Title : Another Love
Author : Sherry Kim
Main C : Jung Yunho
Kim Jaejoong
Other
Rate : T- M
Gener : Romace, Drama, Sad, Horor comedy, Fantasy, etc...
WARNING
Yaoi. DON'T LIKE DON'T READ.
Cerita ini milik saya seorang.
Pemain milik Tuhan Y.M.E dan diri mereka.
Happy Reading...!
Aroma harus masakan serta suara suara berisik mengusik tidur nyenyak Yunho. Suara denting penggorengan dari arah dapur membuat telinga pria itu bergerak gerak seperti telinga rubah kala mendengarkan langkah kaki mangsanya.
Musang miliknya terbuka lebar. Siapa gerangan yang ribut di rumahnya pada waktu sepagi ini. Pria itu duduk dengan cepat. Selimut jatuh ke lantai saat ia berdiri dengan kondisi setengah sadar sebelum kembali jatuh terduduk.
Kepalanya terasa pening. Apa yang terjadi sampai kepalanya brrdentum tak karuan? Seingatnya ia tidak minum alcohol. Ia mengaduh sakit ketika jemarinya menenukan benjolan serta memar di belakang kepalanya. Membuka mata, ia mengawasi sekliling dan merasa tidak mengenal tempat ini.
Di mana ia berada?
Musang Yunho menyipit mengamati sekeliling sekali lagi, tempat ini tidak ia kenali. Ah, ia ingat sekarang. Bulu tengkuknya seketika merinding, ia ingat dengan jelas bahwa ia melihat hantu. Ya Tuhan, di rumah ini. Hantu!
"Kau sudah sadar." Yunho melombat terkejut mendengar suara sapaan tanpa permisi itu. Demi Tuhan, ia sudah mati andai ia memiliki riwayat penyakit jantung.
Jaejoong berdiri berkacak pinggang di pintu dapur tanpa daun pintu menuju ruang makan yang menyatu dengan ruang tengah, di mana Yunho tidur nyenyak sepanjang pagi ini.
"Selamat pagi." sapa Yunho riang setelah ia menenangkan diri. Ia ingat semuanya, di mulai dari hancurnya kaca cafe pria yang saat ini berdiri di hadapannya itu sampai hantu yang mengejutkannya dan ia tidak ingat lagi.
Alis Jaejoong mengeryit. Spatula dalam genggamanya menunjuk ke luar jendela, menunjukan kepsda pria pemalas itu matahati yang sudah bersinar hampir di atas kepala. "Kau masih bilang ini pagi?"
"Pagi bagiku." jawab Yunho asal. Mengamati sekeliling Yunho merada ia harus berjaga jaga jika hantu itu kembali datang. Semoga ia tidak melihat hantu itu lagi. Yunho berdoa sepenuh hati.
Pria itu melompat melewati sisi meja makan menghampiri Jaejoong yang kembali sibuk menyiapkan sarapan sambil bergumam. "Dasar pemalas.
"Cafe tidak buka?" Yunho memperhatikan Jaejoong yang saat ini mondar mandir di dapur kecil itu.
"Berterima kasihlah kepada seseorang yang telah merusak jendela depan cafe."
Pria itu hanya nyengir, samar samar Yunho mendengar suara berisik dari lantai bawah yang menandakan perbaikan sedang di lakukan di sana. "Aku akan membayar semuanya dengan tenagaku, mungkin aku bisa bekerja di cafe untuk menebusnya. Itupun jika kau tidak keberatan."
"Aku keberatan, berkemaslah dan segera pergi dari sini setelah sarapan." Suara dentuman piring menyapa meja terdengar mengerikan. Pria itu menaruh hidangan pagi dengan tenaga berlebihan yang sesungguhnya tidak perlu ia keluarkan.
"Aku tidak punya tempat tinggal." Yunho mengekor Jaejoong ke dapur.
"Tidak ada urusanya denganku."
"Aku butuh pekerjaan, aku juga tidak punya uang untuk membayar ganti rugi." ujarnya mencari alasan.
"Aku tidak membutuhkan ganti rugi, yang aku butuhkan kau segera angkat kaki dari rumahku." Jaejoong berhenti. Reflek Yunho pun ikut berhenti di belakangnya. Yunho mundur selangkah karena mereka berdiri begitu dekat.
