantung belanja di tangan, Luhan kembali ke mobilnya. Ia memasukkan 2 kantung itu ke dalam bagasi mobil, lalu berjalan ke depan dan bersiap masuk ke bangku kemudi. Di saat Luhan sudah membuka pintu mobil, ia justru mendengar suara keributan dari arah depan. Didorong rasa penasaran yang kuat, Luhan menutup kembali pintu mobilnya, dan berjalan mendekati sumber keributan itu.
Dalam sepersekian detik, mata Luhan melebar. Ia melihat ada anak laki-laki yang tengah dikepung tiga pria dewasa. Luhan yakin ketiga pria itu adalah preman, dilihat dari wajah mereka yang garang, dan perawakan tubuh mereka yang kekar.
Luhan heran, tidak biasanya ada preman di sekitar supermarket langganannya itu. Biasanya lokasi di sekitar supermarket itu selalu aman, bebas dari aksi kejahatan. Dengan kata lain, ini pertama kalinya Luhan melihat aksi kejahatan di tempat itu.
Anak itu terlihat ketakutan dengan matanya yang berkaca-kaca dan tubuh yang gemetar hebat. Ia mengeratkan genggamannya pada sebuah benda yang Luhan yakini adalah ponsel.
"BERIKAN PONSELMU!"
"TIDAK!" Anak itu semakin erat menggenggam ponselnya. "Kalian tidak boleh mengambil ponselku!"
"Kau tidak mau memberi kami uang, jadi berikan ponselmu!" Salah satu pria yang mengenakan jaket kulit berwarna hitam mulai kehilangan kesabarannya. Ia mencoba merebut paksa ponsel itu dari pemiliknya.
"JANGAN!"
"Anak ini benar-benar ..." Pria itu menggeram frustasi. Ia menyuruh kedua rekannya mengunci pergerakan anak itu, hingga akhirnya mereka berhasil merebut ponsel yang sedari tadi mereka incar.
"KEMBALIKAN PONSELKU!"
"BERISIK!" Kali ini pria yang memiliki bekas luka di pipinya mendorong anak itu hingga jatuh tersungkur dengan posisi wajah lebih dulu menyentuh jalan.
"Astaga!" Luhan tidak bisa lagi menahan amarahnya melihat aksi kejahatan yang dilakukan tiga pria itu pada anak kecil yang tak berdosa. "YA! KEMBALIKAN PONSELNYA!"
Sadar ada orang lain yang memergoki aksi mereka, ketiga pria itu buru-buru melarikan diri.
"Ayo pergi! Setidaknya kita sudah mendapatkan ponsel anak itu!" ajak salah satu dari mereka yang diangguki kedua rekannya.
"HEI, BERHENTI!" Luhan berteriak murka pada ketiga pria itu. Ia berusaha mengajar, namun kondisinya yang saat ini tengah mengenakan high heels membuatnya kesulian untuk berlari cepat. Ia bahkan nyaris terjatuh jika saja tidak bisa menjaga keseimbangannya.
"Sepatu hak sialan!" maki Luhan dalam hati.
"HUWEEEE!"
Luhan terkesiap mendengar tangisan keras dari belakang. Ia berbalik dan menghampiri anak laki-laki yang baru saja tertimpa kemalangan itu. Luhan sedikit berjongkok, lalu memeriksa kondisinya.
"Kau baik-baik saja?" tanya Luhan panik.
Anak itu terus menangis tanpa henti, "Hidung Haowen sakit, Ahjumma. HUWEEEE!"
Luhan memeriksa hidung anak yang diketahui bernama Haowen itu. Bola mata Luhan nyaris keluar ketika ia melihat cairan berwarna merah yang keluar dari lubang hidung Haowen.
"Ya Tuhan, hidungmu berdarah!" pekik Luhan histeris dan membuat tangisan Haowen semakin menjadi. Luhan berlari cepat menuju mobilnya untuk mengambil beberapa lembar tissue, lalu kembali ke tempat Haowen dan menggunakan tissue itu untuk menghentikan darah yang keluar dari hidung Haowen.
"Kita ke rumah sakit, ya?" bujuk Luhan. Ia khawatir jika kondisi hidung Haowen parah karena darah yang keluar cukup banyak.
"Tidak! Haowen tidak mau! Haowen benci rumah sakit!" tolak Haowen mentah-mentah dan setelahnya kembali menangis.
Luhan semakin panik karena tangisan Haowen makin tak terkendali. "Baiklah, kita tidak pergi ke rumah sakit. Kita ke apartemenku saja. Aku akan mengobati lukamu. Bagaimana?"
Haowen mengangguk. Ia masih sesenggukan di tempatnya. Luhan membantunya berdiri, namun berikutnya ia memilih membawa Haowen dalam gendongannya. Haowen tampak shock, tubuhnya masih gemetaran.
"Ssshh ... tenang ya, Haowen." Luhan mengusap-usap punggung Haowen, mencoba meredakan tangis anak itu.
"Hidung Haowen sakit Ahjumma ... hiks ..."
"Tahan sebentar, ya?" kali ini Luhan mengusap lembut wajah Haowen, menyeka keringat yang memenuhi kening anak itu.
Haowen tidak berbicara lagi. Ia kelelahan karena sebelumnya sempat berlari menghindari kejaran tiga pria tadi, sampai akhirnya mengalami luka seperti sekarang. Haowen membenamkan wajahnya di perpotongan leher Luhan dan sesekali masih terisak menahan rasa sakit di hidungnya.
..
..
..
Mobil yang dikemudikan Luhan sudah memasuki basement parkir apartemennya. Luhan keluar lebih dulu untuk mengambil barang belanjaannya di bagasi, sebelum menghampiri Haowen yang duduk di samping bangku kemudi. Ia tetap menggendong Haowen sampai ke hunian apartemennya yang berada di lantai 7, meski tangan satunya juga membawa 2 kantung belanja yang tidak bisa dikategorikan ringan itu.
"Ahjumma, turunkan Haowen ..."
Luhan tidak mengatakan apapun dan menuruti saja permintaan Haowen. Mereka sudah sampai di depan pintu apartemen Luhan. Wanita itu masih mengatur napasnya yang terengah-engah, efek dari beban berat yang dibawanya dari basement parkir menuju hunian apartemennya. Apalagi jika bukan Haowen dan 2 kantung belanja miliknya.
Setelah memasukkan passcode apartemennya, Luhan membawa Haowen ke ruang tengah. Ia tersenyum saat melihat Haowen tidak lagi menangis, meski kentara sekali anak itu masih menahan sakit di hidungnya.
"Tunggu di sini," ucap Luhan lalu buru-buru masuk ke kamarnya. Tak sampai 10 menit, Luhan sudah berganti penampilan dengan gaun santainya. Ia juga membawa kotak obat dan meletakkannya di meja ruang tengah, lalu pergi ke dapur sebentar untuk mengambil baskom berisi air hangat dan waslap.
