"Dimana Yoongi?"

Kalimat tanya itu terus terulang di kepala Taehyung, seolah ada yang memutarnya berulang kali dalam otaknya. Kalimat pertama yang diucapkan oleh saudara kembarnya setelah ia melawan maut selama beberapa hari. Kalimat yang membuat Taehyung terdiam tanpa mampu menemukan jawaban yang tepat. Kalimat yang membuat raga Kim Taehyung kini berada di luar rumah sakit—berjalan tanpa tujuan.

Suara parau milik Jimin terngiang di dalam kepala Taehyung. Wajahnya yang pucat. Tubuhnya yang masih dikelilingi berbagai selang yang menumpu kehidupannya. Tangannya yang dingin. Kakinya… yang kini takkan mampu lagi menginjak bumi.

Apa yang harus ia katakan padanya? Apa yang akan ia lakukan untuk menjawab pertanyaan itu? Haruskah ia berbohong bahwa tak ada yang terjadi pada seseorang bernama Yoongi? Haruskah ia berkata bahwa semua baik-baik saja? Ataukah ia harus jujur, mengatakan bahwa orang yang dicarinya itu telah tiada?

Menyakitkan.

Ia tak tahu persis apa yang terjadi. Yang ia tahu, hanyalah fakta bahwa sebuah kebakaran besar di apartemen kecilnya memaksa saudaranya untuk hidup tanpa kedua kakinya, dan juga kekasihnya.

Ah, satu lagi yang ia ketahui. Penyebab kebakaran itu… adalah seorang keparat bernama Jeon Jungkook.

.

.

.

Lost Stars

Cast:

V as Kim Taehyung

Jungkook as Jeon Jungkook

Rate M for violence

Summary:

Kim Taehyung bukan pendendam. Sungguh. Ia dilahirkan untuk mencintai semua orang. Tapi seorang polisi bernama Jeon Jungkook merebut semua cinta yang dimilikinya, dan menyisakan rasa dendam pada dirinya. VKook. VMin as twins.

Disclaimer:

Member BTS bukan punya author, tapi cerita fiksi ini murni ide author. Jika ada kesamaan cerita, itu adalah unsur ketidaksengajaan.

.

.

.

Kim Taehyung kini tengah mendorong sebuah kursi roda yang membantu kakak kembarnya untuk berpindah tempat. Setelah dirawat beberapa hari di rumah sakit, akhirnya Jimin diperkenankan untuk pulang. Mereka berdua memasuki sebuah rumah kecil di kawasan yang cukup kotor. Rumah yang sempat mereka tinggali sewaktu kecil dulu. Rumah yang sempat mengajarkan arti keluarga bagi mereka berdua. Rumah tempat mereka pulang setelah bermain.

Dulu, selalu ada wanita paruh baya yang menyambut mereka. Namun kini rumah itu tak lagi berpenghuni. Tak ada furnitur mewah di dalamnya, yang ada hanyalah meja dan kursi yang sudah lapuk, lemari yang telah rusak pintunya, dan kasur yang sudah tak layak pakai.

Hanya rumah ini yang dimiliki oleh Taehyung dan Jimin sekarang. Saudara kembar tak identik itu telah kehilangan segalanya. Beruntung mendiang orangtua mereka tidak pernah berniat untuk menjual rumah ini hingga akhir hayat mereka.

Taehyung berhenti melangkah saat ia melihat foto keluarga Kim masih terpasang di sebuah bingkai sederhana buatan Taehyung dan Jimin kecil. Ia memandang foto itu lekat-lekat.

"Taetae dan Chimchim pulang, ayah, ibu."

.

"Hei, bocah!"

Suara itu berhasil membuat Jungkook yang tengah memilah laporan-laporan kriminal menoleh ke arah sumber suara. Senyumnya mengembang ketika ia melihat siapa yang sedang berjalan mendekatinya. Sahabat sekaligus atasannya, Kim Namjoon.

"Tidak ada niat untuk membagi kebahagiaanmu denganku, huh?" Namjoon mengambil tempat di kursi sebelah Jungkook. Tangannya merangkul bahu sahabatnya itu. "Kukira kau baru saja mendapat kekasih."

Jungkook terkekeh. Ia memasukkan kertas-kertas yang tadi dipilahnya ke dalam sebuah map berwarna merah. Map merah tersebut lalu ia masukkan ke dalam tas ranselnya. "Ayolah, Joon, kau tahu aku bukan orang yang bisa bahagia hanya karena itu."

Kening Namjoon berkerut mendengarnya. Sahabatnya itu kemudian berdiri dan menepuk pundaknya pelan sebelum meninggalkannya.

