Lost Stars

Cast:

V as Kim Taehyung

Jungkook as Jeon Jungkook

Rate M for violence

Summary:

Kim Taehyung bukan pendendam. Sungguh. Ia dilahirkan untuk mencintai semua orang. Tapi seorang polisi bernama Jeon Jungkook merebut semua cinta yang dimilikinya, dan menyisakan rasa dendam pada dirinya. VKook.

Disclaimer:

Member BTS bukan punya author, tapi cerita fiksi ini murni ide author. Jika ada kesamaan cerita, itu adalah unsur ketidaksengajaan.

.

.

.

Taehyung merasakan air membasahi wajahnya tetes demi tetes. Ia pun membuka matanya dan melihat awan gelap yang menyelimuti langit malam. Beberapa kali matanya sempat terpejam karena terkena tetesan hujan. Perlahan, ia menoleh ke kanan dan ke kiri. Ditemukannya Jungkook tengah terbaring di sampingnya dengan senyuman. Ia membalas senyuman manis itu, dan tangannya ia arahkan untuk membelai wajah sahabat kecilnya.

"Kookie, aku menyayangimu," Taehyung membelai pipi Jungkook dengan lembut.

Ia lalu mendudukkan tubuhnya dan membersihkan bekas-bekas tanah di seluruh tubuhnya-yang sudah basah karena hujan. Dengan hati-hati ia mengangkat tubuh Jungkook dengan kedua tangannya. Tak lupa ia lindungi wajah Jungkook dengan menenggelamkannya di antara dada dan lehernya. Kemudian, Taehyung mulai berjalan sambil menatap lembut jasad yang ada di gendongannya.

"Kookie, ayo kita bermain di rumahku. Jimin pasti sudah bosan menunggu."

.

"Aku pulang," seru Taehyung saat kakinya melangkah masuk ke dalam rumahnya.

Tidak ada suara yang terdengar setelah seruan Taehyung tadi. Hanya suara pintu yang ditutup dan langkah kaki Taehyung sendiri. Dalam dekapannya masih ada tubuh Jungkook yang basah terkena hujan. Darah yang merembes pada pakaian mereka sudah terhapus berkat hujan deras yang mereka terjang.

Tanpa memedulikan pakaian atau tubuh yang basah kuyup, Taehyung membaringkan tubuh pucat Jungkook di sebelah tubuh kaku Jimin yang ia tinggalkan pagi tadi.

"Chim, aku membawa Kookie bersamaku," kata Taehyung sambil memandang lembut ke arah Jimin dan Jungkook yang terbaring dengan mata terpejam. "Aku akan mandi dulu, setelah itu baru kita bermain seperti biasanya ya?"

Lima belas menit berlalu, Taehyung pun kembali menghampiri kedua jasad di kasur itu sambil membawa sebuah permainan di tangannya. Ia duduk di lantai dan membuka permainan tersebut—ular tangga, salah satu permainan kesukaan mereka bertiga sewaktu kecil dulu. Tangannya mengambil sebuah dadu dan tiga buah bidak yang berbeda warna. Ia lalu mengatur ketiga bidak di atas kotak yang bertuliskan START dan bersenandung pelan. "Yang warna hijau milikku, lalu biru untuk Jimin dan merah untuk Kookie."

"Aku duluan ya," Taehyung mengangkat dadu kecil dan melemparnya pelan ke arah papan permainan. Senyumnya merekah ketika ia melihat dadu yang dilemparkannya memberi bidaknya kesempatan untuk maju lima kotak. "Yeay! Ayo, sekarang giliran Jimin ya, setelah tu baru giliran Jungkookie."

Taehyung menatap dadu dan bidak biru milik Jimin yang tidak bergerak. Ia menghela nafasnya pelan lalu tersenyum kecil sambil mengambil dadu tersebut.

"Kau sudah lupa cara bermainnya ya? Pertama, kau ambil dadunya dan lemparkan. Lalu kau bawa bidakmu maju sesuai dengan angka yang ditunjukkan oleh dadu yang kau lempar," jelas Taehyung sambil memeragakan apa yang ia ucapkan. Ia pun melakukan hal yang sama pada bidak merah milik Jungkook.

Setelah itu, Taehyung meneruskan permainannya dengan dirinya yang berperan sebagai Jimin dan Jungkook.

