If Love is Nearly Life Breaking © Fujimoto Yumi, 2016

Park Jimin X Min Yoongi © God, themselves

BTS, Infinite and other cast © God, themselves

Hurt/Comfort, Angst, Romance, Family, Friendship.

Rated M. AU. OOC. SLASH.

Bottom!Yoongi. Uke!Yoongi.

This is my very first MinYoon fiction, and maybe the one and only.

This fiction is dedicated for my dearest sister, Jimsnoona.

Hope you like it. I hope that it is exceeded your expectations.

.

.

.

Yoongi mendongak mendengar seseorang memberhentikan mobil di dekatnya dan kemudian bicara padanya. Dan di sanalah, sosok seorang namja tinggi memandangnya lembut. Yoongi masih belum menghapus air mata yang mengalir di pipinya. Sosok itu tersenyum lemah, kemudian memintanya untuk bangkit.

"Mau sampai kapan kau di sana, Yoongi-ya? Kajja, hyung antar pulang."

Sosok itu mengulurkan satu tangannya berharap Yoongi mau menyambut. Sebelum benar-benar meraih tangan itu, sepatah kalimat yang bisa ia keluarkan hanya memanggil nama sosok itu. "Kyuhyun hyung…?"

"Ya, ini aku. Ayo, hyung antar pulang. Hyung yakin bundamu tengah khawatir sekarang."

Pasrah. Yoongi terlalu lelah untuk memberikan respon apapun, ia membiarkan kakak sepupunya itu membawanya masuk ke dalam mobil, lalu memakaikan selimut yang ada di jok belakang. Kemudian namja tampan itu mulai menghidupkan mobilnya dan menjalankannya membelah senja yang makin merangkak untuk digantikan sang malam.

Dalam diam, sedikit demi sedikit, Yoongi tertidur kelelahan dalam ketiadaan yang tak berujung.

xxxXXXxxx

Kyuhyun melirik ke arah Yoongi yang sudah tertidur dalam lingkupan selimut yang hangat. Selagi satu tangannya memegang kemudi, satunya lagi meraih ponsel dan menghubungi seseorang. Sembari menunggu sosok di sebrang sana menjawab, Kyuhyun membenarkan letak selimut yang ia pakaikan tadi setelah ponselnya dijepit antara bahu dan telinga.

Namja itu kemudian menyingkirkan poni Yoongi yang basah dan mengusap kepalanya. Atau menghapus keringat juga bekas air mata yang masih nampak. Kyuhyun tersenyum lemah, ia tahu tentang masalah adik sepupunya ini, namun ia tak menyangka semua akan jadi seperti sekarang. Betapa rapuhnya Yoongi yang ia kenal dingin dan cuek seperti noonanya. Betapa kehilangannya ia akan sosok yang dicintai bisa membuat Yoongi berubah seratus delapan puluh derajat dari dia yang biasanya. Dan Kyuhyun hanya bisa berharap, ia kelak bisa membantu, jika sosok itu meminta pertolongannya.

Beralih ke ponselnya, saat satu-dua nada terdengar sebelum akhirnya tersambung, Kyuhyun langsung bicara pada sosok di sebrang telpon. "Umma?"

["Ya, Kyunnie?"]

"Umma masih di rumah Jin-imo, kan?"

["Ya, sayang. Kamu sudah jalan untuk menjemput umma?"]

.

.

.

Entah sudah berapa jam Heechul ada di rumah adiknya, Seokjin, yang beberapa hari lalu menelponnya dan bercerita mengenai ponakan kesayangannya, Yoongi. Hari ini Heechul datang untuk melihat keadaan Seokjin, namun semenjak tadi, yang dilakukan Seokjin hanya diam tanpa menyentuh peralatan masaknya sama sekali. Heechul yang melihat hanya menghela napas lalu meminta adiknya untuk istirahat.

"Tapi sebentar lagi kakak pulang, unnie. Aku harus menyiapkan makanan kesukaannya."

"Ya tapi sejak tadi kau hanya berdiri seperti patung. Setidaknya duduk dulu untuk menenangkan dirimu."

"Aku bisa apa? Makin ke sini putraku makin hancur. Ya, Tuhan… tidak cukupkah dia menghukum dirinya sendiri?"

"Jin… duduk. Biar kubuatkan kau teh. Ayo, sini," Heechul menuntun adiknya untuk duduk di kursi meja makan, ia kemudian berlalu untuk membuat teh. Dan saat itu, ponselnya berbunyi menampilkan ID putra bungsunya yang langsung saja Heechul angkat tanpa banyak kata. "Ya, Kyunnie?"

["Umma masih di rumah Jin-imo, kan?"]

"Ya sayang. Kamu sudah jalan untuk menjemput umma?"

["Hm. Dan aku bertemu Yoongi di tengah jalan."]

"Jinjja?"

["Berjongkok sambil menangis di pinggir trotoar, sendirian. Entah apa yang terjadi."]

"Oh, Tuhan… apa dia baik-baik saja sekarang?" Heechul sedikit mengecilkan suaranya. Ia tidak ingin adiknya mendengar tentang apa yang terjadi pada Yoongi sekarang ini.

["Dia langsung tertidur saat kubawa ke mobil. Dan jujur saja rasanya tadi aku merasa ada yang mengawasi kami, tapi mungkin hanya perasaanku."]

"Ya, sudah. Kamu cepat bawa Yoongi ke sini, Kyu. Umma tunggu, ne?"

["Ne, umma. Sampai nanti, love you."]

"Ya, Kyunnie. Hati-hati di jalan, ne? Love you too."

Setelah menutup sambungan telepon dan selesai membuatkan teh, Heechul meletakkan cangkir itu di depan adiknya. Kemudian wanita cantik tersebut mengecup pucuk kepala wanita yang lebih muda darinya dan berlalu untuk pamit ke ruang depan.

"Di mana my Kookies, Jin-ah? Aku susul dia dulu, ya?"

"Ne, unnie. Tadi dia bersama Taehyung di ruang keluarga."

"Arraseo. Kau istirahatkan dulu dirimu. Nanti kubantu membuatkan makanan. Ne?"

"Terima kasih, unnie."

"Anytime, Jinnie~"

xxxXXXxxx

Heechul membawa langkahnya ke ruang keluarga, berusaha mencari eksistensi ponakan favoritnya yang lain, Jungkook. Dan ketika menemukan surai hitamnya, Heechul hampir saja memeluk sosok imut itu dari belakang, namun tertahan oleh ucapan ponakannya sendiri.

"Memangnya Taetae tidak bisa menghubungi Jimin? Kasihan kak Yoongi, dia jadi seperti orang lain. Waktu itu saja sampai merusak ponsel Kookie."

"Sejak kami memutuskan untuk masuk kampus yang berbeda, aku jarang bertemu dengannya lagi, Kook. Komunikasi sih masih jalan, tapi yah… kau tahu dia punya kakak yang selalu ada untuknya. Jadi Jimin jarang sekali menghubungiku untuk minta bantuan. Dan kalaupun cerita, harus aku dulu yang memaksa."

"Dia di mana sekarang? Setidaknya temui kakak dan perbaiki semuanya. Kookie ingin kakak kembali seperti dulu. Kakak yang sekarang seperti zombie. Kakak sudah jarang mengelus kepala Kookie atau mengajarkan Kookie mengerjakan tugas. Kakak selalu sibuk dengan dunianya. Kakak juga jarang mau dipeluk. Kookie kangen kak Yoongi yang dulu…huks…"

"Kookie~ ssttt, jangan menangis, dong?" Heechul melihat Taehyung yang berusaha menenangkannya. Ia yang mendengar Jungkook bilang seperti itu pun ikut miris. Oh Tuhan, yang terluka bukan hanya Seokjin, namun Jungkook juga. Anak itu kehilangan sosok kakak favorit yang selalu bisa terbuka untuknya selama ini. Dan akibat perubahan itu, Jungkook jadi jarang melakukan interaksi dengan kakaknya.

Heechul langsung bergerak maju dan tanpa permisi duduk di samping ponakannya. Taehyung yang mengerti melepas pelukannya membiarkan bibi kekasihnya menenangkan sosok itu. "Oh, kasihan kau sweetheart. Jangan menangis lagi, ya, sayang? Setelah ini kita akan cari jalan keluar supaya kakak jadi kakak favorit Kookie lagi, ya, sweetheart?"

Jungkook makin menangis dan membenamkan wajahnya pada lekukan leher Heechul. Wanita itu melihat tangan Taehyung yang mengusap-usap punggung ponakannya. Berusaha ikut menyalurkan rasa khawatirnya. "Tapi sampai kapan, imo? Kookie kangen kak Yoongi. Kak Yoongi sudah berubah. Kookie tidak mau kak Yoongi yang ini. Kookie mau kak Yoongi yang dulu, huks… huhuhu."

"Oh, sweetheart. Kalau kak Yoongi melihat Kookie yang menangis, nanti kak Yoongi juga sedih. Ayo sayang, jangan menangis supaya nanti saat pulang kak Yoongi melihat Kookie yang gembira. Oke, sweetheart? Kita harus kuat untuk kakak, kalau kita sedih, kakak juga akan sedih. Kalau kita menangis kakak juga akan menangis. Jadi, Kookie sayang, ayo berhenti nangisnya dan tersenyum untuk imo juga Taehyung, ne?"

Jungkook memandang ragu bibinya, namun kemudian ia menuruti kemauan imo kesayangannya. Namja berambut hitam itu menghapus air matanya dan tersenyum lemah. Heechul dan Taehyung memaklumi. Mereka masing-masing mengusap pipi dan punggungnya. Kemudian wanita yang merupakan kakak dari Seokjin meminta Taehyung untuk membawa Jungkook ke kamarnya.

"Kamu istirahat dulu ya, sweetheart. Biar Taehyung yang menjagamu, hm? Taehyung juga jangan macam-macam, arra?"

"Siap, ahjumma. Ayo Kookie."

Pun keduanya meninggalkan ruang keluarga menuju kamar, menyisakan Heechul yang masih menunggu putranya bersama ponakannya yang lain. Saat ia mendengar suara langkah kaki dari pintu depan, Heechul segera bangkit dan menyusul ke arah suara itu. Terlihatlah Kyuhyun, putranya yang menggendong Yoongi di belakang tubuhnya dengan selimut yang masih melilit.

"Pelan-pelan bawa Yoongi ke kamar, Kyu. Nanti umma menyusul. Umma harus pelan-pelan memberitahu imo-mu. Dan juga jangan sampai Kookie melihatmu dulu, arra?"

Kyuhyun hanya mengangguk dan membawa sosok yang tertidur di belakang punggungnya naik ke atas, lagi-lagi menyisakan Heechul yang hanya bisa berharap semua akan baik-baik saja.

xxxXXXxxx

Beberapa jam setelah itu, suara ketukan dari pintu depan terdengar. Seokjin yang saat itu tengah terduduk di ruang tamu sembari berpikir tentang kondisi anak sulungnya dan juga menunggu sampai sang suami pulang, segera saja beranjak untuk menerima tamu yang datang. Ketika ia membuka pintu, terlihatlah dua sahabat putra sulungnya yang sangat ia kenal, Sungyeol dan Hoseok. Mereka tersenyum pada Seokjin begitu ceria, membuat wanita itu tak rela jika harus membagi pedihnya pada mereka.