Tidak ada yang tahu bahwa Jeon Jungkook menyeringai tipis setelahnya.

.

Cuaca siang itu cukup cerah. Matahari bersinar dengan terik, dan awan tak terlihat di langit. Benar-benar cuaca yang cocok untuk berjalan-jalan di luar.

Tapi nyatanya, cuaca itu tidak cocok dengan perasaan si kembar Kim.

Yang lebih tua sedari pagi hanya diam di kursi rodanya sambil menatap ke luar jendela, dan sepertinya ia sama sekali tak memiliki minat untuk menyentuh sepiring makanan yang disimpan adiknya di meja nakas dekat jendela. Makanan itu ia biarkan mendingin dan dikerubungi beberapa lalat.

Sedangkan sang adik baru saja selesai membersihkan kamar dan menjemur kasur tua mereka demi sang kakak. Ia menghampiri Jimin dan berjongkok di samping kursi rodanya. Ia menatap kakaknya yang masih diam.

"Hei," panggilnya.

Tak ada jawaban.

"Jimin," panggilnya lagi. "Makanlah."

Masih tak ada jawaban. Kakaknya itu masih enggan melepaskan pandangannya dari jendela.

"Jimin, kumohon, makanlah walaupun sedikit," pintanya sambil memegang tangan kakaknya dengan lembut. "Aku tidak mau kau lebih sakit dari ini."

"—gi."

Jimin akhirnya bersuara—walau hanya bergumam pelan—tapi Taehyung samar-samar mendengarnya. Ia meminta kakaknya untuk mengulangi kalimatnya. Yang langsung disesali olehnya.

"Aku akan makan bersama Yoongi."

.

J.T.J.

Taehyung menatap sebuah benda berwarna merah yang ada di tangan kanannya. Ia lalu membuka sebuah lemari tua dan membuka laci di dalamnya. Ia pun menemukan dua benda serupa berwarna biru dan hijau.

Tangannya mengambil dua benda tersebut dengan tangan kirinya, ia pun melingkarkan salah satunya di lengan kanannya. Gelang berwarna hijau bertuliskan J.T.J.

Matanya kembali menatap gelang berwarna merah di tangan kanannya. Kali ini bergantian dengan gelang hijau yang digenggamnya di tangan kiri. Tanpa sadar, tangan kanannya meremas gelang merah itu.

Taehyung beranjak dan mendekati Jimin yang tertidur pulas di kasur mereka—untunglah siang tadi Taehyung sudah membersihkannya, jadi kakaknya itu bisa tidur dengan nyenyak malam ini. Ia menatapnya sejenak, dan mengurungkan niatnya untuk meletakkan gelang berwarna biru di dekat kepala sang kakak. Ia lalu berbisik pelan sebelum meninggalkan Jimin yang terlelap.

"Kita sudah tidak butuh gelang ini lagi, semua sudah hancur."

.

Terdengar suara langkah kaki di antara ramainya gemericik hujan. Jejak yang ditinggalkan seketika terhapus oleh air langit. Tak peduli akan cipratan air bercampur tanah yang mengenai bagian bawah celananya, sang pemilik langkah terus berjalan tanpa memikirkan tubuhnya yang telah basah kuyup.

Tanpa ada orang lain di sekitarnya, seorang pemuda bersurai coklat tua berjalan di sebuah gang kecil. Kakinya melangkah dengan pasti. Minimnya cahaya tidak mengganggu penglihatannya.

Hanya butuh waktu dua menit bagi Taehyung untuk mencapai tempat tujuannya. Kini ia berdiri di depan sebuah rumah kecil yang tak kalah kumuh dengan rumahnya. Di tangannya, ketiga gelang berbeda warna masih tergenggam erat. Ia memejamkan matanya sejenak, menikmati aroma tanah yang bercampur dengan air hujan. Dan akhirnya ia masuk ke dalam rumah kosong itu dan meletakkan ketiga gelang yang dibawanya di lantai kayu yang sudah mulai lapuk.

Tangannya merogoh saku celananya dan mengeluarkan sebuah pemantik api. Tanpa ragu ia menyalakan pemantik api tersebut. Dua detik sebelum pemantik api itu terjatuh mengenai lantai, sebuah suara di belakangnya membuat Taehyung terpaksa mematikan apinya. Suara yang sangat familiar.

"Tae."

Tak perlu berbalik untuk melihat siapa pemilik suara itu, Taehyung sudah bisa menebaknya.

Sang pemilik suara terkekeh pelan. "Kau yakin ingin membakar gelang-gelang itu?"

