New fic again? Kebiasaan yang sulit dihilangkan :")

Chapter ini hanya berisi permulaan dan world building, jadi belum ada sesuatu yang bikin deg-degan.

Meski begitu, saya harap kalian bisa menikmati cerita ini. Enjoy!


.

.

Start The Game

.:KageHina:.

(some minor pairs later)

Gaming Industry/Game Maker/Gamer AU

Haikyuu! © Furudate Haruichi

Nintendo dan Playstation yang saya sebut di bawah bukan milik saya.

.

.

Chapter 1: From Player to Maker

.

.


Terkadang, apa yang terjadi di masa depan memang tidak dapat diduga-duga.

Seorang anak berwajah kurus ringkih dengan gigi ompong, yang mengaku hobi bermain kelereng pun tak disangka-sangka bisa menjadi seorang presiden. Seorang remaja jenius yang telah memutuskan untuk mengejar karir sebagai selebriti, malah jatuh dan menerima nasib sebagai pekerja kantoran dengan gaji pas-pasan.

Mungkin, skenario semacam itu juga menimpa Hinata Shouyou.

Pemuda dengan surai oranye—yang membuatnya dicap sebagai berandalan kalau kepribadian ramah dan senyum lucunya tidak menyelamatkannya—tersebut telah meraba-raba hal yang akan menjadi hobinya di masa depan. Menebak-nebak, akan jadi apa ia di masa depan. Dan jika melihat kepribadian ceria, refleks luar biasa, serta stamina tak terbatas yang dianugerahkan padanya, hampir semua orang, bahkan dirinya sendiri, mencoba meramalkan bahwa ia kelak akan menjadi seorang atlet yang hebat.

Pada dasarnya, yang hanya dapat manusia lakukan hanyalah memprediksi, bukan meramal. Makanya, jika apa yang mereka tebak meleset, itu bukan sesuatu yang diherankan.

Dan ya. Semua pendapat yang intinya 'Shouyou pasti bisa menjadi olahragawan dengan tubuh selincah itu' terbukti salah. Hinata justru menemukan sebuah hobi yang sangat berbeda dengan segala hal berbau olahraga. Jika dalam olahraga ia harus selalu bergerak, dalam hobi barunya itu ia harus selalu duduk berkonsentrasi.

Hobi barunya tersebut adalah game. Bermain game.

Pada umur enam tahun, Hinata dibelikan Nintendo sebagai hadiah ulang tahunnya. Seperti anak laki-laki pada umumnya, ia langsung saja jatuh hati pada game. Bocah kecil macam apa yang tidak tertarik pada game? Mungkin ada, tapi hanya beberapa. Dan Hinata tahu, kalau ketertarikannya pada game… berbeda. Hatinya berdebar melewati batasan wajar. Saat itu juga, ia menyadari bahwa game telah menjadi sesuatu yang sulit untuk dilepaskannya.

Setahun kemudian, setelah lama menabung dari uang saku, Hinata membeli Playstation 1 untuk memuaskan kesukaannya pada game. Ia semakin jatuh hati. Semakin banyak jenis game. Semakin banyak bentuk grafik. Semakin banyak cerita menarik. Hinata benar-benar jatuh hati. Secara khusus, ia menyukai Role Playing Game, karena mereka kebanyakan sangat menarik, tapi ia tetap menyukai semua game. Ia menyukai game.

Hinata berumur tiga belas tahun ketika ia membeli konsol Playstation 2. Ia semakin menyukai game sampai pada titik di mana ia akan terhisap dalam dunianya sendiri saat bermain. Beruntung, semakin ia dewasa, semakin ramah dan lebar pula senyumnya. Ia tak perlu khawatir dirinya berkembang menjadi seorang… freak atau hikikomori*.

Pada umur yang sama, Hinata mulai berandai-andai. Mungkin kebanyakan pemain game acuh tak acuh akan apa yang terjadi di balik game yang mereka mainkan, tapi berbeda dengan Hinata. Ia ingin tahu proses panjang dan rumit macam apa yang harus dilewati untuk membuat game seperti ini. Ia ingin tahu bagaimana rasanya membuat game. Ia ingin… membuat game.

Dua tahun kemudian, ia duduk di bangku SMA. Umurnya lima belas tahun. Sudah lebih dari cukup untuk mempelajari seluk beluk hal-hal yang rumit. Angan-angannya untuk membuat game masih dipegangnya erat. Segala macam sumber pengetahuan terus dijelajahinya. Sampai ia mencapai sebuah kesimpulan bahwa game terdiri dari kode-kode komputer, dan untuk membuatnya, salah satu kemampuan yang harus dikuasainya adalah programming atau coding.

