Salah jika orang mengatakan bahwa kau tidak akan melupakan cinta pertamamu. Ketika kau merasakan sakitnya perasaan tak bertuan, kemudian sang tuan mendapat karma maka kau akan otomatis melupakan cinta pertama.
.
.
represent Jeon Jeongguk and Kim Taehyung
upredictable wheel
.
.
chapter 1 : first sight
Pintu kayu berwarna coklat muda terketuk pelan dua kali. Tanpa menunggu jawaban, seorang pria –yang mengetuk – menekan kenop pintu dan membuka. Ia memunculkan kepala mungilnya sebatas leher dan menoleh kesana kemari; sedetik kemudian ia membuka pintu lebar-lebar dan membawa dirinya serta trolley masuk.
"permisi, saya butuh– "
"tutup pintunya"
Pria mungil itu tersentak untuk sepersekian sekon, namun akhirnya menutup pintu yang menganga lebar lalu membungkuk kecil seraya bergumam maaf yang dibalas dehaman kasar. Membuat si pria mungil berpikiran sempit bahwa pria di hadapannya ini galak. Judes. Menyeramkan.
"saya butuh set pemeriksaan glukosa urine, protein urine, serta Hb Sahli"
Si pria mungil meletakkan ponselnya yang baru saja mendapat pesan bahwa dosen akan datang terlambat lima belas menit karena traffic jam kedalam saku jas lab putih yang dikenakan. Ia melirik pria di hadapannya yang entah sedang apa menunduk begitu; memeriksa ketersediaan bahan lab, mungkin? Melihat ia menenteng papan kayu dan kertas yang terselip diantara penjepit papan itu dan ia terlihat menggumam entah apa sembari menunjuk obat-obat dalam etalase tiga tingkat.
Si mungil berdeham, berusaha menegaskan permintaannya. Barangkali si pria penjaga lab tidak mendengarnya karena suaranya terlalu kecil, "saya butuh set pemeriksaan urine dan Hb"
Si mungil mengerutkan alis sembari menggerutu dalam hati. Dia itu mendengarkan atau tidak sih? Toh di dalam sini hanya mereka berdua, hanya lima belas persen kemungkinan dia tidak mendengar –oh, mungkin karena ia sedang sibuk mengecek bahan? "permisi, saya– "
"ck! Kau mahasiswa semester berapa? Ambil sendiri set lab yang kau butuhkan. Ada di rak kedua dari selatan, kalau sudah lengkap baru kembali kesini minta kertas peminjaman" ucap si penjaga lab yang sekali hentak berbalik dan memasang raut wajah masam. Membuat si mungil bergidik sesaat dan merapalkan beberapa doa agar jantungnya tidak copot serta tidak ada kejadian yang tidak-tidak.
"a –itu, ini jadwal praktikum kami yang pertama"
Pria yang mengenakan kemeja dengan lengan dilipat sampai ke siku dalam jas lab itu menautkan alisnya heran. "oh, kau semester satu ternyata" suara itu terdengar sangat tulus dan menyesal, hingga si mungil menghembuskan napasnya lega. Setidaknya ia akan keluar dari laboratorium dengan selamat secara fisik dan emosional.
"maaf"
Si pria mungil meneguk ludahnya pelan walau terasa berat. Namun ia tetap menatap si pria penjaga lab dengan mata hitamnya yang bulat, menggeleng kecil seraya bergumam tak apa. "mari, ikuti aku" , kata si pria penjaga lab yang langsung meletakkan papannya dan berjalan kearah selatan. Si mungil terlonjak dan segera membawa trolley bersamanya mengikuti pria yang sepertinya lebih tinggi beberapa senti darinya.
Si mungil tanpa sadar menganga kecil menatap seluruh alat laboratorium yang ada. Doppler; korentang; handscoon; metline; tensimeter; beberapa obat yang entah apa; jangkar panggul; tabung reaksi beserta rak dan penjepitnya; spiritus; benedict; asam asetat; alkohol; dan masih banyak lagi alat kesehatan yang baru pertama kali ia lihat –secara langsung.