Luhan menyingkirkan tissue dari lubang hidung Haowen. Ia menunggu selama beberapa menit, memastikan apakah darahnya masih keluar dari hidung Haowen.
"Kurasa darahnya sudah tidak keluar lagi," Luhan menghela napas lega, kemudian memasukkan waslap ke dalam baskom. "Kalau sakit katakan saja."
"Eum."
Luhan mulai mengusap lembut hidung Haowen dengan waslap yang sudah dibasahi air hangat. Sesekali Haowen mendesis seperi ular ketika merasakan perih di bagian pangkal hidungnya. Luhan meringis, seolah ikut merasakan sakit yang dialami Haowen.
Setelahnya, Luhan memasangkan plester di tulang hidung Haowen. "Apa masih terasa sakit?" tanyanya memastikan.
"Sedikit, tapi ini jauh lebih baik," Haowen tersenyum lebar, "Terima kasih, Ahjumma."
Mata Luhan mengerjap lucu. Haowen terlihat tampan dan menggemaskan ketika tersenyum. Tanpa sadar tangan Luhan bergerak mengusap lembut pipi Haowen, sebelum beralih mengusap rambutnya.
Bayangan kejadian sesaat yang lalu kembali terlintas dalam kepala Luhan. Hati wanita itu mencelos tiap kali mengingat apa yang dialami Haowen. Ia tak bisa lagi menahan amarahnya, dan Luhan bersumpah jika bertemu ketiga pria itu, ia akan membalas perbuatan mereka. Ayolah, Haowen hanya anak kecil. Bagaimana bisa mereka begitu tega memperlakukan Haowen seperti tadi? Keterlaluan!
Di satu sisi, Luhan bersyukur karena berhasil menolong Haowen. Sedikit saja ia terlambat, Luhan tidak bisa membayangkan bagaimana nasib anak itu.
"Ahjumma, tubuh Haowen lengket. Haowen mau mandi," pinta Haowen tiba-tiba dan membuat Luhan tersadar dari lamunannya.
"Eh? Tapi aku tidak punya baju ganti untuk anak-anak seumuranmu."
Haowen tersenyum lebar, kemudian mengeluarkan sesuatu dari tas punggung yang ia kenakan. Karena sejak tadi fokus dengan hidung Haowen yang terluka, Luhan tidak sadar jika anak itu mengenakan tas punggung.
"Lihat! Haowen sudah bawa baju ganti!" teriak Haowen senang.
"Kau sudah bawa baju ganti?" Luhan menatap tak percaya, lalu tersenyum geli melihat anggukan Haowen yang begitu bersemangat.
"Haowen sudah terbiasa membawa baju ganti saat bepergian, Ahjumma ..."
Luhan terlihat takjub mendengar jawaban Haowen. Entah hanya perasaannya saja atau Haowen ini memang tipikal anak cerdas yang mempunyai persiapan matang sebelum melakukan sesuatu. Bepergian saja ia sudah terbiasa membawa baju ganti. Hebat.
"Ahjumma, di mana kamar mandinya? Haowen sudah tidak betah karena—ih, tubuh Haowen bau," Haowen bergidik jijik sambil menunjuk kaosnya yang basah karena keringat.
Mulut Luhan menganga. Belum ada satu menit ia dibuat takjub dengan kebiasaan Haowen yang selalu membawa baju ganti saat bepergian, sekarang ia dibuat speechless dengan tingkah Haowen layaknya orang dewasa yang selalu mengutamakan kebersihan tubuh. Perubahan sikap Haowen itu membuat Luhan mati-matian menahan tawanya.
..
..
..
Haowen baru saja selesai mandi ketika Luhan masih sibuk berkutat di dapur untuk menyiapkan makan malam mereka.
"Ahjumma ..."
Luhan menengok ke belakang saat mendengar suara Haowen. Bibir Luhan melengkung sempurna melihat penampilan Haowen yang sudah rapi dengan kaos bergambar tokoh kartun Doraemon dan celana pendek selutut. Selain terlihat menggemaskan, sadar atau tidak Haowen memiliki wajah yang tampan untuk anak seusianya. Luhan menebak, pasti wajah Haowen diwarisi oleh ayahnya.
"Haowen berapa umurmu?"
"7 tahun."
"Aigo, kenapa di usiamu yang masih kecil kau sudah terlihat tampan, eoh?"
Haowen terkekeh, "Itu karena appa Haowen juga tampan, Ahjumma."
"Benarkah?" Entah mengapa Luhan jadi penasaran seperti apa sosok orang tua Haowen, terutama ayah anak itu.
"Eum. Nanti kalau sudah bertemu, Ahjumma pasti akan menyukai appa ..."
Luhan sedikit kaget mendengar ucapan polos Haowen. "Ahjumma tidak boleh menyukai ayahmu. Nanti ibumu marah, Haowen."
Haowen menggeleng, dan masih setia memajang senyum lebarnya. "Tidak akan, Ahjumma. Kata halmeoni, jika ada seorang perempuan yang menyukai appa, eomma tidak akan marah. Karena memang sudah waktunya bagi appa untuk mencari eomma baru untuk Haowen," ujarnya.
Bohong jika Luhan tidak mengerti maksud penjelasan Haowen. Kenapa ayahnya harus mencari ibu baru untuk Haowen? Apa orang tuanya sudah bercerai atau ...
"Di mana eomma Haowen?" tanya Luhan entah mengapa terlanjur penasaran dengan cerita anak itu.
Telunjuk Haowen mengarah ke atas, "Eomma Haowen sudah pergi, Ahjumma. Appa dan halmeoni bilang, eomma sudah bahagia di atas sana."
Luhan mendongak, lalu tertegun setelah mengerti maksud ucapan Haowen. Ibu Haowen sudah meninggal, dan itu artinya ayah Haowen seorang single parent. Luhan tidak tahu harus berkomentar apa. Ia merasa iba dengan kondisi Haowen.
"Nanti kalau sudah bertemu, Ahjumma pasti akan menyukai appa ..."
Mata Luhan membulat sempurna. Entah mengapa ucapan Haowen sesaat yang lalu kembali melintas dalam kepalanya.
Apa yang kau pikirkan Xi Luhan? Kau menganggap ucapan Haowen itu serius? Dia hanya anak-anak yang suka berbicara asal. Tidak mungkin dia bemaksud menjodohkanmu dengan ayahnya. Sadarlah, Luhan! Sadar!
"Ahjumma ..."
"Ne?" Luhan tersentak dari lamunan konyolnya.
"Haowen lapar ..."
"Oh, tunggu sebentar." Luhan bergegas menyelesaikan masakannya, tidak tega mendengar rengekan Haowen. Ia mulai menata ramyeon buatannya ke dalam dua mangkuk yang sudah ia letakkan di atas nampan.