Pria itu memiliki mata bulat dengan bulu lentik indah di atasnya saat Yunho memperhatikan lebih dekat ketika Jaejoong berputar dan mendelik ke arahnya.
"Aku semakin yakin untuk mengusirmu."
"Kau tidak setega itu bukan, kasihanilah aku." Memasang wajah teraniyaya, Yunho tidak yakin Jaejoong merasa tergugah karena pria itu mendelik ngeri ke arahnya.
"Aku tidak butuh pelayan, cafeku tidak terlalu sibuk untuk memerlukan pelayan tambahan, termasuk pria dengan penampilan mengerikan sepertimu."
Menunduk untuk memeriksa pakaiannya, Yunho akui ia memang berantakan, dan ia tidak berani menatap cermin karena ia yakin rambut sebahu miliknya bisa seburuk singa jantan. Tapi ia butuh oekerjaan, dan ini satu satunya kesempatan yang ia milikki. "Kenapa? Padahal di depan sana kampus, seharusnya tempat ini ramai bukan?"
Rahang Jaejoong berubah kaku, Yunho mundur selangkah melihat wajah pria itu memerah. "Ramai tidaknya cafeku tidak ada hubunganya dengan kampus atau mahasiswa. Mereka tidak begitu saja menjadi pintar dengan minum segelas kopi atau memesan satu makanan setiap hari di cafeku." Wajah pucat Jaejoong kemarin malam benar benar lenyap, di gantikan wajah merah padam mengerikan.
Yunho berkacak pinggang, membalas delikan Jaejoong dengan tegas. Andai saja ia memiliki uang cukup atau pekerjaan ia tidak akan memaksa Jaejoong menerimanya. Akan tetapi ia tidak memiliki apapun selain tenaga dan tubuhnya. "Jika kau memperkejakan aku Jae, cafe ini akan berkembang pesat, percayalah padaku."
Alis dengan bulu halus membentuk segaris indah itu menggeryit meremehkan. Yunho bertanya tanya apakah Jaejoong merawatnya setiap hari sampai memilikki alis seindah kaum wanita. "Aku tidak membutuhkan pelayan, titik. Penghasilanku tidak cukup untuk menggaji seorang pelayan."
Sebegitu miskin kah pria ini, juga cafenya? Yunho cukup cerdas untuk tidak mengatakan kata itu dengan lantang. Alih alih ia berkata. "Kau tidak perlu memberiku gaji, cukup tempat tinggal dan makan sampai cafe ini berkembang pesat jadi kau bisa memberiku gaji berapapun itu."
Mulut mungil Jaejoong terbuka, ia sudah akan memprotes saat Yunho memotong katalkata yang belum ia ucapkan. "Satu bulan, jika cafe ini belum juga berkembang kau boleh menendangku keluar tanpa sepeserpun gaji yang perlu kau keluarkan."
Musang Yunho mengamati sekeliling dengan gugup. Ia sudah sangat berani mengancam Jaejoong untuk memperkejakan dirinya, tapi ia tidak punya pikihan lain. Hati kecilnya takut, tentu saja! Bagaimana jika Jaejoong memiliki pendirian batu yang tak bisa di ganggu gugat.
Tidak ada kata-kata yang terucap dari mulut Jaejoong untuk beberapa lama. "Baiklah." akhirnya. Yunho menghela napas mendengar itu. "Tapi kau akan tinggal di gudang bawah, jika kau keberatan... "
"Aku bisa tidur di mana saja, bahkan lantai sekalipun." Setidaknya itu lebih baik dari pada di pinggir jalan, tidak kedinginan di luar sana dengan perut keroncongan.
"Bagus. Karena aku tidak memiliki kamar lain di sini."
Mendesah lega, Yunho tersenyum lebar dan memeluk Jaejoong dengan erat. "Terima kasih Jaejoongie."
Tubuh Jaejoong mengejang. Bola matanya mendelik lebar merasakan tubuh keras Yunho melingkupinya. Pria itu memiliki otot kuat di lengan yang membuat Jaejoong iri.
Melepaskan Jaejoong, Yunho mebatap sekeliling, lagi. Ia butuh kamar mandi, secepatnya. "Boleh aku pinjam kamar mandi, aku akan bekerja mulai hari ini. Dan aku butuh mandi."