Usai satu minggu berusaha memahami serangkaian kode-kode, Hinata mencapai kesimpulan bahwa—Dirinya. Benci. Programming. "Itu kode apa bahasa alien!?" teriaknya suatu hari dengan frustasi. Satu sesi penjelajahan internet kemudian, ia menemukan bahwa programming berkaitan erat dengan logika. Itu berarti, untuk menguasainya, kau harus jago dalam pelajaran Matematika dan ilmu perhitungan lainnya—termasuk Fisika. Ya, Fisika. Pelajaran yang paling tidak disukainya karena—lagi-lagi, itu bahasa alien atau apa? Otak Hinata dibuatnya kejang-kejang.

Hinata sempat menyerah. Sudah ia duga, membuat game tidak semudah itu. Programming tidak semudah itu. Kira-kira sepintar apa orang yang menguasai programming? Yang jelas, jauh lebih pintar darinya. Mungkin, lebih baik kalau ia hanya menikmati game sepanjang hidupnya tanpa berpikir untuk membuatnya. Programming membuatnya patah hati.

Dua tahun kemudian, Hinata telah naik ke kelas tiga. Fuh, ia naik kelas, dan itu adalah sesuatu yang patut dibanggakan. Saat tahun terakhirnya di sekolah itulah, ia mendengar seseorang menyebut desain grafis. Graphic Design. Karena penasaran, Hinata mencari tahu tentang istilah itu. Satu jam kemudian, ia berteriak histeris di depan komputernya sampai-sampai ia dimarahi Natsu. Namun, Hinata setengah tidak peduli saat itu karena, pada layar di hadapannya, tertulis sesuatu seperti "—Game designer adalah sosok yang mendesain game, kunci utama dari pembuatan game. Untuk yang benci programming, jangan menyerah! Masih ada kesempatan!"

Beberapa saat kemudian, setelah ia lulus dari SMA, Hinata berdiri di depan sebuah universitas—universitasnya—dengan senyum lebar yang memenuhi wajahnya. Sebuah angan-angan yang sempat padam kembali membara. Ia akan membuat sebuah game nanti, pasti.

Sekitar empat tahun kemudian, Hinata berdiri di hadapan sebuah gedung bertingkat. Kedua matanya menyiratkan kegugupan dan keyakinan di saat yang bersamaan. Tangan mungilnya merapikan kemeja kasual yang dikenakannya untuk kesekian kali. Hinata menarik nafas dalam-dalam, lalu memaksakan sebuah senyum.

Gedung di hadapannya merupakan kantor dari perusahaan game yang terkenal dengan game Monster Hunter, game yang sangat Hinata kagumi—kantor perusahaan Capcorn**. Hinata akan memberikan beribu terima kasihnya pada Kenma setelah ini, karena teman masa kuliahnya itulah yang memberikan peluang dan celah bagi Hinata agar ia bekerja di sana.

Setelah bertahun-tahun menekuni bidang desain dengan gigih, setelah ia mendapat olok-olokan dari orang di sekitarnya yang mengatakan bahwa ia tidak mungkin bisa 'jaya' di industri game, setelah sekian lama berjuang keras—

Di sinilah ia berada. Masa depannya, cita-citanya sekarang ada di depan kedua matanya.

Satu tarikan nafas kemudian, Hinata melangkah masuk.

Hatinya terasa begitu sesak begitu pandangannya melayang pada setiap sudut dari bagian dalam kantor, membayangkan betapa senangnya ia seandainya mulai hari itu bangunan tersebut bisa menjadi kantornya. Rasanya, setiap langkah yang diambilnya semakin memacu jantungnya berdetak lebih cepat. Ujung tangannya terasa dingin. Namun, api pada kedua mata cokelatnya tidak padam.

Ia sampai pada sebuah pintu kayu menuju ruangan yang akan menjadi penentu nasib karirnya. Dari balik kaca yang terdapat pada pintu, ia menangkap tiga sosok lelaki yang tengah duduk di belakang meja panjang. Nafas Hinata terhenti. Kegugupan kembali memuncak. Tiga orang itu kemungkinan besar adalah sosok-sosok atasan yang akan mewawancarainya. Hinata melirik papan di atas pintu kayu yang bertuliskan 'Common Space' sekali lagi, memastikan dirinya tidak salah ruangan, lantas menarik nafas dalam-dalam kembali untuk mengumpulkan keberanian.

Kemudian, tangannya terangkat untuk mengetuk pintu.

