You're My Space
.
.
"kau... bisakah membawaku pergi dari sini?"
"aku bisa membawamu pergi ke luar angkasa."
.
.
MW
.
.
Chapter 3
-Us—
.
.
MW
.
.
"aku pulang."
"ah Mingyu-ya!"
Belum sempat Mingyu melepas sepatunya di depan pintu rumah, tubuhnya langsung di tubruk dan sepasang tangan memeluknya dengan erat. Ia tak perlu lagi menebak siapa pelakunya walau Mingyu belum sempat melihat wajah pria itu. Ayahnya.
Yang ia tak habis pikir kekacauan apa yang telah ia buat.
"kau hampir membuat ayah mati, Mingyu-ya!" pekik pria yang masih memeluk anak tunggalnya itu dengan erat. "kenapa di umur segini kau masih bisa membuat ayahmu jantungan dengan sikapmu, hah?"geramnya. memeluk makin erat Mingyu seolah ia tak takut harta paling berharganya itu menghilang.
Dan Mingyu sebenarnya sudah sangat paham tentang betapa berharganya ia bagi ayahnya. Pemuda itu hanya mengangkat bahunya dan tersenyum tipis melihat tingkah ayahnya yang seperti ibu-ibu. Ayah seharusnya lebih menjaga wibawanya, pikir Mingyu.
"maaf... ayah..." gumamnya pelan. yang setelahnya, Tuan Kim, melepaskan pelukannya. Ia menatap wajah anak tunggalnya itu.
"sudahlah, tak ada yang perlu di sesali. Toh, kau sudah kembali dengan selamat." Ucap Tuan Kim, pria diakhir umur empat puluhannya itu berdehem. Menstabilkan emosinya yang sempat naik turun. "ayah hanya heran, kabur dari penculik sama sekali bukan style mu nak. Kau tahu ayah pasti akan segera menemukanmu bagaimanapun caranya." Ucap Tuan Kim. Terlihat penasaran. Ini tidak seperti Mingyu sudah tak mempercayainya lagi kan? pikir ayah dari seorang Kim Mingyu itu.
Mingyu menggeleng, ia terkekeh pelan. Ingatannya tentang semalam membuatnya geli sendiri. Ia pun bingung kenapa ia mau saja mengikuti seorang Jeon Wonwoo untuk kabur. Padahal, seperti yang ayahnya katakan, Mingyu tak pernah melakukan kabur. Ia tak akan membuang waktunya untuk berlari, karena ia tahu ayahnya akan menemukannya dengan cepat sebelum ia merasa menderita. Mingyu sudah berpengalaman. Salahkan dirinya yang lahir dari keluarga super kaya.
"... tapi kali ini aku menikmati penculikkannya, yah."ujar Mingyu "ayah tak tahu hal besar apa yang baru saja ku temukan..." lanjutnya, yang tentu saja membuat sang ayah memandangnya tak mengerti.
Tuan Kim memang ada dengar soal kesalahan menculik dan sebagainya dari bawahannya yang baru saja mengurusi dua penculik abal-abal yang menculik anaknya tadi siang. dan ia tak habis pikir kenapa kini anaknya terlihat senang, walau penampilannya terlihat kacau, dan bau.
Merasakan keheningan singkat, Mingyu sontak melanjutkan acara melepas-sepatunya. Ia kemudian tersenyum makin lebar pada ayahnya.
"ah ya, aku menyetujui keputusan ayah untuk menikah lagi." ucap Mingyu pendek. Cukup untuk membuat Tuan Kim membeku.
.
"asal ayah berjanji untuk meluangkan waktu makan malam setiap hari di rumah. Bersama calon ibuku..."
.
.
"mungkin jika kau mulai memperluas jarak penglihatanmu, kau bisa melindungi wanita yang akan tersakiti oleh ayahmu. Memastikan mereka memang saling mencintai, dan mencoba untuk membuat sebuah keluarga yang hangat. semua butuh peranmu. Bukan sekedar urusan ayahmu dengan wanitanya, kan?"
.
.
MW
.
.
Esoknya.
Mingyu tak pernah merasa sebaik ini. Tadi pagi ayahnya baru mengatakan bahwa nanti malam mereka akan makan malam bersama dengan 'calon' ibunya. Secepat itu, memang aneh. namun seberapa keraspun Mingyu mencoba untuk tidak peduli, ia tak sabar menanti makan malamnya. Dan semuanya terasa begitu berenergi, tidak sampai sekarang...
"kau tahu apa kesalahanmu, Kim Mingyu?"
"ehm... ya...?"
Pemuda di depannya mendengus "well! Sebenarnya ini bukan kesalahan. Oh tentu saja, aku mungkin berlebihan. kita bukan apa-apa ... tapi kau membuatku khawatir!" ucap pemuda itu cepat. Membuat Mingyu hanya bisa tersenyum aneh sebelum bisa menjawab.
"yeah... kau sudah menyebutkan dimana salahku, Jeonghan hyung. Terima kasih sudah mengingatkan." Ucap Mingyu, kemudian tersenyum jahil, khasnya.
Membuat pemuda di depannya. Si bunga jurusan ekonomi, Yoon Jeonghan, mendecih "kau masih bisa tersenyum?"
"kenapa tidak? hyung menyukai senyumku. Kan?"
Jeonghan memutar bola matanya malas. wajahnya berubah kembali serius "aku tak bisa menghabiskan waktuku untuk orang yang main-main, Kim Mingyu." Ucap Jeonghan tegas "aku bukan murahan. Aku tak bertahan berdiri di sini hanya untuk melihat bocah tampan mempermainkanku." Lanjutnya kembali seraya menatap Mingyu dengan tatapan menegur.
Yang cukup mampu untuk membuat Mingyu menampar dirinya sendiri dalam diam. Oh, Yoon Jeonghan marah, pikirnya. ia sedikit kaget karena Jeonghan ternyata tak se'lembut' yang ia kira. Pemuda itu mampu mempertahankan harga dirinya, tidak seperti orang lain yang bisa saja meleleh ketika digoda Mingyu.
Tentu saja. Mingyu juga tidak akan menaruh hari pada Jeonghan jika ia sama seperti yang lain...
Mingyu pun cepat mengambil tindakan. Ia bergumam kata 'maaf' pelan dan memasang tampang 'menyedihkan' semaksimal mungkin.
Dan sepertinya Jeonghan berhasil terpengaruh. Pemuda itu menghela napasnya pelan "setidaknya beri tahu aku alasan kau pergi dan tanpa ada kabar selama sehari..." ucapnya lemah.
"aku akan menjelaskan semuanya hyung." Ucap Mingyu cepat. Ia kemudian meraih satu tangan Jeonghan "dan menebus kesalahanku..." lanjutnya.
Mingyu kini tersenyum tulus, ia mengecup tangan Jeonghan dengan lembut.
.
"hyung ada waktu siang ini?"
.
"Wonwoo! Wonwoo sunbae apa yang kau lakukan di situ? Professor Lee memanggilmu dari tadi!"
Mata Mingyu melirik ke arah seorang pemuda lain yang berjalan melewati Mingyu dan Jeonghan dari samping. dan tak lama, pemuda itu kembali, kini menarik tangan seorang pemuda lainnya. menyuruhnya berjalan lebih cepat.