Jaejoong masih terkejut dengan pelukan dadakan itu, ia hanya menunjuk kamar mandi di sebelah kamar yang tadi malam ia tempati tanpa berkata sepatah katapun. Membiarkan Yunho melesat masuk ke sana dengan wajah secerah matahari musim gugur.
Shim Changmin memperhatikan keduanya dari tempatnya berdiri. Ia merasa dadanya nyeri melihat apa yang baru saja mereka lakukan. Dengan perasaan bersalah ia menatap Jaejoong dengan pandangan sendu. Ia ingin memeluk kekasihnya itu, membisikan kata cinta dan rindu yang ia bendung selama berbulan bulan lamanya. Dan ia ingin mengatakan bahwa ia mencintainya.
Andai saja ia bisa melakukanya, tapi ia hanya arwah yang tidak bisa menunjukan jati dirinya kepada Jaejoong. Berbulan bulan ia mencoba dan hampir putus asa sampai tadi malam.
Jung Yunho, Changmin menatap pintu kamar mandi yang tertutup itu. Hanya pria itulah harapan satu-satunya agar ia bisa bicara dengan Jaejoong, memberitahu kekasihnya itu bahwa ia berada di sisinya, selalu.
..
.
..
Dua minggu kemudian Yunho benar benar memenuji kata katanya. Cafe itu terlihat penuh pada jam makan siang melebihi hari-hari sebelumnya. Jung Yunho memiliki selera humor yang di sukai oleh semua pengunjung termasuk para gadis dan wanita sampai nenek tua bahkan kaum pria.
Pria itu berlagak tak acuh dengan sopan agar tidak menyakiti wanita maupun gadis lain yang ia katakan cantik di hadapan gadis kainnya, memuji apapun yang dapat ia puji dari para pengunjung.
Pria itu bermulut madu. Pikir Jaejoong yang mengamati Yunho dari konter dapur tidak jauh dari kasir. Senyum pria itu tidak pernah hilang sepanjang hari, baik ada dan tidaknya tamu di cafe mereka.
Yunho juga menyarankan beberapa menu tambahan serta dekorasi ruangan yang lebih hidup dengan bangku dan hiasan dinding berwarna lebih terang. Koki cafe yang tidak lain adalah Jaejoong sendiri terkadang harus menyingkir saat pria itu berusaha menguasai dapur untuk mencoba menu baru yang entah pria itu dapat dari mana.
"Internet, apa kau lahir di jaman purba sampai tidak mengenal internet." ujar pria menyebalkan itu pada suatu hari.
Demi Tuhan, Jaejoong lupa dengan fasilitas itu semenjak ia berduka setelah kepergian Changmin.
Changmin. Ia masih merindukan kekasihnya itu, hanya saja rasanya aneh karena beberapa hari ini ia tidak terlalu memikirkan Changmin dengan kesibukan di cafe, kehadiran Yunho yang cerewet dari pagi sampai tengah malam tidur karena terlalu lelah. Bangun pagi pagi sekali untuk mulai aktifitas pagi seperti hari sebelumnya.
Yunho akan menemaninya ke pasar untuk berbelanja pada pagi buta. Pria itu akan mendebatnya jika ia membeli sesuatu yang terlalu mahal atau kurang sayuran yang terlalu cantik karena obat obatan. Tanpa sadar Jaejoong tersenyum memikirkan berdebatan mereka pada suatu pagi.
"Aku di besarkan di desa, tahu lebih banyak tentang sayuran sehat dari pada kau koki baru dari kota."
Mr. Cafe kembali hidup seperti dulu. Selama berbulan bulan Jaejoong telah mengabaikan pelanggan serta kondisi cafe sejak berita meninggalnya Changmin. Aneh rasanya untuk Jaejoong karena tidak lagi memikirkan pria itu, ia merindukan Changmin tentu saja.
Ya Tuhan. Bahkan sekarang setelah kehadiran Yunho ia mulai mempercayai bahwa Changmin telah meninggal. Jung Yunho membuatnya marah, tertawa sampai semua waktu yang ia punya hanya untuk memikirkan pria itu.
Suara nampan terbanting membuat Jaejoong kembali ke masa sekarang. Kim Heechul bersandar di sisi pantri dan menatapnya dengan mata menyipit penuh selidik. "Kau melupakan pesanan meja no tiga."