Taehyung tak mengindahkan pertanyaan itu. Dan ia masih enggan membalikkan tubuhnya.

"Tidak kusangka aku akan bertemu denganmu disini, Jeon Jungkook," kata Taehyung sambil memasukkan pemantik apinya ke dalam sakunya. "Aku tak perlu menyusahkan diri untuk mencarimu."

Lantai kayu yang rapuh itu mengeluarkan suara decitan ketika Jungkook mengambil langkah kecil hingga kedua pemuda itu berhadapan. Jungkook tersenyum manis pada pemuda di hadapannya, menampilkan deretan gigi putihnya yang imut bak seekor kelinci.

"Aku tahu kau akan datang," katanya sambil memungut ketiga gelang yang tadi hendak dibakar oleh Taehyung. "Kau tidak melupakan aku kan?"

Taehyung lagi-lagi tak mengindahkan pertanyaan Jungkook. Kali ini, ia hanya balas bertanya dengan nada sarkastik. "Kau baru saja bersenang-senang, huh? Aku tak pernah tahu bahwa polisi ternyata punya cara unik untuk berpesta."

Kekehan Jungkook kembali terdengar. Ia menunduk untuk melihat sekilas pakaian yang dikenakannya. Ia belum melepas seragamnya.

"Kau tahu, penglihatanmu ternyata tidak seburuk yang kukira, tak seperti kembaranmu."

Kedua tangan Taehyung terkepal tanpa sadar. Walaupun begitu, ia masih bisa mengendalikan suaranya agar terdengar senormal mungkin.

"Mungkin kau bisa mengajariku bagaimana caranya agar aku bisa menjadi seseorang yang brengsek, seperti saat aku mengajarimu mengendarai sepeda waktu kecil dulu." Taehyung menggertakkan giginya. Nafsunya untuk menghajar polisi muda di hadapannya ini sangat kuat—untunglah ia bisa menahannya.

Jungkook membalikkan tubuhnya membelakangi Taehyung. Entah apa yang dilihatnya dalam kegelapan yang menyelimuti mereka.

"Sayangnya, aku tidak berbakat menjadi guru yang baik sepertimu," Jungkook menyeringai tipis sebelum melanjutkan kalimatnya, "dan Jimin."

Kepalan tangan Taehyung semakin kuat dan ia tak sanggup lagi menahan nafsunya setelah nama saudara kembarnya disebut. Pemuda itu akhirnya melayangkan tinjunya ke arah kepala Jungkook yang membelakanginya. Namun, beberapa senti sebelum tinjunya mengenai kepala sang polisi, sebuah tangan menahannya dengan cepat.

"Refleksmu tak berubah, Kook," desis Taehyung.

Ia melihat senyum Jungkook. Lelaki yang lebih muda dua tahun darinya itu lalu menyelipkan sesuatu di tangan Taehyung. "Aku berharap banyak padamu, Kim Taehyung."

Belum sempat Taehyung mencerna apa yang terjadi—ia terlalu larut dalam emosi hingga otaknya tak berfungsi dengan baik—Jungkook sudah pergi meninggalkannya sendirian di dalam rumah kumuh itu.

Dan Jungkook membawa serta gelang persahabatan mereka.

.

Tangan Taehyung dengan cekatan memotong buah-buahan yang tadi sudah ia cuci terlebih dahulu. Ia memotong cukup banyak apel, karena kakaknya menyukai buah-buahan dan apel adalah satu-satunya buah yang bisa ia beli dengan kondisi ekonominya saat itu. Ia meletakkan potongan-potongan apel itu di sebuah piring, berharap Jimin akan memakannya kali ini—karena ia tidak mau memakan apapun sejak ia keluar dari rumah sakit.

"Taehyung," panggil Jimin saat adik kembarnya itu tengah memotongkan buah apel terakhir.

Taehyung sontak menoleh pada Jimin yang sedari tadi berada tidak jauh darinya—tetap dengan kursi rodanya. Dan matanya melebar ketika melihat sesuatu yang ada di tangan kakaknya.

"Jimin!" kata Taehyung sambil merebut benda itu. Benda yang ia terima dari seorang polisi brengsek semalam tadi. "Jangan lihat!"

Taehyung buru-buru menyodorkan piring berisi buah yang tadi dipotongnya pada Jimin sebelum akhirnya ia pergi menjauhi saudara kembarnya itu.

Jimin hanya bisa memandang buah-buahan yang kini ada di pangkuannya dengan pandangan kosong. Bibirnya menyunggingkan senyum kecut—senyuman pertama yang terukir di bibirnya setelah kecelakaan yang menimpanya tempo hari. Tanpa sadar, ia bergumam kecil.

