"Pagi, Hime."

Hinata tersenyum cerah. Saat ia membuka mata, yang terlihat pertama kali adalah wajah Sasuke. Pria itu langsung mengelus lembut pipi Hinata yang bersemu merah.

"Um, pagi juga Sasuke-kun."

"Bagaimana kalau kita mandi bersama pagi ini? Atau mungkin pergi berenang?"

Hinata mendudukkan tubuhnya, bersandar pada kepala ranjang.

"Aku ingin jalan-jalan saja. Bagaimana denganmu Sasuke-kun?"

Sasuke tampak berfikir sejenak. "Mungkin nanti siang aku harus menyelesaikan beberapa urusan. Tenang saja, aku berada tidak terlalu jauh dari kamar kita."

Hinata mengangguk. "Baiklah, aku ingin melihat laut lagi."

HURT

Hinata tengah berada di buritan kapal bersama pengunjung lain yang tengah menikmati semilir angin, dan pemandangan hamparan laut yang indah.

"Cantiknya..." Gumam Hinata sembari tersenyum.

"Hai, Hinata."

Hinata langsung memalingkan wajahnya cepat pada seseorang yang tiba-tiba saja berdiri di sampingnya. Dia tersenyum, iris hijaunya berkilat.

"Sa-Sakura? Sedang apa di sini?"

"Memberimu selamat, Hinata. Maaf karena tidak datang dipernikahanmu."

Seharusnya Hinata merasa senang karena Sakura sudah mau mengucapkan maaf dan selamat. Bukankah hubungan mereka baik-baik saja?

Ya memang seharusnya begitu, tapi melihat Sakura tiba-tiba ada di sini dan melihat pancaran auranya, sebuah alarm berbunyi memperingati. Hatinya merasa tidak tenang, jantungnya bertalu keras, dan pertama kalinya ia merasa takut pada Sakura.

"Terima kasih, Sakura." Hinata memilih untuk mengabaikan, ini tempat umum. Banyak orang di sini, jadi dia akan berteriak meminta tolong bila Sakura macam-macam.

Kediaman bersama mereka beberapa saat. Hinata memandangi air laut, dan Sakura masih berdiri di sisinya.

"Kau juga sedang liburan di sini, Sakura?" Hinata memulai pembicaraan lagi, keheningan hanya membuat Hinata semakin cemas.

"Aku datang untuk memberikan sebuah kejutan untukmu." Sakura melirik pada Hinata, melihat perut buncit Hinata yang besar. Tangan putih Hinata sejak tadi terus mengelusi perutnya. Ada anak Sasuke di sana, darah daging pria yang hampir seumur hidupnya ia cintai.

"Benarkah?" pertanyaan Hinata yang dibarengi sebuah senyuman menyadarkan Sakura dari lamunan. "Apa itu?"

"Kau akan mendengarnya sebentar lagi." Sakura tersenyum, matanya menyipit.

"Dengar?" Hinata bertanya-tanya, hadiah apa yang perlu di dengar? Lagi pula sejak tadi Sakura tak membawa apa-apa.

BLARRRRRRR

Sebuah ledakan yang menggema, kapal yang bergetar, para penumpang yang berhamburan.

Hinata membeku, ia terlalu takut dan kaget.

"A-ada apa ini?"

"Ledakan." Sakura bergumam.

"Apa?!" Hinata menggigil takut. Ia tidak bisa berenang, dan ini sebuah kapal besar, dan suasananya sekacau film Titanic yang pernah ia tonton. Tak menyangka bahwa dirinya benar-benar akan berada dalam posisi di film itu. Ini benar-benar mengerikan!

"Kita harus lari Hinata! Kita harus mencari sekoci!" Sakura menarik tangan Hinata, dapat dirasakannya getaran yang kuat. Hinata benar-benar ketakutan.

"Sasuke! Bagaimana dengan Sasuke?!" Hinata mulai panik.

"Tidak ada waktu!" Sakura terus melihat ke bawah kapal, berjalan mengitari sisi kapal yang kini penuh dengan orang-orang yang panik. Beberapa kali mereka harus bertabrakan dengan orang-orang yang sama-sama panik.

"Itu dia!" Sakura melihat sebuah sekoci yang hampir penuh, ada tiga orang laki-laki yang tengah membantu orang-orang untuk naik. "Di sini! Tolong biarkan kami naik! Dia tengah hamil!"

Hinata mulai menangis, ia ketakutan bukan main. Sasuke dan dirinya terpisah, dan suara alarm yang terus mendengung menambah kepanikan. Belum lagi rasa sakit perutnya yang perlahan semakin terasa.