.

"Selamat pagi, Jimin, Kookie."

Taehyung bangkit dari kasur lapuknya, dan meregangkan tubuhnya sementara matanya masih menatap kedua tubuh kaku Jimin dan Jungkook yang ia letakkan di kasurnya. Ia mendekati kedua tubuh tersebut dan mengusap kepalanya bergantian. Ia lalu mengecup pelan dahi keduanya sebelum ia meninggalkan kamar tidurnya.

Kaki Taehyung melangkah dengan perlahan. Tubuhnya lemas karena ia belum mengisi perutnya sedari kemarin. Pikirannya tidak fokus pada satu hal, yang ia pikirkan hanyalah bagaimana ia bisa membuat kakak kembarnya dan sahabat kecilnya kembali bersamanya—walau ia tahu itu mustahil.

Pemuda bermarga Kim itu hampir saja menendang sebuah mangkuk berisi makanan yang terbungkus plastik saat ia hendak keluar rumah. Mangkuk itu diletakkan tepat di depan pintu, entah siapa yang meletakkannya. Tanpa pikir panjang, ia mengambil mangkuk itu dan menaruhnya di atas meja makan. Tangannya meraih secarik kertas kecil yang tertempel di atas mangkuk tersebut, mengabaikan tulisan yang ada di dalamnya dan membalikkan kertasnya. Ia pun menulis sesuatu di balik kertas tersebut sebelum ia pergi.

Untuk Jimin dan Jungkookie, makanlah ini.

.

Telinga Taehyung mengangkap berbagai macam suara sembari ia melangkah tak pasti di tengah kota. Suara para wanita tua yang bergosip berhasil menarik perhatiannya. Namun setelah kurang dari satu menit Taehyung mencuri dengar pembicaraan wanita-wanita tua itu, pikirannya menjadi kacau. Ia mendengar mereka menyebut nama Jungkook, dan ia dapat merasakan beberapa pasang mata tertuju padanya.

Ingin rasanya Taehyung menghilang dari tempat itu. Berada di tengah kerumunan orang yang tak dikenalnya, dan sinar matahari yang begitu terik membakar ubun-ubunnya. Rasanya ia pernah mengalami ini—terintimidasi oleh alam dan terpojokkan oleh manusia. Taehyung tidak suka semua ini.

Taehyung pun melangkahkan kakinya dengan cepat, berusaha untuk keluar dari kerumunan manusia itu. Ia terus melangkah tanpa tahu arah yang dilaluinya. Ia tak tahu kemana tujuannya. Ia hanya ingin terus melangkah, tanpa adanya niat untuk berhenti barang sesaat. Taehyung tak menyadari, bahwa dirinya kini sudah berada di tanah kosong tempatnya menyaksikan kepergian Jungkook. Ia menatap sekitarnya, dan tiba-tiba saja teringat akan perkataan wanita-wanita tua di tengah kota.

"Apa kau tahu, polisi gila yang membantai kota dua tahun lalu, dia sudah mati!"

"Kudengar, kepala polisi yang membunuhnya."

"Maksudmu Kim Namjoon? Kukira ia sama seperti Jeon Jungkook itu, sama-sama gila. Terakhir aku melihat mereka tertawa bersama sambil membawa catatan kriminal lima tahun lalu."

"Syukurlah dia sudah mati. Dia pikir dia siapa, seenaknya saja memerintah kepolisian untuk menerimanya. Dasar bocah keparat, ia satu-satunya alasan mengapa kota ini tidak mendapat perlindungan hukum dari kepolisian."

"Hei, hei, kudengar, mayatnya dibawa oleh seseorang ke area kumuh di pinggir kota. Ada yang mengatakan bahwa yang membawanya itu anak bungsu keluarga Kim!"

"Astaga, dia pasti sama gilanya dengan si brengsek itu."

"Sssst, lihat itu, bukankah itu mirip dengan anak yang kau maksud?"

Taehyung mengepalkan kedua tangannya tanpa sadar. Ia berjalan menuju sebuah pohon besar yang berada di dekatnya. Kepalan tangannya semakin kuat, dan ia pun meninju batang pohon tersebut sekuat tenaga. Buku-buku jarinya mengeluarkan darah, dan darahnya pun terserap oleh batang pohon itu, sehingga pohon tersebut memiliki sedikit warna merah pada batangnya.