"Tarra! Dua mangkuk ramyeon sudah jadi!" Luhan memperlihatkan hasil masakannya pada Haowen.
"Yeay!" Haowen bertepuk tangan sambil tertawa keras. Melihat ekspresi Haowen, Luhan tak kuasa menahan senyumnya yang kian mengembang. Syukurlah, sepertinya Haowen sudah kembali ceria.
Luhan meletakkan satu mangkuk ramyeon di hadapan Haowen. Wajah anak itu tampak sumringah, tak sabar ingin segera menyantap makan malamnya. Sedangkan Luhan yang duduk di depannya kembali tertawa kecil melihat tingkah menggemaskan Haowen.
"Selamat makaan ..." Haowen menangkupkan kedua tangannya lalu membungkuk sopan ke arah Luhan. Nyaris saja Luhan menyemburkan air minum yang belum sepenuhnya tertelan. Ya ampun, dia bahkan tahu adat saat makan.
Luhan mengambil sumpit, bersiap menyantap ramyeon miliknya. Namun perhatian Luhan malah terfokus pada Haowen yang terlihat lahap menyantap ramyeon buatannya. Wanita itu terkikik geli saat pipi Haowen menggembung lucu karena penuh dengan makanan.
"Makan pelan-pelan, Haowen ..." ucap Luhan mengingatkan.
Haowen tersenyum lebar. Setelah berhasil menelan makanannya, ia berkata, "Ramyeon buatan Ahjumma sangat enak. Haowen suka."
"Benarkah?"
"Eum, bahkan lebih enak dari buatan Minseok-ahjumma," lanjut Haowen.
"Siapa itu ... Minseok-ahjumma?" tanya Luhan penasaran. Mungkin ini waktunya mengorek informasi seputar keluarga Haowen. Bagaimanapun ia harus mengantar Haowen pulang ke rumahnya. Luhan tidak bisa membayangkan bagaimana kondisi keluarga Haowen saat ini. Mereka pasti mencemaskan anak itu.
"Minseok -ahjumma itu kepala pelayan di rumah Haowen, Ahjumma ..."
Luhan tercengang. Ah, dia anak orang kaya. Pantas saja dia sudah membawa ponsel sendiri.
"Haowen ..."
"Ne?" Haowen mengerjap lucu saat mendengar nada suara Luhan yang melembut.
"Boleh ahjumma bertanya sesuatu pada Haowen?" Luhan sebenarnya tidak mau berbasa-basi, tapi berbicara dengan anak kecil sangat berbeda dengan orang dewasa. Harus ekstra sabar dan penuh kehati-hatian.
"Kenapa tadi Haowen sendirian di sana?" tanya Luhan serius. "Haowen tahu 'kan, tidak baik anak-anak berkeliaran sendirian, apalagi di malam hari."
Haowen terdiam sejenak, terlihat menelan ramyeon yang sedang dikunyahnya. Perlahan wajah Haowen tampak murung, seiring kepalanya yang menunduk. "Haowen tadi pergi jalan-jalan, tapi tersesat."
"Haowen pergi jalan-jalan? Sendirian?"
Haowen mengangguk lagi.
"Kenapa Haowen pergi sendirian?"
Seketika wajah Haowen berubah kesal dengan pipi yang menggembung. Tapi di mata Luhan, Haowen justru terlihat menggemaskan.
"Haowen sedang marah sama appa. Appa terlalu sibuk bekerja, tidak pernah punya waktu untuk Haowen," jawabnya dengan bibir mencebik.
Luhan terdiam selama beberapa menit, mencoba mencerna pengakuan yang disampaikan Haowen. Ia pun mengingat lagi jumlah baju ganti yang dibawa Haowen dalam tasnya—lebih dari 1.
"Jangan katakan ... jika Haowen sebenarnya sedang kabur dari rumah?"
Perkiraan Luhan akurat. Kini wajah Haowen berubah takut dengan kepala yang terus menunduk. Sekilas, ia juga melihat mata Haowen yang berkaca-kaca.
"Haowen ..." Luhan merasa bersalah karena tidak sengaja membuat mood anak itu kembali turun. "Ahjumma tidak akan marah. Asal Haowen mau menceritakan semuanya pada ahjumma."
"Hiks ... appa jahat ..." isak Haowen. Air matanya kembali meluncur dari kedua matanya. "Kemarin appa sudah janji akan menemani Haowen jalan-jalan di hari Minggu besok. Tapi tadi siang, appa bilang rencana jalan-jalan besok batal karena appa harus pergi ke Busan."
Luhan tertegun. Tanpa berpikir panjang pun ia sudah tahu alasan ayah Haowen membatalkan acara jalan-jalan mereka. Pekerjaan.
"Haowen benci appa! Appa jahat!"
"Sssshhh ... Haowen ..." Luhan bangkit dari kursinya lalu berpindah di sebelah Haowen. Ia membiarkan Haowen menangis dalam pelukannya. Sungguh, hati Luhan bergetar merasakan kesedihan yang dialami Haowen. Dia anak yang kesepian.
"Haowen tidak boleh membenci appa," bisik Luhan menenangkan. "Appa Haowen pasti juga merasa sedih karena tidak jadi jalan-jalan bersama Haowen."
"Hiks ... benarkah itu, Ahjumma?" Haowen mendongakkan kepalanya, menatap Luhan dengan sorot mata penuh harap. "Appa juga sedih karena tidak jadi jalan-jalan dengan Haowen?"
"Tentu saja. Mana ada ayah yang tidak sedih karena tidak jadi jalan-jalan dengan anaknya," ucap Luhan sambil menyeka air mata Haowen. "Sama halnya appa Haowen."
Haowen masih sesenggukan, sedangkan Luhan kembali memeluk anak itu. Berusaha menyalurkan kehangatan untuk Haowen melalui pelukannya. Mungkin karena usianya yang hampir mendekati angka 30, jiwa keibuannya lebih mendominasi dalam kepribadiannya. Dan Luhan sendiri memang menyukai anak-anak.
"Bagaimana jika besok Haowen jalan-jalan saja dengan ahjumma?"
Seketika wajah Haowen berubah cerah. "Sungguh? Ahjumma ingin mengajak Haowen jalan-jalan?"
"Eum."
Binar mata Haowen kian terang, "Mau! Haowen mau!" serunya berkali-kali.
"Call! Besok kita pergi jalan-jalan bersama!"
"YEAY!" Haowen bertepuk tangan dengan tawa gembiranya. Hal itu pun memancing Luhan untuk ikut tertawa.
Sebelum Luhan memikirkan bagaimana caranya ia mengantar Haowen kembali ke rumahnya, Luhan ingin menyenangkan hati anak itu. Jadi, tak ada salahnya jika ia merelakan hari Minggunya untuk Haowen.