Sakura dan Hinata segera memasuki sekoci, seorang laki-laki yang menggedong anak perempuan menjadi orang terakhir yang naik, dan akhirnya sekoci pun diturunkan.

.

.

.

Sasuke tengah melalukan penilaian pada proposal salah satu klien. Entah kenapa ia merasa tidak tenang dan terancam. Pikirannya mulai tidak bisa fokus, ia meninggalkan Hinata sendirian tanpa pengawasan.

Ia ingin sekali cepat-cepat keluar dari ruang meeting ini.

Lagipula seharusnya ia tidak perlu melakukan ini. Berlibur di kapal ini adalah rencananya, juga bagian yang seharusnya 'tidak ada pekerjaan'. Kenyataannya, kemarin seorang klien yang sudah lama menjadi rekan yang baik, memaksanya.

Ini proyek yang besar, dan klien tidak mau menunggu. Terlalu beresiko juga bila Sasuke menolak, ini mengenai nama baik dirinya juga perusahaannya.

"Anda tampak gelisah." Bisik si klien besar, sumber masalahnya.

"Ya, aku meninggalkan istriku sendiri. Bisa kita cepat akhiri?" Sasuke tampak mengomel, ia tahu ini buruk. Tapi ia terlalu kesal sekarang.

"Maaf."

BLARRRRRRR

Semuanya terguncang, Sasuke merasakan tubuhnya langsung menghentak meja.

"Ada apa ini?!" Semuanya saling berteriak bersahutan. Lampu ruangan mulai berkedip-kedip.

"Sial!" Sasuke segera berlari ke luar ruangan, ia menganga ketika melihat kekacauan yang ada.

"Uchiha-sama!" Rekannya tadi Richard segera menarik tangan Sasuke. "Sepertinya ada ledakan, kita harus segera pergi! Ikut saya! Ada helikopter di atas!"

Sasuke dengan cepat menghentakkan tangan Richard. "Aku harus mencari istriku!"

"Tapi, Uchi-"

"Dia tengah mengandung!"

Teriakan Sasuke dengan jelas membuat Richard mundur, dan pria yang tengah kesetanan itu berlarian membelah kerumunan yang panik demi mencari Hinata.

Kosong. Hinata tidak ada di kamarnya.

"Hinata..."

Benar, tentu saja. Tidak mungkin Hinata masih di sini, dia juga pasti menyelamatkan diri. Tapi ke mana?

Tidak mungkin Sasuke mencari di tengah kekacauan yang seperti ini.

"Kumohon, kau baik-baik saja..."

.

.

.

Sakura memandangi Hinata yang tampak sedang meringis sambil memegangi perutnya.

Mereka sudah cukup jauh dari kapal, dan seharusnya daratan tidak jauh lagi.

"Kau baik-baik saja Hinata?"

"Perutku..."

Sebuah suara nyaring menghampiri sekoci mereka, sebuah kapal boat.

"Perlu bantuan?"

"Tolong! Sepertinya temanku akan melahirkan!"

Lelaki dan penumpang sekoci lain ikut membantu Hinata yang semakin tak dapat menahan rasa sakitnya. Ia terus mengaduh. Hingga sebuah air merembes di bawah perutnya.

"Air ketubannya pecah! Cepatlah!" Sakura ikut panik.

"Ba-bayiku... bertahanlah..." Hinata berdoa dalam rasa sakit.

Butuh waktu setengah jam dengan kecepatan penuh untuk tiba di daratan. Sebuah ambulance sudah menunggu, ada banyak tim SAR juga. Sepertinya kasus ledakan kapal sudah mendapatkan respon yang cepat. Sakura juga ikut menemani Hinata.

"Sakit..." Hinata menangis, tubuhnya berkeringat banyak. Tangannya tak henti meremas tangan Sakura.

"Kau akan baik-baik saja, aku janji..."

Tak lama mereka tiba di rumah sakit. Brankar Hinata diturunkan menuju UGD. Seorang Dokter dan dua suster menghampiri mereka. "Air ketubannya pecah!" Sakura masih mengikuti Hinata, bahkan tangan Hinata masih belum mau lepas dari Sakura.

"Anda keluarganya nona? Mohon tunggu." Seorang suster memegangi Sakura, menahan gadis itu untuk masuk.

"Lakukan operasi!" Teriak sang Dokter di dalam sana.

"Anda harus menandatangani surat operasinya, nona." lanjut suster tadi. Lalu Sakura hanya mengangguk mengikuti si suster.