"Jadi begitu."

Dan ia tidak bisa melupakan foto masa kecilnya bersama Taehyung dan Jungkook, dengan wajahnya yang tertutupi oleh tanda silang berwarna merah.

.

Taehyung menatap sekelilingnya, mencari alamat yang tercantum di balik foto pemberian Jungkook. Ia sudah berjalan cukup lama untuk mencarinya, sehingga peluh memenuhi wajah tampannya. Untunglah senja segera datang, setidaknya ia tidak perlu merasakan terik matahari sebentar lagi.

Batinnya mengatakan bahwa ia harus segera pulang untuk mengecek keadaan kembarannya, tetapi raganya terus bergerak mencari tempat tujuannya. Cukup sulit bagi Taehyung untuk meninggalkan Jimin sendirian di siang hari, jadi ia memutuskan untuk menuntaskan masalahnya hari ini juga. Setelah itu, ia bersumpah akan menjaga kakaknya lebih baik lagi.

Kakinya ternyata tidak sanggup untuk berjalan lagi, Taehyung akhirnya terduduk di depan sebuah bangunan tua. Ia berniat untuk beristirahat sejenak sambil berpikir kemana lagi ia akan mencari alamat tersebut.

Sekitar lima menit pemuda itu duduk sambil memijat kakinya pelan. Tiba-tiba saja ia teringat akan Jimin yang tadi sempat melihat foto laknat itu. Bagaimana jika Jimin mengira bahwa Taehyung yang mencoret wajahnya dengan tinta merah? Bagaimana jika Jimin menganggap bahwa Taehyung membencinya? Begitu banyak kata bagaimana di dalam otaknya, hingga ia tak sadar akan kehadiran seseorang yang kini berada di hadapannya.

"Tae."

Suara itu lagi. Suara yang membuat Kim Taehyung terpaksa kembali dari dunianya sendiri.

Taehyung mengangkat kepalanya untuk melihat wajah sang pemilik suara. Pemuda itu menatapnya penuh kebencian. Sedangkan bibirnya menyunggingkan senyum kecil.

"Hai, Kook," balasnya sambil berusaha menahan tangan kurusnya agar tidak menyerang sahabatnya itu.

Jungkook kemudian memilih duduk di sebelah Taehyung. Senyuman manis terukir di wajahnya—seperti biasa. Ia mendesah pelan ketika menyadari lelaki di sebelahnya itu tengah menahan amarahnya.

"Tidak baik menahan perasaanmu seorang diri," katanya sambil menatap Taehyung. "Kau yang mengajarkan hal itu padaku, ingat?"

"Ya," Taehyung membenarkan posisi duduknya menghadap Jungkook, "dan Jiminlah yang mengajarimu untuk menjauhi hal-hal yang salah."

Kalimat yang dilontarkan Taehyung itu berhasil mengusir senyum di wajah Jungkook, namun polisi muda itu dengan cepat menggantinya dengan seringaian kecil—yang tidak disadari oleh Taehyung.

"Kau benar. Dan itulah yang memberiku motivasi untuk menjadi polisi," kata Jungkook sambil tertawa pelan. Matanya memandang jauh ke langit yang sudah berwarna oranye. "Bagaimana kabarnya? Sudah lama aku tidak bertemu dengannya."

"Aku tidak yakin dengan alasanmu menanyakan tentangnya. Kau bahkan baru membuatnya cacat beberapa hari yang lalu."

"Oh, begitukah?" tanya Jungkook dengan nada terkejut yang dibuat-buat. "Aku benar-benar tidak bermaksud untuk melukainya, apalagi membuatnya cacat seperti yang kau katakan."

Taehyung sudah bersiap untuk menghajar Jungkook sebelum pemuda bergigi kelinci itu mengatakan sesuatu padanya sambil kembali menunjukkan senyum manisnya.

"Aku berniat untuk membunuhnya."

.

Taehyung berjalan menuju rumahnya dengan langkah gontai. Kalimat Jungkook terus terngiang di kepalanya. Ia berkali-kali mengatakan pada dirinya sendiri, ia tidak akan pernah berurusan dengan polisi muda itu lagi. Ia meyakinkan dirinya bahwa Jeon Jungkook itu berbahaya—bagi dirinya dan Jimin. Ia terus mengingatkan dirinya untuk tidak datang ke tempat yang Jungkook katakan.