"kau bisa mengambil tabung reaksi, rak, penjepit, dan spiritus di rak ini. Nomor 6.1 tingkat dua, larutan benedict dan asam asetat di tingkat tiga" ujar si penjaga menggeser pintu rak ke kanan, mengambil beberapa tabung dan raknya, serta spiritus dan memberikannya pada si mungil – yang disambut girang olehnya, walau ia agak parno karena takut menghancurkan benda rapuh itu. Ini hari pertamanya dan ia tidak mau uang sakunya habis untuk mengganti alat lab, bung.
"butuh asam asetat berapa persen?"
Butuh tiga detik bagi si mungil membuka buku panduan praktikumnya dan dua detik untuk menjawab si pria di sampingnya, "enam persen". Si pria penjaga lab mengangguk kecil dan mengambil asam asetat yang berada di ujung kanan, karena yang dihadapannya hanya tiga sampai lima persen.
Selesai dengan set pemeriksaan urine, si mungil diajak ke rak yang ada di balik etalase tabung reaksi tadi. Disini si mungil bergumam 'wow' karena melihat sesuatu yang entah apa ia juga tidak tahu namanya tapi terlihat keren. Mungkin ia akan menggunakannya di semester tiga atau empat. Ugh, membuat tidak sabaran saja.
"kau benar-benar baru melihat ini semua?" si mungil terhenyak sesaat, lalu mengangguk cepat. "tentu, saya kan baru pertama masuk laboratorium. Kami tidak punya yang begini di rumah". Entah karena ucapannya atau apa, si pria penjaga tertawa kecil, mengundang tatapan bingung dari lawan bicaranya. "yah, ngapain juga orang rumahan membeli alat laborat sebegini lengkap. Kau ini ada-ada saja"
Si mungil memamerkan gigi bersihnya dan tertawa canggung, menyadari ucapannya yang ternyata aneh didengar. "bicara informal saja padaku, aku bukan bapak-bapak tua yang botak didaerah khusus karena radiasi di lab. Aku masih semester empat, dan aku seniormu" ucapnya menggeser etalase tingkat dua dan mengambil satu set Hb sahli, membukanya dan mengecek alat di dalamnya.
"sial, kemana pengaduknya? Dasar, siapa yang ngambil?!"
Si mungil masih menatap pria penjaga lab yang ternyata seniornya. Sempat terlintas di benaknya bahwa pria tinggi dihadapannya ini begitu manis saat menggerutu –tunggu, apa yang kau pikirkan?
"aku Kim Taehyung" ucapnya setelah yakin set Hb sahli yang ia pilih adalah yang terbaik, kemudian memberikannya pada junior yang masih menatapnya –entah apa arti tatapannya itu, ia juga tidak tahu. Ia bukan peramal atau psikolog yang bisa membaca wajah atau tatapan. Kalau baca diagnosa sih, dia bisa. "kau?"
"Jeongguk" ucap si mungil menerima set Hb sahli pemberian Taehyung yang sempat mengacaukan pikirannya untuk sepersekian menit yang ia lalui. "Jeongguk?"
"Jeon Jeongguk, analis semeter satu"
.
.
"tanganmu bergetar, Jeon"
Jeongguk menoleh menautkan alis, "kau tremor? ini bahkan bukan responsi" ulang si pria gembul berambut oranye. Jeongguk menatap tangannya yang sedang menggenggam penjepit tabung lengkap dengan tabung berisi reagen benedict yang ditambah delapan tetes urine sebelumnya. Benar juga, kenapa pula tangannya bergetar?
"kau oke?" tanya si pria rambut oranye terang. Jeongguk berpikir ia harus menyiapkan sunglasses untuk bicara padanya karena sungguh, rambutnya seratus persen mencolok dan kulitnya yang coklat benar-benar kontras. "aku oke" Jeongguk menggumam sembari meletakkan tabung reaksi di rak. Sekali lagi, ia parno jika tangannya bergetar lebih dari ini, ia akan benar menghancurkan satu alat lab.
