.

.

.

Avery Emmeline present:

The Uchiha

Chapter 11

.

.

.

Doumoto Shiina memandangi tampilan dirinya di cermin. Ia bolak-balik membalikan badannya. Ia memandangi cermin itu lagi lalu pergi ketika merasa penampilannya sudah OK. Hari ini ia dan Alice akan pergi ke pertunjukan ballet yang salah satu ballerina-nya adalah sahabatnya.

Shiina lalu keluar dari kamarnya dan berjalan menuju kamar Alice/Misa.

"Uhm… Alice, apakah kau sudah siap?" tanya Shiina basa basi. Pintu lalu terbuka dan Misa muncul dengan pakaian kasual yang rapi dan sopan. "Ayo, kita pergi."

Gedung pertunjukan itu tidaklah jauh sehingga Misa dan Shiina tidak perlu cepat-cepat pergi. "Pertunjukan apa yang akan kita lihat?" tanya Misa.

"The Nutcracker," jawab Shiina.

The Nutcracker

Pada suatu malam Natal, keluarga Stahlbaums mengadakan pesta. Di acara itu, mereka kedatangan tamu bernama Drosselmeyer. Untuk Clara, putri Stahlbaums, Drosselmeyer memberikan hadiah sebuah alat pemecah kacang berkulit keras yang berbentuk boneka. Nutcracker, begitu boneka itu disebut.

Usai pesta, Clara tidur dan dalam mimpinya ia bertemu dengan boneka Nutcrackernya yang menjelma menjadi komandan boneka prajurit yang hidup. Nutcracker dan pasukannya bertempur melawan Raja tikus dan gerombolannya. Raja tikus tewas, Nutcracker menang dan berubah menjadi pangeran.

Masih dalam mimpinya, Clara bertualang ke Negeri Salju dan Negeri Kembang Gula, ditemani pangeran jelmaan boneka Nutcracker. Tarian Peri Kembang Gula berdua dengan Pangeran Cavalier mengantar Clara bangun dari tidurnya dan mengakhiri mimpinya.

Kurang lebih begitulah sinopsis The Nutcracker yang Misa ingat. Ia tidak pernah benar-benar memiliki waktu luang untuk pergi ke pertunjukan seperti ini.

"Alice, ayo! Kereta kita sebentar lagi akan tiba," kata Shiina semangat.

"Ya, ayo," jawab Misa.

8 menit kemudian Misa dan Shiina sudah sampai di tempat tujuan.

"Alice, liat. Lima belas menit lagi pertunjukan akan mulai," Shiina melihat jam tangannya. "Kurasa sekarang lebih baik kita memilih tempat," kata Misa tenang. Shiina nampak diam sebentar. "Kau benar. Tunggu apa lagi? Ayo segera pilih kursi!" seru Shiina bersemangat. Misa hanya menggelengkan kepala melihat Shiina. Padahal kemarin ia masih diam ketakutan tapi sekarang sudah semangat tanpa beban. Dasar masa muda. Selalu penuh dengan semangat.

Sementara itu…

"Ruby in here…"

"So, Ruby, what you get?".

Ruby menghela napasnya. Ia sudah menduga akan mendapat pertanyaan seperti ini cepat atau lambat. Dan lidah Ruby rasanya terlalu kaku untuk berbicara.

"Tidak ada. Satoshi tak terlihat di mana pun," jawab Ruby. Terdengar helaan napas di seberang sana.

"Ini bukan salahmu. Semua laporan menyatakan ia tak nampak di mana pun."

"Yeah, karena itulah yang memang terjadi," kata Ruby.

"Lalu, bagimana dengan adiknya?".

"Soru? Kemarin tanpa sengaja kami bertemu dengannya. Dan dari sana kami juga mendengar bahwa ia juga tak tau di mana kakaknya berada," jelas Ruby.

"Begitukah? Baiklah, lanjutkan misimu seperti biasa bersama agen Alice."

"Dimengerti."

[ Now playing… Dance of the Sugar Plum Fairy- Pyotr Ilyich Tchaikovsky]

"Ah, Alice. Lihat! Anak yang dipinggir itu!" Shiina berbisik dan menunjuk seorang ballerina.

"Kenapa?" tanya Misa.

"Dia temanku itu. Si penari ballet," bisik Shiina bersemangat. Misa melihat mata remaja satu itu nampak berbinar-binar.

"Benarkah? Ia menari dengan baik," jawab Misa.

"Tentu saja, ia sudah menari sejak berusia enam tahun! Aku bahkan kagum dengannya. Ia selalu menari di rumahnya," jelas Shiina mengebu-gebu. "Aku akan menemuinya setelah selesai pentas."

Misa menyeringai sedikit. "Kurasa sebentar lagi pertunjukan akan berakhir."

"Ooh, anak-anak. Aku tak mampu berkata lagi. Pertunjukan kita sukses besar!" seru instruktur ballet mengebu-gebu yang disambut sorakan riang para penari-penarinya.

"Heiiiiiiiii," teriak Shiina dengan semangat lalu memeluk sahabatnya. "Pertunjukanmu sukses. Kau menari dengan sangat baik."

