Tittle : You're My Space

Cast : Kim Mingyu . Jeon Wonwoo

Genre : Romance . Family

Lenght : Three-Long-Shoot

.

.

"kau... bisakah membawaku pergi dari sini?"

"aku bisa membawamu pergi ke luar angkasa."

.

.


MW


.

.

Chapter 1

-Kim Mingyu—

.

.

Pada hari itu, turun hujan. Anehnya di pertengahan musim panas, dimana teriknya masih dirasakan seorang Kim Mingyu kecil sekitar dua puluh menit yang lalu. Sial! Rutuknya dalam hati, seraya menatap sinis langit kelabu. Sekarang, seragamnya sudah basah, ia kelaparan, dan ia makin tampak menyedihkan berjongkok didepan sebuah toko buku yang sepi. Dimana-mana sepi, membuat Mingyu semakin dongkol. Ia mengutuk pada dunia, diumur delapan tahunnya.

Harinya memang tak berjalan dengan sangat baik. Ia bertengkar dengan ayahnya tadi malam, menolak terang-terangan rencana bahwa ayahnya akan menikah lagi. Masalahnya memang sudah jelas. ia menolak, tapi ayahnya menolak-penolakannya. Hal itu membuat keduanya marah, dan yeah... akhirnya Mingyu membuat sebuah keputusan besar pertama dalam hidupnya.

Ia akan kabur dari rumah.

Semuanya telah Mingyu atur. Sebelum sekolah tadi, ia telah mengemasi barangnya. Dua baju ganti, dua pasang kaos kaki hangat, mantel tebal, dan PSP kesayangannya. Ah ya, tak lupa uang satu juta won tabungannya. Dengan ini, setidaknya Mingyu pikir ia akan bertahan selama dua bulan. Ia pikir.

Dan semua pikirannya itu tak ada yang berjalan lancar hari ini.

Ia sudah pergi ke empat tempat penginapan, namun tak ada yang menerimanya walau ia sudah menunjukkan uang tabungannya. Dan bahkan, sauna—tempat umum itu pun tak menerima Mingyu. Malah balik mengancam akan menghubungi polisi atas kasus anak kabur dari rumah jika Mingyu tetap memaksa untuk masuk.

"aku harap aku bisa cepat dewasa..." bisik Mingyu, seraya mengeratkan pelukannya ke kedua kakinya yang ditekuk.

Mingyu kini telah berada di titik paling buruknya. Ia lapar, kelelahan, kedinginan, dan egonya yang menggebu tentang 'orang dewasa yang seenaknya' membuat anak kecil bertampang rupawan itu merasa ia mungkin bisa mati kapan saja. ia bahkan sudah berencana untuk membuat surat wasiat untuk ayahnya.

"hei, kau Kim Mingyu kan?"

Si pemilik nama tiba-tiba mendongak. Kaget dengan suara yang terdengar, dan lebih kaget lagi saat melihat seorang anak laki-laki sudah berdiri di depannya. Dengan sebuah payung kuning terang di tangannya. Mingyu hanya mengangguk atas pertanyaan bocah asing di depannya ini.

"apa yang kau lakukan di sini?" tanya anak itu lagi.

"menunggu hujan..."

"kenapa?"

Mingyu mendelik mendengar pertanyaan anak yang terlihat lebih muda dari Mingyu ini. mungkin umurnya sekitar lima atau enam tahun—dilihat dari tubuhnya yang lebih kecil dari Minggyu. Tapi bukan itu masalah pentingnya.

"kau siapa?"

"aku Jeon Wonwoo."

"lalu apa masalahmu?" tanya Mingyu sinis. Sukses membuat anak di depannya—Wonwoo-terdiam untuk beberapa saat. Hingga akhirnya ia berjongkok didepan Mingyu. Mata sipitnya menatap lurus Mingyu tepat dimata.

"apa... yang bisa kubantu?" tanya Wonwoo dengan ragu. Tapi kepolosan dalam tatapannya membuat Mingyu tertegun.

Berpikir apa di dahinya kini sudah tertulis jelas kalau ia memang memiliki masalah yang berpengaruh pada masa depannya. Ia tak habis pikir kenapa Wonwoo bisa terpikir seperti itu, tapi sayang, pertanyaannya tak akan membantu Mingyu. Tak akan ada yang bisa membantu masalah Mingyu bersama dengan ayahnya yang egois itu.