"terus kenapa?"
Jeongguk mengipas wajahnya yang penuh dengan peluh dingin. Kenapa kipas angin tidak dinyalakan, sih? Ia masih muda dan belum mau mati konyol disini. "tidak tahu, mungkin karena first time" ucap Jeongguk sekenanya setelah melepas masker hijau yang menutupi setengah muka manisnya.
"ini first time bagiku tapi aku tidak norak sepertimu" cibir si rambut oranye, membuat Jeongguk mendengus kesal walau mungkin lawan bicaranya itu tak mendengarnya dengan jelas. "aku tidak norak, Park Jimin" balas Jeongguk membuat Jimin terkekeh seraya melepas maskernya. Jimin –si rambut oranye –menutup buku panduan praktikum dan duduk disebelah Jeongguk. Dua detik kemudian pria paruh baya berambut perak muncul sembari melepas maskernya –mungkin mereka semua kepanasan.
"mantapkan pemahaman kalian tentang uji lab hari ini. Minggu depan kita akan responsi. Satu jam, cukup?" tanya pria itu menoleh ke Jeongguk, yang dibalas tatapan terkejut dan bingung. "eung, mungkin? Kelompok kami ada sepuluh orang. Kalau sekali masuk dua orang mungkin cukup, seonsaengnim" jelasnya sembari menenangkan detak jantungnya yang begitu keras dan cepat.
Pria berambut perak itu menggumam entah apa tapi yang jelas ia mengangguk paham. "terima kasih untuk hari ini, silahkan istirahat –atau masih ada kelas setelah ini?". Jeongguk menutup buku panduan praktikumnya dan turun dari bangku untuk menggiring trolley mendekat. "setelah ini ada mata kuliah pathofisiology tapi dokter Han tidak bisa hadir" jawab pria berambut jingga lembut –hampir mirip Jimin, tapi milik pria mungil ini lebih lembut.
"ah, dokter Han? Yang saya tahu dia cuti melahirkan" jelas dosen berambut perak itu yang dibalas anggukan beberapa mahasiswa di hadapannya. "saya duluan, permisi" ujar dosen berambut perak menenteng tas selempang hitam legamnya dan beranjak pergi. "terima kasih, seonsaengnim"
Jeongguk menenteng dua tabung reaksi berisi reagen benedict dan urine menuju wastafel. Tabung berisi benedict ia pindahkan ke tangan kanannya, hingga ia membuka keran dan membasuh tabung-tabung itu.
"ah, kau mau makan apa, Jihoon?" tanya si pria paling tinggi diantara anggota yang ada pada pria paling mungil diantara yang lain, "susu dan roti, mungkin? Malas makan nasi". Jeongguk sempat berpikiran bahwa kawan-kawannya ini tega sekali meninggalkan dirinya dengan seperangkat alat laborat yang berpotensial untuk pecah berkeping-keping. Bahkan Jeongguk mencuci tabung dan membereskan alat sendirian. Sial, mereka lihat tidak sih kalau Jeongguk menggerutu?
"mau makan apa Jeon?" mendengarnya, Jeongguk gembira bukan kepalang. Rupanya ada juga yang menyadari keberadaannya. Meski tidak membantu secara langsung, setidaknya depresi emosionalnya berkurang. "kurasa aku bahkan tak punya waktu untuk makan, Park". Jeongguk mengibaskan tabung-tabung yang sudah bersih, lalu meletakannya di rak tabung dengan posisi terbalik. Kemudian ia meletakkan spiritus; benedict; dan asam asetat ke dalam box –yang sungguh tak diduga Park Jimin membantunya meletakkan rak tabung reaksi dan beberapa kotak korek api kayu. Jeongguk merasa bersyukur setidaknya ada satu orang yang tanpa paksaan membantunya, walau ia sendiri tidak tahu apa motivasi Jimin melakukannya. Kasihan, atau memang peduli?