"Shiina, aku tak menyangka kau akan datang."

Selagi Shiina berbincang dengan sahabatnya, Misa sedang berdiri di luar sebelum sebuah telepon datang.

Private number…

Misa lantas menerima telepon itu.

"Alice, is that you?" suara Ruby terdengar dari seberang.

"Yeah, of course. Ada apa?" tanya Misa.

"Are you free? Tidak ada orang di dekatmu 'kan?".

"Ya," jawab Misa sambil berjalan ke tempat yang lebih sepi.

"Thanks, God. I need your help".

Shiina sedang berbincang dengan sahabatnya saat sebuah pesan masuk.

Aku baru saja mendapat pesan dari temanku. Maaf, aku pergi tanpa mengabarimu. Keadaannya sangat gawat. Aku harus segera pergi. Jadi, pulanglah ke rumah sendiri dan berhati-hatilah.

Alice

"Ada apa, Shiina?" tanya sahabat Shiina.

"Ah, tidak. Apakah kau luang? Mau pergi bareng gak?" tanya Shiina.

Di lain tempat Misa nampak berlari sekuat tenaganya.

"Bantuanku? Tapi, kenapa?"

"Aku baru saja mendapat kabar akan adanya transaksi besar-besaran. Narkoba, alat peledak, dan senapan! Bayangkan!".

"A… apa kau bilang?!".

"Karena itulah cepatlah kemari. Aku sangat membutuhkan bantuanmu. Agen lain sudah dipanggil tapi itu tidaklah cukup".

"Baiklah aku akan ke sana".

"Tadaima~" kata Shiina begitu sampai di rumahnya. Waktu sudah menunjukan pukul empat sore. Tadi ia terlalu asik jalan bareng sahabatnya.

"Okaeri, lho kamu sendirian? Kukira kau pergi dengan Alice," Doumoto Shiona, sang ibu, bertanya.

"Awalnya begitu. Tapi, di tengah jalan Alice harus pergi. Katanya keadaannya gawat," jelas Shiina.

"Dasar, dia melalaikan tugasnya!" kecam Shiona.

"Okaasan berlebihan ah. Sudah syukur-syukur agen sekelas Alice datang untuk kita. Jadi wajar saja jika ia harus pergi sebentar karena ada panggilan," kata Shiina tenang. Shiona nampak terdiam.

"Tidak biasanya kamu membela orang asing," komentar Shiona.

"Habis… Alice orangnya menyenangkan sih. Jadinya cepat akrab. Yah walaupun ia sedikit pendiam," kata Shiina. Shiona terkikik. "Baguslah kalau sudah akrab".

"Berita terkini. Siang tadi kepolisian Jepang berhasil menggagalkan sebuah transaksi narkoba. Semua anak buahnya berhasil ditangkap namun sang pemimpin berhasil kabur dengan luka-luka. Polisi saat ini masih melacak keberadaan sang pemimpin," terdengar pembawa acara menyampaikan berita.

"Alice, kamu gak papa? Tadi kamu tergores peluru waktu penyergapan 'kan?" tanya Ruby. "Aku gak papa kok. Cuma luka gores ringan. Lukaku juga sudah di tangani. Kamu sendiri bagaimana? Kakimu sempat terkilir 'kan?" tanya Misa. "Sudah ditangani kok. Sekarang sudah normal lagi," jawab Ruby. "Syukurlah," kata Misa.

"Mau bagaimana lagi. Tadi transaksi besar-besaran sih. Untung kita udh terlatih. Jadi cuma luka gores dan terkilir. Coba tidak. Luka kita pasti lebih parah," Ruby menghempaskan dirinya di sofa seberang Misa.

"Polisi menghimbau warga untuk segera melapor bila melihat tersangka yang kabur."

"Jadi cuma polisi Jepang yang diceritakan?" tanya Ruby sambil melihat berita.

"Namanya juga secret agent. Bekerja diam-diam hasil cukup terima dalam hati," kata Misa.

"Alice, Ruby," seorang memanggil. Misa dan Ruby lantas menoleh pada orang yang memanggil mereka.

"Boss."

"Nice work, Alice, Ruby."

"Thanks, boss," kata Misa dan Ruby kompak.

"I'm proud of you, guys. Aku sudah mendengar apa yang terjadi. Kerja kalian sangat bagus, pertahankan".

"Ah, kau terlalu berlebihan, boss," kata Ruby santai. "Itu bukan apa-apa."

"Kita mendapat banyak informasi dari penyergapan tadi. Tapi, tetap saja sang pemimpin-lah yang tau lebih banyak. Ah, ada juga satu informasi tentang Satoshi."

Jantung Ruby serasa mau meloncat. Ini dia. Informasi tentang Satoshi.

"Apa informasinya, boss ?"

"Satoshi memang tidak menampakan diri. Tapi ia tetap berhubungan dengan mereka melalui telepon."

"Kau dengar itu, Alice?" Misa dapat merasakan semangat Ruby yang membara saat ini. "Ia tidak benar hilang… Satoshi-ku tidak benar-benar hilang. Ia berada di suatu tempat dan mengawasi dari sana. Kau dengar itu 'kan?" kata Ruby terbakar semangat yang entah muncul dari mana.