Seokjin balas tersenyum pada dua pemuda yang sudah ia anggap seperti anak sendiri. Setelah itu keduanya pun menyapanya masih dengan senyuman yang terpatri di bibir masing-masing. "Malam bunda~ Our Sugar-nya ada? Yeollie dan Hosiki sengaja membawakannya dua kotak cheesecake nih, bun."

Wanita cantik itu membawa keduanya masuk, memimpin mereka ke arah dapur untuk menaruh satu kotak cheesecake ke dalam kulkas dan satunya lagi disajikan di atas piring. Ia masih diam tanpa menjawab pertanyaan Sungyeol, dan namja tinggi juga namja lain yang gemar mengganggu Yoongi itu mengernyit, ada apa sebenarnya yang terjadi di sini? Mengapa si bunda kelihatan sedang menyembunyikan sesuatu?

"Bunda?"

"Kak Yoongi sedang sakit," ujarnya pelan tanpa melihat ke arah dua sahabat putranya. Ia sibuk membuatkan minum untuk mereka bawa ke atas. "Tapi sekarang keadaannya sudah agak baik."

Sungyeol langsung maju dan berusaha untuk membalikkan badan ibunda sahabatnya itu. Berusaha selembut mungkin meminta penjelasan dari sosok rapuh di depannya ini. "Bunda? Apa yang terjadi? Bagaimana bisa Suga sakit?"

"Entahlah." Seokjin hanya mengangkat bahu lalu mengambil minuman yang tadi ia buat, ia sandingkan dengan sepiring kue keju yang dibawa tadi, ditatanya di atas nampan kemudian memberikannya pada Hoseok. "Kalian naiklah. Tapi jangan berisik, arra? Kak Yoongi sedang tidur, dan bunda pikir ia perlu itu."

"Bun?"

"Naik saja, ne?"

Sungyeol hanya tersenyum lembut, mengangguk kemudian dengan perlahan meninggalkan dapur di mana Seokjin masih berdiri di dalamnya. Hoseok mengikuti di belakangnya, membawa nampan sambil terus melempar tanda tanya pada dirinya sendiri dalam hati.

"Ada apa sih sebenarnya? Bagaimana bisa si Suga sakit?"

"Kalau aku tahu aku takkan sediam ini, bodoh."

"Yeee, malah marah-marah. Dasar tiang."

"Diam, jangan mengajakku bertengkar."

"Iya, iya. Judes banget."

"Hopeless abadilah kau di neraka."

"Wek."

Diselingi pertengkaran kecil seperti itu, mereka akhirnya sampai di depan kamar Yoongi, yang sepertinya sangat sunyi di dalam. Saat membuka pintu dan menginjakkan satu kaki di sana, membuka lebih lebar pintu mahogani tersebut, dengan jelas keduanya bisa melihat seseorang tengah duduk di samping ranjang sambil mengganti kompresan yang ada di dahi sahabatnya.

Sungyeol mengernyit seraya bertanya dalam hati siapa sosok itu. Namun kemudian seolah tahu ada eksistensi lain di dalam kamar tersebut, sosok yang tadi membelakangi mereka beranjak untuk berdiri dan memutar badan, sepenuhnya menghadap ke mereka. Entitas di dekat ranjang sempat mengernyit sebelum akhirnya memasang tampang seolah ia mengenal mereka.

"Sungyeol dan Hoseok?" sosok itu tiba-tiba bersuara membuat keduanya mengernyit namun mengangguk. "Senang bertemu dengan kalian."

"Uhmm… nuguya?"

"Kuharap kalian tidak berpikir kalau aku pacar baru sahabat kalian."

"Mana mungkin!"

"Oh, oke. Setidaknya aku sekarang tahu kalau kalian benar-benar mengenal Yoongi."

"We are."

Sosok itu tertawa lalu melirik ke arah Yoongi yang masih tertidur, membungkuk sedikit untuk mengusap rambutnya yang basah sambil tersenyum lirih. "Aku Kyuhyun."

"Kyu-hyun?"

"…"

"AH! Hyung kakak sepupunya Yoongi yang tinggal di Jepang itu?"

Kyuhyun hanya mengangguk tanpa mengalihkan pandangannya. Kemudian ia merasa dua orang lainnya dalam ruangan itu mendekat ke arahnya. "Ne, Kyuhyun hyung? Boleh kami bertanya?"

"Hm?"

"Apa… yang terjadi? Bagaimana bisa Yoongi tiba-tiba sakit padahal tadi siang dia masih sehat-sehat saja saat bersama kami," tanya Sungyeol sambil menatapi sahabatnya yang kini masih terlelap. Napasnya yang terdengar berat seolah menjadi satu-satunya hembusan yang ada di sana. Hoseok sudah menaruh nampan yang ia bawa lalu ikut bergabung dengan duduk di sisi ranjang yang lain.

Kyuhyun diam sesaat, namun kemudian ia buka suara. Nadanya terdengar sangat pelan, seolah ikut merasakan sakit dan menunjukkan kekecewaannya pada dunia. "Aku menemukannya di pinggir trotoar dekat halte bis. Kalian tahu apa yang sahabat kalian lakukan di sana?"

Keduanya sontak menggeleng sambil terus menanti apa yang akan diberitahukan sosok itu. Mereka bisa melihat Kyuhyun menghela napasnya, seolah ada beban berat yang ia pikul, atau seolah ia tengah menahan pedih yang muncul. "Kalian percaya jika aku menemukannya berjongkok sambil menyembunyikan wajahnya, dan saat kupanggil—dia mendongak, oh Tuhan, matanya bengkak dan wajahnya basah air mata. Dia menangis, Sungyeol-ah, Hoseok-ah. Sahabat yang kalian kenal cuek dan dingin, ya… dia menangis sendirian berharap seseorang akan datang untuk menghapus tangisnya. Dan aku tahu itu bukan aku ataupun kalian, tetapi… Jimin."

Sungyeol langsung tergagap. Tangannya mengepal erat meremas alas ranjang yang ia duduki. Bibir bawahnya ia gigit kencang, menahan perih yang muncul tiba-tiba. Hoseok sendiri menyalahkan dirinya karena ia tidak berusaha untuk terus memaksa Yoongi agar pulang bersama dengannya atau Sungyeol. Karena kalau Yoongi bersama mereka, ini semua takkan terjadi.

"Aku—"

"Jangan sedih. Yoongi akan tambah sakit jika kalian seperti itu."

"Kyuhyun hyung, kami…"

"Kuat dan tangguhlah kalian berdua. Seandainya ini kasus kriminal, kuharap kalian akan terus ada di sampingnya sekalipun kalian tahu Yoongi adalah si tersangka. Kuharap kalian sedikit buta untuk berada dipihak yang salah. Tapi bukankah sahabat memang begitu?"

Sungyeol makin menggigit bibir bawahnya namun ia mengangguk. Karena pada dasarnya, ia memang selalu berpikir apapun yang terjadi ia akan tetap berdiri di samping sahabatnya. Sekalipun ia harus kehilangan sesuatu yang paling berharga sekalipun.

"Terima kasih, Sungyeol-ah, Hoseok-ah… untuk selalu ada untuknya."

"Anni… kami tahu apa yang harus kami lakukan, hyung. Dan Yoongi… kami tahu kami takkan bisa meninggalkannya sendirian," Hoseok menyahut karena Sungyeol sibuk bergeming dalam pedih. Kyuhyun hanya memaklumi, pun dia akhirnya memutuskan untuk berlalu dari kamar bernuansa abu-abu tenang itu.

"Good luck, kalian."

"Terima kasih, hyung."

Dan sepeninggal Kyuhyun yang pada akhirnya memberi mereka ruang untuk berpikir—juga mencerna semuanya, tangis Sungyeol langsung pecah. Ia bersingut lebih dekat untuk bisa mengganti kompresan pada dahi sahabatnya, mengabaikan air mata yang sudah mengalir bebas di kedua pipinya.

Bibirnya ia gigit keras, Hoseok di sebrangnya mengusap bahu sang sobat seolah memintanya untuk tenang. Setetes-dua tetes air mata jatuh tapi Sungyeol tak susah payah menghapusnya. Ia sudah tak fokus lagi untuk melihat apapun dan isakannya makin keras yang mau tak mau membuat Hoseok pindah ke sampingnya.

"Yeol, demi Tuhan kendalikan dirimu."

"Mana bisa, Hoseok, mana bisa? Suga… apa kau dengar yang Kyuhyun hyung katakan? Kalau tadi sore kita memaksanya, ini semua mungkin tidak mungkin terjadi. Oh, Tuhan… kita tidak ada disaat ia butuh pertolongan kita. Kita membiarkannya menangis di sana. Sendirian, Hoseok, sendirian!"

"Kau pun juga dengar tadi. Yang diharapkan Suga bukan kita atau siapapun tapi Jimin. Yeol, demi apapun! Bisakah kau kontrol dirimu dan kita pikirkan ini dengan kepala dingin?"

Sungyeol langsung bergeming namun masih menangis. Satu tangannya terangkat untuk menghapus air mata yang masih tersisa di pipi sahabatnya. Bahkan dalam tidur pun, Yoongi masih memilih untuk menangis menyuarakan sakit dan pedihnya.

"Aku ingin ada di sana, menjadi sandarannya saat ia menangis. Demi Tuhan kita bilang padanya bahwa kita akan ada kapanpun dia butuh. Tapi nyatanya, Hoseok! Sore tadi kita membiarkannya sendirian! Kita ingkar janji dan kau memintaku tenang. Demi apapun, Hoseok. Aku kecewa pada diriku sendiri. Aku—apa yang harus kulakukan sekarang? Aku tidak tahu—huks… aku—"

"Sssttt… tenanglah, Yeol, tenanglah. Kalau kau makin menangis, Suga akan terbangun dan ikut khawatir melihatmu. Kau tidak mau membuatnya sedih, bukan? Sekarang yang harus kita pikirkan adalah… bagaimana membantunya. Membantu Suga menjadi dia yang dulu dan… keluar dari zona ini."

"Bagaimana?"

"Aku berpikir mungkin pacarmu mau sedikit ada di pihak kita. Tapi… itu mustahil, bukan?"

"Oh, entahlah. Aku lelah bertengkar dengannya jika kami sudah mulai membicarakan Suga dan Jimin."

Dan Hoseok dibuat diam. Pun keduanya, kembali memfokuskan pandangan mereka pada sang sahabat yang masih nyenyak terlelap.

"Cepat sembuh, Suga… kau tahu kami akan selalu membantumu."

Sedikitnya mungkin Sungyeol berpikir, tidak ada salahnya jika ia mencoba untuk membujuk Myungsoo bukan? Karena ia akan melakukan apapun untuk mengembalikan sahabatnya seperti yang dahulu ia kenal. Melihat Yoongi yang seperti ini, adalah siksaan sendiri untuknya. Dan Sungyeol tahu bukan hanya dia yang tak nyaman. Namun seluruh orang dalam bangunan ini, juga entitas lain di sampingnya. Sungyeol berharap sedikitnya bisa membantu… membawa kembali kehangatan yang pernah ia rasakan di kamar ini… atau di rumah yang sudah ia anggap seperti rumah sendiri.

.

.

.

Beberapa hari setelah itu, Sungyeol benar-benar bicara. Pada sang kekasih, yang merupakan kakak dari Jimin juga.