Langkah kakinya terhenti ketika ada seorang wanita tua yang menghampirinya dengan wajah panik. Wanita itu adalah tetangganya, kalau tidak salah, dan ia memanggilnya dengan nama kecilnya, Taetae. Taehyung tidak mengerti apa yang wanita itu bicarakan hingga ia menunjuk rumahnya dan menyebut nama Jimin.

Dengan cepat Taehyung berlari ke dalam rumahnya dan menemukan Jimin yang sudah terkapar di dapur, terpisah dengan kursi rodanya. Pakaiannya masih sama seperti pagi tadi, dan potongan apel yang Taehyung berikan terlihat masih utuh tak tersentuh. Tanpa pikir panjang ia menghampiri kakaknya itu dan menepuk-nepuk pipinya untuk membangunkannya. Taehyung tak menyadari banyaknya darah yang sudah mengering di lantai. Taehyung tak menyadari adanya pisau bernoda merah di dekat tubuh Jimin. Taehyung tak menyadari, bahwa saudaranya satu-satunya, kini lebih memilih untuk menemani kekasihnya ketimbang adiknya sendiri. Dan Taehyung tidak tidak menyadari, ada catatan kecil yang ditinggalkan Jimin untuknya.

Taehyung, maafkan aku. Aku tidak akan membebanimu lagi, hiduplah bahagia tanpa aku.

.

Sebuah teriakan yang memekakkan telinga terdengar di antara senyapnya malam. Teriakan menyedihkan itu berasal dari sebuah rumah kecil yang tak terlihat dalam kegelapan. Tidak ada satu orang pun yang memedulikan teriakan itu. Para tetangga hanya bisa berdiam diri di rumah masing-masing sambil mengatakan betapa menyedihkannya nasib anggota termuda keluarga Kim yang kini sebatang kara.

Jungkook menatap rumah kecil di hadapannya. Seringai khasnya masih setia bertahan di wajahnya. Ia terkekeh pelan saat ia mendengar suara teriakan Taehyung yang menyayat hati semua orang yang mendengarnya. Tapi tidak dengan Jeon Jungkook. Ia menikmati raungan kesedihan Taehyung yang terus memanggil nama kakak kembarnya.

Ia terus berdiri di depan rumah keluarga Kim, tanpa berniat untuk menyapa si pemilik rumah yang tengah berduka. Setelah beberapa menit berlalu, lelaki berseragam kepolisian itu akhirnya puas menikmati musik yang dimainkan oleh Taehyung dan memutuskan untuk pergi meninggalkan area kumuh itu.

.

Pagi itu terasa sangat berat bagi Taehyung. Ia terbangun dengan mata sembab akibat menangis semalaman. Ia menatap tubuh kaku Jimin yang ia baringkan di sampingnya. Ingin rasanya kembali menangis jika itu bisa mengembalikan nyawa kakaknya, namun itu mustahil—dan airmatanya pun sudah habis terkuras.

Taehyung akhirnya memeluk jasad saudara kembarnya itu dan berbisik sambil berusaha tersenyum. "Jimin, aku lebih dulu bangun daripada kau, pendek."

Tidak ada respon yang didapat Taehyung atas tindakannya—tentu saja. Wajahnya kemudian berubah menjadi muram dan matanya menatap mata kakaknya yang terpejam dengan kehampaan yang ia rasakan. "Aku lupa kalau kau ingin tidur lebih lama."

Ingatannya kembali pada masa lalunya bersama Jimin. Saat ia memaksanya untuk meninggalkan rumah dan orangtua mereka, saat ia mendapat pekerjaan pertamanya di toko mainan, saat Jimin memeluknya bahagia usai berkencan dengan Yoongi, dan masih banyak lagi kenangan tentang saudara kembarnya itu.

Saat ia masih tenggelam dalam kenangan manis mereka sebagai si kembar Kim, tiba-tiba saja realita menyelamatkannya—jika bisa dibilang begitu—dengan membisikkan nama Jeon Jungkook ke dalam ingatannya.

Bukan sosok polisi muda brengsek yang muncul dalam kepalanya, namun sosok anak kecil bergigi kelinci yang selalu mengikutinya dan Jimin kemanapun mereka pergi. Sosok yang selalu merengek meminta ini itu dan menangis jika keinginannya tidak terpenuhi. Sosok sahabat yang selalu disayanginya bagaikan saudara kandung. Sosok yang ia tinggalkan beberapa tahun yang lalu. Sosok yang selalu ia rindukan.

Entah kenangan apa yang Taehyung ingat hingga ia tiba-tiba saja pergi meninggalkan jasad kaku kakak kembarnya demi mencari Jeon Jungkook.

.

Kantor polisi.