"Brengsek!" gumam Taehyung sambil kembali menunju pohon tak bersalah itu. "Jungkook tidak gila, dasar wanita jalang!"

Mengabaikan perutnya yang sedari pagi berteriak meminta makanan, Taehyung terus meninju pohon di depannya tanpa ampun. Ia akhirnya berhenti setelah tubuhnya kehabisan tenaga, dan saat itu matahari sudah bersiap-siap untuk bertukar posisi dengan sang bulan.

"Jungkookie anak yang manis, ia tidak bersalah," Taehyung memaksakan kakinya untuk berdiri dan berjalan pulang ke rumahnya. "Jungkookie anak yang baik, ia bukan orang gila."

Mulut Taehyung terus menggumamkan hal yang sama sambil berjalan—atau lebih tepatnya, ia menyeret kakinya sepanjang perjalanan pulang. Matanya mulai kabur, membuatnya tak bisa melihat jalan dengan baik. Berkali-kali Taehyung terjatuh karena tersandung batu, namun pemuda itu tetap berusaha berjalan menuju rumahnya.

"Jungkookie tidak gila, dan aku menyayanginya."

.

Pintu rumah keluarga Kim terbuka dengan perlahan. Dalam kegelapan, Taehyung memasuki rumahnya dan langsung menyeret kakinya menuju kamarnya. Tubuhnya sudah terlalu lemah dan penuh luka. Pikirannya sudah kacau dan pandangannya sudah mengabur. Ia ambruk di atas kasur lapuknya, tepat di sebelah jasad Jungkook.

Tangan Taehyung yang tak bertenaga meraih wajah Jungkook dan membelainya penuh kasih sayang. Dengan sedikit energi yang tersisa, ia mengecup pelan bibir Jungkook dan memeluk sahabat kecilnya itu. Ia menggumam pelan saat ia merasakan sebentar lagi matanya akan terpejam.

"Maafkan aku, Kookie. Aku tidak akan meninggalkanmu lagi. Aku mencintaimu selamanya."

Dan mata Taehyung pun benar-benar terpejam. Bersamaan dengan hembusan nafas terakhirnya.

.

.

.

Flashback

"Chim, ayo kita main kejar-kejaran!" seru Taehyung kecil sambil berlari meninggalkan kakak kembarnya.

"Yang kalah harus memberi sebagian makan malamnya ya," jawab Jimin sambil mulai mengejar adiknya yang sudah berlari mengelilingi rumah mereka.

Jimin hampir saja menangkap Taehyung jika seseorang tidak mendorong tubuhnya ke samping—membuat bocah kecil itu terbentur batu besar dan melukai mata kanannya. Ia tidak tahu siapa yang mendorongnya, dan ia tidak mampu melihat sosok bocah kecil—yang lebih kecil darinya—tengah berlari mengejar adiknya sambil berteriak kencang, "Tae, tunggu Kookie!"

Kepala Jimin berdenyut sakit sehingga ia memegang kepalanya. Saat itulah ia menyadari bahwa ada darah yang keluar di sekitar matanya—karena terbentur batu tadi. Dan bocah kecil yang malang itu pun langsung menangis keras.

Mendengar kakak tersayangnya menangis, Taehyung langsung berlari mendekati Jimin yang terduduk di atas tanah dengan darah di wajah dan tangannya. Bocah itu duduk di depan Jimin dan mengelus kepalanya dengan sayang.

"Chim, sakit ya?" tanya Taehyung dengan mata yang ikut berkaca-kaca. Sambil menangis, Jimin mengangguk, yang kemudian dijawab kembali dengan tangisan adik kembarnya.

Sedangkan bocah kecil yang tadi mendorong Jimin hingga terjatuh, ia hanya bisa melihat kedua temannya menangis tanpa melakukan apapun. Pada akhirnya, Jungkook memutuskan untuk pergi meninggalkan mereka berdua.

.

Jimin berlari kecil menuju pintu rumahnya yang diketuk oleh seseorang dari luar. Wajahnya menyunggingkan senyum saat ia melihat siapa yang sedang berdiri di hadapannya. "Kookie!"