"Myung, ayolah! Kau sudah dengar tadi dariku, bukan? Jimin salah paham. Dia itu kakak sepupunya Suga, dan aku berani bersaksi kalau Suga itu juga mencin—"

"Yeol, hentikan."

"Myungsoo, please? Sudah cukup kita menghukumnya. Sudah cukup dia menghukum dirinya sendiri. Apa dia tidak boleh meminta satu kesempatan terakhir?"

"Sungyeol. Bisakah kita tidak membicarakannya?"

"Tapi Myungie—"

"Bukan urusanku. Aku tidak peduli. Kalaupun mau, biarkan dia usaha sendiri. Jimin pergi untuk berobat, Yeol. Aku lebih mengutamakan kesehatannya daripada hal seperti ini."

"Kalau begitu kau bisa memintanya kembali setelah ia selesai berobat, bukan? Kau lihat sendiri waktu itu Suga menangis. Apa itu belum cukup—"

"Lee Sungyeol hentikan!"

Namja tinggi itu langsung terdiam saat sang kekasih membentaknya. Ia menatap sosok di depannya terkejut. Mereka memang sering bertengkar, tapi ketahuilah bahwa hawa pertengkaran sekarang lebih terasa dibanding sebelum-sebelumnya.

"Berhenti merengek tentang Min Yoongi. Aku tidak peduli. Kenapa kita harus membicarakannya disaat kita bertemu? Mereka sudah dewasa dan biarkan mereka urus masalah mereka sendiri. Dan Min Yoongi bukan anak kecil yang harus selalu kau bantu, Yeol."

"Myung…" Sungyeol merasakan betapa dinginnya nada suara yang Myungsoo pakai. Hal itu membuatnya meringis. Selama apapun Sungyeol mengenal sosok itu, jika Myungsoo sudah menggunakan nada tersebut, namja tinggi itu merasa ia tak seharusnya memulai ini. "Kau tahu Suga sahabatku. Dan kau juga tahu kalau dia—mencintai adikmu. Apa kau tak ingin Jimin bahagia mengetahui ini?"

"Apa peduliku? Jimin juga adikku, Yeol. Kalau kau memang berdiri di pihaknya, biarkan aku berdiri di pihak Jimin sekalipun aku telah melihat kebenarannya."

"Myungie demi Tuhan—"

"Lebih baik kita jangan bertemu dulu untuk sementara waktu."

"Myungsoo—"

"Semua pertemuan kita akan berakhir seperti ini, Sungyeol. Kau akan membela Yoongi dan aku membela Jimin. Kita ada di pihak yang berbeda dan itu hanya akan membuat kita jauh. Sebelum semuanya makin buruk. Lets take a break for awhile. Tidak bertemu, berkomunikasi atau apapun itu supaya kita—"

"Andwaeyo! Andwae! Apa harus seperti itu pemikiranmu?" Sungyeol membalik badan Myungsoo agar menatapnya. Matanya sudah memerah dan namja di depannya hanya memasang tampang dinginnya yang biasa. "Kau ingin kita putus?"

"Tidak. Aku hanya ingin kita membuat jarak untuk sementara waktu, Yeol. Kau biarkan aku berpikir begitu juga sebaliknya. Apa kita bertemu hanya untuk membahas masalah orang lain disaat kita sendiri punya masalah? Maka dari itu lebih baik kita—"

"Tidak mau. Andwae, andwae, andwae! Oke. Oke—aku akan berhenti. Aku tidak akan membicarakan siapapun termasuk Suga dan Jimin kalau kita bertemu, jadi—tidak. Tidak perlu… break, kan?" Sungyeol menggigit bibir bawahnya keras sampai hampir berdarah. Tak peduli air mata sudah mengalir, sekalipun ia berpikir bahwa ia siap untuk kehilangan sesuatu yang berharga baginya, namun tidak sekarang. Tidak ketika Sungyeol justru merasa ia butuh Myungsoo bersamanya.

Myungsoo yang melihat kekasihnya menangis merasa tak tega. Ia menghela napas lalu menangkup kedua pipi Sungyeol yang basah. "Oke, oke. Sssttt, jangan menangis lagi, hm?"

Sungyeol hanya mengangguk meresponnya dan menyamankan diri dalam dekapan Myungsoo. Pun dalam hati sejujurnya ia merasa sakit. Tuhan, demi apa ia harus menahan semua ini sendiri? Hidupnya seakan dipaksa untuk dibagi. Antara Myungsoo dan Yoongi… dua pilihan yang tak mungkin ia pilih secara asal. Dan apakah ia benar-benar harus berdiam diri?

"Lets talk about something else? Ne? Mianhe…"

xxxXXXxxx

Keesokannya ketika ia bertemu Hoseok yang langsung mempertanyakan soal matanya yang merah, Sungyeol hanya melengos tanpa menjawab. Ia berjalan pelan bersama sang sahabat ke arah kelasnya, lalu berbelok arah meninggalkan Hoseok di koridor yang menatapnya khawatir.

"Oi tiang! Kalau ada masalah cerita! Jangan mengikuti jejak Suga, deh!"

"Berisik. Masuk kelas sana."

"Kau bertengkar sama Myungsoo? Hei! Apa saranku yang membuatmu dan dia—"

"Berisik, Hopeless! Dilarang berteriak di koridor! Bye!"

Pun namja berambut hitam itu hanya mengernyit, dan berharap… Sungyeol dan segala sesuatunya akan baik-baik saja.

xxxXXXxxx

Hari-hari berikutnya mereka bertemu, Sungyeol yang biasa mengoceh tentang apapun berubah diam. Myungsoo yang duduk di sampingnya menghela napas lelah. Mereka memang tidak membahas soal Yoongi ataupun Jimin lagi. Namun jika seperti ini, Myungsoo harus apa?

Namja tampan itu membanting remote televisi yang ia pegang ke meja di depan mereka. Sungyeol terlonjak dan menatap bingung kekasihnya. "Myung?"

"Sudah cukup."

Namja tinggi itu menelengkan kepalanya.

"Sudah cukup! Mau sampai kapan kau diam? Kita memang tidak membahas Jimin ataupun Yoongi, dan kau! Teruslah diam, Yeol. Diam dan diam saja jangan bicara apapun. Apa masalahmu sekarang? Masih berusaha mencari cara agar aku membujuk Jimin—"

"…huks…" Myungsoo langsung berhenti berteriak saat Sungyeol menangis lagi. Ia menghela napas kembali kemudian duduk di samping Sungyeol, tanpa berniat menenangkannya.

"Menangis lagi? Sejak kapan kau jadi cengeng, hm?"

"Mianhe… mian-he… huks. Aku—"

Myungsoo bergeming.

"—aku hanya khawatir pada bunda. Hoseok memberitahuku kalau bunda sakit. Aku… aku sangat mengkhawatirkannya. Aku dan Suga berteman sejak lama. Dan saat aku sakit, b-bunda selalu menjengukku dan ikut merawatku bersama eomma. Dan sekarang—bunda… huks… sakit… aku tidak tahu apa yang huks… h-harus kulakukan. D-ditambah Yoongi yang m-masih demam. Ugh…"

Runtuh sudah pertahanan yang Myungsoo buat untuk tidak merengkuh Sungyeol, menenangkannya. Walau bagaimanapun, sosok yang Sungyeol khawatirkan, sekalipun dia ibu Yoongi, tetaplah sosok seorang ibu yang harus ia hormati.

Myungsoo merengkuh kekasihnya, sembari membisiki kata-kata yang akan membuat sosok itu lebih baik. "Ssstt… mianhe, mianhe, mianhe. Iya, baiklah. Ayo bantu Yoongi. Aku akan membantumu, membantu Yoongi, yang berarti membantu bunda. Sekarang berhenti menangis dan kita menjenguknya, hm?"

Sungyeol balas memeluk Myungsoo, ia menggeleng dalam pelukan itu. "K-kau tidak perlu m-melakukan sesuatu y-yang kau tidak—"

"Tidak. Aku mau. Oke, aku sadar sekarang. Aku salah. Ayo bantu Yoongi, aku akan berusaha untuk membujuk Jimin. Berhentilah menangis karena kau menyakitiku dengan itu."

"Terima kasih… huks… Myungie, terima kasih…"

Pun kemudian, Myungsoo membawa sosok itu menjenguk ibunda Yoongi, sekaligus memantapkan diri bahwa ia… sedikitnya ada di pihak sosok itu sekarang. Untuk membantunya… dan mungkin sedikit memberikan kebahagiaan pada Jimin. Jika ia tidak salah mengambil langkah kali ini, semoga saja ini bukan malah mengantarkan adiknya lagi ke pinggir jurang yang terjal. Yang menyakitinya, ataupun menghancurkannya. Ya, semoga saja bukan.

.

.

.

Waktu terus berjalan, bulan pun berganti, dan hidup Min Yoongi kini telah benar-benar berubah dari apa yang sesungguhnya. Musim gugur yang datang, menemaninya larut dalam alam kenangan. Yoongi jadi lebih suka duduk terpekur menghadap jendela kamar, atau sesekali menggerakkan jari-jemarinya untuk menuliskan sesuatu di lembar-lembar kertas kosong yang ia jumpai.

Setiap paginya, Yoongi akan terbangun dengan mimpi yang sama. Di setiap kesempatan, Yoongi akan berharap bahwa paling tidak sedikit saja –eksistensi seorang Park Jimin akan hadir lagi dalam hidupnya. Namun apa daya? Semua sudah berubah dan Yoongi takkan bisa melakukan apapun selain menerima kenyataan yang nampak di depannya.

Ia seakan bukan dirinya. Ia lebih menutup diri, dan walaupun dalam hati ia berharap ia bisa menjadi dirinya kembali, itu semua takkan mungkin. Tubuhnya mengkhianati otaknya, otaknya sendiri mengkhianati pemikirannya. Ia tak mengerti lagi. Karena sejujurnya apa yang paling ia inginkan dalam hidup, hanyalah kehadiran Jimin yang bahkan eksistensinya sudah tidak ada lagi di kota yang sama dengannya. Dan penjelasan Sungyeol tentang sosok itu, semakin dan semakin menghancurkan Yoongi menjadi serpihan-serpihan kecil.

Yoongi jadi jarang ke kampus karena hal itu mengingatkannya akan Jimin. Dia malah meminta untuk pindah dari sana, tetapi sang ayah menentang keputusan itu. Beliau bilang, bukan seperti itu caranya melupakan seseorang. Bukan dengan benar-benar berusaha menjauhi segala sesuatu yang berhubungan dengannya, namun Yoongi harus menerimanya. Bukan benar-benar menghindarinya.

Yoongi bahkan meminta untuk pindah kamar. Demi Tuhan kamar ini… ia seakan masih bisa mencium parfum yang Jimin tinggalkan. Dan hal itu membuatnya mabuk. Pun ayahnya selalu berusaha memperingatkannya, bahwa ia tak bisa lari dari kenyataan. Yoongi tetap mendiami kamar itu dengan mimpi-mimpi dan perasaan paranoid yang sama setiap pagi dan harinya. Sungguh, hal itu lebih menyakitkan dibanding harus memotong nadi dengan pisau. Namun sekali lagi, kuat. Hanya itu yang ayahnya katakan. Yoongi harus kuat apapun keadaannya.