"Jadi, aku meng-enchance rare weapon itu, tapi kau tahu!? Zodiac Blade-ku malah rusak! Anjrittt—" Lelaki dengan surai putih yang duduk di tengah masih sibuk berceloteh dengan semangat, dan mungkin masih akan lanjut bercerita jika rekannya tidak menjawil-jawil pundaknya. "Apaan, Sawamura—" Dan ia baru ngeh akan alasan temannya itu menginterupsi sesi mendongengnya ketika pandangannya bertemu dengan wajah canggung Hinata. "Oya?"

"Oyaoyaoya?" Lelaki lainnya dengan rambut hitam nyentrik dan seringai mirip kucing ikut menanggapi. Hinata dapat merasakan tatapan menelitinya, bahkan dari luar ruangan.

"Kalian berdua… Bisakah kalian bertingkah sedikit lebih serius dalam sesuatu seperti ini?" Pria yang pertama kali menyadari keberadaan Hinata—dan yang terlihat paling serius di antara ketiganya—menghela nafas. Kalau saja ia tidak menjawil pria nyentrik tadi, entah sekikuk apa Hinata jadinya, berdiri di depan pintu sambil berbingung ria karena hawa keberadaannya tidak disadari—tenggelam dalam suara keras lelaki berkepala putih tadi. Ia menegakkan tubuh dan berdeham. "Baik. Silakan masuk."

Hinata mengatur nafas sekali lagi, mengangguk mantap, kemudian membuka pintu dan melangkah masuk. Terdapat sebuah kursi yang disediakan di tengah ruangan—tepat di hadapan tiga lelaki mengintimidasi itu. Hinata sudah merinding sejak awal, membayangkan tiga pasang mata yang menatapnya tajam, mengamatinya baik-baik, dan menghakimi apakah ia cukup baik atau tidak. Ah, ia boleh langsung duduk, kan? Dan itu memang tempat duduknya, kan?

Hinata menghela nafas lega ketika pria yang mempersilakannya masuk tadi memberi gestur pada kursi tersebut, tanpa suara mempersilakan Hinata untuk duduk. Hinata cukup bersyukur karena kedua kakinya mulai bergetar saat ini. Ia tanpa sadar menghela nafas sekali lagi setelah menghempaskan diri di atas kursi. Kedua tangannya memegang fabrik celana dengan erat. Pandangannya ragu-ragu, masih terarah pada meja di depannya—bukan wajah di depannya—karena, jujur saja, ia masih sedikit merasa takut.

"Baik," Pria yang duduk di paling kanan—alias pria yang mempersilakan Hinata dengan suara jantan tadi—mengangguk singkat pada Hinata dan menampakkan senyum ramah. Dari ketiga orang itu, Hinata kira dialah yang memiliki rambut paling… normal. Warnanya hitam, dan cukurannya juga rapi. Ia juga mencatat bahwa rahangnya nampak sedikit keras, jadi kemungkinan besar pria itu memiliki sebuah kengerian yang terpendam di balik senyum penuh wibawanya. "Namaku Sawamura Daichi. Aku adalah Cut Scene Director."

"Ah… h-hai." Hinata mengangguk seraya menahan gumaman kagum yang telah mengambang pada tenggorokannya. Cut Scene Director… kira-kira pekerjaan seperti apa yang dilakukannya? Membuat segala bentuk cut scene keren di dalam game? Ternyata, pilihan posisi pekerjaan di industri game tidak kalah banyak, seperti yang pernah Hinata dengar sebelumnya. Meskipun yang paling terkenal adalah, tetap saja, game designer dan game programmer.

Selanjutnya adalah giliran pria bersurai putih nyentrik tadi. Alisnya tertukik tajam, seringai lebar muncul pada wajahnya. Dan yang terpenting, segala bentuk energi terasa menguar dari sosoknya. Saking banyaknya simpanan energi dalam tubuhnya, ia menjadi begitu semangat sampai-sampai ia berdiri tiba-tiba, membuat kaki kursi yang semula didudukinya bergesek dengan lantai dan menimbulkan bunyi decitan yang mengagetkan. "Hey, hey, hey!" Ia meninjukan salah satu tangannya ke atas langit. "Aku adalah Bokuto Koutarou, Movie Director! Salam kenal, shinjin-kun***!"

"Tidak, tunggu…" Sawamura merengut. "Bukan shinjin, tapi masih calon."

"Yah, siapa peduli?" Bokuto terkekeh dan mengarahkan pandangannya sekali lagi pada Hinata. "Dia terlihat cukup kompeten untuk masuk ke sini. Ya, kan, orange-kun?"