Jeon Wonwoo.
Yang pandangannya ke bawah, seolah tak ingin melihat kemanapun—ke Mingyu.
Apa sejak tadi pemuda itu berada di belakangnya?
.
"ya. Kim Mingyu. Ya. siang ini!" Jeonghan menjawab dengan setengah nada semangat.
.
.
Mingyu tahu saat ini bukan saatnya untuk meninggalkan seorang Yoon Jeonghan lagi...
.
.
... atau tidak.
.
.
MW
.
.
Dua Minggu kemudian...
.
.
"nah, kenapa traktiranmu harus di kafe ini lagi?"
Pertanyaan itu sukses memecah lamunan Mingyu. Pemuda itu langsung mendongak, menatap sahabatnya, Seokmin yang terlihat baru sampai dan langsung mengambil tempat duduk di depan Mingyu.
"seminggu yang lalu kau bilang kau sudah bertemu dengan Jeon Wonwoo. Ku kira masalahmu telah selesai?" tanya Seokmin "ya. kusarankan kau jangan pernah mengajak Jeonghan ke sini saat kencan di sini... tempat ini terlalu 'berbau' Jeon Wonwoo. Orang seperti Jeonghan tak akan senang mendengar kau berceloteh tentang Wonwoo. Dia akan cemburu, kawan" pemuda pemilik wajah jenaka itu mengedipkan matanya dan memandang Mingyu menggoda.
Namun Mingyu hanya memutar bola matanya, memandang malas sahabatnya yang terlalu banyak bicara itu. dan juga, sifat Seokmin yang suka menarik kesimpulan seenak jidatnya itu membuat Mingyu geram. Semua yang Seokmin pikir pasti salah.
"aku disini masih dengan alasan yang sama, Seokmin-ah." Ucap Mingyu akhirnya.
"maksudnya? Alasan yang sama? Menunggu Jeon Wonwoo? Lagi?"
"aish! Kau terlalu banyak bertanya!" geram Mingyu. Pemuda itu mengangkat cangkirnya, bertindak seolah ia akan menyimburkan kopinya ke arah sahabatnya itu. tapi tentu saja tidak benar-benar ia lakukan.
Seokmin terlihat sama sekali tak bergeming. Wajahnya terlihat penuh rasa penasaran dan kesal pula "kalau begitu bicara yang jelas! moodku sudah jadi buruk sejak kau mengajakku ke kafe ini!" kesal Seokmin.
"apa kafe ini seburuk itu...?" gumam Mingyu.
"ya! karena rasa kopinya yang tak enak. Dan karena 'alasan'mu itu! astaga.. Kim Mingyu! Aku kira kau sudah move on dengan Jeon Wonwoo dan berkencan deng-"
"kau bicara seolah aku dan Wonwoo pernah memiliki hubungan..."
"hubungan kalian bahkan lebih dramatis dari pada pasangan kekasih!" timpal Seokmin cepat, cukup untuk membuat Mingyu langsung terdiam karena kaget. Ia tak menyangka sahabat yang ia yakin sudah sangat mengenalnya itu akan bicara seperti itu.
Pasangan kekasih? Jeon Wonwoo? Yang benar saja!
Mingyu terbahak pada akhirnya setelah sempat terdiam. Ia menepuk punggung Seokmin dengan kuat berkali-kali di sela tawanya yang terdengar garing "konyol! Aku bahkan sama sekali tak berpikir seperti itu!" ujarnya dengan nada bercanda.
Membuat Seokmin memutar bola matanya malas. pemuda itu menyeruput sedikit kopi-tidak-enakknya sambil menatap Mingyu dengan tatapan meremehkan sebelum kembali bicara.
"lalu jelaskan padaku kenapa sampai sekarang kau belum berkencan dengan Yoon Jeonghan?" tanyanya. satu alisnya terangkat menatap Mingyu "kau tergila-gila padanya beberapa minggu yang lalu." Tambahnya kemudian.
Mingyu menggeleng tak setuju "aku tak tergila-gila padanya."
"tapi kau bilang kau sangat menyukainya. He's definitely your type."
"... aku tahu." Aku Mingyu "tapi kupikir aku butuh sedikit waktu lagi untuk menyatakan perasaanku..." ujarnya kemudian, kini ekspresi tenangnya mulai sedikit terusik.
.
Brak
.
"Nah! Itu!" pekik Seokmin kuat, seraya menggebrak meja di depannya. Sukses membuat Mingyu dan pengunjung kafe di sekitar mereka terlonjak kaget.
Pemuda tampan di depannya langsung saja memasang ekspresi menegur pada Seokmin, namun sahabatnya itu masih berdiri di depan Mingyu walaupun pemuda itu telah memberikan tatapan tajam. Jika seperti ini memang tak akan ada yang bisa menghalangi Lee Seokmin, pikir Mingyu kemudian. melihat sahabat tujuh tahunnya itu yang terlihat geram menatap dirinya.
"itu! Kim Mingyu! Di situ masalahmu!" ucapnya lagi dengan suara keras. Mingyu menyipitkan matanya, mengutuk sahabatnya yang terlalu bersemangat "kau ragu-ragu! Padahal kaulah yang paling tahu bahwa Yoon Jeonghan juga menyukaimu, tapi kau malah ragu untuk me'nembak'nya dan sibuk dengan Jeon Wonwoo-mu itu! kau ragu, dan itu sangat tidak seperti Kim Mingyu yang ku kenal!" omelnya masih dengan suara keras hingga akhirnya ia memutuskan untuk kembali duduk dan meminum minumannya.
Seokmin sama sekali tak terlihat bahwa ia marah, bahkan dengan omelan bersuara besarnya tadi. sebaliknya, pemuda itu terlihat sangat bersemangat-excited dengan apa yang ia katakan. seolah ia baru saja menemukan jawaban dari rumus fisika mematikan.
Yang ternyata masih lebih sulit dari pada menemukan masalah sebenarnya dari Kim Mingyu.
"semua yang ku katakan benar, kan?" tanya Seokmin akhirnya, wajahnya kini terlihat bangga. Tak peduli dengan ekspresi campur aduk sahabatnya.
Mingyu mendecih "terserah. Kau terlalu berisik." Rutuk pemuda tampan itu seraya mulai membereskan isi tasnya "aku mau pergi dulu!" ucapnya kemudian.
"kemana?"
"pulang."
Seokmin hanya ber'oh' pendek menanggapi. Ia menatap gerak gerik sahabatnya itu beberapa saat hingga ketika Mingyu sudah akan beranjak pergi, ia membuka kembali mulutnya.
"Mingyu-ya, jika apa yang kupikirkan ini benar, kuharap kau segera bertindak dan menyelesaikan semuanya." Ucap Seokmin, sukses membuat Mingyu kembali menoleh kearahnya dan kini menatapnya bingung. "apa maksudmu?".
Seokmin mengangkat kedua bahunya "yeah... Jeonghan dan Wonwoo. Jika kau terlalu banyak 'menggalau' dan tak melakukan apapun. Kau bisa membuat keduanya pergi darimu... kan?" Seokmin kembali menyesap kopinya hingga habis. Ia menatap Mingyu seolah menunjukkan apa yang ia katakan adalah sesuatu yang serius, di balik wajahnya yang terlihat main-main.
.
.