Jika kau ingin mencari seseorang yang hilang, datanglah ke kantor polisi. Dan akan lebih mudah menemukannya jika orang yang kau cari itu mengabdi sebagai polisi di kotamu.

Kim Taehyung berjalan memasuki sebuah bangunan kecil yang hampir tak terurus. Tanpa ragu ia melangkahkan kaki ke dalamnya. Ia menoleh ke kanan dan kiri, mencari seseorang. Matanya lalu menangkap seorang lelaki berambut pirang yang lebih tinggi darinya tengah berjalan mendekatinya.

"Maaf, apa kau butuh bantuan?"

Taehyung diam. Hanya menatap seorang polisi yang menyapanya itu dengan mulut yang sedikit terbuka.

"Hei, buddy," panggil polisi itu sambil melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Taehyung. "Kau tidak apa-apa?"

Lelaki itu lalu menjentikkan jarinya tepat di depan mata Taehyung, dan cara itu berhasil membuat Taehyung kembali dari lamunannya.

"Eh, iya, aku..." Taehyung menjawab dengan ragu. Kepalanya ia tundukkan dan suaranya mengecil ketika ia menyebutkan tujuannya datang ke bangunan kecil itu. "Aku mencari... Jeon Jung—"

"Kim Namjoon!"

Suara itu sontak membuat Taehyung dan lelaki di hadapannya menoleh ke arah sumber suara. Jungkook masuk ke dalam bangunan tua itu sambil membawa beberapa map kertas di tangannya, dan dengan cepat ia menyerahkan map-map tersebut pada Namjoon—polisi yang tadi menyapa Taehyung.

"Dia tamuku," kata Jungkook sambil tersenyum.

Ia lalu mengajak Taehyung untuk berbicara di luar agar lebih leluasa. Sebelumnya, ia sudah berbisik pada Namjoon untuk tidak mengawasi mereka.

Sebagai seseorang yang memiliki jabatan lebih tinggi, Namjoon sebenarnya sedikit tersinggung dengan sikap bawahannya itu. Namun sebagai sahabat yang baik, ia mengerti kebutuhan Jungkook akan privasi, walaupun Namjoon akan tetap mengawasi mereka berdua—lebih tepatnya Jungkook. Lelaki tinggi itu pun akhirnya memutuskan untuk meletakkan map yang ia terima dari Jungkook dan pergi ke luar untuk melihat keadaan Jungkook dan tamunya.

.

Jungkook dan Taehyung kini tengah berdiri berhadapan di sebuah tanah kosong di dekat kantor polisi. Lahan itu cukup gersang untuk ukuran lahan seluas itu. Tidak ada pohon, tidak ada rerumputan, yang ada hanyalah bebatuan dan kayu-kayu yang berwarna hitam akibat pembakaran. Teriknya bola api yang sedari tadi merangkak naik ke atas kepala membuat tempat itu menjadi tempat yang tepat untuk menekan ketenangan mental seseorang.

Ketegangan merambah dalam diri Taehyung. Berada di lahan kosong berukuran besar sudah cukup membuatnya tertekan, ditambah dengan panas matahari yang membuat keringatnya mulai bercucuran. Ia merasa dikucilkan, seolah akan diinterogasi oleh dunia. Ia tidak suka berada di sana. Diam-diam ia berharap lelaki yang ada di hadapannya akan membawanya pergi dari tempat itu.

Jungkook menatap sahabat lamanya yang telah ia temui dua hari terakhir. Sahabatnya itu tidak pernah pandai berakting, membuat seluruh dunia tahu mengenai emosinya adalah bakat alaminya. Jungkook dapat menangkap raut wajah Taehyung yang terlihat gelisah, namun ia abaikan itu.

Taehyung berusaha menekan rasa tegangnya mati-matian. Ia tak ingin kalah sebelum bertempur. Setelah ia merasa cukup baik, ia pun membuka mulutnya.

"Kau pasti tahu tujuanku menemuimu," katanya sambil menatap lawan bicaranya tepat di mata.

Jungkook mengedikkan bahunya sambil tersenyum tipis. "Karena kau merindukanku?"

Kali ini bibir Taehyung ikut menyunggingkan senyum—senyum kecut. Matanya mulai tidak fokus—ia mulai memasuki dunianya yang penuh kenangan masa kecilnya.

"Ya, aku merindukanmu, Kookie," Taehyung memasukkan satu tangannya ke dalam saku celananya—mengambil sesuatu yang dibawanya untuk Jungkook. "Sangat rindu, hingga aku harus membunuhmu, Jeon Jungkook."