Mungkin pagi itu Yoongi terlalu lelah, dengan mimpi yang sama yang selalu menghantuinya. Ketika ia terbangun, Yoongi langsung memeluk tubuhnya yang gemetar. Meringkuk merasakan entah rasa apa yang mengalir di sekujur tubuhnya. Ia kedinginan, ia merasa begitu. Namun yang terpenting adalah betapa kini ia benar-benar mengingat dengan jelas setiap sentuhan yang Jimin berikan padanya di hari itu. At their first time, yeah. Yoongi bisa merasakannya seakan ia mengulangi kejadian yang sama.

Yoongi lalu beranjak ke kamar mandi dengan langkah tergesa. Ia langsung menyalakan air untuk mengisi bath up kemudian masuk ke dalamnya. Berendam di sana, berharap hal itu akan menghilangkan semua pikirannya mengenai mimpi itu. Namun semakin lama Yoongi terlarut, semakin ia merasa tangan tak kasat mata menyentuhnya. Yoongi menenggelamkan tubuhnya sebatas hidung, entah apa yang merasukinya, tangannya turun ke bawah untuk menyapa miliknya yang menegang. Merabanya, membelainya, memijatnya pelan. Matanya tertutup merasakan friksi yang timbul, sambil otaknya didoktrin untuk terus berpikir seolah Jimin yang tengah memanjanya.

Perutnya mengejang seketika, hasrat untuk memuntahkan cairan datang membuat Yoongi menggigit bibir bawahnya keras, bahkan hampir berdarah. Dan di saat kesadaran ada diambang batas akibat meraih puncak kenikmatan, hanya satu nama yang bisa Yoongi bisikkan. Dengan lirih, dengan penuh harapan bahwa hal ini bukan hanya sekedar mimpi.

"Jimin-ah…"

Karena setelahnya, Yoongi kembali menghadapi ketiadaan yang tak kunjung berhenti membawanya larut dalam angan dan kenangan tentang sosok yang dirindukannya dan dicintainya. Dalam perih dan sakit yang terus terpatri di dasar hati dan jiwanya.

Sebegini sakitnya kah merindukan seseorang?

Di saat kemarin kau masih bilang kau mencintaiku.

Lalu esoknya kau pergi meninggalkanku.

Hari-hari berikutnya aku pun menangisimu.

Ne, Jimin-ah, sejahat itukah cinta memperlakukanku?

.

.

.

Seokjin terus-menerus memandang ke arah lantai dua. Hari ini pun, Yoongi memutuskan untuk tidak langsung bergabung sebelum ia naik dan memanggilnya. Memang tadi Seokjin sudah naik ke atas dan mengecek keadaan putranya, namun mengintip Yoongi yang masih terlelap di ranjangnya membuatnya mengurungkan niat untuk membangunkan sosok itu. Seokjin kembali berlalu ke bawah, untuk menyiapkan keperluan dua orang terpenting lainnya pagi itu.

Namun ia mulai diliputi rasa khawatir lagi. Seokjin secepat kilat beranjak ke lantai atas untuk membangunkan putra sulungnya, dan memeriksanya. Ketika memasuki kamarnya tak melihat siapapun di atas ranjang, Seokjin segera masuk dan mulai mencari keberadaan Yoongi.

Ia mengalihkan pandangannya dan jatuh pada pintu kamar mandi yang tertutup. Ia mendekati pintu itu lalu mengetuknya, berharap Yoongi memberikan respon untuk setidaknya membuat Seokjin merasa lega bahwa tak ada apa-apa. Namun sudah beberapa puluh kali wanita itu mengetuknya, tak sedikitpun adanya suara sahutan dari dalam.

Seokjin dibuat panik lagi. Ia makin mengetuk kencang bahkan hampir menggebraknya. "Kak Yoongi?! Kakak di dalam? Jawab bunda, kak! Jangan buat bunda khawatir. Kakak Yoongi?! Kakak?! Kakak?! Ayah! Ayah cepat kemari?! AYAH?!" merasa percuma tak mendapat jawaban dari Yoongi, Seokjin beralih memanggil suaminya.

Tak lama Namjoon datang dan langsung bertanya ada apa. "Bunda ada apa teriak pagi-pagi begini?"

"Kakak, yah! Kakak di dalam dan tidak menjawab panggilan bunda. Dobrak pintunya, yah, dobrak. Bunda khawatir… hiks…" Seokjin sudah menangis. Membayangkan apa yang sebenarnya dilakukan sang putra sulung di dalam sana. Namjoon pun cepat tanggap, ia langsung membuka paksa pintu kamar mandi dan keduanya masuk ke dalam. Pun kemudian langsung disuguhi pemandangan di mana Yoongi tak sadarkan diri di dalam bath up.

"KAK YOONGI?!"

Namjoon yang segera sadar dari keterpakuannya, langsung mendekati Yoongi dan mengeluarkan dari sana. Membawanya keluar kamar lalu meletakkannya di atas ranjang, kemudian membiarkan Seokjin mengeringkan putra sulungnya sementara ia memanggil dokter keluarga.

'Tuhan… apa sebegini hancurnya putraku yang terus berpikir semua yang terjadi adalah kebodohan dan kesalahannya? Tidak cukupkah Engkau menghukumnya, Tuhan? Biarkan ia meraih hidup dan bahagianya lagi. Jika memang hanya Jimin yang bisa membuatnya meraih itu semua, tak maukah Kau mengabulkan doa hamba-Mu ini? Untuk putraku… yang sudah terlalu lama menghukum dirinya sendiri. Bisikkan pada Jimin jika dia menginginkan dan mencintainya. Tak bisakah Engkau melakukan itu, Tuhanku?', Namjoon memohon dalam hati. Semoga setelah ini semuanya akan benar-benar berakhir.

.

.

.

Sungyeol duduk terpekur di depan ujung ranjang yang ditiduri sahabatnya. Saat tadi Jungkook menelponnya sambil menangis dan mengatakan kalau sang kakak sakit lagi, Sungyeol dengan tergesa menyambangi rumah sahabatnya ini, dan ketika sampai di kamar Yoongi, pertahanannya hancur kembali. Lagi dan lagi, Sungyeol menangis untuk yang kesekian kali. Hoseok sendiri duduk bersandar pada meja belajar yang di atasnya berceceran kertas-kertas dengan tulisan tangan Yoongi di dalamnya. Di tangannya sendiri terbuka buku milik Yoongi, yang ia yakini berisi lirik-lirik atau planning composing lagu. Namun yang mencengangkan, di sana juga terdapat semua isi hati sahabatnya.

Ia membacanya dengan pelan dan seksama, berusaha memahami setiap emosi yang Yoongi keluarkan. Dan demi Tuhan, Hoseok bisa merasakan sakit yang Yoongi tuangkan ke dalamnya. Ia mengisyaratkan Sungyeol untuk mendekat dan ikut membaca apa yang tengah ia baca. Sungyeol hanya mengernyit setelah membalas pesan dari kekasihnya. Ia mendekati Hoseok dan ikut larut dalam kegiatan yang tadi dilakukan sahabatnya.

"INI?!"

"Yap. Ini diary sekaligus buku lirik dan planning seorang Min Yoongi."

"Hell, Hoseok. Aku akan menyelamatkanmu kalau Yoongi berusaha membunuhmu saat ia tahu kau membaca bukunya."

"Oh, ya, tentu harus. Kau harus baca ini, demi deh, Yeol. Sakitnya tuh di sini," Hoseok berucap sambil memukul-pukul pelan bagian dadanya yang dibalaskan toyoran di kepala.

"Jijik ah, Hopeless. Kau kebanyakan nonton drama, ya? Pantas makin menjijikan."

"Sungyeol-tiang-sialan-yang-beruntungnya-punya-pacar-ganteng-tapi-sarkatis. Sudah ah, kenapa jadi mengejekku?"

"Aku sudah berusaha meminta bantuan Myungie, loh, untuk bawa Jimin balik ke sini. Hell, ini sudah di penghujung akhir musim gugur, dan dia hanya bilang Jimin yang menolak untuk kembali."

"Apa kau punya pemikiran yang sama denganku soal tulisan Suga ini, Yeol?"

"Ya dan tidak. Apa sih, Hopeless? Jimin masih salah paham soal kakak sepupunya si Suga. Demi Tuhan kenapa sih mereka berdua itu bodohnya dipelihara? Mit-amit sampai kapan kita yang tersiksa lihat mereka?"

"Ya kau tanya pacarmu juga, sih. Dia tulus membantumu atau tidak? Kau kan tahu sendiri Myungsoo tidak begitu menyukai Suga. Jadi, yah, begitulah pemikiranku."

"Kau tidak tahu saja kalau kami sempat hampir putus karena hal ini," ia mencicit mengucapkan itu. Sembari membalik setiap halaman buku milik sahabatnya itu.

"Suga tidak akan suka mendengarnya. Dan tunggu dulu, matamu merah waktu itu karena—"

"Yeah. Awalnya kupikir aku tidak mau kalau sampai berakhir. Tapi… makin ke sini aku merasa aku sudah tidak peduli sekalipun pada akhirnya kami, ya… putus. Kalau disuruh memilih, aku akan ada di pihak Suga, membelanya apapun yang terjadi. Bicara soal otakmu, tadi apa sih?"

"Aku tidak yakin kau akan mau putus dari Myungsoo. Orang macam kau saja. Oh, aku kepikiran untuk mengirimkan tulisan ini ke Jimin."

Sungyeol mengabaikan kalimat awal sahabatnya, dan justru bertanya soal pemikiran Hoseok itu. "Yang mana?"

"Yang ini…" Hoseok menunjuk tulisan di halaman entah ke berapa membuat Sungyeol langsung menaruh fokusnya di sana. "…so?"

"Apa ini? Baru tahu Suga bisa nulis chessy seperti ini?"

"Orang galau mah apa saja bisa jadi sesuatu, Yeol."

"Hmmm, boleh juga siiiiih."

"Tentukan pilihanmu sekarang?!"

"Memangnya aku lagi ikut acara cari jodoh, apa! Iya, ayo kita lakukan. Hmhmhm, ini juga bisa jadi semacam lirik, kan? Bulan ini kan sedang ada kontes entry lirik lagu tuh di perusahan musik tengah kota. Why do not we send this there?"

"Yakin Jimin akan peka, Yeol?"

"Tidak sih, tapi… kalau memang liriknya diterbitkan dan akan dijadikan lagu… majalahnya akan kukirim ke dia."

"Ya, boleh sih. Tapi, sahabatku, Lee Sungyeol, di sini ada nama Jimin, please, aku masih sayang nyawa belum mau mati karena daku masih jomblo, masih mau mencari pacar dan kebahagiaan untuk kunikmati—owh! Kenapa sih kau suka sekali memukulku?"

"Ma-ti sa-na! Berisik! Iya, oke. Kita kirim saja surat tanpa nama ke Jimin, so?"

"NAH! Yang itu boleh. Ke mana saja otakmu daritadi, Yeol?"

"Hopeless sialan kalau punya ide itu bilang saja apa susahnyaaa?!"

"Sssttt, tiang jangan berisik. Nanti baby Sugar bangun terus melempar lampu meja ke arah sini gimana?"

"Ya, biarkan saja. Dan lampu itu akan mengenaimu dan aku akan tertawa sambil menangis. Puas?"

"Sialan. Sahabat macam apa kau?"

"Sahabat yang akan selalu mengulurkan tangan padamu jika kau jatuh setelah aku puas tertawa, ya, hmmm."

"Goddammit dasar tiang sialan."