Bocah kecil di hadapannya tidak mengindahkan panggilan Jimin, ia sibuk mengintip ke dalam rumah. "Chim, dimana Tae?"

"Taetae sedang—"

"Aku ingin bermain bersama Tae," potong Jungkook sambil berlari masuk ke dalam rumah keluarga Kim.

Tanpa ragu, Jungkook langsung membuka pintu kamar Taehyung dan Jimin, dan mata bulatnya menyipit lucu ketika ia menemukan seseorang yang dicarinya tengah menggoreskan sebuah garis melengkung pada sebuah kertas besar di atas lantai. Ia pun langsung memeluk temannya itu dengan erat. "Taetae, ayo kita ke rumah Kookie~!"

Terkejut karena pelukan yang tiba-tiba, Taehyung menghentikan aktivitas menggambarnya. Ia melepas pelukan itu dengan mendorong Jungkook yang masih ersenyum lebar padanya, lalu kembali fokus dengan kertas dan pensilnya. "Aku sedang belajar menggambar bersama Chimchim."

Jungkook diam, namun dua detik kemudian ia menarik-narik lengan baju Taehyung sambil tersenyum. "Kalau begitu, Kookie juga mau ikut menggambar!"

"Um, Tae, Kookie ingin pakai pensil itu," kata Jungkook sambil menunjuk pensil yang sedang digunakan Taehyung.

Tepat sebelum Taehyung mengeluarkan suara, Jimin berjalan masuk ke dalam kamar dan menutup pintunya. Ia melihat jari gemuk Jungkook yang mengarah ke pensil adiknya, lalu dengan cepat ia memberikan pensil miliknya—yang tergeletak di lantai—kepada Jungkook. "Ini, pensilku sama dengan milik Taetae kok."

"Tidak mau, aku ingin pinjam milik Tae."

Tangan Jimin terpaksa meletakkan kembali pensilnya saat Jungkook mulai berusaha merebut pensil Taehyung. Selaku anak yang paling tua, Jimin memiliki tanggungjawab agar tidak ada yang berkelahi—atau saling berebut benda—di antara mereka. Berkali-kali Taehyung berhasil melindungi pensilnya dari tangan nakal temannya itu, berkali-kali pula Jimin membujuk Jungkook agar menggunakan pensil miliknya. Namun seorang Jeon Jungkook memiliki satu cara agar permintaannya terpenuhi. Ia mulai merengek pada Taehyung dengan mata berair—menunjukkan bahwa ia sebentar lagi akan menangis. Dan cara itu selalu berhasil.

"Ya sudah, ini pakai!" Taehyung akhirnya menyerahkan pensilnya pada Jungkook, yang kemudian dibalas dengan senyuman lebar dari temannya yang menggemaskan itu.

Dalam beberapa menit, Jungkook sudah sibuk menggambar berbagai macam bentuk pada kertas besar tadi, bersama Taehyung yang akhirnya meminjam pensil milik kakaknya.

Jimin yang memilih untuk mengalah, akhirnya hanya bisa menatap Taehyung dan Jungkook yang menggambar dengan riang. Ia lalu tersenyum dan mengelus pelan rambut Jungkook sambil berkata, "Kookie, lain kali jangan merebut barang orang lain lagi ya, itu tidak baik."

Sayangnya, nasihat itu hanyalah sebuah angin lalu yang tidak akan pernah Jungkook pedulikan.

.

Pada malam hari terdengar suara langkah kaki seseorang yang tengah berlari. Dalam kegelapan, terlihat sesosok remaja laki-laki yang terlihat terburu-buru sambil membawa sebuah tas ransel di punggungnya.

Jungkook berhenti tepat di depan pintu rumah keluarga Kim. Ia mengatur napasnya yang terengah-engah sebelum tangannya bergerak untuk mengetuk pintu. Kurang dari satu menit setelah ia mengetuk, pintu terbuka dan seorang wanita paruh baya menyambutnya dengan raut wajah lelah. "Jungkookie? Ada apa nak?"

"Aku... Ingin melihat keadaan Taehyung, bu," ujar Jungkook dengan bibirnya yang gemetar karena dingin.