Tidak ada perubahan pada raut wajah Jungkook. Polisi muda itu masih tersenyum sambil menatap pisau lipat yang dikeluarkan sahabat lamanya itu. Ia sama sekali tidak terkejut. Lelaki itu malah terkekeh dan mendekati Taehyung.

"Apa kau baru saja menantangku? Kau benar-benar pintar, Tae. Bagaimana kau tahu aku tidak membawa senjata apapun saat ini?" kata sang polisi saat wajahnya dan Taehyung tinggal berjarak beberapa senti. Tangannya lalu meraih pergelangan tangan Taehyung yang memegang pisau itu. "Tapi kau pasti sudah membuka pisau ini kalau kau serius ingin membunuhku, Taehyung."

Taehyung meringis ketika dirasakannya cengkraman Jungkook pada pergelangan tangannya. Ia berusaha melepaskan tangannya, tapi sahabat kecilnya itu ternyata jauh lebih kuat darinya.

Seolah menikmati ekspresi kesakitan yang Taehyung tampilkan, Jungkook terus tersenyum sambil memandanginya. Tangan Taehyung yang meronta untuk dilepaskan tidak menggangunya sedikitpun—malah membuat cengkramannya semakin kuat. Ia kembali mendekatkan wajahnya pada wajah Taehyung, mengecup pelan bibirnya yang tetap meringis, dan berbisik padanya.

"Kau tahu, Tae, kau sangat tampan. Bolehkah aku melihat wajahmu seperti ini setiap hari?"

Merasa cengkraman Jungkook mengendur, Taehyung buru-buru menarik tangannya dan berjalan mundur menjauhi lelaki bergigi kelinci itu. Dengan napas terengah-engah ia membuka pisau lipatnya dan mengarahkannya kepada Jungkook, namun ia belum berani untuk mendekatinya.

"Kau benar-benar menggemaskan dengan ekspresi seperti itu, rasanya aku ingin menyimpanmu dalam sakuku dan membawamu kemanapun aku pergi," ujar Jungkook sambil tertawa. "Oh, aku hampir lupa, kapan aku bisa bertemu dengan Jimin? Aku tidak sabar ingin melihatnya meregang nyawa di hadapanku."

Genggaman Taehyung pada pisaunya semakin kuat, tangan satunya pun terkepal tanpa sadar. "Dia sudah mati, brengsek!"

Bibir Jungkook menyunggingkan senyum kecewa. Ia menunduk dan menatap tangan kanannya. "Begitukah? Sayang sekali. Seharusnya ia mati di tanganku."

Emosi Taehyung tidak bisa diredam lagi. Api kemarahan sudah membakar semuanya. Sudah mantap keputusannya untuk membunuh Jungkook. Tanpa menunggu lebih lama lagi, ia berlari mendekati Jungkook dengan pisaunya yang masih diarahkan pada polisi itu.

DOR!

Taehyung membulatkan matanya. Tidak, kejadiannya terlalu cepat. Ia tidak tahu bagaimana Jeon Jungkook tiba-tiba saja sudah berada di hadapannya, memeluknya dengan darah yang mulai merembes pada pakaiannya. Dan sesaat kemudian polisi muda tersebut kehilangan kekuatannya. Pelukannya pada Taehyung terlepas begitu saja. Pisau yang menancap di perutnya ikut terlepas karena genggaman kuat pemiliknya. Tubuh Jungkook kemudian terbaring tak berdaya di tanah.

Dan ia tersenyum. Senyum tulus yang Taehyung rindukan. Senyuman milik Kookie kecilnya, bukan senyum mengerikan milik Jeon Jungkook.

Lelaki itu terduduk lemas. Ditatapnya tubuh Jungkook yang sudah tak bergerak. Darahnya sudah mulai mewarnai tanah di sekitarnya. Dan Taehyung hanya bisa menatapnya tanpa berbuat apapun.

Tanpa sengaja ia melihat luka tembakan di punggung Jungkook. Ia pun teringat runtutan kejadian itu. Dirinya yang berlari dengan pisau di tangannya, Jungkook yang dengan cepat memeluknya dan membalikkan tubuh mereka, pisau Taehyung yang menancap di perutnya karena pelukannya, lalu suara tembakan itu—

"Game over, Jeon Jungkook."

Taehyung mengangkat kepalanya, dan mendapati Namjoon tengah berdiri di hadapannya sambil menatap tubuh teman kerjanya yang sudah tak bernyawa. Tatapannya dingin, dan hanya sesaat sebelum ia berbalik dan pergi meninggalkan tempat itu.

"Tunggu!" seru Taehyung. "Kenapa kau melakukannya?"