Walaupun ada satu hal yang Mingyu inginkan sedari awal.

Namun Mingyu kemudian tersenyum meremehkan. Ia mendekatkan wajahnya pada Wonwoo, menatap anak itu dengan tatapan merendahkan.

"kau... bisakah membawaku pergi dari sini?" tanya Mingyu, seraya melirik kearah payung kuning cerah ditangan Wonwoo.

Ia hanya berpikir sampai kapan anak ini akan bertahan mengusiknya, dan apakah ia mau mengorbankan payung kuningnya untuk Mingyu. Sesederhana itu, karena sungguh Mingyu sudah jenuh berada di sini. Namun, lagi-lagi, semuanya tak berjalan sesuai dengan apa yang ia pikirkan.

"aku bisa membawamu ke luar angkasa." Jawab anak berkulit putih pucat itu dengan nada datarnya yang mulai terdengar khas ditelinga Mingyu. Dan ia menganga.

Apa-apaan?!

Konyol sekali, pikir Mingyu. Ia memang harusnya tak bermain-main dengan anak ingusan yang hanya 'ngeles'. Wonwoo pasti memang tak ingin mengorbankan payungnya, itulah kenapa ia mulai bicara mengatur tak jelas khas anak-anak.

"aku bisa membawamu pergi..." ulang Wonwoo lagi. yang kemudian tanpa mengatakan apapun, Wonwoo mengangkat tangannya dan menutup kedua mata Mingyu dengan kedua tangannya yang kurus dan kecil.

Pandangan Mingyu pun sontak menjadi gelap. Namun ia memilih untuk tak memberontak. Ia mengacak pinggangnya dan membiarkan Wonwoo menutup kedua matanya.

"nah, sekarang apa yang akan kau lakukan bocah?" tanya Mingyu menantang.

"mengantarkanmu keluar angkasa."

Mingyu hanya melihat kegelapan. Tidak ada apapun. Kecuali ketenangan dan suara gemericik air hujan yang menjadi lagu latarnya. Mingyu tak mengerti, namun ia hanya merasakan kesendiriannya yang semakin mendalam. Dan gelap.

.

"apa kau sudah melihat bintangnya?"

.

Mingyu menggeleng. Konyol. Yang ia lihat hanya kegelapan.

.

Gelap.

.

Gelap.

.

Dan kegelapan lainnya yang terasa begitu lama. hingga, ketika ia membuka matanya, Mingyu telah berada di ruang rawat rumah sakit. Dengan ayahnya yang bermuka kacau. Pria diakhir umur tiga puluh tahunannya itu terus mengucapkan kata maaf dan berjanji akan membatalkan rencana pernikahannya.

Mingyu harusnya senang dengan keputusan ayahnya, namun anehnya, ia sudah tak lagi memperdulikan itu. entah kenapa.

Ia curiga anak bermata sipit, berambut hitam gelap, serta berkulit putih pucat itu adalah seorang penganut sihir hitam...

.

.

.


MW


.

.

Sebelas Tahun Kemudian...

.

.

"Yo! Kim Mingyu! Kau akan datang ke acara nanti malam, kan?!"

"aku tidak tertarik."

"hei? Kau yakin tak ingin ikut? Ini pesta besar satu jurusan! Kita akan bertemu dengan banyak orang!"

Mingyu yang sedari tadi sibuk menatap ponselnya pun akhirnya mendongak. Ia menatap orang yang sedang mengajaknya bicara dengan suara besar itu—Lee Seokmin-dengan tatapan terganggu. Tapi pemuda yang sudah menjadi temannya sejak SMP itu hanya menyengir dan melangkah mundur. Tahu Mingyu sudah siap untuk mengomelinya lagi.

"yang namanya pesta memang sudah pasti banyak orangnya, bodoh. itulah bagian membosankannya." Ucap Mingyu tajam, sama sekali tak mengurangi kadar angkuhnya walau pada sahabatnya. Yang mungkin adalah orang yang paling mengenal seorang Kim Mingyu di dunia itu.

Iya. Dia Lee Seokmin. Yang nama panggilannya adalah 'si bodoh'. Panggilan sayang yang diberikan Mingyu untuknya. Yang kini hanya menyengir tak ada beban.