Dan Sungyeol hanya tertawa, lalu berlalu mendekati ranjang Yoongi untuk menggantikan kompresan di atas dahinya.

"Cepat sembuh, sobat. Kami merindukanmu."

.

.

.

Musim dingin pun datang tanpa tahu malu. Tanpa peduli jika sebelum musim putih itu menghampiri, hati Yoongi pun sudah beku. Ia sudah merasa bahwa hatinya bukan miliknya lagi. Dan ia merasa ia takkan bisa lagi merasakan hal tentang cinta. Seluruh sakit yang hinggap, membuat Yoongi mati rasa.

Pun sama halnya ketika ia memutuskan untuk berjalan di bawah langit yang tengah menjatuhkan butir-butir putih ke permukaan bumi.

Yoongi berjalan pelan dalam langkahnya. Satu tangannya ia masukkan ke dalam saku, satunya lagi membenarkan letak syal yang bertengger di sekitar lehernya. Di bawah langit yang dingin, Yoongi meninggalkan jejak-jejak kakinya di atas jalanan bersalju, di bawah langit yang masih menurunkan butir-butir putih halus yang pada akhirnya akan meleleh jika menyentuh tangan.

Matanya menatap ke arah Sungai Han yang terlihat hampir beku. Di cuaca yang dingin seperti ini, harusnya ia bergulung dalam selimut hangat di kamarnya, memikirkan esok dan keesokannya ia akan jadi seperti apa. Masih belum bisa bangkit dari rasa kehilangannya, Yoongi merasa ia begitu lemah.

Namun ia tahu, ia harus mengakhiri ini. Biarlah hatinya tetap mencinta sekalipun ia takkan bisa memiliki seseorang yang sudah memegang hatinya. Berharap Jimin baik-baik saja di sana. Dan bahagia. Bahagia tanpanya dan bisa menemukan seseorang yang lebih baik dari dirinya. Yoongi hanya bisa berharap itu dalam setiap doa yang ia kirim untuk Jimin. Yoongi juga selalu mengirimkan doa agar Jimin cepat sembuh. Bersamaan dengan hembusan angin yang selalu berhembus, Yoongi menitipkan harapannya untuk seseorang di belahan dunia sana.

Tiba-tiba angin berhembus dengan kencang. Yoongi merapatkan jaket dan syal yang ia pakai. Matanya masih tak melepas pandangan dari sungai. Ia menghela napas menimbulkan asap putih akibat betapa dinginnya hari itu. Namun ia perlu melakukan ini. Ia perlu untuk mendinginkan kepalanya. Ia perlu untuk menenangkan hatinya. Ia hanya merasa perlu untuk… berada di sini sendirian.

Mengabaikan hawa musim yang terus berhembus, Yoongi mendekati bangku panjang di dekat sana, lalu menjatuhkan diri di atasnya. Bersandar sambil menelusuri cakrawala, membiarkan butiran salju jatuh mengenainya. Hanya untuk kali itu, ia meyakinkan dirinya ini akan jadi yang terakhir ia menjadi orang lain. Tanpa membohongi dirinya sendiri lagi. Namun apakah bisa?

Akankah ia bisa melakukan ini dan menjadikannya nyata?

Angin yang berhembus pun berbisik menyemangati, Yoongi pun terlarut dalam angan yang berusaha ia kubur sedalam mungkin agar tak menyakitinya lagi.

Jimin, Jimin, Jimin…

Sesungguhnya aku sudah lama jatuh.

Sesungguhnya aku merasa malu.

Karena jatuh cinta padamu ada di luar ekspetasiku.

.

.

.

Beberapa hari yang lalu, ketika Jimin selesai menjalani operasi pendonoran ginjal, Jimin mendapat kiriman surat entah dari siapa. Ia yang saat itu tengah berbaring mengistirahatkan tubuhnya, dipaksa rasa penasarannya untuk membaca isi surat itu.

Surat tak bernama, dan ditujukan kepadanya. Siapa gerangan yang mengirimkan ini kepada Jimin?

Mengabaikan sedikit rasa sakit yang mendera, Jimin mengubah rebahannya untuk sedikit bersandar disangga bantal di belakang tubuh, lalu mulai membaca kalimat demi kalimat, bait demi bait, emosi demi emosi yang ditumpahkan dalam secarik kertas itu.

Jimin terpaku dan lidahnya terasa kelu. Seluruh isi hati yang ditulis di atasnya, diisi dengan emosi yang berusaha ia tumpahkan agar tersampaikan. Jimin hampir menangis, dan ia hanya bisa mengingat satu nama. Namun apakah boleh ia berharap bahwa ini benar-benar dia?

Tangannya meremat tanpa bermaksud membuat cacat surat itu, Jimin mengambil ponselnya dan menghubungi hyungnya. Berharap, sang hyung mau membantunya mengurus kepulangannya ke Korea dalam beberapa jam lagi untuknya.

.

.

.

"Sugar kau di mana?"

"Sungai Han."

"Di cuaca dingin begini?"

"Jangan. Berisik. Kau urus saja kencanmu dengan si tuan repot itu."

"Iya, iya. Aku ke sana, ya?"

"Mau apa. Kalau bawa pacarmu mending kau enyah bersamanya."

"Jangan begitu. Aku sudah hampir sampai, loh."

Yoongi hanya mendengus mendengarnya. Ia memainkan salju dengan kakinya sambil terus mendengarkan sahabatnya berceloteh. Tanpa mengindahkan adanya pergerakan di dekatnya, tanpa menyadari adanya entitas lain di sekitarnya. Yoongi masih mendengarkan Sungyeol yang terus dan terus bicara.

Sampai ketika sosok di line sebrang mengatakan bahwa dia sudah ada di area Sungai Han itu, Yoongi hanya celingukan asal tanpa benar-benar berniat. Dan kemudian Sungyeol menyuruhnya untuk melihat ke arah belakang, mengatakan dia sudah sampai.

"Mana kau tidak—" namun yang ia lihat, bukanlah sosok tinggi semampai sahabatnya yang suka mengoceh itu. Tetapi yang ia lihat, adalah sosok yang tidak beda jauh tinggi dengannya. Sosok yang sangat ia rindukan, sosok yang sudah memegang teguh hatinya, di mana sosok itu memakai pakaian musim dinginnya, dihiasi senyuman di wajahnya.

Yoongi refleks menjatuhkan ponselnya kemudian bibirnya mulai bergetar seolah ingin menyuarakan sesuatu. Sembari tubuhnya bergerak sendiri untuk memutari bangku dan maju ke tempat di mana orang itu berdiri.

"Jimin-ah… Jimin-ah…" dan ketika tangannya berhasil melabuhkan diri di leher sosok tersebut, Yoongi membenamkan wajahnya, menyembunyikan tangisnya yang mengudara. Berusaha meyakinkan diri bahwa Jimin nyata di depannya. "Jimin-ah… Jimin-ah…"

"Ssst, hyung. Ya, ini aku. Ini aku Jimin dan aku tidak akan pergi lagi darimu."

Jimin memeluk erat sosok dalam dekapannya, kemudian membawa bibirnya mengecup pucuk kepala sosok itu. Memberikan keyakinan bahwa dia memang nyata ada di sini, memberikan kepastian bahwa ia tidak akan pergi lagi. Karena sampai saat ini pun, Park Jimin masih dan akan terus mencintai seorang Min Yoongi.

"Kau di sini… berarti kau sudah sembuh? Katakan ya dan aku akan benar-benar berterima kasih pada Tuhan karena mendengar doaku?" Yoongi membawa wajahnya yang sembab untuk mendongak, menatap Jimin yang juga menatapnya. Sosok itu hanya tersenyum memberikan jawaban. Dan bagi Yoongi, itu semua sudah lebih dari cukup untuk pertanyaannya.

"Terima kasih… terima kasih karena kembali. Terima kasih… karena bertahan dan mau menemuiku lagi. Jimin-ah, aku…"

Jimin menangkup kedua pipi Yoongi memotong ucapan sosok itu, dan berbisik lirih di depan bibirnya, "Aku tahu hyung. Aku tahu dan sekarang aku mengerti. Maaf atas putusanku selama ini. Maaf… maaf dan aku mencintaimu, hyung. Selalu dan tidak akan pernah berhenti."

Detik selanjutnya, Jimin membenturkan bibirnya ke bibir tipis Yoongi. Menciumnya lembut, hanya sekedar menempel tanpa lumatan. Hanya ingin memberitahu bahwa Jimin ada di sini dan apa yang ia ucapkan benar. Berusaha kembali meninggalkan kesan untuk ciuman mereka. Ciuman kedua yang mereka bagi.

Yoongi mulai sadar dan berani menggerakkan bibirnya. Jimin yang mendapat perlakuan demikian berpikir bahwa Yoongi menerima ciuman ini. Maka pemuda berambut orens itu memperdalam ciumannya. Bibirnya memberikan lumatan pada bibir sosok di depannya. Mengemut, memagut dan berusaha menyalurkan seluruh rasa cinta yang ia miliki.

Tak ubahnya dengan Yoongi, ia mengeratkan pelukannya di leher Jimin, membiarkan sosok yang lebih muda darinya itu mengambil alih. Menikmati ciuman pertama (kedua) mereka yang sungguhan. Dengan masing-masing hati yang menginginkan. Dan saat oksigen semakin menipis, pun seolah Jimin mengetahuinya, dua bibir itu mengadakan jarak. Dalam sempitnya jarak itu, Yoongi berbisik lirih hanya kepada Jimin. Walau ia yakin angin akan selalu mendengarnya, dan mungkin dunia pun begitu. "Saranghae… nado saranghae, Jimin-ah."

Pun cinta… yang kini terus membuat mereka hangat di bawah langit musim dingin, dengan sekali lagi mereka menautkan bibir, mengabaikan dua entitas lain tak jauh dari mereka. Yang bersandar pada batang pohon gundul dekat sana. Satu senyuman hadir di kedua sudut bibir salah seorang yang melihat kejadian itu, sambil matanya melirik ke arah sampingnya. "Thank you, Myung. Untuk membawa Jimin kembali ke sini."

Sosok yang dipanggil Myung itu hanya mengangkat bahu dan meraih tangan sosok lainnya. "Jimin tiba-tiba menelpon untuk mengurus kepulangannya. Dan aku yakin kau juga Hoseok ada sangkut-pautnya dengan itu."

"Sedikit. But~ tetap, gomawo, saranghae~" namja bernama Sungyeol itu menempatkan kecupatan di pipi Myungsoo.

"Hm. Sama-sama dan… love you too."

Pun kemudian keduanya kembali mengarahkan pandangannya pada dua orang terpenting dalam hidup mereka yang masih sibuk berciuman. Seolah mengabaikan salju yang terus turun, mengabaikan hawa dingin yang terus menusuk. Tetapi mereka tak peduli, karena setelahnya Sungyeol menyeret Myungsoo untuk berlalu dari sana, kemudian sosok tinggi itu mulai menghubungi Hoseok dan menceritakan semuanya.

Di bawah langit musim dingin ini, Sungyeol hanya bisa berharap; bahwa setelah ini, semuanya akan baik-baik saja. Untuknya, untuk sahabatnya, untuk semua orang yang selalu bisa jujur pada dirinya sendiri. Ya… hanya itu.

"Hei, Myungie."

"Hm?"

"Kenapa aku merasa mereka ingin saling menelanjangi, ya?"