"Ah," Hinata melebarkan kedua matanya. Setengah tidak percaya akan apa yang baru didengarnya. Seorang atasan baru saja berkata kalau ia percaya dengan kemampuannya? Ini bagaikan mimpi. Hinata merasakan kedua matanya berkaca-kaca—entah karena rasa senang atau haru. Ia cepat-cepat membungkuk, mengapresiasi apa yang dikatakan Bokuto. Hinata memiliki firasat bahwa ia bisa menjadi teman baik dengan Bokuto. "Terima kasih banyak, Bokuto-san!"

Pria terakhir yang belum memperkenalkan diri menunjukkan seringainya kembali. Kepalanya ia topang di atas dagu dengan santai, matanya belum meninggalkan sosok Hinata. "Dari luar, Chibi-chan memang terlihat… nyentrik. Biasanya, orang-orang nyentrik di kantor kami adalah mereka yang punya kemampuan lebih. Contohnya, burung hantu yang satu ini." Ia menunjuk Bokuto yang masih tertawa-tawa—mendengarkan entah apa yang barusan digumamkan Sawamura kepadanya. "Aku sudah mendengar berita dari Kenma bahwa teman baiknya akan datang kemari. Jadi, aku cukup penasaran denganmu. Kenma jarang dekat-dekat dengan seseorang, tahu?" Pria itu melebarkan seringainya. "Ngomong-ngomong, aku Kuroo Tetsuro. Battle Motion Director. Pernah mendengar namaku sebelumnya?"

"Eh?" Hinata menelengkan kepalanya. Kuroo… Tetsuro? Sekilas, nama itu memang terdengar asing di gendang telinganya. Namun tidak dengan penampilannya. Hinata menautkan kedua alisnya, mengorek ingatan dalam setiap sudut otak. Ia seperti pernah melihat Kuroo, tapi entah di mana…

Ah. Ia ingat sekarang.

"Aku belum pernah mengenal namamu, Kuroo-san," Hinata memulai dengan pelan, "tapi aku pernah melihatmu… di dalam beberapa foto yang Kenma kirim kepadaku."

Seringai Kuroo melebar. "Bingo. Aku adalah rekan Kenma. Dan yang kumaksud dengan rekan adalah, teman masa kecil yang sangat dekat." Kuroo membiarkan seringainya mereda sejenak ketika ia menghila nafas. "Tapi, memangnya si Kenma itu tidak pernah bercerita tentang diriku, ya? Mendengar namaku saja kau belum pernah… Kejam sekali bocah yang satu itu."

Hinata tertawa canggung. Yah, melihat kepribadian Kenma, itu mungkin saja…

Sawamura berdeham sekali lagi, mengalihkan perhatian ketiga orang lainnya dan meluruskan kembali arah pembicaraan. "Kita tidak punya banyak waktu luang, jadi langsung saja kita mulai wawancaranya. Kau siap, Hinata?"

Hinata membulatkan mata, menghirup nafas sekali lagi, lalu mengangguk.

Sesi wawancara berlangsung seperti biasa. Mereka menanyakan hal-hal pada umumnya, seperti motivasi, pendapat, pengalaman, kemampuan, dan sesuatu semacam itu. Yang mengejutkan, Hinata dapat menjawab semua itu dengan tenang, tanpa sekalipun tersandung-sandung dengan lidahnya. Ia bersyukur akan hal itu. Setidaknya, ia tidak terlihat cupu di depan mata ketiga direktur itu.

"Oke, Chibi-chan," Kuroo menepukkan kedua tangannya sekali. Hinata menelan rasa tidak terima karena dipanggil sedemikian rupa oleh Kuroo, karena ini adalah momen serius yang pokoknya tidak bisa ia hancurkan. Ia harus tetap mendinginkan kepala dan bersikap cool. "Aku akan berkata jujur. Kantor kami memang tidak begitu besar. Jika dibandingkan dengan Round Enix****, kami masih kalah jauh. Tapi, karena kami kalah jauh dari mereka itulah, kami menjadi semakin semangat untuk meningkatkan kantor kami. Salah satunya adalah dengan cara merekrut beberapa pekerja yang handal."

Hinata menelan ludah mendengar kata 'handal' yang seolah sengaja ditekan-tekankan oleh Kuroo. Apakah dirinya yang sekarang sudah cukup handal?

"Intinya, sekarang ini kami sangat membutuhkan jasa animator," ujar Bokuto melanjutkan perkataan Kuroo.

"Jadi, Hinata," Sawamura menatap Hinata lurus-lurus. "Satu pertanyaan terakhir dari kami. Apakah kau bersedia bekerja sebagai animator di kantor kami?"