"kau harus makan, tubuhmu lumayan kurus" Jeongguk menyeret trolley keluar lab yang dibantu Jimin membuka pintu kayu untuknya –sekali lagi, Jeongguk bersyukur. "setidaknya, aku lebih tinggi" balas Jeongguk sembari mengerlingkan matanya pada Jimin yang dibalas tatapan tajam. "bercanda, iya ayo makan. Tapi setelah kembalikan ini," Jimin menekan tombol lift untuk naik ke lantai tiga, kini mereka berdua menunggu lift terbuka "memang kau mau makan apa?"
"aku bawa bekal" balas Jimin. Jeongguk menoleh, sedikit menyeringai meremehkan "anak mami". Mendegarnya Jimin memukul kepala Jeongguk yang dihadiahi teriakan 'aduh' oleh si pemilik kepala. "anak mami, kepalamu. Aku sedang masa penghematan. Sepupuku yang mengirimiku beginian, selama gratis aku sih oke"
Sementara Jeongguk mencibir sembari mengelus ubun-ubunnya yang terasa nyeri. Pukulan Jimin lumayan juga, padahal badannya kecil begitu. Sempat Jeongguk berpikir, apa Jimin ternyata memiliki tubuh berotot?
Empat detik setelahnya pintu lift terbuka, diawali Jimin masuk dan menyeret trolley yang didorong Jeongguk hingga akhirnya lift penuh berisikan Jimin dan Jeongguk dengan trolley diantara mereka. Jimin menekan tombol tiga dan menutup lift, hingga akhirnya lift membawa mereka naik dua lantai.
"omong-omong, kau tinggal dengan sepupumu?" tanya Jeongguk mencairkan suasana hening. Jimin mengangguk lamat-lamat, "ya, kami tinggal berdua. Di belakang minimarket terdekat dari sini kalau dari utara; sekitar tiga blok, mungkin?" Jeongguk mengangguk lamat-lamat tanda paham. "awalnya itu rumah miliknya sendiri, ia sudah bekerja sebagai translator buku di penerbit Mansae Group. Mendengar aku diterima disini, ia langsung menawariku tinggal bersama. Aku sih oke, toh gratis. haha"
Pintu lift terbuka, diawali Jeongguk yang melesat keluar dan menyeret trolley dibantu Jimin yang mendorong trolley keluar. Mereka berjalan ke arah timur menuju lab. Untuk alasan yang tak pasti, Jeongguk merasa jantungnya mau copot. Napasnya agak tersengal dan buku-buku jarinya mendingin. Tanpa ia sadari terlintas dalam benaknya, apa Taehyung sunbae masih disana?
"kami mau mengembalikan alat" suara cempreng Jimin menusuk telinganya hingga ia ditarik kembali ke dunia nyata, meninggalkan angan dimana ia berharap bisa bertemu Taehyung dan berbincang barang tiga puluh detik atau lebih. Seorang wanita membalas senyum, "atas nama siapa?"
"Jeon Jeongguk?"
Baik Jeongguk maupun Jimin tersentak; demi apapun bukan mereka berdua yang memiliki suara seberat dan seserak itu. Datang seorang pria berkemeja coklat dengan lengan yang digulung sampai siku menghampiri mereka berdua. "a –ah, kami mau mengembalikan alat, sunbaenim" ucap Jeongguk yang hampir terdengar terbata. Jimin menoleh kearahnya dengan tatapan heran, meski tidak terlalu kentara.
Pria itu mengambil kertas peminjaman atas nama Jeon Jeongguk dan menulis sesuatu disana. Ia membaca deretan alat yang dipinjam makhluk mungil manis itu. Sesaat ia bertemu tatap dengan Jimin, mengundang tanya dari si pria.
"dan ini temanmu?" Jeongguk terkesiap namun mengangguk cepat. Sial, jantungnya benar-benar mau copot! "namanya Park Jimin" jelas Jeongguk.