Lagi pula, Luhan menyukai Haowen—meski mereka baru mengenal selama beberapa jam. Entah mengapa Luhan ingin sekali membuat Haowen selalu bahagia. Luhan tidak tega melihat Haowen bersedih karena merasa kesepian.
..
..
..
Not Just Babysitter
..
..
..
Sesuai janji, hari Minggu ini Luhan mengajak Haowen jalan-jalan ke suatu tempat. Tepat jam 10, mereka sudah sampai di salah satu tempat wisata yang terkenal di Korea.
"WOAH ... TEMPAT INI DAEBAK!"
Luhan tertawa kecil melihat Haowen tak henti-hentinya berdecak kagum saat ia membawanya pergi mengunjungi COEX Aquarium yang terletak di Yeongdong. COEX Aquarium ini merupakan salah satu akuarium terbesar di Korea, yang memiliki 90 akuarium besar untuk memamerkan 600 spesies dan 40.000 ikan laut yang berbeda. Luhan sengaja memilih tempat ini karena semalam Haowen sempat bercerita jika ia ingin pergi ke tempat yang banyak ikannya.
"Haowen suka?" tanya Luhan. Wanita itu terlihat cantik dengan dress selutut warna peach yang dibalut cardigan putih. Rambut cokelatnya yang sebatas punggung dibiarkan terurai. Jika biasanya ia kerap mengenakan high heels, khusus untuk hari ini Luhan lebih memilih mengenakan flat shoes.
"Eum." Haowen mengangguk dengan senyum lebarnya. Ia mendongak dan menatap takjub pada pemandangan di atasnya, yaitu kehidupan bawah laut yang tersaji melalui terowongan akuarium yang mereka lalui.
Luhan merasa senang melihat bagaimana Haowen tampak gembira dan bersemangat melihat-lihat aneka spesies ikan laut. Sesekali Haowen juga terlihat takut, bahkan sempat menangis karena terkejut melihat ikan hiu yang tiba-tiba membuka mulutnya sewaktu Haowen mendekati dinding akuarium. Jadilah Luhan harus ekstra sabar menenangkan Haowen yang kembali menangis.
"Aku tidak menyangka jika kau akan mengajakku ke sini, Yeol."
Luhan mengernyit saat mendengar suara yang tidak asing di belakangnya. Ia menengok ke belakang dan seketika mematung saat melihat dua orang dewasa berbeda gender yang ia kenal, tengah bergandengan mesra. Bahkan beberapa kali kedapatan saling mengecup pipi satu sama lain. Dasar tidak tahu tempat!
"Kenapa? Kau tidak suka?"
"Bukan tidak suka, aku hanya—" wanita yang mengenakan eyeliner di matanya itu terdiam dengan tatapan lurus ke depan, "—Luhan?!"
Kali ini giliran pria tinggi dengan telinga lebarnya yang menoleh ke arah Luhan. Reaksinya pun tak kalah kaget seperti wanita yang berstatus sebagai kekasihnya itu.
"Hai, Baekhyun, Chanyeol," sapa Luhan sambil meringis, lalu menghela napas panjang karena ia yakin, setelah ini duo rekan kerja yang usil sekaligus merangkap sebagai sahabatnya itu akan melontari berbagai pertanyaan seputar Haowen. Terbukti dari arah pandangan mereka yang kini lebih fokus pada anak laki-laki yang tengah digandeng Luhan.
"Sedang apa kau di sini?" tanya Chanyeol. Ia dan Baekhyun saling memandang dengan kebingungan. Seingat mereka, Luhan lebih senang menghabiskan hari Minggunya di apartemen saja selama seharian penuh. Bukannya bepergian keluar atau jalan-jalan seperti ini. Apalagi sambil membawa anak kecil yang belum pernah mereka lihat sebelumnya.
"Dia siapa, Lu?" tanya Baekhyun penasaran. "Apa dia anakmu? Tapi, kau 'kan belum meni—mmmphh ..."
"Ish, tutup mulutmu, Baek!" Luhan membekap mulut Baekhyun, sebelum wanita itu mulai berbicara sembarangan tanpa pernah disaring terlebih dahulu.
"Lalu siapa, Lu? Jangan-jangan kau menculik—argghh! Sakit, Lu!" Chanyeol mengangkat salah satu kakinya yang sukses diinjak oleh Luhan.
"Kalian ini memang pasangan yang kompak. Sama-sama mempunyai otak yang selalu berpikiran aneh-aneh," cibir Luhan kesal. "Kurasa kalian terlalu banyak menonton drama dan film, makanya otak kalian isinya khayalan semua."
"Luuuuuu ..." rengek Baekhyun dan Chanyeol kompak. Untuk kedua kalinya kembali membuat Luhan malu karena mereka sekarang menjadi pusat perhatian.
"Ahjumma, mereka siapa?" tanya Haowen yang sedari tadi memandangi pasangan kekasih berkelakuan ajaib itu dengan tatapan bingung.
"Mereka sahabat ahjumma. Ini Baekhyun-ahjumma dan ini Chanyeol-ahjussi," jawab Luhan. "Ayo beri salam pada mereka."
"Selamat siang, namaku Haowen," sapa Haowen dengan senyum khasnya.
"Aigo, kau anak yang sopan," Baekhyun mengusap rambut Haowen, "dan juga tampan."
"Baekkie, kenapa kau memujinya tampan? Dia masih anak-anak, asal kau tahu!"
"Ya ampun, Yeol. Kau cemburu dengan Haowen?" Luhan menatap tak percaya sambil menggelengkan kepalanya, "Kekanakkan sekali."
Chanyeol menatap tajam ke arah Luhan yang kini terkikik geli. Setelahnya ia kembali memandangi Haowen yang terlihat bingung dengan wajah polosnya. Dalam hati ia memang tidak bisa mengelak jika anak itu memiliki wajah yang tampan.
"Lu, kau belum menjawab pertanyaan kami," desak Chanyeol semakin penasaran. "Dia siapa, Lu?"
Luhan menghela napas panjang, "Maaf, untuk sekarang aku belum bisa menceritakan semuanya. Tapi yang pasti, aku menolongnya dari aksi kejahatan kemarin sore."
"Kejahatan?"
Luhan mengangguk, "Ponselnya dirampas oleh tiga pria yang tidak dikenal. Tapi jika kulihat dari perawakan dan penampilannya, kutebak mereka bertiga adalah preman."
"Anak kecil itu sudah mempunyai ponsel?" Chanyeol justru berdecak kagum dengan fakta yang sebenarnya tidak terlalu penting itu. "Dia pasti berasal dari keluarga orang kaya."
"Kurasa begitu," jawab Luhan seadanya. Kini ia tengah mengobrol berdua saja dengan Chanyeol, sedangkan Haowen sudah jalan bersama Baekhyun. Mungkin karena tingkah Baekhyun yang terkadang juga kekanakkan, ia cepat akrab dengan Haowen.