.

.

.

"Tuan Uchiha!" Kali ini Richard sudah berada di depan kamar Sasuke, ia melihat teman bisnisnya itu mematung. "Kumohon, ikutlah..." Richard terengah, semenjak tadi ia berlarian mengejar Sasuke. "Saya yakin istri anda berada di salah satu sekoci."

Sasuke menatap kosong Richard. "Ini salahku, seharusnya aku membawanya ke mana pun."

"Ini bukan waktunya untuk menyesal! Ini memang kecelakaan yang sangat mengerikan! Tapi anda harus hidup! Kita harus yakin kalau istri anda juga selamat! Anda harus hidup!"

.

.

.

Hinata masih terlelap, efek obat bius total masih memperngaruhi Hinata. Lebih dari setengah jam Hinata berada di ruang operasi, dan semuanya berjalan baik. Sakura menghela nafas syukur.

Melihat Hinata di ruangannya seorang diri membuat Sakura kasihan. Ia bertanya-tanya bagaimana kabar Sasuke. Apa pria itu selamat dari insiden itu?

Memastikan, Sakura menghubungi ponsel si pria.

.

.

.

Sasuke termenung, ia memandangi wallpaper ponselnya yang berupa sosok Hinata dengan perut buncitnya.

"Apa kau baik-baik saja? Bagaimana dengan anak kita?"

Sasuke tampak melankolis. Ia bersedih, ia belum menemukan kabar sang istri.

Lalu mendadak sebuah panggilan masuk dari Sakura masuk. Sasuke mendengus, gadis itu selalu saja mengganggunya di saat yang tepat.

"Halo."

"Sasuke. Kau di mana? Cepatlah ke rumah sakit Y. Hinata sudah melahirkan!"

Sasuke terperangah, ia gembira. "Aku ke sana sekarang!"

Mungkin ini untuk pertama kalinya, Sasuke mensyukuri keberadaan Sakura dalam hidupnya. Ia menyelamatkannya juga Hinata. Ah, jangan lupakan anak mereka.

.

.

.

"Dia tampan seperti dirimu." Puji Sakura saat menemani Sasuke melihat bayinya yang mungil dalam inkubator. "Anakmu lelaki Sasuke, tapi karena dia lahir prematur dia harus dirawat dalam inkubator hingga beberapa lama. Dia juga harus menerima donor ASI, karena Hinata masih belum memproduksinya dengan maksimal."

Sasuke hanya dapat mengangguk pelan mendengar penjelasan Sakura mengenai kondisi Putranya. Ia terharu, melihat betapa mungil dan tampannya sang Putra. Ia tertidur lelap.

"Hinata baru saja siuman. Kau mau menengok?"

Sasuke tersenyum. "Tentu saja, terima kasih Sakura."

Wajah Sakura memerah, membalas senyuman Sasuke singkat. "Ini pertama kalinya aku melihatmu tersenyum seperti itu. Kau sangat bahagia mencintai Hinata, ya kan?"

Sasuke mengangguk. "Tentu saja."

.

.

.

"Sasuke-kun..." Air mata Hinata berlinang, melihat suami tercintanya berada di ambang pintu. Sedangkan Sasuke segera mendekat, memeluk tubuh Hinata.

"Terima kasih Hinata, terima kasih sudah melahirkan anak kita..." Sasuke juga ikut menangis haru. "Anak kita sangat tampan. Boleh kuberi nama Seiya?"

Hinata tertawa dalam pelukan Sasuke. "Tentu saja. Kau ayahnya. Kau sudah menemuinya? Aku bahkan belum melihatnya." Rajuk Hinata.

"Dia tampan sepertiku."

Sakura mendekat, ia tersenyum pada Hinata yang masih berada di pelukan Sasuke.

"Terima kasih, Sakura." Hinata berucap sembari melerai pelukan Sasuke. Ia melebarkan tangannya untuk memeluk Sakura, yang di sambut oleh si empunya rabut gulali itu. "Kau teman yang baik." dan Sakura hanya mengangguk.

"Kemarilah Sakura." Kini Sasukelah yang menawarkan pelukan padanya. Yang tentu saja disambut bahagia oleh Sakura. "Maafkan aku selama ini, dan terima kasih."

Sakura menangis dalam pelukan Sasuke. Mungkin ini memang pelukan terakhirnya. "Kumohon, biarkan begini lebih lama."

.

.

.

Neji menghela nafas, memijit pangkal hidungnya setelah Sasuke menelpon. Ia berjalan menuju ruang kerja Pamannya Hiashi.