Pria itu hanya bergumam 'oh' dan mengecek alat yang dikembalikan. Apakah utuh atau justru ada yang hilang? "spuitnya kau buang di safety box, oke?" kata pria itu yang dibalas Jeongguk dengan "ya,". Pria itu membuka box dan memastikan spriritus dan larutan tidak ada yang hilang.
Entah sudah berapa detik yang Jeongguk habiskan untuk leluasa menatap pria tinggi itu. Garis wajahnya benar-benar sempurna dan rambutnya –oh, God! Sepertinya halus, dan lebat sekali! Benar-benar, sepertinya ia melakukan treatment spesial untuk rambutnya. Ia menyunggingkan senyum kecil melihat beberapa helai poninya berwarna hijau lumut. Aneh, tapi menggemaskan. Entah apa rencana Tuhan hari ini, tapi Jeongguk sungguh bersyukur mendapat hadiah yang begini indah. Padahal ini masih jam sepuluh, masih ada sekitar empat belas jam lagi untuk dihabiskan.
"ya, semua lengkap. Kalian boleh kembali. Oh, ini kartu mahasiswa milikmu" ujar si pria mengulurkan kartu pengenal Jeongguk yang baru didapatkan seminggu lalu. "terima kasih, Taehyung sunbaenim" ujar Jeongguk yang buru-buru melesat kabur menyeret Jimin keluar lab.
"kenapa dia lari begitu?"
.
.
.
"kau suka padanya"
Jimin sudah meprediksikan hal yang akan terjadi, maka ia meraih leaflet yang ia dapat dari seorang sunbae saat dijalan menuju cafetaria tadi untuk menutupi wajahnya –melindunginya dari semburan jus tomat yang bahkan belum selesai diminum Jeongguk. Masalahnya, beberapa orang sudah menatap mereka jijik. Duh, habis sudah imagenya. Diturunkannya leaflet tadi, ia menatap kasihan pada kertas itu. Kasihan yang sudah membuat, tapi daripada wajahnya kena jus tomat –yang parahnya bercampur dengan liur Jeongguk, lebih baik kertas tak bernyawa ini yang dikorbankan.
Jeongguk mengelap bibirnya kasar, "a –apa yang kau bicarakan, Park?" dengan sigap ia mengeluarkan tissue dari ransel coklatnya dan mengelap meja yang mereka berdua singgahi. Melihatnya Jeongguk jijik sendiri. Bisa-bisanya ia menyemburkan jus tomat, ditempat ramai begini, dan bisa saja Jimin jadi ogah berteman dengannya karena Jeongguk si manis ternyata jorok. Sial.
"penjaga laborat tadi" Jeongguk menautkan alis, "huh?"
"Taehun atau apalah itu. Yang punya helaian hijau lumut diponinya" Jeongguk tertawa hambar, "suka apaan. Dia kan laki-laki" Jimin menyumpit daging ayam berlumur saus tomat dalam kotak bekalnya. Omomg-omong tomat, Jimin jadi ingat jus tomat –ah, lupakan. Mengingatnya sungguh membuat jijik. Ingatkan Jimin untuk jangan membeli jus tomat. "terlihat jelas, Jeon. Reaksimu mirip orang hipoksia. Dasar norak, ketemu begitu saja sudah kayak mau mati"
Jeongguk tersedak gumpalan nasi dari onigiri yang ia kunyah. Parahnya, Jimin melihat ada setidaknya tiga atau empat butir nasi yang keluar dari mulut Jeongguk –ugh, menjijikkan. Lain kali Jimin akan makan sendiri saja, atau tidak usah bikin Jeongguk kaget saat makan bersama. Makan dengan Jeongguk sudah mirip makan dengan unggas –berantakan. "aku tidak suka pada Taehyung sunbaenim, Park."
"oh, dia senior? Semester berapa? Jurusan apa?" tanya Jimin yang meneguk air mineral untuk menetralkan mualnya karena melihat tingkah jorok Jeongguk saat makan. "semester empat, perawat"
"good, ia bisa memberikanmu pertolongan gawat darurat kalau kau benar-benar kehilangan kesadaran karena melihatnya" mendengarnya, Jeongguk menggeram marah. "sudah kubilang aku tidak menyukainya! Secara perasaan,"
"mungkin belum"
.