Setelah ia dipersilakan masuk oleh ibunda Taehyung, ia langsung melepas sepatunya dan berlari menuju kamar Taehyung dan Jimin. Di dalamnya, ia dapat melihat Taehyung yang terbaring lemas di atas kasur, dengan selembar kain basah diletakkan di dahinya. Jimin yang sedang berbaring sambil menggenggam tangan adik kembarnya langsung terduduk saat ia melihat siapa yang memasuki kamarnya.

Jungkook meletakkan tas ranselnya di lantai sebelum ia duduk di sebelah kasur dan meletakkan telapak tangannya pada leher Taehyung untuk mengetahui suhu tubuh temannya. Ia mendesah pelan saat ia merasakan panas yang cukup tinggi pada telapak tangannya. "Chim, Kookie menginap disini."

Seolah mendengar sebuah perintah, Jimin langsung bangkit dari kasurnya. Ia lalu menyuruh Jungkook menggantikannya untuk tidur di sebelah Taehyung—yang sebenarnya tanpa disuruh pun, remaja itu sudah berniat untuk melakukannya dan memeluk sahabat tersayangnya yang terlelap dengan peluh di dahinya. Sementara Jimin sendiri memilih untuk duduk di lantai sambil menggenggam satu tangan adiknya dengan cemas.

.

"Jimin, aku ingin keluar dari kota ini."

Mata Jimin menangkap sosok adik kembarnya yang kini tengah memandang jauh ke langit yang cerah. Akhir-akhir ini, kalimat itu sering sekali keluar dari mulut Taehyung, dan hanya dilontarkan saat tidak ada seorang pun bersama mereka. Hanya Jimin yang diizinkannya mendengar kalimat itu.

Tiba-tiba saja, Taehyung merangkul lengan Jimin—membuat sang kakak terkejut dengan tingkahnya yang tak pernah bisa ditebak. Namun kali ini, rasanya Jimin tahu apa yang akan dilakukan adiknya setelah ia memeluk lengannya dan menatapnya dengan mata yang berbinar.

"Ayo kita pergi!" Taehyung tersenyum lebar sambil menarik-narik lengan kakaknya.

Dalam hatinya, sebenarnya Jimin pun memiliki keinginan yang sama dengan Taehyung. Namun, ia lebih berpikir logis. Mereka hanyalah sepasang remaja berusia delapan belas tahun, tak memiliki uang ataupun keluarga selain orangtuanya. Bagaimana mereka akan hidup jika mereka pergi meninggalkan kota yang telah mereka tinggali sejak lahir?

"Lalu bagaimana dengan ayah dan ibu, Tae?" tanya Jimin.

"Kita bisa kembali ke sini lagi, kan?"

Jimin mendesah pelan. Bukan maksudnya menolak permintaan Taehyung, tapi ia merasa ada sesuatu yang akan terjadi jika mereka pergi dari kota itu.

"Bagaimana dengan Jungkookie?"

.

Sudah lima hari sejak si kembar pergi meninggalkan kota. Sudah lima hari pula Jungkook terus datang ke rumah keluarga Kim untuk menanyakan merekadan selalu dijawab dengan jawaban yang sama oleh nyonya Kim.

Di hari keenam, Jungkook kehilangan kesabarannya dan membantah jawaban nyonya Kim. Ia yakin, Taehyung dan Jimin tidak akan menghilang begitu saja tanpa memberitahu orangtuanya. Dengan kasar remaja delapan belas tahun itu mendorong sang nyonya rumah yang berdiri di depan pintu dengan wajah lelahnya dan langsung masuk ke dalam rumah untuk mencari temannya.

"Jungkookie!" teriak nyonya Kim saat ia melihat Jungkook berjalan menuju kamar tidur utamatempat dimana tuan Kim tengah terbaring saat itu.

Namun Jungkook sudah kalut oleh emosi. Yang ia inginkan hanyalah menemukan Taehyung, bagaimanapun caranya. Ia pun langsung membanting pintu kamar tuan dan nyonya Kim, dan langsung menyerang tuan Kim yang sedang terbaring dengan pertanyaan yang memaksa.

"Dimana Taetae?!" bentak Jungkook sambil mengangkat kerah baju tuan Kim, membuat lelaki paruh baya itu terbatuk karenanya.