"itu artinya, sama saja. aku tak suka tempat yang ramai dan sumpek." Jelas Mingyu kemudian.

"well, yeah... tapi aku yakin mereka menyelenggarakan pestanya di tempat yang juga besar... tapi, man! Ini malam minggu dan kita mahasiswa baru! Bersenang-senanglah sebentar sebelum tugas kita menumpuk!" ujar Seokmin. Terlihat belum menyerah mengajak sahabat jeniusnya-namun-angkuhnya- ini pergi.

Tapi Mingyu tetap menggeleng. Seraya menyeruput kopinya. "tidak. aku sedang banyak pikiran sekarang." ucap Mingyu "aku sedang tidak mood untuk pergi ke pesta manapun." Tambahnya.

"banyak pikiran, hm... lalu apa yang akan kau lakukan? Di sini hingga pagi?"

Mendengar pertanyaan Seokmin yang sakratis, Mingyu mendelik, menaruh cangkir kopinya di atas meja dan kembali menatap Seokmin dengan pandangan yang penuh arti. Maksudnya, ia berharap Seokmin sudah mengerti maksudnya tanpa perlu ia jelaskan.

Temannya satu ini memang suka pura-pura tidak tahu. Menyebalkan.

Beberapa saat kemudian Seokmin mengangguk-angguk "kutebak, ini masalah ayahmu lagi?" tanyanya hati-hati, dan Mingyu langsung mengangguk.

"dia ingin menikah lagi!" ketus Mingyu dengan suara agak keras. Kentara dengan rasa kesalnya yang kembali membeludak. Membuat Seokmin susah payah menahan tawanya.

"masalah seorang Kim Mingyu yang sempurna memang tak pernah jauh-jauh dari ayahnya sendiri..." ucap Seokmin seraya menepuk-nepuk bahu Mingyu penuh rasa simpatik. Bingung juga harus mengatakan apa lagi. bukan seperti ia boleh mencampuri hubungan rumah tangga keluarga sahabatnya sendiri.

"aku memang tak bisa memberikanmu jalan keluar. Namun aku punya masukan, Mingyu-ya..." ucap Seokmin kemudian "kupikir akan lebih baik jika kau mulai mengakhiri kebiasaanmu mengawasi tempat itu di saat kau memiliki masalah dengan ayahmu. Kau tahu kan maksudku? Berdiam diri berharap anak yang kau temui hampir—hell-sebelas tahun itu muncul tidaklah masuk akal! Cobalah mencari cara lain untuk membuat pikiranmu jernih. Bertemu banyak orang, misalnya." Jelas Seokmin yang berakhir dengan dirinya tersenyum bangga. Tak menyangka ia bisa bicara sebijak itu. tapi jauh dari rasa bangganya, Seokmin tetap berpikir bahwa Mingyu memang harus berubah.

Well, mereka sudah mahasiswa sekarang.

"bagaimana?"

Namun Seokmin harusnya tahu bahwa Mingyu tak lah semudah itu digoyahkan. Seokmin bisa tahu dari tatapan mata Mingyu yang terarah lurus kedepan. Ke arah sebuah toko buku tua yang sudah tak ramai lagi. keduanya bisa melihat dengan jelas dari balik kaca sebuah kafe yang terletak persis disebrang toko buku itu. toko buku bersejarah di kehidupan seorang Kim Mingyu.

Seokmin ingat pertama kali ia diajak Mingyu ke kafe ini. ketika mereka kelas delapan dan berlanjut ketika mereka sudah menjadi mahasiswa. Mingyu selalu pergi ke kafe ini, yang kopinya tidaklah begitu enak. Tapi lagi, Mingyu selalu pergi ke kafe ini. duduk di tempat yang selalu sama, dan menatap kearah yang sama.

Ia benar-benar sedang menantikan sesuatu datang ketika ia memiliki masalah.

Seorang anak bernama Jeon Wonwoo.

Mingyu masih menunggunya hingga sekarang. menagih sebuah penjelasan.

.

"baiklah, aku pergi."

.

Seokmin hampir saja tersedak minumannya ketika mendengar perkataan Mingyu. Ia agak meragukan pendengarannya, namun melihat Mingyu yang tersenyum tipis, ia bersorak girang.

"waaaww! Kim Mingyu! Aku yakin kau tak akan rugi karena pergi nanti malam."