"Ada apa?" Sambut Hiashi dingin.

"Ada kabar baik dan buruk, mau yang mana dulu Paman?"

Hiashi tampak tak tertarik. "Buruk."

"Kapal Pesiar yang dinaiki Sasuke dan Hinata kecelakaan. Ada ledakan yang terjadi."

"Apa?!" Hiashi langsung menggebrak meja marah. "BAGAIMANA KAU SETENANG ITU NEJI?! BAGAIMANA DENGAN HINATA?!"

"Tenanglah paman. Kabar baiknya mereka selamat."

Hiashi langsung mendudukkan tubuhnya lagi. Ia sudah sangat lemas karena kabar yang mengejutkan itu. "Syukurlah..." Hiashi tak dapat membayangkan bila anak tersayangnya itu ikut pergi menyusul Ibundanya.

"Kabar baik lainnya, anda sudah menjadi Kakek, Paman. Hinata melahirkan anak lelaki."

"Benarkah? Di mana mereka?" Hiashi baru terlihat antusias sekarang.

"Rumah sakit Y di Sapporo..."

.

.

.

"Cih, kenapa dia meng-copi semua Uchiha itu?!" Hiashi tampak kesal, ada kerutan yang jelas di dahi lelaki tua itu.

Hinata yang duduk di kursi roda tepat di samping ayahnya hanya tertawa kecil. Sedangkan Sasuke yang jelas-jelas disindir membuang muka jengah.

"Dia sangat kecil..." Hanabi juga ikut terpana akan sosok Seiya yang menatap mereka di seberang sana.

Mereka saling menimpali ketidak sukaan Hiashi di depan kaca ruang bayi. Terutama perdebatan Hanabi yang membela kakak iparnya itu. Putra mereka Seiya, hanya tertawa melihat keluarga mereka.

"Yah, meski begitu ia memiliki tawamu, Hinata."

Hinata, Neji, Hanabi dan Sasuke ikut menghangat, membenarkan apa yang diucapkan Hiashi.

"Kau bahagia, sayangku?" Kini Hiashi mengalihkan pandangannya pada Hinata. Mencari jawaban yang paling jujur dari putri tercintanya.

"Tentu saja, Ayah. Tidak ada yang aku sesali..."

"Baguslah... Dan kau Uchiha! Kalau kau sakiti putriku seujung jari saja, Katana keluarga Hyuuga akan langsung melayang padamu!" Ancam Hiashi. Lalu pria tua itu pergi, disusul dengan Neji.

"Paman, soal perceraian mereka setelah bayi itu lahir, bagaimana?"

Hiashi menghentikan langkahnya, dan memandang Neji. "Kau tidak dengar? Hinata bahagia, jadi biarkan saja."

"Ya, paman."

"Mana si sulung Uchiha itu?" Hiashi baru menyadari kealpaan Uchiha Itachi.

"Kurasa tugasnya di London masih belum selesai." Jawab Neji pelan.

"Begitu? Aku harus katakan padanya kalau perceraian mereka mungkin akan ditunda sangat lama."

Neji tersenyum. "ya, paman."

.

.

.

"Sakura?" Naruto terkejut ketika sosok Sakura tengah berdiri di depan pintu apartemennya. Ia segera menghampiri. "Ada apa?"

"Hinata sudah melahirkan." Sakura tersenyum tipis. "Anak lelaki itu mirip sekali dengan Sasuke. Lalu Hinata dan Sasuke memelukku, meminta maaf dan terima kasih."

Naruto tersenyum, menarik Sakura dalam pelukannya. "Kau sudah melakukan yang terbaik. Relakan mereka, oke?" Naruto mengelus puncak kepala Sakura sayang.

"Naruto, ayo kita ke Inggris. Ada kejutan untukmu... Tapi berjanjilah, kau tidak akan pernah kembali ke sini." Sakura mengeratkan pelukannya pada Naruto.

"Baiklah, kita memang harus memulai hidup baru kita."

THE END

YAAHAHAHAHA TAMAT LOH! BENERAN INI! SUKA TIDAK? POKOKNYA RITSU SENANG KARENA HURT AKHIRNYA SELESAI! SETELAH SEKIAN TAHUN! 🎉🎉🎉

UCAPAN TERIMA KASIH RITSU UNTUK SEMUA READER SETIA, JUGA DUKUNGAN ⭐ NYA!🙏🙏🙏

SEEU MINNA... KITA AKAN BERTEMU DI KISAH LAINNYA... SALAM PELUK DAN CIUM DARI RITSU 😘😘😘❤️❤️❤️