"Mungkin Haowen dibekali ponsel supaya keluarganya, ngg ... terutama ayahnya bisa menghubunginya setiap saat jika Haowen berada di luar rumah," jelas Luhan panjang lebar. Ya, semalam Haowen memang sedikit bercerita alasan ia sudah dibekali ponsel oleh ayahnya.
Dari cerita Haowen, Luhan yakin jika anak itu memang berasal dari kalangan berada. Ditambah dengan cerita lain yang keluar dari bibir Haowen. Salah satunya jika Haowen sendiri mempunyai supir pribadi, dan kemarin ia memang sengaja kabur dari salah satu orang kepercayaan ayahnya tersebut.
"Lu?" Suara husky Chanyeol membuyarkan lamunan Luhan. Ia langsung mengedarkan pandangan ke sekeliling saat menyadari Haowen dan Baekhyun tidak berada dalam jangkuan penglihatannya.
"Mereka ke mana, Yeol?" tanya Luhan panik.
Chanyeol menggelengkan kepalanya. Salah satu kebiasaan Baekhyun yang suka menghilang di tempat umum secara tiba-tiba memang merepotkan.
"Aku juga tidak tahu. Sebaiknya kita cari mereka," ajak Chanyeol yang segera diangguki oleh Luhan.
Keduanya bergegas mencari Baekhyun dan Haowen yang sepertinya sudah memiliki dunia mereka sendiri. Sampai-sampai meninggalkan keduanya seperti orang bodoh di tempat pertemuan mereka semula.
..
..
..
Setelah mengunjungi COEX Aquarium, Chanyeol dan Baekhyun mengajak Luhan dan Haowen untuk makan siang bersama. Sebenarnya pasangan kekasih itu masih ingin bermain dengan Haowen, tapi anak itu ingin segera pulang ke apartemen Luhan karena merasa mengantuk.
Luhan sendiri tidak bisa menolak permintaan Haowen. Toh, ia sendiri juga sebenarnya merasa lelah karena jarang menikmati hari Minggunya di luar rumah. Ketahuilah, Luhan lebih senang bermalas-malasan di apartemennya di hari Minggu.
"Kenapa kita ke sini, Ahjumma?" Haowen yang terbangun dari tidurnya di dalam mobil, terkejut melihat bangunan di depan mereka.
Luhan hanya tersenyum menanggapi pertanyaan Haowen. Ia tahu, anak itu masih trauma dengan kejadian kemarin yang menimpanya di sekitar supermarket langganan Luhan.
"Hanya sebentar," kata Luhan menenangkan Haowen yang terlihat gelisah. "Kemarin ahjumma lupa membeli garam. Haowen mau ikut? Mungkin kita bisa membeli beberapa camilan kesukaanmu."
Awalnya Haowen ragu, namun melihat sorot mata Luhan yang seolah berkata 'tidak apa-apa', ia pun menyanggupi ajakan wanita itu.
Luhan pikir Haowen akan terus diam setelah mereka berada di dalam supermarket, ternyata tidak. Kini anak itu malah terlihat senang menjelajah seisi supermarket. Tak jarang ia berlari-lari kecil dengan tawa menggelegar, membuat Luhan kewalahan mengejarnya.
Satu hal baru lagi yang diketahui Luhan tentang Haowen. Dia anak yang aktif.
"Haowen ..." Luhan mulai frustasi melihat Haowen terus memasukkan beberapa camilan ke dalam trolley belanja mereka. Terlebih saat barang yang dipilih Haowen jumlahnya malah jauh lebih banyak ketimbang barang yang dipilih Luhan. Sebenarnya yang sedang belanja Luhan atau Haowen? Dan lagi, apa anak itu berniat menginap di apartemen Luhan selama beberapa hari?
"Sudah selesai?" tanya Luhan saat melihat Haowen masih melihat-lihat camilan yang ia masukkan ke dalam trolley belanja mereka.
"Ne, Ahjumma. Haowen sudah selesai," jawab Haowen sambil tersenyum lebar. Ingin rasanya Luhan mengumpat kesal karena—hei, kemungkinan anak itu akan menghabiskan uangnya. Tapi melihat ekspresi senang dari Haowen, emosi Luhan luruh seketika. Biarlah. Sampai dia kembali ke rumah keluarganya, aku harus membuat Haowen senang.
"Ahjumma?"
"Ne?"
Haowen terdiam sejenak, sebelum seulas senyum terpatri di bibirnya, "Ahjumma sangat cantik saat tersenyum."
BLUSH!
Pipi Luhan merona, kemudian disusul sensasi panas yang menjalar di wajahnya. Apa aku baru saja digoda oleh anak kecil? Ugh, kecil-kecil sudah pandai merayu.
"Appa pasti menyukai Ahjumma jika kalian bertemu nanti," lanjut Haowen polos. Namun ia tidak sadar ucapannya itu membuat wajah Luhan kian memerah.
Ya ampun, apa Haowen benar-benar berniat menjodohkanku dengan ayahnya? Yang benar saja?!
"Ahjumma, ayo kita membayar!" ajak Haowen membuyarkan fantasi Luhan. Wanita yang masih berstatus lajang itu hanya mengangguk dengan gumaman pelan. Sama sekali tak ada hasrat untuk membalas ucapan Haowen yang menurutnya memang kelewat polos, tapi berhasil mengacaukan pikirannya.
Usai membayar barang belanjaan mereka, Luhan dan Haowen bergegas ke mobil. Haowen masih menunggu Luhan yang tengah sibuk memasukkan barang belanjaan ke dalam bagasi. Ia terlihat senang saat Luhan menggandengnya masuk ke dalam mobil—memposisikannya duduk di samping bangku kemudi. Namun mata Haowen justru lebih cepat menangkap sosok yang tidak asing di depan mereka.
Luhan terkesiap ketika menyadari genggaman tangan Haowen tidak mau terlepas dari tangannya. Ia pun semakin bingung setelah mendapati wajah Haowen tampak pucat pasi, kembali didominasi raut ketakutan.
"Ada apa, Haowen?"
"I-Itu ..." Haowen menunjuk ke arah depan. Luhan yang penasaran pun mengikuti arah yang ditunjuk Haowen dan setelahnya mata wanita itu membulat sempurna.
Entah Luhan sedang sial atau memang ia ditakdirkan untuk melihat peristiwa serupa seperti kemarin. Bedanya, jika ketiga pria yang sebelumnya menyasar anak kecil seperti Haowen, kali ini sasaran mereka seorang pria. Dan Luhan semakin kesal karena tak ada satupun dari orang-orang yang sempat melihat kejadian tersebut, berniat menolong pria yang malang itu. Mereka memilih kabur dan menyelamatkan diri masing-masing. Sepertinya mereka terlanjur takut melihat ketiga preman itu yang kembali melakukan aksi kejahatan mereka.