Jaejoong mengerjap. "Maaf, aku akan membuatnya sekarang."
"Sambil melamun." Sindirnya.
Heechul kebetulan datang berkunjung dan memabantu karena cafe dalam jam sibuk saat jam pulang mahasisa di depan sana.
"Para gadis itu menyukai Yunho." Heechul berkata.
"Bahkan pemuda yang kutu buku sekalipun menyukainya, Yunho pria yang baik." ujar Jaejoong sedikit ketus dari yang ia bayangkan.
"Kau beruntung memperkejakan pria itu Jae. Terlebih kau juga memiliki teman sehingga kau tidak kesepian lagi." Heechul meraih menu dan menghampiri konter saat ada pelanggan mamasuki cafe.
Yunho muncul dengan nampan kosong dan senyum lebar pria itu yang membuat Jaejoong merasa hangat. Aneh bukan? Ia juga menyukai senyuman pria itu akhir akhir ini, di banding senyuman pria itu di hari pertama mereka berjumpa.
"Kau masih di sini." Jemari telunjuk serta jempol pria itu menimbulkan suara saat Yunho menggerakkan jemarinya di depan wajah Jaejoong.
Setelah merasa ia mendapat perhatian Jaejoong ia bersandar di meja tinggi konter. "Lihat, cafe ini maju pesat bukan. Semoga kau tidak memecatku setelah kau sukses."
Jaejoong tersenyum miring. "Tergantung bagaimana sebulan ini berlalu, kita memiliki kesepakatan sebulan, Yunho. Ingat!"
"Ya." Pria itu memutar bola mata jenggah. "Dan kau menyiksaku dengan tidak ada hari libur selama dua minggu bekerja. Demi Tuhan, aku manusia bukan robot, begitupun juga kau."
Tidak ada hari libur sebelumnya. Karena Jaejoong merasa ia tidak membutuhkannya.
Sepertinya Yunho mampu membaca pikiran Jaejoong sehingga Yunho berkata. "Mulai minggu depan, kita akan libur sehari seminggu sekali, dan kau butuh sesuatu yang menyegarkan mata untuk membangunkan jiwamu yang tidur di dalam sana."
Doe Jaejoong menatap Yunho tak mengerti. Pria itu berkata seolah pria itu lebih paham dari dirinya sendiri tentang kehidupan yang Jaejoong jalani. "Aku tidak butuh liburan, aku perlu bekerja." Agar ia ia bisa melupakan waktu yang berlalu tanpa Changmin di sisinya, atau ia akan benar-benar gila.
Yunho mengabaikan Jaejoong dan tetap berkeras. "Mulai minggu depan cafe libur sehari, aku dan kau akan berlibur bersama."
"Yunho benar." Heechul kembali dengan senampan piring dan gelas kotor, menaruhnya di meja cuci piring. "Kau butuh liburan, aku rasa pantai cocok untukmu."
"Tidak." Yunho menyahut. "Pantai hanya untuk anak muda atau kekuarga yang liburan, atau orang orang yang tidak tahu tempat indah lainnya. Kita akan pergi ke namsan tower."
"Apa kau pikir kau pemuda yang akan pergi berkencan." sela Heechul.
"Namsan tower, dan titik." Berbalik ke arah Jaejoong ia berkata. "Kau akan ikut denganku, atau aku akan membungkusmu ke dalam karung dan menyeretmu untuk pergi bersamaku." Terdengar panggilan dari seorang gadis yang duduk di meja tidak jauh dari sana.
"Yunho oppa."
"Ya, cantik." Dengan segera Yunho mengampiri meja gadis itu dan menanyakan apa yang mereka butuhkan seramah pelayan kerajaan.
"Pria menyebalkan." gerutu Jaejoong.
"Tapi aku menyukainya." Senyum lebar di wajah Heechul entah kenapa membuat Jaejoong seakan di cubit. Sepupunya itu tidak biasanya begitu saja menyukai seseorang, Heechul pria pemilih yang menyebalkan.
Mendorong pesanan meja sebelumnya, ia berkata sedikit kasar. "Bawa ke meja no tiga."
Heechul hanya tertawa sebelum melesat pergi mengantar pesanan. Senyumnya tetap ada saat berjalan melewati Yunho, dengan sangat sengaja ia membenturkan tubuhnya sendiri ke punggung tegap pria itu yang seperti biasa di sambut senyum cerah Yunho yang membuat Jaejoong memberenggut tidak suka di tempatnya berdiri.