Jantung Hinata berdebar semakin kencang. Apa ini? Apa maksud pertanyaan itu? Hinata mengepalkan kedua tangannya. Yang jelas, ia harus menjawabnya. Ia harus mengucapkan jawabannya dengan segenap kejujuran dan ketulusan hati. Pikirannya kembali kepada hari-hari penuh perjuangannya. Ia sudah berusaha keras hingga sampai di sini, di dalam kantor Capcorn, selangkah menuju cita-citanya.

Kalau ia ditanya apakah ia bersedia bekerja di sana, tentu saja…

"T… Tentu… Tentu saja saya super duper sangat bersedia!" Ah. Hinata tidak berniat untuk berteriak sekeras itu. Hanya saja, entah mengapa perasaannya mempengaruhi suaranya.

Selangkah lagi… Tinggal selangkah lagi…

Untuk sejenak, seisi ruangan diselimuti keheningan. Bahu Hinata menegang, dan kepalanya segera tertunduk. Takut kalau-kalau detik berikutnya ia akan ditendang keluar dari ruangan itu karena terlalu 'tidak sopan'. Hinata memejamkan kedua matanya dengan pasrah.

'Apakah… aku melakukan kesalahan?'

"Selamat!" Ketiga direktur berteriak serempak. Hinata kaget, sangat kaget sampai-sampai ia mendongakkan kepalanya dengan begitu cepat. Di hadapannya, Sawamura, Bokuto, dan Kuroo berdiri dengan senyuman lebar. Hinata terperangah, sempat berpikir bahwa ini semua adalah cara para direktur mengerjainya. Atau mungkin, cara untuk mengusirnya secara baik-baik.

Namun, itu bukan lawakan belaka.

Sawamura tanpa ragu mendaratkan sebuah cap pada berkas di hadapannya. Bokuto memberinya dua ibu jari. Kuroo masih memberinya cengiran kucing itu lagi. Semua itu membuat Hinata kembali berkaca-kaca. Hatinya begitu sesak, penuh kebahagiaan tiada tara. Benarkah… benarkah ia diterima di Capcorn? Serius?

Akhirnya… mimpinya untuk membuat game tercapai.

Hinata melemas di atas kursinya. Berkali-kali mengutarakan rasa syukur atas keberhasilannya itu. Yah, mungkin memang kebetulan ia diterima ketika Capcorn sedang butuh pekerja, tapi itu tidak masalah. Yang penting, ia telah mendapatkan angan-angan kehidupan di dalam genggamannya, dan ia akan terus menjaga agar angan-angan itu tidak musnah.

Segala lika-liku karirnya dalam industri game baru dimulai sekarang. Hinata seharusnya tahu, akan ada banyak sekali masalah yang menghadangnya kelak ketika bekerja.

Hanya saja, ia sama sekali tidak mengira kalau masalah tersebut akan datang dengan begitu cepat.

Pintu ruangan terbuka secara tiba-tiba dengan begitu kasar. Hinata mendongak dan seketika menegakkan kembali postur tubuhnya. Ia menangkap sosok pria muda dengan surai hitam dan wajah tampan. Tidak seperti ketiga direktur di hadapannya, pria itu tidak mengenakan jas. Dan satu hal lagi—wajahnya benar-benar mengerikan.

Super. Duper. Mengerikan. Dan sama sekali tidak ramah.

Matanya bertemu pandang dengan dua iris biru milik pria itu. Hinata segera menyesali keberaniannya untuk menatap pria itu secara langsung, karena saat itu juga, ia merasakan ketajaman mata itu yang menusuk batinnya, membuat kedua kakinya bergetar. Hinata menelan ludah.

Sepertinya… ia adalah seseorang yang merepotkan. Kalau bisa, Hinata tidak ingin terlibat sama sekali dengannya.

"Oya," Hinata tidak tahu pasti, tapi ia cukup yakin bahwa kedua mata Bokuto sedikit memicing. "Ou-sama~ Kau terlambat."

"Tidak heran," Kuroo mengibaskan tangannya. "Dia orang sibuk."

"Wawancaranya sudah selesai?" Memilih untuk mengabaikan segala perkataan barusan, pria itu melenggang santai menuju meja juri, salah satu tangan tenggelam di dalam saku celana. Penampilannya berantakan, dan dasinya tidak rapi. Hinata memaklumi itu, karena menurut artikel yang dibacanya di internet, pekerjaan sebagai pembuat game, terutama bagian programmer, benar-benar melelahkan sampai kebanyakan orang tidak repot-repot mempertahankan penampilan cakepnya.