Terima kasih untuk Lee Seokmin,
Ia telah membuat pikiran Kim Mingyu menjadi lebih runyam.
Memang sahabat yang baik.
.
.
"kau bisa membuat keduanya pergi darimu..."
.
"maksudmu kau menyuruhku memilih satu?" tanya Mingyu, entah pada siapa.
Pemuda tampan itu hanya terus bergumam tak jelas di perjalanannya pulang ke rumah. Suasana sore ini memang menyenangkan. sekarang tengah hujan gerimis dan jalanan lenggang oleh pejalan kaki. Menimbulkan suasana sejuk yang menenangkan. Cocok untuk Mingyu, yang dari pada pulang dengan mobil mewahnya, ia lebih memilih untuk berjalan bersama payung berwarna kuning yang baru ia beli di toko pinggir jalan. Ia menikmati suasana seperti ini. setidaknya, untuk menjernihkan pikirannya.
"... memangnya sejak kapan Yoon Jeonghan dan Jeon Wonwoo berada di garis yang sama?" rutuknya lagi dengan kesal. menyuarakan isi pikirannya sendiri.
Baiklah, jelas jika Jeonghan dan Wonwoo itu berbeda. dari segi apapun, mau itu fisik atau sikap, atau apalah. Namun Mingyu tidak begitu bodoh untuk akhirnya menyadari kesamaan keduanya. Dua-duanya sama-sama membuat Mingyu tertarik.
Jeonghan dengan penampilan dan sikapnya, lalu Wonwoo dengan kemisteriusannya—yang anehnya, Mingyu sering menemukannya di kampus namun pemuda itu selalu bisa menghilang dengan cepat seperti penyihir. Sedangkan Jeonghan, mereka kadang masih bertemu dan menghubungi satu sama lain, namun Mingyu pun sadar ia mulai sedikit menjauhi Jeonghan. Entah kenapa.
"... tapi memang kau siapa bisa memilih satu dari mereka? Haha..."
Karena kau Kim Mingyu, duh.
Hati kecil Mingyu tiba-tiba bersuara. Membuat Mingyu menghentikan langkahnya sejenak. Perkataan Seokmin sebelumnya kembali terbayang di pikirannya. Tentang dirinya yang berubah... waw, jadi ini maksudnya?
Mingyu tertawa aneh sendiri. dari mana ia mendapatkan rasa tidak percaya diri seperti ini? pikirnya dalam hati. konyol, pemuda sesempurna Mingyu seharusnya tak perlu memilik rasa seperti ini. namun sejak...
.
"ya! Tak malu dengan umurmu? Apa kau anak kecil tak berdaya yang tak bisa menjaga dirimu sendiri?"
.
.
ia bertemu dengan...
.
.
"Jeon Wonwoo...?"
.
.
MW
.
.
Sore itu gerimis ketika Wonwoo, Jeon Wonwoo, baru pulang dari kerja sambilannya di sebuah mini market. Hanya dengan berbekal hoodie merah kebesaran, ia menembus gerimis dengan langkah terseok, karena kedinginan dan lelah habis berdiri lama di balik meja kasir, dan makin lelah lagi, ketika ia kembali memikirkan pekerjaan menumpuk yang menunggunya di balok kecil rumahnya.
Kabar Wonwoo memang masih tetap sama, keadaannya juga tetap tak jauh berbeda dari saat itu—dua minggu yang lalu ketika kejadian sial terjadi padanya. ia diculik! Dengan sangat konyol dan tidak terhormat, yang juga di saat itu ia bertemu dengan 'keluarga' lama yang mengejutkan. Namun hanya sebatas itu saja. saat keduanya mengucapkan kata perpisahan di terminal bus saat itu, semuanya kembali menjadi biasa.
Wonwoo masih tetap di dalam dunia sempitnya. Yang terus berputar tanpa henti antara uang, pendidikan, dan tempat tinggalnya.
Ia memang tak punya waktu luang yang banyak, jika punya pun, ia akan menghabiskannya untuk istirahat dan tidur. sehingga, jangan salahkan ia, jika bertemu dengan Kim Mingyu pun ia tak ingin—toh, ia juga tak tahu apa yang harus ia perbuat pada 'mahasiswa baru paling hot' itu. bahkan untuk membalas sapaan pemuda itu di kampus ketika mereka berpapasan, Wonwoo tak tahu lagi bagaimana caranya.
Menghindar adalah satu-satunya cara bagus. Wonwoo tak masalah. Ia juga tak begitu ingin berteman... yeah, begitu saja hidupnya.
.
.
"Jeon Wonwoo!"
"huh?!" si pemilik nama terlonjak ketika namanya di panggil dengan keras, dan si anak malang itu hampir saja terjatuh, saking kagetnya menemukan seorang pemuda berlatarkan payung kuning terang telah berdiri sangat dekat dengannya. mereka hampir saja bertabrakan jika Wonwoo tidak terhuyung ke belakang. untungnya tak sampai terjatuh.
"aku sudah memanggilmu tiga kali, kenapa kau sekaget itu?" tanya pemuda yang berada di depannya, seraya memposisikan payungnya agar Wonwoo juga terlindungi. Siapa lagi, ia sangat tak asing. Tadi baru saja singgah di dalam otak Wonwoo.
Kim Mingyu.
Yang kini pemuda tampan itu menatap Wonwoo lama. seolah menikmati tatapan bingung dalam wajah berekspresi datar Wonwoo. Mingyu memang menikmatinya, sambil menginga-ingat wajah Wonwoo yang pernah ia lihat sebelumnya, tanpa memperdulikan Wonwoo yang bingung harus melakukan apa selain melangkah mundur setiap wajah Mingyu mendekat padanya.
"apa kabarmu?" tanya Mingyu akhirnya, setelah puas 'mengerjai' pemuda berambut hitam kelam itu.
"well... baik..." gumam Wonwoo pelan "aku harus pulang." ucapnya kemudian seraya mencoba untuk pergi. namun Mingyu menahan tangan Wonwoo dengan cepat.
"apa kau tak menanyakan kabarku?" tanya Mingyu sewot.
Wonwoo menggaruk tengkuknya, tuh kan, ia bahkan lupa bagaimana cara membalas sapaan seperti orang pada umumnya. Namun memilih untuk mengesampingkan rasa malunya, Wonwoo pun mengangguk dengan lemah.
"bagaimana kabarmu?" tanyanya dengan nada datar khasnya. Yang itu seolah lebih dari cukup untuk membuat Mingyu puas dan tersenyum sangat lebar bak anak kecil "sangat baik!" jawabnya bersemangat. Wonwoo pun kembali mengangguk.
"kalau begitu aku pergi dulu." Ucap Wonwoo acuh. Merasa ia sudah cukup memuaskan Mingyu yang—dengan tidak beruntungnya—ia temui di jalan di sore yang melelahkan ini.
Namun kembali, Mingyu menahan tangan kurus Wonwoo. Menghentikan langkah pemuda yang aslinya lebih tua darinya itu dan kini memasang wajah paling memelas yang ia bisa.
.
"hmm... sebenarnya, aku baru saja kabur dari rumah... apa aku boleh ikut ke rumahmu...? sebagai gantinya, aku akan meminjamkanmu payungku."
.