"Dua duanya sama-sama menyebalkan."
.
.
.
Ya Tuhan!
Yunho memekik tertahan dengan mata mendelik lebar, tubuh pria itu gemetar dengan keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya.
Ia sudah menyiapkan diri selama lebih dari dua minggu jika suwaktu waktu ia akan melihatnya lagi. Namun tetap saja ia merinding ngeri melihat hantu yang dua minggu lalu menejutkan dirinya sampai pingsan.
Dengan napas tertahan ia berkata. "Pergilah. Jangan menggangguku."
Shim Changmin maju selangkah mendekati Yunho. Pagi ini Yunho berniat untuk sarapan seperti biasa di lantai dua saat melihat hantu menyebalkan itu kembali menampakkan diri. "Kau mendengarku?"
"Tentu saja! Aku masih sangat muda untuk tuli." Yunho perlu duduk, atau ia akan pinsang dan jatuh dengan tidak elit ke lantai seperti dulu lagi. Ia menjatuhkan tubuhnya yang masih genetar di sofa.
"Kau melihatku dengan jelas bukan? Wajah dan lainnya?" Changmin berdiri menjulang di hadapan Yunho dengan wajah penasaran.
"Ya. Tapi sungguh, aku tidak ingin melihatmu lagi. Pergilah." ia memohon.
"Tapi aku tak bisa menyentuhmu."
"Jika aku bisa menyentuhmu aku akan melemparmu keluar dari pintu dan menguncimu di luar." Menyadari sesuatu kening Yunho menggeryit. "Tapi kau bisa kembali meski pintu di kunci, bukan?."
Changmin sengaja mendiamkan Yunho untuk waktu yang lama sampai pria itu terlihat lebih baik. Diam-diam pria itu meliriknya tapi tidak benar-benar memandangnya untuk dapat melihat detail tentang Changmin.
Keheningan terasa menyesakkan ketika hantu itu masih berdiri mengawasi Yunho. Pria itu menggeram, apa yang di inginkan hantu darinya. "Kenapa kau ada di sini?" akhirnya ia berani berkata. Mungkin jika ia mengusirnya dengan cara halus, hantu itu akan segera pergi.
"Karena di sinilah tempatku."
"Rumah ini?" Changmin mengangguk.
Duduk lebih tegak, Yunho akhirnya berani menatap wajah samar Changmin. Yunho tak sepenuhnya bisa melihat dengan jelas, entah mengapa saat ia mencoba menajamkan matanya pria itu tetap terlihat samar. Seakan ada cahaya kasat mata melingkupi tubuh hantu tersebut.
"Apa kau pemilik rumah ini sebelumnya?"
"Ya." Sebelum ia memberikan rumah serta cafe kepada Jaejoong tepatnya.
Yunho mengangguk paham. "Tidak seperti yang kau bayangkan," Changmin menambahkan. "Aku dan Jaejoong pemilik rumah ini."
"Kau mengenal Jaejoong, di mana? Apa dia yang menyuruhmu tinggal di sini?"
"Dia tidak bisa melihatku."
"Lalu kenapa aku bisa melihatmu?"
Mengedikkan bahu, Changmin duduk di atas meja dan menatap Yunho. "Itu juga yang membuatku penasaran, tidak ada yang bisa melihatku sebelumnya, tidak satupun kecuali kau." Itu bukanlah jawaban yang bagus, karena entah mengapa Yunho merasa hantu itu akan sangat merepotkan.
"Aku butuh bantuanmu." Benar bukan!
"Tidak! Maaf, aku tidak membuka lowongan pemburu hantu dan sebagainya. Tolong," Menangkupkan kedua tangan ia memohon. "demi Tuhan, aku pria baik dan tidak suka mengganggu orang, jadi pergilah cari bantuan di tempat lain." Hening. Hembusan dingin membuat bulu kuduk Yunho meremang. Dan ia tahu tanpa melihat bahwa hantu itu masih ada di sana.
"Yun, kau sedang apa?" Muncul dari kamar mandi, Jaejoong masih menggunakan handuk untuk mengeringkan rambutnya yang basah. "Aku mendengar kau berbicara dengan seseorang."