"Tinggalkan mereka dan urus urusanmu sendiri, Yeol."

"Ish. Iya iyaaaa~ dasar Myungsoo jelek. Terima kasih sekali lagi."

"Hmm. Sama-sama."

.

.

.

Yoongi menemukan dirinya terbangun di atas ranjang king size di ruangan yang ia tidak yakin bisa ia kenali. Tubuhnya terbungkus hangat oleh selimut yang melingkupinya, membuatnya terus mencari jawaban ia ada di mana. Namun satu yang ia cari sekarang ini, di mana Jimin? Demi Tuhan jangan bilang Jimin pergi la—

"Hyung sudah bangun?" Yoongi langsung menoleh ketika suara Jimin menggema. Sosok itu berjalan mendekati Yoongi yang masih berbaring dengan selimut yang melilitnya. Namja bersurai orens itu memberikan kecupan di dahi Yoongi. "Mau makan?"

Yoongi hanya menggeleng dan dibuat mengingat kejadian yang terjadi sebelumnya. Melihat Jimin yang selesai mandi dengan keadaan masih setengah basah, matanya bermuara di mana-mana. Ah, tetapi ia juga jadi berpikir… mereka ini… sekarang apa statusnya?

"Hyung kau melamun?" tiba-tiba wajah Jimin sudah sejajar dengan wajahnya. Di mana satu tangannya menyebrangi tubuh Yoongi dan satunya lagi menyentuh rambutnya, mengelusnya kemudian menciumnya sambil menghirup wanginya.

"Jim—"

"Hm?"

"Sana… jangan dekat-dekat."

"Kenapa?"

"Anniya. Hanya saja—"

"Hanya saja?"

"Rambutmu masih basah dan airnya mengenaiku."

"Oh, ya?"

"Park Jimin kau dengar tidak, sih?"

"Iyaa, iyaa, Min Yoongiku tersayang~" Jimin langsung menegakkan lagi tubuhnya membuat Yoongi bisa bangkit untuk duduk bersandar di kepala ranjang. Memperhatikan bagaimana Jimin mengeringkan rambut, memperhatikan sosok yang kini telah kembali padanya. Saat Jimin menoleh lagi, Yoongi langsung mengalihkan pandangan. Namun tertahan oleh jemari Jimin yang mengapit dagunya, membuatnya bertatapan langsung dengan manik hitam sosok itu. "Terima kasih, hyung… untuk kembali padaku."

"A—"

"Karena sekali lagi kau bersedia kumiliki tadi. Dan sekarang kau adalah milikku dan seterusnya adalah milikku. Iya, kan?"

Yoongi hanya mendengus namun tak membantah. Ia justru memberi kecupan pada bibir di depannya. "Dasar geeran."

"Tidak apa-apa, dong. Kalau orangnya hyung, aku memang harus geer."

"Ya terserah. Boleh aku mandi?"

"Silahkan, periku ya—"

BUK!

"—owh! Ya, kenapa memukulku?"

Namun Yoongi tak menjawab dan hanya berlalu menghilang di balik pintu kamar mandi. Meninggalkan Jimin yang beberapa detik kemudian terkekeh pelan, lalu disambung dengan ungkapan cinta untuk sosok itu. "Yoongi hyung saranghaeee!"

Hening…

Namun beberapa menit kemudian, terdengar bisikan yang masih bisa Jimin dengar. "Nado saranghae, Jimin pabo!"

xxxXXXxxx

Setelah makan malam, mereka memutuskan untuk duduk di sofa kamar hotel yang kini mereka tempati. Tak sedikitpun berniat untuk kembali ke rumah masing-masing dan Jimin juga tak ada pikiran untuk menghubungi mamanya, karena ia merasa sang hyung akan menjelaskan semua keadaan untuknya.

Mereka duduk merapat satu sama lain di mana Yoongi meletakkan kepalanya di bahu Jimin dengan tangan Jimin yang menggenggam erat tangan sosok di sampingnya, meletakkannya di atas paha. Layar datar tak jauh dari mereka menampilkan film aksi yang sama sekali tak mendapat perhatian mereka. Karena Yoongi sendiri pun sedaritadi sibuk melahap kue keju yang dibelikan Jimin untuknya.

Jimin melirik kekasihnya yang asik memakan cheesecake itu. Ya, kekasihnya. Tentunya setelah melakukan kau-tahu-apa tidak mungkin kan mereka masih berstatus mantan? Apa kabar Jimin jika Yoongi tahu pemikirannya itu? Dengan sedikit jahil, Jimin berniat mencolek kue yang ada di atas piring yang dipangku Yoongi, menanti reaksi apa yang akan namja itu keluarkan.

Namun Yoongi sendiri yang melihat ada tangan lain berusaha mendekati dessert kesukaannya, namja mint itu langsung menampik tangan tersebut, memukulnya pelan lalu menatap tajam si pemilik tangan.

"Ya! Jauhkan tanganmu, Jimin."

"Waeyo? Masa aku tidak boleh mencicipinya, hyung?"

"Big no. Semua cheesecake ini milikku, tahu."

"Oh, ya?"

"Hm."

"Berarti kalau aku mencicipinya sedikit kau akan melakukan apa?"

"Tidak akan kubiar—YA!" Jimin sudah mengambil sedikit kue itu kemudian memasukkannya ke dalam mulutnya. Ia memberi seringai pada Yoongi seolah mengatakan bahwa ia bisa melakukan ini.

Yoongi mendengus kesal lalu menaruh piring yang ada di pangkuannya di atas meja. Ia hilang napsu memakan kue itu. Namja berambut mint tersebut pun melipat tangan di dada kemudian bersandar pada badan sofa. Melihat Yoongi yang seperti itu, Jimin makin gencar mengusilinya. Ia pun mengambil cheesecake yang kini tak tersentuh. Namja bermarga Min itu melotot melihat Jimin memasukkan lagi kue keju ke mulutnya.

"Ya, ya, ya!"

Jimin hanya mengabaikan. Sampai ia merasakan ada tarikan pada kerah kemeja yang ia pakai. "Wae?"

"Cheesecake-ku!"

"Oh, ya? Nih, ambil." Jimin menyodorkan wajahnya. Yoongi mengernyit namun tahu apa yang Jimin maksud.

Pelan tapi pasti, Yoongi sedikit membuka bibirnya kemudian memajukan wajahnya ke depan, berusaha menggapai bibir Jimin yang tadi melahap kue favoritnya. Saat bibirnya bersentuhan dengan bibir Jimin, ia seberusaha mungkin hanya mengambil cheesecake itu, namun sayangnya Jimin punya maksud lain. Dengan perlahan, ia menaruh satu tangannya di samping paha Yoongi, dengan kepalanya yang benar-benar miring lalu menyamankan diri untuk menikmati bibir yang tengah menciumnya.

Yoongi sendiri pun langsung menyandarkan dirinya sambil tangannya yang tadi menarik kerah kemeja Jimin berpindah menjadi melingkari lehernya. Mereka berciuman seperti tak ada hari esok. Saling memagut, saling melumat, saling mengemut, seolah ingin saling memakan satu sama lain. Sekalipun niat Yoongi tadi hanya mengambil cheesecakenya, namun apa daya, ia tidak bisa berbohong kalau ia menyukai ciuman yang Jimin berikan padanya.

"Emmh…" Yoongi melenguh dalam ciuman mereka. Pelukannya mengerat, kepalanya ikut bergerak dan ia bisa merasakan Jimin yang mengemut bibir bawahnya, lalu kemudian menelusupkan lidah ke dalam mulutnya.

Dalam sapaan angin musim dingin yang berhembus, di bawah langit malam yang mulai tampak, mereka menikmati penyatuan dua bibir itu tanpa takut ada yang melihat, atau mungkin mengganggu. Dan sejujurnya, Jimin selalu menyukai apapun yang ada pada diri Yoongi, begitu juga sebaliknya.

Ketika napas mulai memberat, seolah oksigen mulai menjauh, Jimin mengadakan jarak di antara mereka, melepaskan bibir yang tadi barusan ia cumbu. Meninggalkan seutas saliva yang menghubungkan bibir keduanya. Mereka saling memandang, Yoongi pun tak melepas pandangan sedikitpun dari mata Jimin. Lalu mereka berdua tersenyum, dan Yoongi yang pertama kali membuat pergerakan, membawa dahi mereka menjadi bersentuhan.

"Kalau saat itu aku tidak salah paham, mungkin aku bisa menciummu jauh sebelum hari ini datang, hyung. Sayangnya… saat aku benar-benar buta dan berpikir bahwa sosok yang waktu itu menghampirimu adalah… pacar barumu. Tidak tahunya dia hanya kakak sepupumu."

Yoongi hanya terkekeh mendengar ucapan Jimin, namun kemudian ia menggigit kecil bibir bawah Jimin. "Kau bodoh, sih. Bodoh, bodoh dan bodoh. Kalau waktu itu kau menghampiriku, mungkin aku tak perlu menunggu sampai musim dingin."

Jimin sedikit menjauhkan wajahnya dari wajah kekasihnya. "Mianhe?"

Yoongi balas menggeleng, masih dengan senyum di bibirnya. "Nado mianhe. Kau tahu aku yang banyak bersalah padamu. Karena itu seharusnya mulai sekarang aku—"

"—harus lebih membuka diri hyung padaku. Ne?"

Sebagai balasan, Yoongi mengangguk. Jimin lalu mengangkat tangannya untuk mengelus pipi orang tersayangnya. "Teruslah tersenyum hyung. Karena dengan tersenyum sekarang aku tahu kenapa Sungyeol hyung dan Hoseok hyung memanggilmu 'Suga'. Soalnya saat kau tersenyum, kau sangat manis bagaikan gula."

"Jangan menggombaliku, bocah."

"Me not."

"Terserah."

Dan keduanya berciuman lagi, kali ini intensitas ciuman mereka semakin meningkat. Yoongi membaringkan tubuhnya sendiri di atas sofa, lalu mulai menarik Jimin setelahnya. Seolah mengerti arti undangan itu, karena sejujurnya hidup dengan anggota keluarga yang kebanyakan tinggal di luar negeri, Jimin tak membuang kesempatan. Ia menindih Yoongi kemudian lanjut mencumbu kekasih hatinya.

Bibir mereka bergerak satu sama lain, saling menaungi, saling berusaha menyalurkan seluruh isi hati. Lidah Jimin kembali menyusup ke dalam mulut Yoongi, menyapa langit-langit beserta giginya, mengeksplorasi keseluruhan goa hangat itu, membuat saliva mereka merambah keluar, membasahi dagu hingga turun ke leher.

Namja berambut orens itu pun menurunkan ciumannya, selagi tangannya bergerak kembali. Berusaha mengingat kejadian hari itu di mana ia memetakan tubuh di bawahnya dalam ingatan. Mencari letak sensitif kekasih hatinya, berusaha membuat Yoongi melenguh karenanya.

Jimin menyibukkan bibirnya di leher Yoongi di mana namja mint itu sendiri agak mendongak memberi akses pada sosok di atasnya. Tangannya memeluk erat leher Jimin, sesekali berpindah menjambak halus rambutnya, berusaha menyuarakan rasa nikmat yang hinggap, dengan bibirnya yang ia gigit menahan desahan yang ingin mengudara.