Nyonya Kim pun datang dan berusaha melepaskan cengkeraman tangan Jungkook dari suaminya, namun remaja yang sudah ia anggap seperti anaknya itu malah menepisnya dan mendorong tubuhnya sehingga kepalanya mengenai ujung meja nakas.

"Kookie, kami... uhuk, tidak tahu... nak..." kata tuan Kim dengan susah payah.

Jungkook akhirnya melepaskan tuan Kim dan berjalan menuju lemari kecil yang ada di sudut kamar. Ia membuka lemari itu dan membongkar segala isinya. Matanya menangkap sebuah kertas yang terlipat rapi. Betapa ia terkejut ketika ia mengetahui bahwa itu adalah benda yang dicarinya.

Mata Jungkook menatap tuan Kim tajam. Lelaki paruh baya itu tengah berusaha bangkit dari kasur untuk menolong istrinya yang berdarah di bagian kepalanya, tapi tubuhnya yang lemah tidak mengizinkannya untuk berbuat banyak. Tanpa berkata-kata lagi, Jungkook meremas surat tersebut dan membawanya pergi meninggalkan rumah itu.

Di luar sana, tangan Jungkook merobek surat yang diambilnya itu. Ia merobek kertas itu, ia tidak ingin membacanya lagi. Tulisan dalam kertas itu, ia tahu betul, itu adalah tulisan tangan Jimin.

Untuk ayah dan ibu...

Maafkan kami karena meninggalkan kalian. Kami akan kembali lagi nanti, namun kami tidak bisa menjanjikan kapan. Sekali lagi maaf, dan jagalah kesehatan kalian.

Kami meminta tolong pada kalian, tolong jangan beritahukan hal ini pada Jungkookie.

Kecup sayang, Jimin dan Taehyung.

.

Tidak lama setelah si kembar Kim pergi, berita bahwa tuan dan nyonya Kim meninggal sudah menyebar ke seluruh kota. Dan sejak saat itu, nyonya Jeon menyadari ada sesuatu yang salah dengan anaknya. Buah hati kecilnya itu kini lebih mudah marah dan lebih senang menyendiri di dalam kamarnya tanpa cahaya lampu.

Dengan pertimbangan yang matang, nyonya Jeon akhirnya membawa Jungkook menemui seorang psikiater terdekat.

Kurang lebih satu jam setelah psikiater itu membawa Jungkook ke ruangannya, psikiater itu keluar menemui nyonya Jeon dengan wajah serius. "Maaf, Nyonya, apakah anda kenal seseorang bernama Taetae dan Chimchim?"

Wajah nyonya Jeon menegang setelah mendengar kedua nama itu disebutkan. "Mereka teman Jungkook, dokter. Apa ada hubungannya dengan tingkah aneh Jungkook akhir-akhir ini?"

Psikiater itu menghela napas dan mulai berbiacar dengan suara kecil agar Jungkook-yang tengah duduk tak jauh dari merekatakkan bisa mendengar apa yang ia ucapkan. "Sepertinya Jungkook memiliki sebuah obsesi terhadap seseorang bernama Taetae. Ia berkata bahwa ia ingin membunuh Chimchim agar Taetae bisa menjadi miliknya sepenuhnya."

Sejak saat itu, nyonya Jeon tak lagi dapat memandang anaknya sebagai anak yang polos dan berani.

.

Empat tahun setelah Jungkook ditinggal pergi oleh si kembar Kim, akhirnya ia memutuskan untuk menjadi seorang polisi. Dengan bermodalkan seragam polisi, ia mendatangi kantor polisi dan menemui kepala polisi yang menjabat, Kim Namjoon.

"Masukkan aku dalam anggota kepolisian," kata Jungkook tegas.

Sang kepala polisi hanya menatap lelaki di hadapannya dengan ekspresi aneh, sebelum ia kembali melihat sebuah kertas laporan kriminal yang tengah dibacanya. "Tidak bisa."

Jungkook kemudian menghentakkan kakinya keluar ruangan kepala polisi dan berdiri di antara beberapa polisi yang tengah sibuk bekerja. Tangannya mengeluarkan sebuah pistol yang dibelinya bersamaan dengan seragamnya. Dan tanpa ragu ia menembakkan pelurunya tepat pada salah seorang polisi di dekatnya.