Mingyu mendekatkan tangannya kearah Wonwoo, hingga pemuda itu bisa melihat payung berwarna kuning cerah itu kini telah sepenuhnya melindungi dirinya dari air hujan yang turun. sedangkan Mingyu membiarkan tubuhnya berada di luar payung dengan sebuah senyuman lebar.
Wonwoo menatap pemuda itu lama. ia memikirkan sesuatu, teringat dengan kejadian yang sama, dengan warna payung yang sama.
.
.
Deja Vu
.
.
MV
.
.
"jadi kau tinggal di balok kecil ini? bagaimana bisa?!"
Itulah pertanyaan pertama Mingyu ketika Wonwoo membuka pintu apartementnya dan mempersilahkan pemuda tinggi itu untuk masuk. Apartementnya memang sempit, dan 'balok kecil' memang kata yang paling cocok untuk mendiskripsikan tempat tinggalnya ini. Wonwoo bahkan sama sekali tak merasa tersinggung ataupun perlu untuk menjawab pertanyaan kurang sopan Mingyu.
"bertahun-tahun?!" tanya Mingyu lagi, hampir memekik ketika ia akhirnya duduk di lantai yang bahkan terasa sempit baginya.
Tepat sekali. Jawab Wonwoo dalam hati, seraya membuka hoodie dan menggantungnya di dinding. Kemudian pemuda berambut hitam itu berjalan menuju dapur mininya, melihat sekitar, berpikir apa yang harus ia berikan pada tamu pertamanya ini.
"apa yang kau miliki?" tanya Mingyu tiba-tiba, yang entah sejak kapan sudah berdiri di belakang Wonwoo dan pemuda lebih tua itu terlonjak kaget. Ia langsung maju beberapa langkah dan membalikkan badannya, menghadap Mingyu.
Pemuda yang lebih tinggi menaikkan satu alisnya "aku tanya makanan apa yang kau punya." Ulang Mingyu, bingung kenapa Wonwoo hanya menatapnya lagi dalam diam. Wonwoo kembali memasang ekspresi kosongnya. Berpikir.
"ehm... nasi instant...?" ucap Wonwoo ragu, seraya menunjuk ke belakang Mingyu, terdapat tiga kotak nasi instant dingin di atas meja.
"hanya itu?"
Wonwoo mengangguk "ramen terakhirku telah habis sekitar dua... eh, tiga hari yang lalu?" pemuda itu menatap langit-langit dindingnya. Menerawang kapan terakhir kali ia makan makanan instant terenak di dunia itu. tak memperhatikan kini pemuda tinggi di depannya menatapnya geram.
"ya! apa jangan-jangan kau pun tak tahu kapan terakhir kali kau makan?" tanya Mingyu dengan nada meninggi. Cukup untuk membuat Wonwoo kaget, namun ia tetap memasang ekspresi datarnya yang terlihat polos.
"aku minum kopi susu tadi pagi." Jawab Wonwoo dengan polosnya. Ada sedikit nada bangga di suaranya, membuat Mingyu mengusap wajahnya dengan tangan. Frustasi.
Ini kali pertamanya bertemu dengan orang sekacau Jeon Wonwoo. Pemuda itu terlalu tak terurus dan terlihat menyedihkan! Mingyu melirik tubuh Wonwoo sekali lagi. kini dari atas hingga bawah. Tubuh kurus, kulit putih pucat yang terlihat tak sehat, rambut acakan, kantung mata hitam. Astaga... makin lama Mingyu melihatnya, ia makin tak tahan!
"kenapa kehidupanmu semengerikan ini, Jeon Wonwoo?" tanya Mingyu dengan nada menyindir. Membuat Wonwoo menatapnya tersinggung.
"siapa kau berhak menilai hidupku?" tanya Wonwoo balik. Ia sedikit kesal dan memilih untuk berjongkok, mencari sesuatu di lemari bawah dapurnya "aku akan membuatkanmu kopi hangat..." ujarnya kemudian, seraya mencari kopi saset di lemarinya. Setidaknya, kopi adalah 'makanan' yang selalu ia miliki di rumahnya.
Melihat tingkah Wonwoo, Mingyu menghela napasnya panjang "ya, lakukanlah..." ucapnya "aku akan pergi sebentar dan kembali." lanjutnya seraya mulai beranjak.
"kemana?"
"tunggulah." ucap Mingyu pendek seraya meraih payung kuningnya dan pergi.
Wonwoo melihat gerak-gerik Mingyu hingga pemuda itu menghilang di balik pintu apartementnya. Ia mendecih, tamu macam apa dia?
.
.
MW
.
.
Mingyu pikir, mungkin ada sesuatu yang salah dengannya.
Atau ada sesuatu yang salah dengan Jeon Wonwoo.
Ya, benar. di sini Jeon Wonwoo lah yang tak normal, dan Mingyu hanya korban dari pemuda berekspresi datar itu. ya, seperti itu. Pikir Mingyu dalam hati.
Ia kesal. menyadari hal apa yang baru saja ia lakukan. Napasnya tersengal, merutuk pada gedung apartement Wonwoo yang sempit dan memiliki banyak tangga, dan lagi, kenapa juga apartemet pemuda itu harus berada di lantai lima?! Membawa barang belanjaan sebanyak ini adalah sesuatu yang melalahkan! Rutuk Mingyu dalam hati.
Dan kenapa juga ia mau repot-repot mengeluarkan uang dan tenaganya hanya untuk anak tak terurus itu?! oh, Kim Mingyu kau terlalu baik akhir-akhir ini...
Pemuda tinggi itu pun berhenti merutuk saat ia sampai di depan pintu apartement Wonwoo, dan saat ia ingin mengetuk pintunya, ternyata pintu berwarna putih gading itu tidak dikunci.
"aku kembali!" ucap Mingyu seraya melepas sepatunya.
Namun tak ada balasan apapun, dan saat ia mendongak dan mengedarkan pandangannya ia menemukan sang pemilik rumah tertidur di meja makan dengan banyak buku terbuka di sekitarnya. Mingyu mendesah.
"bagaimana bisa dia tidur tanpa mengunci pintu apartementnya?" omel Mingyu seraya meletakkan belanjaannya di sudut dapur dan kembali mendekat ke arah Wonwoo. Menatap wajah tertidur pemuda itu lama, terkesima sesaat, sebelum akhirnya menggelengkan kepalanya.
Menatap Wonwoo terlalu lama ternyata memang berakibat buruk bagi jantungnya, pikir Mingyu seraya menyentuh dadanya dengan satu tangan. Tak begitu menyadari kedua pipinya kini bersemu.
Sudut matanya pun beralih menatap sebuah cangkir yang tertutup. Mingyu membuka penutup cangkir itu dan menyesap cairan cokelat pekat di dalamnya.
"hm, setidaknya kau bisa membuat kopi yang enak..." gumam Mingyu pelan sebelum akhirnya meletakkan kembali cangkir kopi itu di dekat Wonwoo. Ia melirik jam sejenak. Sudah jam enam malam.
Ia harus bergegas sebelum waktu makan malam berakhir...
.
.
Wonwoo tak tahu sudah berapa lama ia tertidur... namun aroma lezat mengusik tidur tak-nyenyak-nya. Begitu pula dengan suara ribut pisau yang di ketuk, suara gorengan, dan lain-lain. apa Mingyu sudah kembali? pikirnya ketika matanya menemukan cangkir kopi yang tutupnya terbuka. menebak pemuda itu telah meminum kopi buatannya.