"Jimh—"

Jimin balas menggigit leher itu sebagai respon dari panggilan tersebut. Tangannya membuka kancing celana jeans yang dipakai kekasihnya, lalu ia bangkit untuk duduk, berniat melepas penghalang di bagian bawah sosok yang dicintainya.

"Jimin…"

Jimin hanya melempar senyuman pada sang kekasih, mengakibatkan garis merah tipis muncul di sekitar pipi Yoongi. Namja bermarga Min itu diam saja saat jeans dan dalamannya dilepas, lalu dibuang entah ke mana. Ia justru kembali menarik Jimin untuk menyatukan lagi bibir mereka. Dalam ciuman yang menuntut, terburu-buru dan penuh gairah akan libido yang mulai meningkat.

Sang dominan melepas lagi ciuman itu, menatap langsung ke arah manik hitam yang juga menatapnya. Saling merasakan napas mereka yang memberat, Yoongi menabrakkan lagi kedua dahi mereka.

Dan disaat itulah Jimin berbisik, "Do you prefer sofa or bed?" suaranya berat dan sarat akan napsu. Napsu yang diliputi cinta yang dalam nan menggebu.

Yoongi hanya memberi tatapan di mana ia berharap Jimin akan langsung mengerti. Karena sejujurnya ia sudah tak peduli lagi. Di manapun tempatnya, asal ada Jimin di sana, bolehkah Yoongi berharap lebih?

"Diamnya hyung kupikir sebagai jawaban bahwa di ranjang lebih baik."

Dan Jimin pun mengangkat sosok sang kekasih, menggendongnya di depan sembari bibir mereka kembali bertaut. Mengabaikan friksi yang dirasa akibat gesekan kejantanan Yoongi dengan dadanya yang terhalangi fabric. Membuat sekujur tubuh meronta hebat, memaksa kewarasannya untuk tinggal dan membiarkan gairah mengambil alih. Karena setelahnya namja bermarga Park itu mencapai kasur yang beberapa jam lalu mereka pakai, ia menaruh kekasihnya lalu langsung ikut menindihnya, menyamankan diri di antara kedua kaki Yoongi yang ia buka.

Sembari menatapi sosok yang selalu bisa membuatnya gila itu, Jimin menggerakkan kedua tangannya untuk membuka satu persatu kancing kemeja yang ia pakai kemudian membuangnya, membuat ia bertelanjang dada. Lalu berlanjut untuk melepas sabuk celananya dan membuka resletingnya. Kemudian ikut menunjukkan kesejatiannya yang menegang.

Yoongi sendiri langsung mengalihkan pandangannya ketika melihat tubuh Jimin. Sejujurnya ia merasa malu, ia merasa panas di pipi setiap kali ada waktu di mana ia melihat tubuh sempurna itu. Dan mungkin, mulai sekarang ia harus terbiasa. Ia pun tak sadar, ketika akhirnya Jimin mulai bersingut untuk mempertemukan kedua kejantanan mereka dalam gesekan yang berhasil membuat keduanya gila.

Pandangan Yoongi kembali terambil alih, ia sepenuhnya menatap Jimin yang juga memandangnya. Kedua tangannya seolah punya otak sendiri untuk bergerak. Ia menarik kepala Jimin untuk menyatukan bibir mereka lagi, membiarkan tangan Jimin mengurut kejantanan mereka berdua.

"Emmhh… hnghhh… hmmphh…" Yoongi mendesah dalam ciuman mereka. Lidah yang saling beradu menimbulkan erangan yang tertahan. Tangan Jimin yang menangkup milik mereka masih bekerja, dan Yoongi merasa ia benar-benar gila. Saat oksigen kembali menjauh, Yoongi membiarkan saliva mereka tumpah, dan melesakkan kepalanya ke bantal yang ia pakai ketika merasakan jari-jemari Jimin menyenggol bola kembarnya. "Ahhh! Jim-minhh…"

Kepalanya seakan berputar, dan Yoongi sudah tidak bisa berpikir jernih. Semua sentuhan Jimin membuat tubuhnya meremang, namun terus ketagihan seolah tak ingin gerakan itu berhenti. "Jiminhh… Jiminhh… Jiminhh…"

Pun ia terus melantunkan nama sang terkasih tanpa menatapnya. Jimin pun tak keberatan, karena melihat Yoongi yang seperti ini, melihat sosok yang ia cintai mendesah di bawahnya, itu semua sudah lebih dari cukup dari apa yang pernah ia minta.

"Yoongi-ya, Yoongi-yalove you… love you so much…"

Ketika dirasa kedua perut mereka mengejang, Jimin meningkatkan intensitas urutannya, juga tangannya bergerak untuk membuat kedua kepala junior mereka bersentuhan, semakin menimbulkan friksi gila yang pada akhirnya menuntun mereka meraih puncak kenikmatan dengan saling meneriakkan nama masing-masing.

Malam itu bulan bersembunyi, hawa dingin yang berhembus mengetuk pelan kaca jendela kamar hotel yang mereka tempati. Dan kegiatan yang mereka lakukan tadi belum berhenti, mereka kembali bergerak satu sama lain, mengisi kekosongan hati yang selama tiga musim berganti begitu hampa. Menyeimbangkan segala hentakan penuh nikmat sembari bibir mendesahkan erangan kepuasan.

Kali itu… bukan break-up sex atau make-up sex yang mereka lakukan. Karena saat itu, mereka memakai seluruh cinta yang mereka punya ke dalamnya, dituang dan dicampur dengan perasaan bahagia yang mereka miliki. Perasaan abadi yang takkan pernah terganti.

xxxXXXxxx

Keesokan paginya, Jimin menggandeng tangan Yoongi menuju lift untuk turun ke lobby, berniat check out. Semalaman mereka di sana, dan mereka yakin keluarga mereka pasti khawatir. Jimin berniat mengantar Yoongi ke rumahnya, namun sepertinya sosok itu tak ingin pulang.

Saat masuk lift, mereka sama-sama menyandar di dinding alat itu. Tangan mereka masih bertaut saling memberi kehangatan. Dan Jimin tiba-tiba berdiri di depan Yoongi lalu mendaratkan ciuman di bibir kekasihnya.

Yoongi yang kaget tentu saja berontak. Demi apapun ini lift dan siapa saja bisa naik.

"Jim… hmmpphh, ya-lep-pashh…" seberusaha apapun untuk menjauh, pada akhirnya Yoongi luluh juga dalam ciuman itu.

Namun lift yang tiba-tiba berhenti membuat keduanya saling memisahkan diri. Seorang namja paruh baya memasuki lift bersama mereka di dalamnya. Jimin di sebelah Yoongi hanya bersiul sembari tangannya masih mengait pinggang sang kekasih. Dan ketika namja tua tadi keluar untuk turun di lantai berikutnya, Jimin kembali membawa Yoongi ke dalam ciuman mereka yang tertunda.

"Jim." Yoongi menahan dada Jimin agar sosok itu tak menciumnya. Namun Jimin memeluknya dengan erat membuat mereka benar-benar dekat. "Ini lift—hmpphh."

Ah, sudahlah. Percuma protes kalau akhirnya ia juga menikmati. Mereka berciuman saling berusaha mendominasi. Tangan Yoongi bergerak sendiri mengalung pada leher Jimin. Tubuh mereka melekat erat. Suara kecupan menggema di dalam lift yang hanya berisi mereka berdua. Kepala saling bergerak ke kanan dan ke kiri. Saliva tumpah ruah menghiasi dagu masing-masing. Dan saat itulah pintu lift kembali terbuka. Yoongi langsung menoleh, matanya bertemu pandang dengan seorang yeoja paruh baya dengan alis yang bertaut.

Yeoja itu memandangi keduanya yang langsung melepas diri namun tak menjauh. Kemudian bertanya pelan, "Boleh aku ikut?"

Yoongi tersedak saat mendengarnya. Namun ia mempersilahkan sosok yeoja paruh baya itu untuk satu lift dengan mereka sambil tersenyum minta maaf. Dan selanjutnya pertanyaan yeoja itu makin membuat Yoongi kembali menelan ludahnya sendiri.

"Kalian pengantin baru?"

"Ehm." Jimin diam-diam menyeringai. Ia mengait lagi pinggang kekasihnya kemudian saling mempertemukan bahu mereka.

"Bu—"

"Iya, ahjuma. Dia istriku."

Yoongi langsung mendelik padanya namun ia abaikan.

"Kalian cocok, loh. Mau keluar berteman dengan salju?"

"Ne. Pagi-pagi sekali istriku sudah membangunkanku dari mimpi indah. Dia katanya ingin main salju."

"Oh, begitu…" lift pun berhenti dan sosok yeoja itu bersiap untuk keluar sebelum memberi selamat dan doa pada mereka. "Selamat untuk kalian, dan semoga bisa punya momongan."

Jimin membungkuk sedikit sembari tersenyum. Ketika pintu lift tertutup lagi, Yoongi langsung mencubit pinggang sosok itu kemudian melipat tangan di dada. Ia bersandar lagi pada dinding lift lalu melempar tanya, "Punya apa kau mengakui aku sebagai istrimu, hm? Dasar bocah mesum."

"Aku? Punya apa? Menurut hyung apa?"

"Kenapa ditanya malah balik bertanya, sih."

"Aku punya cinta, untuk hyung. Yang takkan pernah habis. Makanya—"

"Oke, stop. Isinya bualan semua. Musnah sana, Jim."

"Yakin mau aku musnah?"

"Tidak. Jangan. Cuma bercanda."

Dan Jimin tertawa. Dasar Min Yoongi.

"I'm not going anywhere… without you?"

Min Yoongi pun langsung mendongak saat mendengarnya. "Janji?"

"Janji."

Keduanya pun tersenyum, kemudian saling berciuman cepat. Menyegel janji mereka dengan bertemunya dua bibir dalam ciuman kilat. Saat akhirnya mereka check out dan keluar dari hotel itu, mereka tahu semuanya akan baik-baik saja. Karena kini mereka bersama, dalam relung cinta yang indah. Saling percaya, saling mengoreksi, saling berjanji. Cinta… selalu punya jalan sendiri untuk meminta dimengerti.

Dan seterusnya, hari-hari berikutnya… takkan ada lagi salah paham yang memisahkan dua hati. Karena mereka sepakat, bahwa kini mereka akan melihat cinta dari sudut pandang yang sama.

Mereka akan melihat cinta dari dunia mereka. Mereka akan melihat cinta melalui kebersamaan dan kepercayaan yang mereka miliki. Karena seberat apapun itu, sehancur apapun pada akhirnya dua sudut pandang berbeda membuat mereka berpisah, mereka kini kembali pada landasan yang memang menjadi tempat terakhir mereka melabuhkan diri.

Karena pada dasarnya, sejauh apapun jarak, selebat apapun badai menerpa, jika memang cinta, maka yang saling mencinta akan kembali bersama menciptakan masa depan yang indah.

Pun semua kisah, seberat apapun permasalahan di dalamnya, sepanjang apapun jalan yang harus ditempuh, sesakit apapun akibat yang dirasa. Kisah itu, selalu memiliki kesempatan untuk meraih akhir yang bahagia.

Hei, Jimin-ah…

Sekarang… dapatkah kau mendengarku?

Dan merasakan cinta yang berusaha kutujukan padamu?

Aku mencintaimu… dalam pedih dan sunyi yang kuciptakan sendiri.

Dalam sakit dan sesal mengakari hati.