.
Sebuah pintu kaca terbuka diiringi seorang pria yang memikul ransel coklat. Ia mengusak rambut hitam legamnya yang baru di cuci kemarin –itu juga karena diingatkan oleh ibunya, kalau tidak mana mau ia mencuci rambutnya karena seriously, dia itu manis dan tampan tapi jorok.
"selamat datang, selamat belanja" ucap seorang dari balik meja kasir yang sayangnya tidak mendapat tanggapan berarti kecuali gumamam 'ya' yang terdengar malas karena si pengunjung langsung melesat ke arah selatan; tempat dimana minuman berjejer rapi dari susu, soda, air mineral, isotonik, bahkan beer. Disebelahnya ada rak roti tawar, roti sobek, dan beberapa kue kering yang kelihatan menggoda tapi sialnya, mahal.
Pria itu menguap lebar kemudian membuka kulkas yang kira-kira lima puluh senti lebih tinggi darinya dan mengambil satu susu kaleng rasa vanilla kemudian berbalik dan mengambil satu bungkus keripik tortilla –yang rasanya luar biasa lezat baginya. Setelahnya ia langsung ke kasir karena sebenarnya ia sudah tak tahan dengan kantuknya dan ingin segera tidur di ranjang tanpa kaki itu meski hanya untuk dua puluh menit.
"hari yang berat, Jeon?"
Pria itu langsung membuka matanya dan terhenyak –tunggu, orang ini barusan memanggilnya, kan? Betapa kagetnya ia melihat sosok tinggi ini, lagi. "a –ah, selamat sore, sunbaenim"
Pria yang dipanggil sunbaenim itu tersenyum manis yang dibalas desiran hebat dari si lawan bicara meski pria itu tak tahu. Ia mengambil keripik tortilla dan susu kaleng yang dibeli pria mungil itu dan mengarahkan sensor pada labelnya hingga memunculkan harga pada monitor dihadapannya.
"semuanya sepuluh ribu" ujarnya sembari memasukkan tortilla dan susu kaleng kedalam kantung plastik berwarna putih. Disusul si mungil yang memberikan lembaran uang dua puluh ribu, sengaja.
"sunbae bekerja disini?" tanya si mungil yang terkesan terburu-buru, mengingat napasnya agak tersengal setelah mengucapkan kalimat itu. Disusul si pria berambut coklat berlumur hijau yang tertawa ringan, membuat si mungil sangat tenang entah mengapa.
"ya. Sekitar tiga bulan, mungkin? Baru pulang... Jeongguk, benar? Aku hanya ingat nama belakangmu sebenarnya" mendengarnya Jeongguk mengangguk kecil. Wah, dia ingat namanya. Sempat tersirat bangga dan senang mengetahuinya. Ia menerima lembaran sepuluh ribu dari sunbaenya sebagai kembalian, "terima kasih"
Pria itu tertawa, "tidak, tidak. Terima kasih". Jeongguk ikut tertawa karenanya, separuh karena senang dan sisanya hanya tertawa canggung. Sejujurnya ia tidak ingin ini cepat berakhir karena tidak setiap hari ia akan ke laboratorium dan mengingat pria ini masih mahasiswa kemungkinan kejadian tadi pagi hanya kebetulan karena sebetulnya dia bukan pria penjaga lab, oh God.
"T –Taehyung sunbae," panggil Jeongguk yang dihadiahi wajah penasaran si kasir yang dengan santai menopang dagunya dan mendekat, membuat pasokan oksigen disekitar menipis –setidaknya bagi Jeongguk sendiri. "apa?"
Butuh empat detik bagi Jeongguk untuk menetralkan gugupnya karena seriously, wajah Taehyung benar-benar dekat dan itu membuatnya hampir limbung. Sial, kemana perginya kantuk yang menyerangnya tadi? Kenapa dengan mudah ia menguap? "hanya, kenapa sunbae bekerja... disini?". Detik berikutnya Taehyung tertawa lagi. Benar-benar, kenapa dia selalu tertawa?