"ha. Apa yang membuatmu seyakin itu?" tanya Mingyu, ia memutar bola matanya malas. sedangkan Seokmin menatapnya dengan pandangan menggoda.

"bisa dipastikan nanti malam akan ada Yoon Jeonghan sunbaenim! Ingatkan? Senior yang waktu itu kau bilang sangat cantik hingga mengalihkan duniamu?" tanya Seokmin dengan heboh.

Membuat Mingyu hanya tersipu. Berharap kedatangannya nanti tak akan menghasilkan sebuah penyesalan...

.

.


MW


.

.

Dan... well, ternyata memang tak seburuk yang Mingyu kira.

Seokmin memang tak berbohong soal tempat yang besar. Keramaian dan rasa sesak orang banyak yang tak Mingyu sukai tak terasa ditempat ini. Restaurant yang lebih mirip seperti aula resort yang sangat luas dan nyaman. di sini tak ada aroma rokok yang tak Mingyu sukai, tidak juga suara musik ribut, atau suasana senioritas yang kental. Semuanya aman. dan Mingyu rasa ia bisa bertahan di sini untuk beberapa waktu.

Apalagi, dengan seorang Yoon Jeonghan di sebelahnya.

How Lucky you are Kim Mingyu!

Mingyu berdehem pelan, mencoba menyembunyikan senyumannya. Kini segelintir orang yang berdiri mengelilingi meja makan panjang ini mencuri-curi lirikan kearahnya dan Jeonghan. Berpikir betapa beruntungnya Kim Mingyu, ada juga yang berpikir betapa beruntungnya Yoon Jeonghan.

Di situasi seperti ini. tak akan ada yang mau menginterupsi saat Mingyu didudukkan oleh Seokmin disebelah Jeonghan. Karena mereka merasa, keduanya sudah terlalu sempurna dan tak ada alasan untuk memisahkan keduanya walau para penggemar memekik tak rela dalam hati.

Yoon Jeonghan adalah mahasiswa ekonomi yang dua tahun diatas Mingyu. Wajahnya sangat cantik dan rupawan. Tak ada yang bisa membantah fakta itu. juga kepribadiannya yang lembut namun menarik. Ia bak bunga mekar di jurusannya. Sedangkan Mingyu, ia sudah terkenal sejak pertama kali ia menjejakkan kaki di fakultas. Ia adalah pemuda peraih nilai tertinggi dalam ujian universitas, ayahnya adalah pemilik salah satu perusahaan besar di Korea, ia juga tidak memiliki sifat yang buruk walaupun ia tak bergaul dengan semua orang, namun dari semua itu, bonus adalah sesuat yang paling istimewa. Dia tampan.

Kim Mingyu dan Yoon Jeonghan sudah dipastikan akan menjadi pasangan paling sempurna jika itu semua terjadi, kan?

.

"kenapa kau tertawa seperti itu, Mingyu-ya?" tanya Jeonghan, memecahkan lamunan singkat Mingyu.

Pemuda itu menoleh dengan wajah linglung, baru sadar jika sedari dari Jeonghan menatap gerak-geriknya yang aneh. membuat Mingyu berdehem, dan tersenyum sangat manis pada pemuda berwajah rupawan di sampingnya.

"hanya membayangkan sesuatu yang menarik." Ucapnya pendek, seraya mengangkat botol soju di depannya dan menunjukkannya kearah Jeonghan. Mengiyaratkan apa Jeonghan ingin kembali mengisi gelas kecilnya. Dan sang bunga mekar jurusan itu mengangguk.

"apa yang kau bayangkan?" tanya Jeonghan. Terlihat tertarik. Atau lebih tepatnya, ia sama sekali tak tertarik dengan apapun di sekitarnya. Ia mulai merasa jenuh disini.

"sesuatu tentangmu. Apa kau tertarik untuk mendengarkan?"

Mingyu mengedipkan matanya. menggoda, membuat Jeonghan terkekeh pelan yang terlihat dan terdengar sangat indah. Pemuda yang lebih tua itu menepuk lengan Mingyu pelan, membuat beberapa orang di sekitar mereka memandang cemburu.

"jangan lupa tambahkan kata 'hyung' saat memanggilku, hoobae-nim" ucap Jeonghan dan ia tak mengatakan apapun lagi.