"Haowen, tunggu di dalam mobil!" Luhan membuka pintu mobil dengan terburu-buru, "Jangan keluar jika situasi belum aman, mengerti?"
"N-Ne ..."
Luhan bergegas menghampiri ketiga pria yang belum menyadari keberadaannya. Kali ini Luhan merasa senang karena mengenakan flat shoes, sehingga ia bisa berlari dengan kencang jika ketiga pria itu berniat kabur seperti kemarin.
"HENTIKAN!" Teriakan Luhan yang keras berhasil mengalihkan perhatian keempat pria itu.
"Ck, kau lagi!"
Aroma minuman keras yang menguar dari tubuh ketiga pria itu membuat Luhan menutup hidungnya. Ia hampir saja muntah jika tidak bisa menahan diri.
"Apa kalian tidak ada kerjaan selain menjahati orang lain?" Suara Luhan sedikit berbeda karena ia berbicara dengan hidung yang ditutup dengan ibu jari dan telunjuk tangan kanannya. Kalau bukan dalam keadaan genting seperti ini, siapapun yang mendengar suara aneh Luhan pasti akan tertawa.
"Kau pikir kau siapa?! Beraninya mencampuri urusan kami!"
"Kemarin kalian merampas ponsel anak kecil. Sekarang kalian merampas ponsel dan dompet pria ini? Dasar penjahat!"
Ucapan Luhan bernada sarkastik itu berhasil memancing emosi mereka. Salah satu dari mereka langsung mencengkeram kuat lengan Luhan.
"Lepaskan aku!" Luhan berusaha meronta saat pergerakannya dikunci oleh pria itu. Namun ia tak kehabisan akal. Luhan spontan saja menggigit tangan pria itu hingga terdengar suara jeritan seperti wanita.
"Hueeek ..." Luhan bergidik jijik saat merasakan asin di lidahnya. Apa aku baru saja merasakan keringat pria tadi? Ugh, menjijikan!
Selagi Luhan masih shock dengan kejadian barusan, salah satu rekan mereka bersiap memeluk Luhan dari belakang. Beruntung insting Luhan yang memang tajam membuat wanita itu segera berbalik, dan setelahnya menjerit kaget melihat pria itu tampak bernafsu ingin memeluknya.
"KYAAAA!" Spontan saja kaki Luhan menendang bagian bawah selangkangan dan—ehem, sukses mengenai 'junior' pria itu.
"ARGGGH!"
Luhan mengerjap lucu saat melihat reaksi pria yang baru saja mendapat tendangan maut darinya itu tampak kesakitan sambil memegangi bagian bawahnya.
"Ish, wanita ini benar-benar mengganggu!" Pria lainnya—yang Luhan yakini berstatus sebagai ketua dari ketiganya—menarik kedua rekannya untuk pergi meninggalkan lokasi.
Teringat kejadian kemarin, Luhan tidak akan membiarkan ketiga pria itu kembali kabur. "YA! KALIAN TIDAK BOLEH KABUR! KEMBALIKAN PONSEL DAN DOMPET PRIA INI!"
"Cepat pergi!"
"YA!" Luhan sebenarnya berhasil menyusul mereka, namun salah satu dari mereka berbalik dan mendorong tubuh Luhan hingga wanita itu jatuh terjerembab di jalan. Luhan merintih kesakitan saat merasakan nyeri di bagian punggungnya.
"HEI, BERHENTI!" Luhan sudah berdiri dan bersiap lagi untuk mengejar mereka, "Akh ..."
"Sial ..." geramnya kesal. Ketiga pria itu berhasil melarikan diri.
Luhan berbalik dan seketika matanya membelalak mendapati pria yang menjadi korban tadi sudah tergeletak lemas di jalan. "Astaga!" ia bergidik ngeri melihat bagaimana kondisi wajah pria itu yang tampak mengenaskan—ada luka di beberapa titik wajah dan semuanya mengeluarkan darah.
"Kau baik-baik saja?" tanya Luhan namun sesaat kemudian ia merutuki dirinya sendiri atas pertanyaan bodoh itu. Sudah jelas pria ini tidak baik-baik saja, bodoh!
"Akh ..." pria itu merintih kesakitan saat tangan Luhan menyentuh sudut bibirnya.
"Kita pergi ke rumah sakit, ya?"
Pria itu menggeleng kuat, "Tidak, aku tidak mau ke rumah sakit. Aku benci rumah sakit."
Luhan kaget mendengar kalimat penolakan yang sama seperti Haowen kemarin.
"Baiklah, aku akan membawamu ke apartemenku. Biar kuobati lukamu," bujuk Luhan sambil membantu pria itu berdiri, lalu memapahnya menuju mobilnya yang masih terparkir di depan supermarket. Ia tak peduli dengan tatapan penuh selidik dari orang-orang di sekitarnya, karena Luhan terlanjur kesal dengan sikap mereka yang terkesan cuek saat ada orang lain yang membutuhkan pertolongan. Keterlaluan!
KLEK!
Tanpa Luhan ketahui, Haowen sudah turun dari mobil dan berlari menghampirinya.
"APPA!"
Luhan tersentak kaget mendengar Haowen memanggil pria yang bersandar di bahunya ini dengan panggilan 'appa'.
"APPA! APPA!"
"Ha-Haowen ..." Napas pria itu masih terputus-putus, namun matanya sudah terbuka lebar dan ia terlihat shock melihat keberadaan Haowen di depannya. "Be-Benarkah ini kau, Haowen? Jagoan appa?"
"Ne, Appa. Ini Haowen ... hiks ... Appa ..." Air mata Haowen bersiap turun. "HUWEEEE!"
Luhan nyaris terjatuh karena pria itu tiba-tiba duduk bersimpuh saat Haowen menghambur ke dalam pelukannya. Buru-buru Luhan berdiri seperti semula. Matanya kini menatap tak percaya pada pasangan ayah dan anak yang tengah berpelukan itu. Sekalipun mereka baru berpisah semalam, sudah pasti seorang ayah sangat mengkhawatirkan anaknya yang tiba-tiba menghilang dari rumah.
Di samping perasaan gembira melihat Haowen bisa bertemu lagi dengan ayahnya, yang berarti Luhan tidak perlu repot mengantarkan Haowen pulang ke rumahnya, entah mengapa Luhan justru memiliki firasat yang tidak enak.
..
..
..
"Akh ..."
"Tahan sebentar," Luhan mengingatkan pria yang berstatus sebagai ayah Haowen itu—Oh Sehun, agar tidak terlalu banyak bergerak selagi Luhan fokus mengobati luka di wajahnya. Haowen yang duduk di sebelah Sehun terlihat sangat mencemaskan kondisi ayahnya itu. Sejak tadi pandangan matanya terus tertuju pada wajah Sehun yang kini didominasi plester luka.