"Ya, aku dengar itu, Ruby. Aku dengar sama seperti apa yang kau dengar," kata Misa kalem, seperti biasa. "Tunggu saja, Satoshi. Aku akan menemukanmu dan menarikmu keluar dari sangkarmu yang nyaman itu," Oke, sekarang Ruby terlihat seperti seorang psikopat yang menemukan di mana kekasih tersayangnya itu bersembunyi. Jujur saja, Misa sedikit merinding di sebelahnya.

"Ruby, kurasa aku harus kembali sekarang," langkah Misa tiba-tiba terhenti.

"Hah? Kenapa?" tanya Ruby.

"Doumoto Shiina…"

"Ah, benar dia. Pergilah, dan seret si adik itu kehadapanku. Aku yakin kakaknya yang tersayang itu pasti akan menyelamatkannya," Ruby melambaikan tangannya lalu kembali berjalan meninggalkan Misa yang ada di belakang.

Malam itu Doumoto Shiina sedang mengeringkan rambutnya yang basah. Saat menggosok rambutnya ia menyadari satu hal. Alice belum pulang. Ia harap Alice tidak apa-apa. Saat berpikir itulah ia menyadari sesuatu. Ia tidak pernah meletakan amplop di jendelanya. Dan hanya satu orang yang pernah melakukannya sebanyak empat kali…

Soru…

Dengan jantung berdetak kencang Shiina berlari ke arah jendela kamarnya. Dan nampaklah sebuah amplop surat terhimpit di antara jendela kamarnya. Dengan tangannya berkeringat dingin, Shiina mengambil surat itu dari jendelanya.

Amplop surat itu kosong seperti biasa. Justru yang menakutkan adalah isinya. Dengan perasaan was-was, Shiina membuka amplop itu dan membaca surat yang ada di dalamnya.

To my dearest, Shiina...

Mengapa makin banyak orang mengganggu akhir-akhir ini? Aku sudah tidak tahan lagi begitu juga denganmu 'kan, Shiina? Kau nampak seperti Rapunzel yang terkurung di menara. Dan akulah yang akan menyelamatkanmu dan membawamu keluar dari menara laknat itu. Berkali-kali aku sudah memperingatimu dan kau menggangapnya angin lalu.

Dan sekarang aku sudah tidak main-main lagi, kau harus mengikuti apa yang kukatakan. Sabtu besok pergilah ke restoran Kodai pukul tujuh malam. Sendirian, tanpa pengawal satu pun, dan tidak ada yang boleh tau ke mana kau akan pergi. Dan jangan lupa untuk tampil secantik mungkin. Lihat saja nanti jika kau lari dari kenyataan.

Soru

Jantung Shiina serasa berhenti berdetak. Akhirnya datang juga saat-saat yang paling ditakutinya. Di mana ia tidak akan bisa mengandalkan ayahnya, ibunya, para pengawal, dan Alice. Mata Shiina nampak berkaca-kaca. Tiba-tiba Shiina menyadari sesuatu. Tidak hanya surat yang ada di dalam amplop itu. Dengan tangan yang bergetar, Shiina membuka amplop itu. Dan beberapa foto terjatuh.

Foto ayah dan ibunya. Dengan beberapa coretan spidol merah dan gambar lingkaran kecil di bagian kepala mereka. Di dekat lingkaran kecil itu ada sebuah tulisan "TARGET" dengan spidol merah. Shiina melihat beberapa foto itu dan menemukan sebuah tulisan di foto terakhir. "Kuingatkan lagi, janganlah lari dari kenyataan" tertulis di sana menggunakan spidol merah.

Tanpa sadar air mata Shiina meluncur deras. Ia menangis dalam diam selama 20 menit sebelum bangkit dengan raut wajah tertegar yang pernah ia tunjukan. Ia tau Soru adalah "musuh" tapi kata-kata "janganlah lari dari kenyataan" milik Soru menyadarkan sekaligus membangkitkan keberaniannya. Soru benar. Bukan waktunya ia duduk manis mengandalkan orang lain untuk mati demi dirinya. Ia bukanlah gadis kecil cengeng yang hanya bersembunyi di bayangan orang lain. Ia adalah Doumoto Shiina, gadis pemberani. Jika Alice bisa sekuat itu, mengapa ia tidak?

"Pengalaman adalah guru terbaik. Ia akan mengajarimu cara menjadi kuat sehingga kau bisa menjalani hidup dengan tegar. Tapi ia juga bisa membuatmu menjadi pengecut yang tak berguna. Semua itu dapat kau tentukan dengan bagaimana caramu menyikapinya".

To be continue

Hi, semuanya~~ #kecup satu-satu. Saya kembali~ Tapi, untuk sementara aja #plak. Update kali ini bukan berarti saya selesai hiatus lho. Justru saya menyempatkan diri selama berminggu-minggu buat nyicil chapter ini. Nah, sekarang sekalian saya mau ijin hiatus lagi ya. Klo sempet saya update lagi. Saya tunggu review dari kalian ya~ #bangunin silent reader.

See you in next chapter~!