Dan tanpa merasa bingung, ia menegakkan tubuhnya yang terasa pegal karena tertidur dengan posisi duduk dan menoleh ke samping. ada sosok seorang pemuda tinggi yang sedang membelakanginya, sibuk dengan meja dapurnya.
"Mingyu kau kembali?" tanya Wonwoo dengan suara yang serak.
Sang pemilik nama itu sontak menoleh, melihat Mingyu—dan memperlihatkan apron biru muda yang terlihat lucu dimata Wonwoo. pemuda tinggi yang melihat wajah mengantuk Wonwoo pun menyembunyikan senyumannya, bergumam kata 'menggemaskan' dalam hatinya. Namun ia mencoba memasang wajah kesal.
"bagaimana jika aku bukan Mingyu, huh? Apa kau juga akan tetap tenang jika ada orang asing masuk ke rumahmu? Kenapa kau ceroboh sekali tidak mengunci pintu saat tidur? kau kira pintu apartementmu itu bisa otomatis terkunci?" omel Mingyu dengan nada suara menyebalkan. Kemudian ia tertawa sinis.
"yeah... tapi tidak seperti kau punya barang berharga untuk bisa dicuri." Ucapnya sinis. Sebenarnya, bercanda, tapi Mingyu tak tahu kenapa perkataannya jadi terdengar sejahat ini.
Di balik wajahnya yang angkuh, Mingyu menatap khawatir Wonwoo. takut pemilik rumah ini merasa tersinggung. Namun Wonwoo yang berekspresi datar itu hanya berdehem pelan dan mengangguk seolah membenarkan.
Apa-apaan dengan reaksi itu? pikir Mingyu heran. Wonwoo tidak tersinggung?
Demi menghindari suasana canggung, Mingyu pun berjalan mendekat kearah Wonwoo yang masih duduk di kursinya dan melamun. Seolah sedang mengumpulkan nyawanya yang terbang saat ia tertidur. Mingyu menyentil pelan dahi Wonwoo.
"rapikan bukumu. Makanan segera siap, bantu aku menyiapkan meja makannya." Ucap Mingyu dengan nada yang melembut dan Wonwoo kembali menganggukkan kepalanya dan mulai mengumpulkan buku-bukunya di bantu dengan Mingyu.
Mingyu yang baru saja mengambil salah satu buku Wonwoo terdiam sejenak menatap buku itu. mahasiswa hukum, eoh? pikir Mingyu seraya melirik Wonwoo. tak heran pemuda itu terlihat sibuk belajar, hukum bukanlah jurusan yang mudah. Banyak yang harus di hapal dan dipelajari.
"kau berada di semester berapa?" tanya Mingyu. Teringat ia bahkan tak tahu apa-apa tentang Wonwoo selain namanya.
"semester tiga." jawab Wonwoo langsung.
"hah?! Serius? berapa umurmu?"
Wonwoo mendelik kearah Mingyu, bingung dengan nada suara terkejut pemuda tinggi itu "dua puluh." Jawabnya tetap. Dan beberapa detik berikutnya ia kembali melihat ekspresi super syok dari Mingyu. Yang ia tahu lebih muda darinya.
"kenapa kau tak bilang padaku?!" pekiknya keras persis seperti seorang gadis. Dan lagi-lagi Wonwoo hanya memasang ekspresi datar yang terlihat tenang. Seolah bukan masalah besar walau selama ini Mingyu memanggilnya tanpa kata 'hyung'. Toh, ia punya banyak hal yang harus ia pikirkan selain merisaukan Mingyu yang terus memanggil namanya.
Sedangkan Mingyu, kini terdiam dan bingung harus melakukan apa. Ia terlalu syok. Selama ini mengira Wonwoo mungkin seumuran dengannya ataupun lebih muda darinya. Tapi fakta bahwa Wonwoo lebih tua darinya satu tahun membuatnya bingung. Ia menggaruk tengkuknya.
"jadi ... apa mulai sekarang aku harus memanggilmu dengan hyung...?" tanyanya ragu.
"terserah." Ucap Wonwoo "aku tak pernah punya masalah dengan itu..." ucapnya kemudian seraya bangkit dari tempat duduknya dan membawa buku-bukunya untuk di taruh di rak bukunya.
"ayo kita makan!" ujar Wonwoo kemudian. lebih tertarik dengan makan malam 'mewah'nya dari pada harus melihat Mingyu yang ekspresinya terdiam. Menurut Wonwoo, diam adalah hal yang tak cocok untuk pemuda tinggi itu.
.
.
.
"ehm, baiklah, Wonwoo... hyung?" Mingyu berdehem di sela makannya. Ia menatap Wonwoo yang makan dengan tenang, ragu. Ia tak terbiasa dengan makan bersama di suasana sunyi. Bahkan suara kunyahan Wonwoo pun sama sekali tak ia dengar.
Berpikir tentang betapa datar dan tenangnya kehidupan seorang Jeon Wonwoo.
Awalnya ia pikir mungkin saja Wonwoo menangis haru karena bisa memakan makanan empat sehat lima sempurna yang Mingyu buat dengan sangat 'sempurna'. Ataupun dengan rakusnya ia makan seperti besok ia tak akan makan seperti ini lagi. tapi semua tebakan liarnya salah. Wonwoo makan dengan tenang, dengan suapan kecil dan berjeda. Saat Mingyu telah hampir menghabiskan nasi di mangkuknya, nasi Wonwoo bahkan belum setengahnya habis.
"apa makanannya enak?" tanya Mingyu dan Wonwoo hanya menganguk sebagai jawaban. membuat Mingyu geram. Ia ingin membuat sebuah percakapan berkualitas di sini, tapi Wonwoo seolah tak ingin bekerja sama.
"Wonwoo hyung! Bicaralah sesuatu!" ucapnya kemudian dengan nada bersahabat—walau ada sedikit paksaan disana. Dan Wonwoo menatapnya bingung "apa ada yang ingin kau bicarakan?" tanyanya balik.
Mingyu langsung mengangguk "ceritakan aku tentangmu! Aku ingin mengenal hyung dengan baik." Ujarnya tulus.
"untuk apa?" tanya Wonwoo pendek.
"aku ingin menjadi temanmu."
Ucap Mingyu dengan tenang dan tegas. Ia menatap Wonwoo dengan tatapan hangat yang tulus. Ini benar-benar yang ia inginkan. Membuat Wonwoo terbuka padanya.
"teman...?" gumam Wonwoo pelan. ia meletakkan sumpitnya di meja. Juga menatap Mingyu dengan matanya yang sipit namun berbinar.
.
Kapan terakhir kali aku berteman?
Ia lupa bagaimana caranya...
.
"apa yang harus aku lakukan?" tanya Wonwoo, masih dengan suara pelan.
Mingyu kembali tersenyum dengan hangat, sedikit kaget dengan apa yang ditanyakan Wonwoo namun ia merasa terhibur dengan sisi polos Wonwoo yang seperti ini. pemuda tinggi itu pun menyangga kepalanya dengan kedua tangannya, menatap Wonwoo dalam.
"kalau begitu jawab pertanyaanku." Ucap Mingyu dan Wonwoo mengangguk setuju.