"Baru saja," jawab Sawamura santai. "Kenma bilang kemampuannya sangat hebat. Kita belum tahu pasti, tapi lebih baik cukup tenaga daripada kekurangan, bukan?"

"Hm…" Pria itu menggumam, lantas mendaratkan kembali pandangannya pada Hinata, membuat yang bersangkutan tanpa sadar berjengit—sedikit gentar melihat wajah tidak bersahabatnya. Kedua alis pria itu tertekuk tidak suka. Hinata dapat merasakan pandangannya yang sedang meneliti penampilannya dari ujung rambut hingga ujung kaki. "Kau yakin bocah seperti dia bisa diandalkan? Dia terlihat seperti orang tidak becus bagiku."

"Aku bukan seorang bocah. Aku dua puluh satu tahun," protes Hinata.

"Wow," Kuroo bersiul. Entah kenapa, rasanya ia malah menikmati tension tinggi di antara Hinata dan pria itu. Mungkin dirinya memang suka menonton perkelahian orang-orang seperti ini. "Kalian berdua seumuran?"

Oh? Jadi pria sok hebat ini seumuran dengannya? Baru dua puluh satu tahun seperti Hinata, tapi sifatnya sudah membuatnya luar biasa kesal.

Mana mungkin Hinata mau kalah dengan orang seperti itu.

"Kau tidak berhak mengataiku tidak becus sebelum aku sempat mencoba," Hinata menyambung kalimatnya tadi dengan berani.

"Perkataan hanya perkataan. Kau tetap terlihat tidak becus bagiku." Pria menyebalkan itu mendengus, lantas berjalan mendekati Hinata. Merasa tertantang, Hinata beranjak dari kursi nyamannya dan balas menatap pria itu, ketakutannya hilang entah sejak kapan—mungkin sejak pria itu mengatainya tidak becus. Hinata mengepalkan tangan, mengingatkan dirinya sendiri bahwa ia tak boleh mencari masalah sebelum ia sempat bekerja secara resmi. Ia hanya akan membalas perkataan pria itu dengan formal dan sopan—namun agak menusuk—kemudian ia akan mengakhirinya di situ.

"Yah, maaf saja kalau aku tidak becus," Hinata berbicara melalui gigi-gigi yang terkatup rapat. "Tapi setidaknya, aku masih punya kesadaran untuk menghormati orang lain. Tidak seperti seseorang yang mulai terlena sehingga mereka mengatai orang lain tidak becus."

Mata pria itu melebar. Warna biru di dalamnya menjadi lebih gelap. Hinata tak bisa memungkiri bahwa bulu kuduknya sempat berdiri, dan darahnya berdesir hebat hingga ke ubun-ubun. "Memangnya kau tahu siapa diriku?" Pria itu mengambil beberapa langkah, dan baru berhenti hingga ia berada tepat di depan Hinata. Badannya yang cukup tinggi mendaratkan bayangan pada tubuh Hinata sendiri, membuat nyalinya sedikit menciut. "Kageyama Tobio. Main Programmmer dan Lead Designer di kantor ini."

Kedua mata Hinata membola. Bohong. Pria menyebalkan itu adalah programmer dan desainer utama di Capcorn? Tidak bisa dipercaya. Hanya beberapa orang saja yang bisa menjadi main programmer sekaligus desainer utama. Itu membuktikan seberapa hebat dan jenius pria menyebalkan itu. Kalau saja ia tidak memiliki masalah dengan sifatnya yang busuk bagaikan sampah jalanan itu, Hinata sudah dari awal rela menjadi fansnya.

"Ups, maaf menyela," Kuroo menyeru dengan santai. "Tapi kau harusnya telah melihat Kageyama sekali dua kali di berita. Bagaimanapun juga, dia adalah programmer jenius sepajang masa, sampai-sampai ia dijuluki King of Programming—"

"Kuroo-san." Kageyama mendelik pada pria bersurai hitam itu. Kuroo menyeringai dengan wajah tanpa dosa.

King of Programming… Hinata menarik nafas secara tajam. Tidak mungkin. Tidak, tunggu… Kageyama adalah King of Programming yang itu!?

Orang dengan masalah kepribadian ini adalah sosok yang sempat menarik perhatian Hinata karena talentanya yang hebat!?

Tapi, jika ia mendapat gelar sehebat itu, kemampuannya pasti tidak lagi diragukan. Ia adalah yang paling hebat di dalam kantor ini. Di samping itu, ia masih bisa merangkap sebagai desainer. Hinata menelan ludah. Seberapa pintarnya orang yang satu itu?