"Selesai."
"Terima kasih, Luhan-ssi ..."
Luhan mengangguk, lalu membereskan kotak obat dan kembali ke kamarnya. Ia tidak langsung kembali ke ruang tengah, melainkan pergi ke dapur, bermaksud membuatkan minuman untuk Sehun. Di sisi lain, ia sengaja meninggalkan pasangan ayah dan anak itu agar mereka mempunyai waktu berdua saja untuk berbicara.
"Haowen ..."
Tubuh Haowen langsung menegang mendengar nada berat dari suara Sehun.
"Kenapa pergi dari rumah?"
"..."
"Haowen marah sama appa?"
Kali ini Haowen mengangguk.
"Marah karena acara jalan-jalan hari ini batal?"
Haowen mengangguk tiga kali. Ia memberanikan diri untuk menatap Sehun. Matanya terlihat berkaca-kaca. Sedangkan Sehun, pria itu hanya bisa menghela napas panjang. Ia bersyukur karena berhasil menemukan Haowen dalam kondisi baik-baik saja. Tapi, ia tidak bisa mengesampingkan kemarahannya setelah mengetahui dari Jongdae—salah satu orang kepercayaannya yang bertugas sebagai supir pribadi Haowen—jika anak semata wayangnya itu tiba-tiba menghilang saat Jongdae membelikan bubble tea untuknya.
Agaknya Haowen memang sudah berniat kabur dari rumah sejak meminta Jongdae untuk mengantarnya pergi jalan-jalan menaiki mobil. Di saat Jongdae lengah, Haowen pergi dengan sendirinya secara diam-diam.
"Maafkan appa ..." Sehun mengusap lembut wajah Haowen yang terlihat murung. "Appa sama sekali tidak bermaksud membatalkan acara jalan-jalan bersama Haowen."
"Apa Appa tidak mau pergi jalan-jalan bersama Haowen? Kenapa tidak pernah punya waktu untuk Haowen?"
Sehun tertohok mendengar 2 pertanyaan yang lolos dari bibir Haowen. Ia merasa gagal menjadi seorang ayah. Pekerjaannya sebagai wakil direktur di perusahaan ayahnya—yang kini dipimpin oleh kakak sulungnya—berimbas pada waktu kebersamaannya dengan Haowen.
"Bukan begitu, Haowen. Appa tentu sangat ingin pergi jalan-jalan bersama Haowen. Tapi—"
"Haowen mengerti, Appa sibuk membantu Yunho-samchon," potong Haowen yang membuat Sehun semakin didera rasa bersalah. Tidak seharusnya Sehun terlalu fokus dengan pekerjaannya. Seharusnya ia sadar jika Haowen butuh perhatiannya, setelah kepergian istrinya sekaligus ibu Haowen—Oh Hanna—5 tahun yang lalu, karena penyakit kanker hati yang dideritanya.
Lamunan Sehun buyar ketika matanya menangkap sosok Luhan yang kembali ke ruang tengah. Ia melihat wanita itu tengah membawa nampan dengan secangkir teh herbal di atasnya. Aroma yang menguar dari teh herbal itu membuat perasaan Sehun jauh lebih tenang dan rileks.
"Minumlah," ucap Luhan setelah meletakkan secangkir teh herbal itu di hadapan Sehun. "Aku yakin perasaanmu jauh lebih tenang setelah meminum teh ini."
"Terima kasih," Sehun meraih cangkir itu dan mulai menyesap teh herbal yang sudah disiapkan Luhan. Seketika bibirnya melengkung sempurna saat cairan dari teh herbal itu melewati kerongkongannya. Tubuh Sehun jauh terasa lebih rileks dibanding sebelumnya.
"Haowen ..."
Haowen menoleh saat mendengar panggilan lembut dari ayahnya.
"Appa minta maaf, ya? Sudah mengecewakan Haowen karena selalu membatalkan janji," ujar Sehun tulus meminta maaf. "Appa janji, appa akan meluangkan waktu untuk Haowen."
"Benarkah?" Haowen sepertinya ragu dengan janji yang disampaikan Sehun. Mungkin karena ayahnya itu sudah terlanjur sering membatalkan janji mereka.
Sehun mengangguk yakin, lalu membawa Haowen ke dalam dekapannya. "Appa bersungguh-sungguh, Haowen. Appa tidak akan mengecewakan Haowen lagi."
Perlahan senyuman itu terukir di bibir Haowen. Ia melesakkan kepalanya di dada bidang sang ayah, menikmati usapan lembut dari Sehun di punggungnya. Luhan yang melihat pemandangan itu ikut tersenyum bahagia. Ia berharap, dengan adanya kejadian antara mereka ini, pria itu mau belajar memperbaiki kesalahannya. Sederhana saja, meluangkan waktu untuk Haowen.
"Haowen ..."
"Ne, appa?"
"Kita pulang, ya?"
Wajah Haowen seketika berubah. Dengan gerakan spontan, ia menggelengkan kepala, tanda menolak ajakan sang ayah.
"Semua orang di rumah mencemaskan Haowen," bujuk Sehun. "Kita pulang, ya?"
"Tidak! Haowen tidak mau pulang!"
"Haowen ..."
"POKOKNYA HAOWEN TIDAK MAU PULANG! HAOWEN MASIH INGIN DI SINI BERSAMA AHJUMMA!"
Luhan menghela napas panjang. Well, firasat Luhan sebelumnya terbukti. Haowen menolak mentah-mentah ajakan Sehun untuk pulang. Dan lagi, alasan penolakan Haowen karena dirinya. Entah mengapa itu membuat Luhan terharu. Jujur saja, mereka memang baru bertemu kemarin, tapi sudah melakukan hal yang menyenangkan bersama, meski dalam waktu singkat.
"Haowen, dengarkan appa ..." Sehun mulai frustasi karena putra semata wayangnya itu benar-benar keras kepala. "Appa dan semua orang di rumah sangat mengkhawatirkan Haowen. Kita harus pulang."
"Hiks ... tidak mau ... Haowen tidak mau Appa ..." Haowen bersiap lagi ingin menangis dan, "HUWEEEE!"
Luhan melonjak kaget karena Haowen langsung menghambur ke dalam pelukannya. Ia pun tak punya pilihan selain menenangkan anak itu. Diusapnya dengan lembut punggung Haowen sambil membisikkan kata-kata menenangkan untuknya.
"Ssst, Haowen kenapa menangis?" Luhan melirik sekilas ke arah Sehun yang kedapatan tengah menatap intens ke arahnya.
"Haowen tidak mau pulang. Haowen masih ingin bersama Ahjumma ..."
Sehun menghela napas panjang. Tidak tahu lagi harus berkata apa menghadapi sifat keras kepala Haowen yang memang menurun darinya.