.
"dimana hyung lahir?"
"Changwon."
"berapa bersaudara?"
"dua."
"jurusan? Oh, aku sudah tahu. Hm... hobi?"
"ehm... membaca buku, mungkin...?" jawab Wonwoo ragu, tapi Mingyu hanya mengangguk angguk dan melanjutkan pertanyaannya.
"makanan favorit?"
"apapun yang cepat dan mengenyangkan."
"olahraga favorit?"
"tak ada."
"warna favorit?"
"...tak ada."
"kalau begitu, ukuran sepatu?"
"mana aku tahu. Apa kau juga harus menanyakan itu?" tanya Wonwoo balik, tapi Mingyu hanya mengangkat bahunya tak peduli.
"artis idola?"
Wonwoo memutar bola matanya malas "aku tak tahu! Apa kau akan terus bertanya sesuatu yang tak penting seperti itu?" keluh pemuda berambut hitam kelam itu. ia tak menyadari bahwa ekspresi Mingyu kini tak kalah kusutnya dari dirinya.
Pemuda yang lebih tinggi itu menghela napasnya "lalu bagaimana kita berteman jika aku tak tahu apapun darimu?" protes Mingyu balik "lagi pula, kau tak menjawab semua pertanyaanku dengan benar!" lanjutnya kesal.
"itu karena aku memang tak tahu."gerutu Wonwoo.
"nah, pantas kau tak punya teman. Kau sangat membosankan!" ketus Mingyu—yang sedetik kemudian ia merutuk karena tahu ia mungkin telah bicara keterlaluan—lagi-pada Wonwoo.
Ia pun menatap pemuda berambut hitam kelam itu, yang kini mendengus, namun ekspresinya tak banyak berubah—tetap datar, walau tadi sempat ia mendengar pemuda itu bicara dengan nada tinggi. Mingyu memperhatikan wajah pemuda itu lama, berpikir apa Wonwoo sebenarnya marah, atau tidak? apa ia tersinggung dengan perkataan Mingyu, atau, apa yang sebenarnya dipikirkan pemuda berekspresi kosong itu. Mingyu penasaran.
"hyung..." panggil Mingyu kemudian setelah keheningan singkat terjadi diantara keduanya. Mingyu menyangga kepalanya dengan kedua tangan, menatap Wonwoo dalam dan pemuda yang lebih tua darinya itu juga kembali fokus menatapnya.
"apa aku boleh bertanya satu hal lagi?" tanya Mingyu dengan pelan, dan Wonwoo hanya mengangguk sebagai jawaban.
.
"bagaimana perasaanmu ketika kau tahu aku adalah anak dari pria yang membuat bibimu meninggal...?"
.
Mingyu menatap Wonwoo tanpa sedikitpun berkedip. Tak ingin sedikitpun melewatkan ekspresi apa yang akan pemuda berekspresi datar itu keluarkan. Dan benar saja, dahi Wonwoo sedikit berkerut dan ia tak langsung menjawab pertanyaan tak terduga Mingyu. Hingga beberapa saat ia akhirnya membuka mulutnya.
"aku bukan berada di posisi... dimana aku harus merasakan apapun." jawab Wonwoo pelan "entahlah... ini tidak seperti aku tak peduli pada bibi Lee. Dia adalah orang yang baik dan aku menyayanginya, dan ketika dia meninggal, aku sedih... hanya sampai di situ saja." lanjut Wonwoo kemudian. matanya kini menyendu, namun sebuah senyuman terpatri tipis di bibirnya.
Membuat Mingyu lagi-lagi tak habis pikir apa yang dipikirkan Wonwoo. ia masih tak mengerti.
"apa hanya sesederhana itu? hei! Ayahku membuat bibimu bunuh diri karena dia tak tahan dengan sikapku dan ayahku yang acuh! Aku tak menganggapnya ada di rumah, sedangkan ayah terlalu sibuk dengan pekerjaannya hingga di kesepian! kami yang membuat wanita itu meninggal!" ucap Mingyu panjang lebar, walau awalnya Mingyu tak ingin menjelaskan serinci itu, tapi melihat ekspresi tenang Wonwoo membuat Mingyu geram.
Ia benar-benar ingin 'menaklukan' pemuda berambut hitam kelam itu. ia ingin menghancurkan dinding tak terlihat yang dibangun oleh Wonwoo seolah untuk menutupi perasaannya. Mingyu ingin! Walaupun itu dengan membuka aib paling besarnya.
Tapi melainkan sebuah cacian atau tangisan yang ingin Mingyu dapatkan dari Wonwoo, pemuda bertubuh tinggi itu malah terpaku. Ketika ia merasakan tangan Wonwoo yang dingin mengelus kepalanya dengan gerakan pelan.
.
"kau pasti lelah... terus menyalahkan dirimu selama ini..."
.
Hanya itu yang diucapkan oleh pemuda bermarga Jeon itu, dan setelahnya, Mingyu tak dapat lagi melihat ekspresi Wonwoo yang ia inginkan karena pandangannya kabur karena air mata yang tertahan.
Jangan tanya apa yang setelahnya terjadi, karena Mingyu tak ingin mengakuinya. Ia menangis sesunggukan seperti anak kecil di hadapan Wonwoo—yang entah ia pun tak ingat kapan terakhir kali ia menangis sehebat itu.
Lalu, Mingyu tak mendengar Wonwoo mengatakan apapun sejak ia mengungkapkan segalanya. Pemuda yang lebih tua itu hanya menemani Mingyu yang menangis di meja makan, seraya terus mengelus kepala Mingyu berharap Mingyu tahu ia tidaklah sendirian. Dan itu berlangsung semalaman, hingga Mingyu tak yakin jam berapa tangisannya terhenti dan ia pamit untuk pulang dengan mata berkantung dan hidung yang merah.
.
Sampai Mingyu di depan pintu apartement kecil itu, Wonwoo hanya mengatakan satu hal lagi.
Dan Mingyu bersyukur akan itu.
.
.
"... ketika tak bisa melakukan memperbaiki suatu kesalahan, kadang kita memang hanya bisa menjaga agar kesalahan yang sama tak akan pernah terjadi lagi...kan?"
.
Ia sadar Jeon Wonwoo memang telah membawanya keluar angkasa, bebas, lepas dari kungkungan penyesalannya.
Mingyu memang masih memiliki harapan.
.
.
MW
.
.
Beberapa hari, berlalu.
Mingyu—kembali—memulai harinya dengan bahagia. Senyuman di wajah tampannya itu membuktikan semuanya. Merasa setiap harinya sesuatu yang baik terjadi padanya. Terutama di keluarga kecilnya, yang mungkin sebentar lagi tak lah menjadi keluarga kecil. Ayahnya akan menikah, dua bulan lagi dan kini Mingyu sudah benar-benar memastikan bahwa calon ibu barunya yang sekarang akan membuat kehidupannya menjadi lebih cerah. Oke, Kim Mingyu sudah mulai berlebihan sekarang, tapi sungguh, ia tak akan mendapatkan rasa kebahagiaan ini jika bukan karena satu orang.
"Wonwoo hyung!" panggil Mingyu, begitu sudut matanya menemukan seorang pemuda tak asing berambut hitam kelam.