Namun, Hinata memutuskan untuk tidak menyerah. Mana mungkin ia mau kalah dengan Kageyama Tobio sialan ini? Sedikit berdebat tidak masalah asal ia bisa menghindari adu jotos, kan? Lagipula, yang pertama kali mengejeknya adalah Kageyama, jadi Hinata memiliki ruang untuk membela diri.

"Kau mungkin tidak mempedulikan ini… tapi aku juga berkeinginan untuk menjadi desainer. Yah, aku masih diterima sebagai animator, tapi kelak aku akan menjadi desainer terhebat di sini." Hinata meletakkan satu tangan pada dadanya, pada tempat di mana segenap perasaannya berkumpul. Kemudian dengan nada penuh determinasi, ia mengatakan dengan lantang, "Aku akan menggesermu dari tahtamu, Ou-sama."

Kedua bola berwarna biru kembali melebar, tertantang, lalu kembali menajam. "Memangnya kau bisa melakukannya?" dengusnya. Kakinya mengambil satu lagi langkah maju mendekati Hinata. Dengan tubuh tingginya, ia mengintimidasi Hinata, menatapnya dari atas dan dengan mengerikan. "Jangan mengatakan seolah segala hal bisa berjalan semudah itu. Yang akan menjadi programmer dan desainer terhebat… adalah aku."

Selama beberapa saat, keduanya saling memberikan tatapan tersengit yang dimiliki masing-masing. Jika saja Sawamura tidak menepukkan kedua tangannya, mungkin yang terjadi selanjutnya adalah perdebatan yang lebih sengit, atau dalam kasus terburuk adu jotos—yang bisa mengantarkan Hinata pada status penganggurannya kembali.

"Oke, oke! Hentikan di situ, kalian berdua!" teriak Sawamura berusaha menengahi. Kedua tangannya bergerak untuk memisahkan Hinata dan Kageyama, lalu ia menempatkan diri di antara keduanya, berjaga-jaga jika siapa tahu mereka akan kembali berkelahi kalau ia tidak memegangi.

"Maaf, Daichi-san," Kageyama berusaha menahan kekesalannya. "Si cebol ini menyebalkan sekali—"

"Apa katamu!? Kau jauh lebih menyebalkan, Ou-sama sialan!"

"Jangan memanggilku begitu!"

Hawa mengerikan—yang biasanya Sawamura gunakan untuk mengancam bawahannya yang tidak bisa menjaga sikap—menguar dari sekitar tubuhnya. Bokuto dan Kuroo yang sudah lama mengenal Sawamura segera melompat ke bawah meja, bersembunyi, pura-pura takut. Sementara itu, sorotan galak dari Sawamura dilayangkannya pada Hinata dan Kageyama secara bergantian.

"Hentikan perkelahian kalian. Sekarang juga," ucapnya pelan, sengaja memanjangkan suku kata dari kalimat terakhir. Wajah mengerikannya ia pancangkan pada Hinata, membuat pria yang bersangkutan berjengit ngeri. "Dengar, Hinata. tak peduli apakah Kageyama menyebalkan, mengesalkan, atau menyenangkan bagimu, tapi kalau kau masih ingin menjadi karyawan di sini, kau harus mau berbaikan dengan karyawan lain. Kalau kau menolak, aku terpaksa harus membatalkan penerimaanmu di sini." Hinata meringis kesakitan, karena mana mungkin ia dikeluarkan dari suatu perusahaan beberapa menit setelah ia diterima di sana? "Mengerti? Kau harus berjanji bahwa kau akan berbaikan dengan Kageyama."

"B-Baik! Aku mengerti! Aku berjanji!" Hinata menjawab dengan gugup, suaranya yang tak bisa terkontrol membuat volumenya bertambah besar. "Ou-sama sangat menyebalkan, tapi aku akan berusaha sebisaku untuk tahan dengan kepribadian jeleknya!"

"Oi, apa kau bilang—"

"Dan kau, Kageyama," Pandangan mengerikan Sawamura telah berpindah pada Kageyama sebelum ia sempat selesai menyuarakan protesnya pada Hinata. Sang Raja bungkam seketika. "Sudah berapa kali kubilang—hargai orang lain. Jabatanku memang setara denganmu, tapi aku bisa membujuk Ukai-san, Takeda-san, atau bahkan Ushijima-san untuk mencopot jabatanmu. Bagaimana?"

Kageyama memucat. "Uhh… Aku… mengerti. Aku minta maaf."