Namjoon berbalik dan menatap Taehyung. Ia tidak mengatakan apapun, hanya memberi Taehyung tatapan tajamnya.

"Maksudku, kukira kalian... teman?" Taehyung tidak tahu mengapa ia seolah ingin menyalahkan Namjoon atas kematian Jungkook.

Lelaki pirang itu masih menatap Taehyung tanpa ekspresi. Dengan lantang ia berkata, "Kesenangan semata."

Tanpa berkata apa-apa lagi, Namjoon kembali berbalik dan benar-benar pergi meninggalkan Taehyung yang masih tak mengerti dengan alasan tak logis itu.

Taehyung tidak akan pernah tahu, bahwa airmata berlomba-lomba turun dari mata sipit Namjoon.

Di bawah teriknya matahari, Taehyung meratapi betapa gagalnya ia sebagai seorang sahabat bagi Jungkook. Ia menatap jasad Kookienya dalam diam. Ingin rasanya menangis, tapi ia tak berhak melakukan itu. Ialah yang membunuhnya. Kookienya tidak akan mati jika ia tidak melindungi Taehyung dengan pelukan itu.

Seandainya Taehyung diberi kesempatan untuk mengulang waktu, ia tidak akan memaksa Jimin untuk pergi bersamanya. Ia tidak akan meninggalkan Kookienya sendirian. Seandainya ia tidak egois, pasti kini ia masih bisa bahagia bersama kedua pelengkap hidupnya ituJimin dan Jungkook. Seandainya ia bisa menukar nyawanya dengan mereka berdua...

Dan Taehyung tidak bisa melakukan apa-apa sekarang. Ia telah kehilangan dua bintangnya yang berharga, entah bagaimana ia akan hidup setelah ini. Ia pun hanya bisa membaringkan tubuhnya di dekat Jungkook, menutup matanya dan berharap ia bisa bertemu dengan Jimin dan Jungkook saat itu juga.

Sebelum matanya benar-benar terpejam, Taehyung menggumamkan sesuatu.

"Aku juga mencintaimu, sialan."

.

Taehyung berlari mendekati Jungkook dengan mata pisaunya yang masih diarahkan pada polisi itu. Tinggal dua langkah lagi dan tujuannya untuk membunuh polisi brengsek itu akan terlaksana. Ia mengira Jungkook akan menghindarinya, namun tanpa disangka ia malah memeluk Taehyung erat—membuat pisau yang dibawa Taehyung secara otomatis tertancap di perutnya.

DOR!

Suara tembakan mengagetkan Taehyung setelah Jungkook tiba-tiba memutar tubuh mereka. Ia tak menyadari ada sebuah peluru yang tengah memaksa masuk ke dalam tubuh Jungkook.

Jungkook membisikkan sesuatu pada Taehyung, sebelum akhirnya ia kehabisan tenaga dan akhirnya tumbang. Dan Taehyung masih tetap diam tanpa mengerti apa yang sebenarnya terjadi.

"Aku mencintaimu, Tae. Takkan kubiarkan kau meninggalkanku lagi seperti dulu. Kau milikku selamanya."

.

.

.

END


Hai. Ketemu lagi sama anon. FF ini aku buat untuk MiniMon 1st giveaway yang diadain chevalo sama springyeol (makasih banget buat mereka yang udah ngadain giveaway itu, xoxo)

Aku post lagi disini sebagai penjelas karena ceritanya masih gantung dan masih ada unek-unek/? yang belum tersampaikan dari cerita itu. Buat yang penasaran sama versi originalnya bisa cek di akun chevalo ya karena udah dipost juga disana, judulnya Chanson d'Amour (chap 2), walaupun sebenernya sama aja sih .-.

Cerita Lost Stars ini emang udah end di chap ini, jadi chap depan ya isinya itu, hal-hal yang jadi sumber terbentuknya cerita ini. Kenapa Jungkook kaya begitu, kenapa Tae kaya begitu, dan kenapa kenapa lainnya. Intinya sih, semacam flashback tentang mereka gitu, maaf berbelit-belit ._. Maafin juga tanganku yang gatel kepengen bikin semacem sequel wkwkw. Btw, maaf juga summarynya ga nyambung dan genrenya seenak jidat masukin ke tragedy :" kebanyakan maaf deh kan ya, intinya gitulah pokoknya/?

Kali ini anon mau jadi orang nyebelin, karena biarpun kalian ga penasaran atau ga mau tau tentang chap depan, tetep aja bakalan dipost hahaha *ketawa bareng Bang PD*

Jadi, boleh dong minta pendapat? *wink*