Pemuda pemilik nama yang diteriaki Mingyu itu tidak langsung menoleh. ia hanya terus berjalan dengan kepalanya yang tertunduk, seperti biasa. membuat Mingyu yang geram akhirnya memilih untuk mendekati pemuda yang tengah mencuri hatinya akhir-akhir ini.
"ya, Wonwoo hyung, kau harusnya berhenti saat aku memanggilmu!" gerutu Mingyu, seraya menyamakan langkahnya di samping pemuda yang lebih tua. Keduanya kini melintasi lapangan depan gedung kuliah, dan Wonwoo tetap saja tak memandang pemuda tampan di sampingnya.
"aku buru-buru." Ucapnya datar.
"apa yang membuatmu buru-buru sepagi ini?" tanya Mingyu dengan nada santai. Ia menundukkan sedikit tubuhnya untuk melihat wajah pemuda berambut hitam di sampingnya dan mulai mendesah "yaah... hyung, wajahmu terlihat sangat buruk!" ucap Mingyu bercanda.
Wonwoo yang mendengarkannya hanya memutar bola matanya malas. huh, lihat. Sekarang pemuda paling hot sekampus mengatai wajahnya... Wonwoo bisa apa? Keluhnya dalam hati, tapi sirat matanya begitu jelas mendiskripsikan apa yang ia pikirkan, membuat Mingyu terkekeh pelan.
"hyung, jangan marah! Walaupun perkataanku tadi bukan bercanda." Ucap Mingyu kemudian. ia menghentikan langkahnya tepat didepan Wonwoo, membuat pemuda yang lebih tua itu menghentikan langkahnya dan langsung mendongak. Menatap Mingyu dengan tatapan terganggu.
"aku sudah telat Kim Mingyu."
"aku berharap kau dipecat karena telat membawa semua kertas-kertas itu pagi ini." timpal Mingyu cepat. Matanya menatap tumpukan kertas di tangan Wonwoo. Mingyu sudah bisa menebak itu semua adalah hasil pekerjaan Wonwoo yang membuat pemuda itu tak tidur semalaman. Wajah pucat Wonwoo membuktikan segalanya. Membuktikan kelelahannya, dan membuktikan pula bekerja sebagai asisten dosen bukanlah pekerjaan yang menyenangkan.
Mingyu bisa mendengar suara helaan napas Wonwoo yang lemah "apa yang kau inginkan?" tanyanya, seraya mengurut dahinya yang pening. Ia sudah kurang tidur, dan berhadapan dengan Mingyu makin membuatnya pusing.
"aku ingin merawat hyung!"
"..."
"ya... merawat hyung!"
Wonwoo terdiam seribu bahasa. Ia hanya menatap wajah penuh semangat Mingyu dalam kebingungan di balik ekspresi datarnya. Otaknya kini tengah sibuk mencari arti sebenarnya dari kata 'merawat'. Apa ia mulai terlihat seperti anjing liar dimata juniornya ini? Wonwoo mengerutkan dahinya.
Tangan Mingyu kemudian terangkat kearah rambut Wonwoo, ia menyisir rambut hitam kelam itu dengan lembut. Merapikan rambut berantakan itu—walaupun sebenarnya Wonwoo terlihat menggemaskan dengan rambut baru-bangun-tidur-nya—bagi Mingyu. Oh, dan jangan lupakan bagaimana Mingyu menatap pemuda yang lebih tua itu dengan tatapan hangatnya. membuat Wonwoo makin berpikir kini Mingyu mulai menganggapnya seperti hewan terlantar.
Tapi Wonwoo bahkan tak bisa menghindar. Sentuhan Mingyu di kepalanya membuat Wonwoo menahan napasnya tanpa sadar.
"karena mulai sekarang kita berteman, bukankah wajar jika aku memperdulikan hyung?" tanya Mingyu dengan suara nyaris berbisik. Pemuda tinggi itu tak menatap Wonwoo, sibuk melihat rambut hitam kelam Wonwoo yang entah kenapa memiliki daya tarik tersendiri bagi Mingyu "aku akan merapikan rambut hyung jika berantakan, mengajak hyung makan, tidur siang bersama, bermain, la-"
.
"Kim Mingyu!"
.
Mendengar namanya dipanggil, Mingyu pun sontak menoleh kebelakang. Menatap seorang pemuda lain yang kini berjalan mendekat kearah mereka berdua. Mingyu menelan ludahnya susah payah ketika menyadari siapa pemuda dengan wajah tertekuk itu.
Yoon Junghan.
Orang yang sudah beberapa hari ini Mingyu lupakan eksistensinya.
Mingyu pun sontak menjauh dari Wonwoo dan ia memberikan Junghan sebuah senyuman kaku begitu pemuda berambut panjang itu makin mendekat. Wajahnya terlihat tak begitu bersahabat, dan Mingyu paham betul kenapa itu bisa terjadi.
"aku ingin bicara denganmu. Sebentar." ucap Junghan datar. Ia melirik sekilas ke arah Wonwoo kemudin berpaling lagi kearah Mingyu dan menarik lengan pemuda tinggi itu untuk mengikutinya.
Mingyu bingung, tapi ia sudah bisa sedikit menebak apa yang Junghan inginkan. Ia pun akhirnya menyerah, membiarkan 'bunga kampus' itu membawanya. "Wonwoo hyung, sampai bertemu lagi!" ucapnya pada Wonwoo seraya melambaikan tangan dan memasang wajah ceria.
Berharap pemuda datar itu tak tersinggung dengan sikap Junghan, walau setelah Mingyu melambaikan tangannya, ia merasa lengannya satu lagi dicengkram kuat oleh Junghan.
Oh,
Ini masalah besar.
.
.
MW
.
.
Plak
.
Tuh, kan.
.
"itu balasan untuk kebrengsekanmu!"
.
.
Selamat Yoon Junghan kau pemecah rekor tamparan tersakit yang pernah Kim Mingyu rasakan.
.
"aku minta maaf, hyung..."
"pergi kau dari hidupku!"
.
Memang pagi yang sempurna... pikir Mingyu, matanya sendu menatap punggung Junghan yang perlahan menjauh darinya dan langit pagi yang cerah diatasnya bergantian. Ia kemudian menyentuh sudut bibirnya, perih dan berdarah. Yoon Junghan berhasil membuat sudut bibirnya robek karena tamparannya yang panas. sampai-sampai Mingyu bingung harus bereaksi seperti apa.
Ini kali pertamanya di tampar sekuat ini—memang siapa juga yang mau menampar seorang Kim Mingyu?—tapi pemuda tampan itu tak tahu kenapa ia hanya minta maaf pada Junghan, ia harusnya marah. Wajah adalah aset yang ia banggakan. Tapi ia tak peduli, pada akhirnya. Yang jelas semuanya telah selesai antara dirinya dan Junghan, dan ia ingin memulai sesuatu yang baru.
"Wonwoo hyung?" panggil Mingyu dengan suara manisnya.
Mungkin bagi kalian Mingyu memang sebrengsek yang dikatakan Junghan.
Mingyu berjalan pelan, mendekati sebuah pohon besar yang berada tak jauh darinya. Ujung matanya memang sedari tadi menatap ujung sepatu kets hitam di balik pohon itu. ia mengingat benar siapa pemilik sepatu kets kumuh itu.