Yunho melirik Changmin. Pria itu sudah berdiri dan menatap Jaejoong dengan pandangan lurus kedepan. "Kau tak melihatnya?"
Jaejoong menurunkan handuk dari kepalanya dan berdiri tepat di hadapan bayangan Changmin. Pria itu tidak mundur ataupun maju, hanya menatap ke arah Jaejoong. Sorot mata yang Yunho anggap sebagai kerinduan.
"Tidak. Aku hanya sedang bicara sendirian." Akhirnya ia berkata.
Kening Jaejoong membentuk kerutan berlapis, Yunho melihat Changmin mengulurkan tangan dan berniat menyentuhnya. Tanpa tahu apa-apa Jaejoong mundur dan berjalan menuju kamar. "Kita akan makan di pasar, aku akan ganti pakaian." pintu tertutup di belakang Jaejoong.
Melihat dari cara pandang Changmin Yunho merasa mereka memiliki suatu hubungan. "Kau mengenalnya, bukan?"
"Ya." Changmin duduk kembali di meja dan menatap Yunho penuh harap. "Hanya kau harapanku Yunho, agar aku bisa bicara dengan Jaejoong. Beritahu padanya aku di sini."
"Kenapa?"
"Kenapa apa?"
"Kenapa kau berada di sini, kenapa kau harus berbicara dengan Jaejoong dan kenapa kau tidak pergi ke tepat seharusnya dimana kau berada."
Tidak ada jawaban selain bahu pria itu terkulai lemas. Changmin sendiri tidak tahu kenapa, ia sadar dan begitu saja berada di sini. Mendapati dirinya tak bisa menyentuh Jaejoong dan melihat peti tanpa mayatnya di kuburkan. Ia bertanya tanya, di mana mayatnya. Kenapa ia tidak ingat kejadian saat ia terluka atau paling tidak jika ia mati bagaimana dirinya saat menghembuskan napas terakhir.
"Aku tidak tahu." ujarnya jujur. "Aku mendapati diriku sadar dan melihat semua orang memberikan hormat terakhir mereka kepada peti kosong. Tapi aku tahu aku belum meninggal hanya saja aku tidak tahu di mana tubuhku berada."
"Kau tidak ingat sama sekali kejadian terakhir kali sebelum kau tidur atau mati dadakan?"
Changmin menggeleng. "Andai aku tahu."
Dengan tatapan ngeri Yunho melotot kepada Changmin. "Jangan katakan kau seperti pemeran utama wanita dalam drama korea 49day. Di mana wanita itu mengalami koma dengan arwah yang gentayang." ujar Yunho blak blakan. Lalu ia menelengkan kepalanya berpikir. "Tapi aku tidak melakukan apapun yang sepertinya mencelakai orang dan terutama denganmu. Aku juga merasa kita belum pernah bertemu."
Meskipun Changmin benar-benar berniat memukul kepala Yunho karena pria itu mencoba bercanda di saat serius, ia hanya berkata. "Aku juga belum pernah bertemu denganmu."
"Jadi kemungkinan nasib kita tidam seperti dalam drama 49day."
"Ya Tuhan, itu hanya film." Ujar Changmin marah. Apakah pria yang duduk di hadapanya itu tidak memiliki keseriusan sedikitpun, bercanda di saat yang tak tepat. Mulut Changmin terbuka dan sudah akan memprotes pintu kamar terbuka dan Jaejoong melangkah keluar.
"Kau belum siap?" Jaejoong mendelik ke arah Yunho. "Kita terlambat untuk membeli seafood ke pelabuhan jika kau tidak segera ganti pakaian."
Kata kata yang di ucapkan dengan nada marah itu membuat Yunho berdiri dengan cepat. "Kau terlihat seperti cabai berjalan jika berpakaian serba merah." ujar Yunho sebelum kabur ke lantai dasar.
Genggaman kedua tangan Jaejoong mengerat di kedua sisi, kata kata itu terdengar tidak asing untuknya.
"Jika kau memakai baju merah dan celana merah itu Jae, aku pikir kau seperti cabai merah." Changmin. Ya, ia ingat Changmin pernah mengatakan itu dulu.
~TBC~
Typo bertebaran. Menerima masukan yang membangun yang masih berhubungan dengan ff kasih sudah ripiu dan vote.