Mingyu hanya mengangkat kedua bahunya tak peduli. jadi tak tertarik, ya? tanya Mingyu dalam hati. padahal ia sudah berpikir untuk menandai malam ini sebagai malam anniversarynya bersama Jeonghan untuk tahun depan. Tapi, yeah, ternyata tak semulus yang ia kira.

Tapi bukan Kim Mingyu namanya jika ia menyerah begitu saja. menyerah tak pernah terdaftar dalam kamusnya. Apalagi soal asmara, karena seorang Kim Mingyu sudah sesempurna ini, apa yang ia takutkan?

"ah... Jeonghan hyung." Mingyu mengetuk tangan Jeonghan yang berada di meja dengan jarinya. Membuat pemuda ramah itu menoleh.

"apa?"

"sudah berapa kali kita bertemu, hyung?"

"hm... tunggu sebentar..." Jeonghan berpikir sebentar, dengan wajahnya yang menggemaskan "tiga kali. Ya, empat dihitung dengan yang sekarang. kenapa?"

Mingyu mengangguk dengan semangat "nah, apa aku sudah cukup layak untuk mengajak hyung untuk 'keluar'?"

"keluar?"

"berkencan, maksudku."

Mingyu memberikan senyuman termanisnya pada pemuda yang lebih tua. Yang walaupun wajahnya tak terlihat tersipu, tapi Jeonghan tetap memberikan senyuman ramahnya yang seolah memang milik semua orang.

"waaw, aku tak mengira ternyata mulut seorang Kim Mingyu semanis ini..." ucap Jeonghan dengan santai.

Mingyu mendesah "ayolah hyung... jawab pertanyaanku!" ucapnya tak sabar. Jeonghan memang terlalu licin soal mengganti topik pembicaraan, hingga tak sadar Mingyu tengah mengeluarkan 'aegyo'nya dengan sempurna. Sukses untuk membuat Jeonghan tertawa ringan. Terhibur.

"ba-"

.

PRANK

.

Semua orang dalam ruangan itu sontak terdiam dan membeku. Ada salah satu mahasiswa yang menjatuhkan gelas kacanya di lantai. Membuat sebuah kehebohan kecil di sana beberapa detik kemudian. namun tak butuh lama untuk membuat suasana kembali seperti semula. Orang-orang kembali sibuk dengan urusan mereka sendiri.

Termaksud Mingyu. Yang hampir mendapatkan jawaban dari sang bunga yang bertingkah –hard-to-get—padanya. hingga lagi-lagi, semua tak sesuai dengan yang Mingyu pikir. Pemuda tampan itu mendengus, melirik Jeonghan yang kini malah megobrol dengan teman di sebelahnya. Sudah pasti sang bunga itu ingin kabur dari pertanyaan Mingyu tadi.

Mingyu pun tak ada pilihan lagi. terserahlah, ia bisa melakukannya nanti lagi. pikirnya seraya menegak kembali minumannya, dengan mata yang melirik ke sana kemari. Mencari dimana Seokmin. Ia ingin pulang, sudah terlanjur badmood.

.

"Wonwoo-ya! bawakan sapu ke sini!"

.

Wonwoo?

Mingyu menghentikan gerakan tangannya untuk menuangkan kembali botol sojunya ke gelas, begitu nama tak asing itu terdengar di telinganya. ia sontak mendongak, melihat kearah sumber suara.

Ada seorang pegawai wanita yang berada di tempat gelas pecah tadi, melambai-lambaikan tangannya ke arah seseorang. Mingyu tebak dari wanita itulah nama Wonwoo terdengar. Tak lama, seorang pemuda berkaos hijau lumut membawa sebuah sapu mendekat pada wanita itu. Namun karena keramaian, Mingyu tak bisa benar-benar melihat wajahnya. Ia hanya melihat punggung pemuda itu, dan rambutnya yang berwarna hitam kelam.

Mingyu tak sadar, ia sudah berdiri dari tempatnya duduk untuk bisa melihat pemuda itu. apa benar itu Wonwoo? Wonwoo yang ia temui sebelas tahun yang lalu itu? yang selalu ia tunggu kedatangannya di depan toko buku? Banyak pertanyaan lain yang berputar dalam otak Mingyu. Hingga ia tak sadar pula jantungnya berdebar dengan cepat dan ia ingin cepat-cepat melihat wajah pemuda berkaos hijau lumut itu. ia yakin. Sangat yakin. Ia akan langsung mengenali Wonwoo hanya dengan melihat wajahnya.