"apa kau memang ingin dipecat? Aku masih melihat kertas-kertas itu?" ujar Mingyu ketika ia menemukan seorang pemuda berambut hitam kelam yang menyandarkan dirinya di pohon. Tangannya masih menggenggam kertas-kertas yang tadi beberapa menit lalu Mingyu lihat.
Mata Mingyu menyendu, menatap lurus kearah sepasang mata hitam jernih yang tak bergeming itu "kenapa hyung mengikutiku?" tanyanya kemudian, pada Wonwoo yang masih diam dan memandangnya. Mingyu pikir, pemuda itu mungkin kaget dan gugup karena ketahuan mengikutinya. Tapi lagi, Wonwoo selalu dapat mengendalikan ekspresi datarnya.
"kau mencampakkan Yoon Junghan..." ucap Wonwoo akhirnya "aku hanya berpikir mungkin dia membawa senjata tajam untuk membunuhmu..." lanjutnya kemudian. yang entah kenapa membuat Mingyu tersenyum, gemas dengan Wonwoo.
"apa kau pikir dia berani membunuhku?"
"dia pernah membuat mantannya yang berselingkuh cedera di kaki dan tangan."
"bagaimana kau tahu?"
"artikelnya muncul di majalah."
Mendengar jawaban Wonwoo kali ini sukses membuat Mingyu tertawa keras "hyung! Kau langganan majalah kampus atau apa? Hahahaa!" Mingyu tak habis pikir, setelah soal Wonwoo yang tahu tentang pemenang-polling-mahasiswa-paling-hot—Kim Mingyu, kini Wonwoo pun tahu soal 'rumor' Junghan.
Mingyu pikir Wonwoo hanya mahasiswa kutubuku yang membosankan. Tapi membaca majalah gosip kampus?! –Mingyu tahu semakin lama Jeon Wonwoo memang semakin menarik.
Di lain pihak, Wonwoo mengernyitkan dahinya, bingung dan merasa terganggu dengan tawa Mingyu yang tak juga terhenti. Ia pun melangkah, ingin pergi dari tempat ini, namun lengannya langsung ditahan oleh Mingyu.
"hei hyung, mau kemana?" tanya Mingyu cepat, masih di sela tawanya.
"aku tetap harus pergi." ucap Wonwoo, lagi pula kenapa juga aku harus di sini hanya untuk melihatmu menertawakanku?!
Wonwoo kembali ingin melangkahkan kakinya, tapi ia langsung terjengit ketika Mingyu kini mencengkram kedua bahunya dan jarak keduanya kini sangat dekat. Dan Mingyu dengan menyebalkannya memasang wajah sedih yang dibuat-buat.
"hyung, aku sedang sedih... apa kau tak mau menghiburku? Atau setidaknya, apa kau tak mau bertanya kenapa Junghan menamparku?"
"aku tak mau ta-"
"kukira kita sudah menjadi teman?" sanggah Mingyu cepat.
"sejak ka... baiklah, katakan apa yang ingin kau katakan dan biarkan aku pergi."ucap Wonwoo menyerah.
Mingyu tersenyum. gotcha! Wonwoo sepertinya memang lemah dengan kata 'teman', seperti yang Mingyu duga sebelumnya. Oh, Mingyu tak bisa membayangkan seberapa kesepiannya Wonwoo sebenarnya. tapi semua itu akan berakhir. hari ini.
"aku membiarkan Junghan hyung menamparku karena hyung!" ucapnya seraya menunjuk pipinya yang merah "karena aku tahu aku tak akan bisa sering bersamanya, karena aku akan fokus padamu untuk saat ini!" lanjutnya kemudian. tapi Wonwoo masih tak mengerti.
Pemuda berambut hitam kelam itu memandang Mingyu seolah Mingyu bicara dengan bahasa alien yang planetnya tak terdaftar di NASA.
Mingyu terkekeh geli melihat ekspresi Wonwoo. ia pun menjauh selangkah dari Wonwoo dan melepaskan tangannya dari bahu pemuda yang lebih tua itu. kemudian ia berkacak pinggang.
"karena kita sekarang 'berteman'... sebelumnya aku ingin 'membenahi' sedikit tentang hyung..." ucapnya. "ada banyak yang harus kulakukan seperti... hm, menaikkan sedikit berat badanmu, lalu fashionmu yang menyedihkan, pola istirahat, dan pola kerja. Ah ya, aku juga akan mengenalkanmu pada Lee Seokmin yang konyol, kupikir ia pasti bisa membuatmu tertawa dengan candaannya. Dengan begitu kau punya cukup waktu luang untuk menikmati hidup!"
"Mingyu..."
"ide bagus kan, hyung?"
"sepertinya ada yang salah dengan otakmu..."
Minyu menggeleng dengan lucu "tidak, tidak! asal hyung tahu saja... itulah yang di sebut 'fungsi teman'!"ujar Mingyu.
"tapi kau lebih terdengar seperti babysitter bagiku."
"itu karena hyung tak punya pengalaman berteman sebelumnya, kan?" ujar Mingyu seraya tersenyum manis. Kemudian pemuda tinggi itu mengulurkan tangannya.
.
.
"jadi, kau siap kan... 'berteman' denganku, hyung?"
.
.
Wonwoo merasakan firasat aneh dalam kepalanya, namun tangannya meraih tangan Mingyu. Membiarkan pemuda setampan artis itu menariknya dan membawanya dalam sebuah pelukan hangat. yang Wonwoo lupa kapan terakhir kali ia merasakan kehangatan ini...
.
.
Jeon Wonwoo, sekarang giliranku memperluas hidupmu.
Aku akan membuatmu hidup lebih baik, memiliki banyak teman, menemanimu, dan bahagia...
.
.
Giliranku,
Membawamu ke luar angkasa...
.
.
Pertanda, Kim Mingyu.
.
.
.
The End
.
.
Hi, this is Bisory~!
Hm… saya tahu cerita ini memang aneh, dan mungkin terlalu random. Maafkan diri saya yang terlalu terburu-buru menulis cerita ini, salahkan Meanie yang menggila di otak saya… wkwkwkw
Saya memang tak begitu mengharapkan apapun saat menulis cerita ini, karena cerita ini sebenarnya hanya gabungan dari euforia menonton 'Cheese dalam jebakan', 'Oh Venusku', dan pemuasan nafsu(?) melihat moment Meanie bertebar dimana-mana sepanjang tahun kemarin hingga sekarang, hahaha oke, I'm a little bit dizzy now :'
Yang jelas, saya berterima kasih pada readersnim yang sudah membaca fanfict 'You're My Space' ini sampai selesai. Saya tahu membaca fanfict sepanjang ini pasti melelahkan, haha. Dan saya sangat mengapresiasi review kalian semua, begitu pula dengan yang sudah memfollow dan favorite fanfict ini. Big Thanks for you all~!
Dan saya sempat terpikir untuk membuat sequel dari cerita ini, tapi itu masih wacana dan membutuhkan waktu untuk mewujudkannya, kritik dan saran membangun sangat saya terima! ^^
Kemudian, yang masih ingin bertemu saya di Fanfict Meanie, silahkan cek chapter pertama dari fanfict Meanie yang saya buat = 'Youth Butterfly'
THANK YOU AND SEE YOU LATER GUYS~!