"hanya sambilan. Disini cukup dekat dengan kampus dan tempat tinggalku jadi, yah. Lagipula aku butuh uang tambahan, untuk makan dan hal tak terduga" jelas Taehyung meniup poninya. Taehyung rasa ia butuh ke salon karena rambutnya sudah cukup panjang dan menyakiti matanya. Potong sedikit tidak mahal, kan?
"misalnya?"
Taehyung berpikir sejenak, "seperti… makan di waktu tak terduga? Maksudku, seperti di tengah malam. Aku bukan tipikal yang makan makanan instan. Walaupun hemat, aku anti Msg". Jeongguk termangu mendengarnya karena damn, Jeongguk masih suka makanan instan karena demi apapun koloni mereka bena-benar lezat! Dan andalannya saat lapar di tengah malam ya hanya ramen, instan. Padahal dia ini masuk jurusan kesehatan –yah, walau cuma analis; tapi ia belum seratus persen mengatur pola makannya dengan baik macam Taehyung ini.
"aku suka ramen, hyung –a, maaf"
Jeongguk merutuki dirinya yang keceplosan mengucapkan panggilan 'sok akrab' pada sunbae yang bahkan baru ia kenal tadi pagi dan kebetulan ditakdirkan Tuhan untuk bertemu lagi. Hyung? Yang benar saja, memang dia mau jadi kakakmu? Persepsi pola makan saja sudah beda, dasar pemimpi.
"untuk?" Jeongguk meremas pegangan tali plastik putihnya, "memanggilmu hyung? a –itu, karena kurasa kita belum cukup dekat untuk panggilan itu jadi, yah…"
Taehyung tertawa sebentar dan membuka bungkus permen mint karena sejujurnya ia mengantuk, ia menatap Jeongguk yang ia rasa terlalu lugu untuk bicara dengan siapapun. Benar-benar, memang selama ini dia tinggal dimana? Seriously, dia laki-laki dan cara bicaranya saja lemah begitu. Untung ia memiliki wajah manis, jadi yah mungkin Taehyung bisa sedikit memaafkannya. "tidak perlu, kau bebas panggil aku apa saja. Asal jangan panggil sayang, love, atau chagi. hahaha"
Yang benar saja, mana mau Jeongguk memanggil Taehyung semcam itu? Ia masih punya harga diri dan masih normal untuk mengucapkan hal laknat begitu. Memanggil hyung saja ia merasa bersalah. Duh, kemana sisi jantanmu, Jeon? Sepertinya Jimin benar kalau dia norak saat dengan Taehyung. Sial.
"jadi…. Hyung?" tanya Jeongguk ragu, meski ia berharap kalau Taehyung senang hati dipanggil begitu. Sebenarnya Jimin lebih tua darinya setahun dan ia malas memanggilnya hyung; menurutnya hyung setidaknya harus lebih tinggi –dan ini membuat Jimin mengejar Jeongguk sambil menenteng sepatu nike barunya untuk siap dilempar mengenai wajah Jeongguk.
"ya, tatae hyung atau taehyungie hyung boleh. Aku agak risih kalau taehyung hyung, aneh" balasnya dengan anggukan dan senyum tipisnya. Jeongguk mengangguk kecil dan bergumam 'ya' kemudian ia buru-buru melepas kontak mata mereka dan mengatakan kalau ia harus pulang dan mengerjakan beberapa makalah. Dan disini Taehyung kembali dibuat bingung karena untuk kedua kalinya si Jeon itu berlari selesai bicara dengannya.
Dan jeongguk merutuki kebodohan serta kegugupan yang melanda beberapa menit lalu karena sial, kenapa ia tak basa-basi bertanya dimana Taehyung tinggal? Katanya ia tinggal sekitar sini, dan holy crap ia juga tinggal sekitar sini!
.
.
TBC