"Baiklah, untuk malam ini Haowen bisa menginap di apartemen ahjumma."
Tangis Haowen tiba-tiba berhenti. Anak itu mendongak dan menatap Luhan dengan mata berbinarnya, "Sungguh? Haowen boleh menginap lagi di apartemen Ahjumma?"
Luhan mengangguk, "Tapi minta izin dulu sama appa."
Haowen langsung berpindah tempat di sebelah Sehun. Ia bersiap melakukan aegyo dengan puppy eyes-nya. "Boleh ya, Appa? Ya? Ya? Ya?"
Tawa Luhan hampir meledak saat melihat ekspresi wajah Haowen yang begitu menggemaskan ketika melakukan aegyo. Sedangkan Sehun masih berusaha keras membentengi diri agar tidak tergoda oleh aegyo putranya sendiri dengan memasang wajah datarnya.
"Lagi pula kondisimu juga belum sepenuhnya pulih. Kusarankan untuk beristirahat saja di sini," kata Luhan pada Sehun.
Ucapan Luhan ada benarnya. Buntut dari kejadian sore tadi memang membuat tubuh Sehun terasa remuk, apalagi wajahnya. Namun tetap saja, aura ketampanan itu masih terlihat meski wajahnya babak belur—ehem, ini pendapat pribadi Luhan setelah ia membersihkan dan mengobati luka di wajah Sehun. Sekarang ia percaya jika wajah tampan Haowen memang berasal dari Sehun.
"Baiklah. Malam ini kita menginap di sini," ucap Sehun akhirnya menuruti kemauan Haowen.
"YEAY!" Haowen berseru senang lalu mengecup pipi Sehun. "Terima kasih, Appa. Saranghae ..."
"Appa do saranghae ..."
Luhan tersenyum geli melihat Haowen berlari masuk ke kamar yang ditempatinya semalam—tepat berada di sebelah kamar Luhan. Mereka bisa mendengar teriakan girang Haowen dari dalam kamar. Dua orang dewasa itu hanya bisa tersenyum mendengarnya.
"Ngomong-ngomong ..." Luhan jadi penasaran kenapa Sehun bisa berakhir sama seperti Haowen. "Bagaimana kau bisa berada di tempat tadi dan bertemu dengan mereka? Apa kau sedang mencari Haowen?"
Sehun mengangguk, "Haowen memang sudah kubekali ponsel agar aku bisa menghubunginya setiap waktu, jika dia sedang berada di luar rumah. Kemarin setelah aku mendapat kabar dari supir pribadi Haowen, aku mencoba menghubungi ponselnya. Haowen memang tidak menjawab panggilanku, tapi aku bisa melacak keberadaannya."
Luhan masih menyimak penjelasan Sehun, walau sesekali ia memperhatikan Haowen yang masih meluapkan kegembiraannya di kamar.
"Dan supermarket tadi adalah data terakhir yang menunjukkan keberadaan Haowen. Aku mencoba menghubunginya lagi, tapi ponselnya sudah tidak aktif," Sehun mendesah frustasi. "Waktu itu aku benar-benar panik dan takut jika terjadi hal buruk pada Haowen."
Luhan teringat kembali kejadian semalam, "Sayangnya, dia memang mengalami hal buruk. Ketiga pria yang merampas ponsel dan dompetmu tadi, mereka juga yang merampas ponsel Haowen semalam."
"Benarkah?" Sehun menatap tak percaya.
Luhan mengangguk, "Bahkan salah satu dari mereka mendorong Haowen dengan kasar hingga anak itu terjatuh. Haowen sempat terluka di bagian hidungnya sampai berdarah. Ah, tapi kau tenang saja. Kemarin langsung kuobati dan kurasa kondisinya sudah lebih baik sekarang."
Wajah Sehun yang sempat menegang perlahan berangsur normal, terlihat mulai tenang seiring helaan napas panjang yang keluar dari sela-sela bibirnya.
"Aku tidak tahu kenapa kalian bisa mengalami hal yang sama," kali ini ada nada geli saat Luhan berbicara.
"Kau benar, kami bernasib sama. Mengalami kesialan karena ketiga pria tadi dan," Sehun menghentikan kalimatnya sejenak, "mendapat pertolongan dari wanita secantik dan sebaik dirimu."
BLUSH!
Luhan seketika bungkam mendengar kalimat terakhir yang terlontar dari Sehun. Jantungnya berdegup kencang seiring hawa panas yang kini menjalar di sekujur tubuh. Luhan tidak bisa membayangkan semerah apa wajahnya saat ini. Sekarang ia percaya, bukan hanya wajah tampan Sehun saja yang menurun pada Haowen, tapi juga kemampuannya dalam memuji alias merayu wanita. Tidak anak tidak ayah, dua-duanya pandai merayu.
"Luhan-ssi ..."
"N-Ne?"
Sehun tersenyum, "Terima kasih sudah menolongku dan Haowen. Kami berhutang budi padamu."
"Ah, tidak perlu sungkan, Sehun-ssi," kata Luhan tersipu malu. Ia tidak tahu kenapa, tapi sorot mata Sehun yang tajam namun juga teduh secara bersamaan membuatnya serasa terhipnotis.
"Panggil saja aku Sehun. Tidak perlu bersikap terlalu formal padaku," ucap Sehun.
"Baiklah," Luhan tersenyum senang. "Kau juga bisa memanggilku Luhan."
Sehun mengangguk lalu mengulurkan tangannya ke arah Luhan, "Senang berkenalan denganmu, Luhan."
Luhan menyambut uluran tangan Sehun, "Ya, senang berkenalan denganmu, Sehun."
Seumur hidupnya, Luhan tidak pernah mengira jika ia akan dihadapkan dalam situasi seperti ini. Hanya dalam kurun 24 jam, ia bertemu dengan Sehun dan Haowen, menolong pasangan ayah dan anak itu di waktu yang berbeda namun dalam situasi yang sama. Entah ini kebetulan atau memang sudah takdir yang digariskan Tuhan.
Kira-kira skenario apa yang Tuhan rencanakan untukku?
TBC OR DELETE?
23 Januari 2015
A/N : Halo, maaf saya bukannya balik bawa kelanjutan FF You're Mine, malah posting FF baru. Habisnya ide cerita ini udah muncul dan rasanya gatel pengen nulis, takut kalau nggak keburu ditulis nanti menguap entah ke mana (halah bahasanya, hihi). Untuk FF ini kemungkinan bakal agak lama update-nya, karena saya tetep prioritas dulu sama yang You're Mine. Kecuali kalau respon kalian sama FF ini baik dan sesuai sama harapan saya. Mungkin bisalah dipercepat dikit hehe #nyengir
FYI, untuk You're Mine chapter 9 baru jadi plotnya, tinggal dikembangin alur ceritanya.
Terakhir, mind to review? :)