Polisi lainnya terkejut dan langsung bersiap mengambil pistolnya masing-masing, namun Jungkook tidak memberi mereka waktu untuk itu. Ia kembali menembakkan pelurunya pada masing-masing polisi dalam ruangan itu hingga pada akhirnya, satu-satunya anggota kepolisian di kantor itu adalah sang kepala polisi yang kini sudah berdiri di depan pintunya sambil mengangkat kedua tangannya.

"Aku tidak akan ragu menembakmu, Kim Namjoon. Tapi aku akan memberimu kesempatan untuk hidup jika kau menyetujui permintaanku tadi," ujar Jungkook sambil mengarahkan pistolnya pada Namjoon.

Lebih dari lima menit mereka berada pada posisi itu. Namjoon belum juga mengambil keputusan, dan Jungkook masih bersedia menunggu keputusan bijaksana itu. Dan akhirnya, sang kepala menurunkan kedua tangannya dan membawa tangan kanannya ke hadapan Jungkook untuk berjabat tangan.

"Baiklah, selamat datang di kepolisian, Jeon Jungkook."

Dan Namjoon dapat melihat seringaian mengerikan dari rekan barunya itu.

Flashback End

.

.

.

Setelah rekannya meninggal akibat peluru yang ditembaknya, Namjoon hanya bisa merenungkan perbuatannya dan kenangannya bersama polisi brengsek itu. Dua tahun bersamanya membuat Namjoon mengenal Jeon Jungkook dengan sangat baik. Dia gila, dan Namjoon lebih gila karena dapat bekerjasama dengannya.

Walaupun ia tahu, Jungkook telah menyulut api pada sebuah apartemen saat mereka berlibur ke luar kota, tapi ia harus mengakui bahwa ia tak dapat menahan rekannya itu dalam jeruji besikarena ia bahkan sudah tidak memiliki kewenangan sebagai aparat kepolisian.

Rasa bersalah menghantuinya. Rasa bersalah karena menipu Jungkook dengan dokumen-dokumen tua yang ia berikan sebagai pekerjaan. Rasa bersalah karena ia tidak memberi tahu Jungkook bahwa kantor polisi tempat mereka bekerja sudah tak berlaku sejak Jungkook datang. Rasa bersalah karena ia tidak sempat membawa Jungkook menemui kebenaran. Rasa bersalah karena membunuhnya.

Airmatanya tak dapat dibendung lagi. Ia menangis. Ia teringat akan Kim Taehyungpemuda yang hendak ia tembak dengan pistolnya, namun selamat karena lindungan Jungkook. Rasa bersalahnya pun bertambah. Dan akhirnya, ia memutuskan untuk menjaga pemuda yang bahkan rekan gilanya pun melindunginya.

Keesokan pagi setelah Jungkook pergi, Namjoon mencari tahu dimana rumah Kim Taehyung. Dengan niat baik, ia meninggalkan sebuah mangkuk berisi makanan untuk si bungsu Kim. Tak lupa ia menyertakan sebuah kertas kecil untuknya.

Setelah itu, Namjoon pergi meninggalkan kota, meninggalkan segala kenangan di dalamnya dan memulai kehidupan baru.

Untuk Kim Taehyung

Aku turut berduka, maafkan aku.

Makanlah ini. Hiduplah dengan baik.

Kim Namjoon

.

.

.

.

.

END


Warning: Ini garing, buat yang ga suka skip aja. Udah dikasih tau loh ya.

Halo semuanya, ini si ganteng nan unyu Jimin. Anonnya kemarin udah bilang kan ya, mau jadi orang nyebelin, jadi dia ngepost sekuel yang ga berharga ini deh. Ga banget kan ya. Masa Jimin dibikin mati mulu lah kapan bahagianya /malah curhat

Jadi, alesan Jimin nulis ini adalah, besok itu hari anu-nya anon XD Jimin dipercaya buat jadi malaikat gitu deh buat ultahnya dia (walaupun emang aslinya malaikat OMG) bareng my lovely Suga yang nulis di ff sebelah. Emang nih si anon kan YoonMin/MinYoon banget anaknya.

Udah deh gini aja a/n aka Jimin's notenya, nyesel ga baca ini? Nyesel yaa hahaha udah dibilangin juga garing.

Oke, terakhir mau ngucapin terima kasih buat para readers tersayang, xoxo