Sawamura memejamkan mata dan menghela nafas. "Baiklah. Sekarang, kembalilah bekerja. Urusan wawancara sudah selesai. Dan keputusan akhirnya adalah bahwa Hinata Shouyou diterima di sini." Hinata merasakan kedua matanya berbinar-binar sekali lagi. Syukurlah, ia tidak jadi ditendang keluar karena seorang Raja mengajaknya adu mulut.

Kageyama tak bersuara. Hanya mengangguk kaku tanpa bisa memprotes perkataan Sawamura. Meski kedudukan mereka setara, ia tak berani melawan Sawamura karena ia adalah senior dan ia sangat mengerikan. Hinata tahu sekarang kenapa Kuroo dan Bokuto iseng-iseng bersembunyi di bawah meja, cekikikan melihat dirinya dan Kageyama diceramahi.

"Dan Hinata, kita harus berbicara mengenai beberapa hal. Jadi, bisakah kau duduk kembali?"

"Ah… baik," jawab Hinata, tersentak pelan. Kedua kaki kecilnya berjalan mundur agar ia bisa kembali menghempaskan tubuh bagian bawahnya ke atas kursi empuk itu sekali lagi. Sementara Kageyama yang masih terlihat gemas—karena ia tidak bisa mengapa-apakan Hinata lagi—memilih untuk memutar badan dan melangkah keluar ruangan.

Selama sosok itu berjalan, Hinata tak bisa melepaskan pandangannya dari punggung tegap itu.

'Ou-sama… ya?'

Hinata menunduk dalam-dalam dengan guratan wajah serius.

Hingga detik ini, impian terbesarnya adalah untuk menjadi pembuat game dan merilis sebuah game yang populer dan sukses. Tapi detik itu juga, ia merasa ada sebuah keinginan baru yang muncul bagaikan ledakan besar di dalam dadanya.

Ia ingin bersaing dengan Kageyama.

Ada sesuatu dalam diri Kageyama yang membuat Hinata tertantang. Entah itu kepribadian buruknya atau talentanya yang sangat hebat, ia tak terlalu mengerti. Tapi ada satu hal yang pasti. Bahwa dirinya tidak akan terima dianggap remeh oleh orang itu.

Ketika Hinata mengangkat kembali kepalanya, Kageyama baru saja menutup pintu ruangan, membuat Hinata hanya dapat melihat bagian belakang kepalanya melalui kaca pada pintu sebelum ia pergi.

Pandangannya pada pintu itu—tempat di mana Kageyama berada sebelum ia menghilang—menajam.

'Aku tidak akan kalah dengannya.'

TO BE CONTINUED


*hikikomori= orang yang tidak pernah keluar rumah dan yang menjauhkan diri dari kehidupan sosial

**Capcorn=plesetan Capcom

***shinjin=newbie

****Round Enix=plesetan Square Enix


Yep, ini adalah pelampiasan saya atas kesukaan saya terhadap game!

Btw, Kageyama di sini memang bekerja sebagai programmer dan designer, tapi dia lebih sering jadi programmer dan cuma jadi designer pas orang-orang butuh tenaga ekstra. Anggap saja dia bisa nggambar, tapi gambarnya sekadar rapi dan ga sebombastis gambar Bubunhanten (?) /malah promosiin penggambar doujin /plak

Sementara Hinata di sini gambarnya buagusss banget (lebay). Tapi bener kok. Awalnya dia emang jadi animator, tapi liat aja nanti dia jadi designer atau nggak. Muehehe.

Segala sesuatu yang menjadi masa lalu Hinata sebagian besar adalah sesuatu yang saya alami. Saya bercita-cita untuk membuat game. Dan… orang-orang di sekitar saya ngetawain saya ketika saya ngomong begitu. Sakit bro :") Saya juga ingin bisa programming, tapi programming adalah sesuatu yang bikin pusing. Sekali lagi, itu bahasa alien atau apa? Kalo mau jadi desainer, saya ga terlalu suka mengedit-edit gambar. Ahh, galau banget sih saya. /plak

Jadi dengan fanfic ini, saya ingin membayangkan kondisi di sebuah lingkungan gaming industry. Pingin jadi developer juga sih, jadi sambil ngetik KageHina, sambil membayangkan diri saya bekerja di perusahaan game. Wkwk.

Karena ini adalah hasil pengandaian saya, tidak semua hal yang ada di fanfic ini akurat. Saya belum pernah bekerja di sebuah kantor, jadi harap maklum kalau ada sesuatu yang tidak pas.

Terakhir, terima kasih untuk yang sudah mau membaca fanfiksi ini! Sampai jumpa di chapter depan!