Tak bisakah waktu memberiku kesempatan untuk mengulang semua?

Untuk berkata; Aku mencintaimu. Aku juga mencintaimu.

Ne, Jimin-ah?

Sembuhlah untukku, lalu kembalilah jika kau masih mencintaiku.

Aku di sini… dan takkan pernah pergi.

Menantimu…

Dalam sepi. Dalam sunyi. Dalam perih dan pedih.

Untukmu.

Hanya untukmu.

Jiminie…


.

.

.

THE END

.

.

.


A/N :

Hai, hola, hai-hai. Well, this is it. Semoga ga mengecewakan. Sejujurnya draft yang gue buat lebih panjang. Setelah ini masih ada dua-tiga scene lagi. Dan niatnya mau gue jadiin epilog. Tapi kata yang ngerikues gausah ada epilog karena ntar kepanjangan XD Jadi gue cut aja di sini.

Btw yang kemarin minta chap ini lebih panjang, sudah ya~ chap ini mencapai 10k+ words, loh :"""

Anyway, gue ga php, kan, kak Jims? Happy ending, kan? Utang gue lunas kan, ea? Alhamdulillah akhirnya bisa bobo dengan nyenyak /yha.

Semoga suka btw. I put passion into this. Wakakakak. Pokoknya semoga suka, eaaaaa XD

Oke, sebenernya ga muluk-muluk sih inti dari ff ini. Cuma ingin menggambarkan isi hati seorang Min Yoongi yang kehilangan, di mana keterlambatan menyadari cinta bisa hampir ngancurin hidup dia. Dipadukan sama sisi kekeluargaan dan juga persahabatan. Tapi setiap orang yang berjuang, pasti punya akhir yang bahagia juga, kan?

Well, ekspektasi gue untuk respon chapter kemarin itu –more than I expected, loh! Gue pikir feelnya ga kenaaa, ga nyampe ke pembaca. Soalnya bikin tuh chapter juga lagi unmood banget. Tapi baca review kalian—did I really success, I think? Gue seneng banget kalo emang kalian ikut hanyut ngerasain sakitnya si Yoongi, karena gue merasa ga ngena, ya gue mikirnya kalian akan biasa-biasa aja. BUT! Oh, makasih Ya Allah… ternyata feelnya ngena banget, ya? Maaf udah bikin kalian ikut nanis kek gue pas ngetik :" nanis bareng-bareng yah kita.

At least, bolehlah kritik sarannya? Lav banget sama kalian yang udah fav, follow, review atau yang sudah baca chapter ini sampai A/N. Thanks a lot, guys. Hope we could meet in another fiction –if I can.

See ya again!

Best regards,

Yumi


.

.

.

Omake

.

.

.


Jimin menunggu pintu di depannya terbuka bersama Yoongi yang bersembunyi di belakang tubuhnya. Tak lama, muncul lah sosok seorang wanita dengan wajah khawatirnya yang kentara.

"Selamat pagi, bunda~?"

Yeoja cantik itu mengerjap. Tak menyadari entitas lain di belakang sosok yang berdiri di hadapannya. Ia langsung menangkup pipi Jimin, berusaha memastikan kalau ini nyata. "Oh, Jimin-ah? Benarkah ini kau, nak?"

Jimin hanya tersenyum, lalu sedikit menoleh ke belakang untuk melihat sosok Yoongi yang masih bersembunyi. Dan saat itulah Seokjin langsung meraih putra sulungnya kemudian memeriksa keadaannya.

"Kak Yoongi?! Oh, ya Tuhan… kakak baik-baik saja? Kenapa semalam tidak pulang, hm? Untung Yeollie memberitahu bunda soal nak Jimin. Oh, kalian kedinginan, ne? Ayo masuk dulu biar bunda buatkan coklat hangat."

"Bun, Jimin langsung pulang saja, ne?"

"Tidak, tidak. Di dalam juga ada mamamu, Jiminie. Mungkin kau harus menemuinya."

"Oh, God… mama di sini?"

Pun kemudian Seokjin membawa keduanya ke dalam, menuntun mereka ke tempat di mana yang lainnya berkumpul. Saat menginjakkan kaki di sana, Jungkook langsung menabrak tubuh kakaknya membuat Yoongi mundur beberapa langkah.

"Kakaaaaaaaaaaaaaaak~ semalam ke manaaaaaa~?" namja bergigi kelinci itu mengusel di dada kakak favoritnya. Membuat Yoongi refleks menggerakkan tangannya untuk mengusap rambut hitam sang adik.

"Maaf. Kak Yoongi –jalan-jalan bersama Jimin."

"Kok Kookie tidak diajak?"

"Hmmm soalnya Kookie berisik jadi lebih baik—"

"YA! Kookie tidak terima?! Pokoknya setelah ini kak Yoongi harus mengajak Kookie jalan-jalan ke amusement park!"

"Iya-iyaaa. Dasar Kookies."

Keduanya pun terkekeh, membiarkan yang lainnya ikut merasakan kebahagiaan yang muncul. Taehyung yang terdiam kini berdiri di samping Jimin, menyenggolnya dan bersikap merajuk. Karena Jimin sudah jarang sekali meminta bantuannya. Jimin sendiri hanya tertawa membalas sahabatnya. Ia pun berharap memiliki kesempatan untuk merepotkan Taehyung. Namun memiliki kakak seperti Myungsoo… ia pikir ia sudah cukup untuk tidak merepotkan yang lainnya.

"Terima kasih, ne, karena sudah kembali, Jiminie?" tangkupan pada wajahnya membuat Jimin melihat lagi ke arah sosok wanita yang ia hormati. Seokjin tersenyum di depannya, dan dari sudut matanya, ia juga bisa melihat sang mama yang mematri lengkungan tipis di kedua sudut bibirnya.

Jimin menggeleng lalu memegang kedua tangan yang menangkup pipinya. "Aku yang berterima kasih, karena Yoongi hyung memberikanku kesempatan untuk kembali."

"Selalu… dia selalu menyisakan satu tempat untukmu kembali di hatinya. Dan tak seorang pun yang bisa mendiami tempat itu kecuali kamu, Jimin-ah."

Jimin dibuat tersenyum mendengar itu. "Maafkan Jimin, dan terima kasih karena sudah memaafkan Jimin. Jimin merasa seperti memiliki dua ibu. Ada mama, ada bunda. Semuanya terasa sangat sempurna."

"Itulah namanya keluarga, Jimin-ah. Apapun yang terjadi, akan terus menopang anggotanya. Seberat apapun masalah, akan membantu menyelesaikan. Sesakit apapun rasa, akan ikut menanggungnya. Kami tidak akan ke mana-mana. Selalu di sini…" Seokjin menunjuk ke arah dada Jimin, bagian di mana hati itu ada. Namja berambut orens itu tersenyum lagi, ia lalu memejamkan mata.

Ya… keluarganya, semuanya yang peduli padanya… akan terus ada di hatinya. Dan mereka tidak akan pernah pergi.

"Aduh, aduh. Akhirnya kulihat juga senyum si Sugar. Manisnyaaa bagaikan gula. Hmmm… bertaruh berapa kali Jimin mencicip—"

BUK!

"—owh! SAKIT LEE SUNGYEOL!"

"Ada Kookie, bodoh. Sadar diri dasar jomblo."

"Hei, jangan mengajakku bertengkar. Yaaa, tidak apa-apa lah aku jomblo, anti galau sepertimu dan Suga yeaaaaaah—"

BUK!

"—YA MIN SUGA! KENAPA IKUTAN MEMUKULKU SIH?"

"Sini kau, Hopeless. Mau mati dengan cara apa kau, ha?"

"Hei, hei, hei. YA! Kalian berdua jangan mengejarku. Apa-apaan ini?! Memangnya kita lagi main Tom and Jerry? YA!"

Hoseok berlari menghindari dua sahabatnya yang berusaha menangkapnya. Ia sampai harus melompati sofa atau melewati orang-orang yang ada di sana. Juga memakai perabot-perabot rumah sebagai tameng, menimbulkan gema tawa dalam ruangan itu. Apalagi ketika Jungkook ikut mengejarnya.

"YA! Kenapa Kookie ikutan mengejar hyung? HEI!"

Jungkook hanya tertawa dan terus berusaha menangkap Hoseok bersama dua hyung favoritnya. "YeolSugaKook Attaaaaaack~!"

Sampai ketika mereka menghilang di balik pintu dapur, dan suara benda berjatuhan mulai terdengar. Tidak bisa menebak lagi apa yang terjadi di sana. Tapi satu yang orang-orang di ruang tamu itu tahu, bahwa kini… senyum Yoongi sudah kembali seperti semula. Pun tawa itu, akan selalu mereka lihat ke depannya.

"YA! DAPUR BUNDA! OH TUHAN!" Seokjin langsung berteriak melihat dapurnya yang kacau balau. Tepung di mana-mana, peralatan yang berceceran, juga empat orang sosok anak di dalamnya yang berlumuran tepung. Seokjin berkacak pinggang, namun ke empat anak adam itu hanya memasang senyum lima jari.

Lalu satu di antaranya bersuara mewakili mereka. "Ini salah si Hosiki buuuuuun. Suruh dia yang membereskannya, neee?"

Entah karena terlalu bahagia atau apa, Yoongi lah yang bersuara. Ia kemudian bangkit dari duduknya di lantai dapur kemudian melewati bundanya sambil berkedip. "Ini semua ulah Hoseok, bun. Marahi saja dia, ne? Bye, bunda."

"Ya! Kak Yoongi jangan kab—"

Yoongi berlalu melewati bundanya, dan ketika melewati Jimin, ia memberikan satu kecupan di bibir sang kekasih kemudian membawa langkah ke lantai dua bangunan itu. Benar-benar mengabaikan teriakan sang bunda.

"Yeollie mau ganti baju ya, bun~"

"Kookie juga~"

"Hosiki ikutan ah~"

"HEI! Lalu siapa yang akan membereskan kekacauan ini? YA! Kalian berempat kembali ke sini! Kak Yoongi?! Yeollie?! Hosiki?! Kookie?! Oh, ya Tuhan…"

Pun suasana ceria yang kental menguar dari ruangan itu, memberikan gema kebahagiaan yang hinggap di masing-masing hati. Satu persatu kedua sudut bibir yang ada di sana membentuk senyum penuh rasa syukur.

Hari itu… sekalipun sebelumnya dunia menolak menunjukkan kebahagiaan untuk mereka, namun kini… dunia bukan hanya menunjukkannya, tapi dunia ikut berbahagia bersama mereka semua.

Karena seperti apa yang pernah tertulis sebelumnya, setiap kisah… pasti selalu memiliki kesempatan untuk meraih akhir yang bahagia.

Benar begitu, bukan?

.

.

.

See you again!

(sorry omake-nya kepanjangan ^^v)

(maaf kalau ada typos atau misstypos)

.

.

.

Thanks to; restikadwii07. michaelchildhood. Hantu Just In. yxnghua. GitARMY. Jimsnoona. INDRIARMY. miyuk. Guest(1). scsehun21. SJMK95. Guesteu. parasyub, yymin. yoonminlovers. csupernova. Guest(2). applecrushx. minyoongu. yxxn. Wellery14. chimchins. Guest(3). peachpetals. Bangsterchan. iosuni97. in0604. Jenne. mas seungcheol. minsyugaa. Dan buat kalian semua yang sudah baca ff ini. Lav!