Karena bayangan anak berkulit putih pucat, berambut hitam, dan bermata sipit yang memancarkan kepolosan itu tak pernah sedikitpun terkikis dari ingatan Mingyu. Jangan tanya kenapa Mingyu begitu mengistimewakan sosok yang ia curigai penyihir ilmu hitam itu. ia tak akan menjawabnya sekarang.

Dan baru saja Mingyu akan bergegas pergi dari tempatnya, tiba-tiba tangannya ditahan oleh seseorang. dengan tak sabaran, Mingyu pun menoleh—ia hampir saja memaki orang tersebut karena menghalangi gerakannya, namun ia menutup mulutnya rapat-rapat. Itu Jeonghan.

"kau akan kemana, Mingyu-ya?"

"aku... ah... pulang. ya, pulang."

"tapi masih ada acara yang lain... kau yakin tak akan mengikutinya sampai selesai?"

"sepertinya tidak, hyung... maaf tapi aku harus..."

Jeonghan yang melihat wajah Mingyu yang terlihat gelisah itu pun melepaskan tangannya dari tangan si yang lebih muda. dan ia bangkit dari posisi duduknya dan berdiri di sebelah Mingyu. Dengan gerakan cepat Jeonghan mengecup pipi Mingyu dengan cepat. Yang sontak membuat pemuda tinggi itu membeku, sama dengan orang-orang yang melihat tindakan kilat Jeonghan barusan.

"baiklah, aku hanya ingin bilang... besok pukul tiga sore. Aku menunggumu di depan gedung selatan. Untuk kencan pertama kita." Ucap Jeonghan cepat, suara yang pelan, dan dengan pipi yang tersipu. Membuat Mingyu harus menampar dirinya dalam diam. Mencoba menganalisis sebentar apa yang terjadi.

Apa Jeonghan baru saja memintanya untuk berkencan?

Tiba-tiba?

Disaat ujung mata Mingyu terus mencari-cari pemuda berambut hitam dan berkaos hijau lumut itu?

Mingyu mungkin sudah gila, tapi pikirannya benar-benar hanya tertuju pada satu nama. Dan itu bukanlah nama Yoon Jeonghan. Hingga ia memutuskan untuk hanya mengangguk tak acuh dan tersenyum singkat sebelum akhirnya beranjak. Ia menemukan Wonwoo! Keluar dari pintu keluar restoran.

"ide bagus, Jeonghan hyung! Aku sangat tak sabar! Sampai bertemu besok!" ucap Mingyu dengan cepat, sebelum akhirnya benar-benar beranjak. Ia berlari menuju pintu keluar. Meninggalkan tatapan orang-orang yang memperhatikannya sedari tadi dengan tatapan iri bercampur dengki.

Karena mungkin, hanya Kim Mingyu satu-satunya orang yang berani mengacuhkan seorang Yoon Jeonghan. Padahal posisinya disini, si bunga fakultas itulah yang duluan mengajak kencan Mingyu. Meninggalkan Jeonghan begitu saja bukanlah hal yang pantas untuk seorang Mingyu sekalipun—menurut orang-orang. tapi sekali lagi, itu bukanlah hal yang harus Kim Mingyu pikirkan.

Ia hanya perlu 'menangkap' pemuda yang dipanggil Wonwoo itu!

Walau hasilnya, shit, lagi-lagi tak sesuai dengan apa yang ia pikirkan. Ketika Mingyu sudah keluar dari restoran, ia tak menemukan jejak pemuda berkaos hijau lumut itu dimanapun. Bahkan ia sudah mengelilingi daerah sekitar restoran, ia tetap tak menemukan pemuda itu.

Sial.

.

.


MW


.

.

"Kau dari mana saja, Kim Mingyu?"

"aku sudah bilang ayah tadi sore. Ke tempat acara temanku."

Di ruangan serba gelap itu, Mingyu bisa mendengarkan suara kekehan pelan milik ayahnya. Yang membuat Mingyu merinding, sekaligus mendengus malas. pemuda itu kemudian berjalan lebih jauh masuk ke dalam rumahnya yang gelap itu dan menemukan tombol lampu dan langsung menghidupkannya. Memperlihatkan ruang tengah ruamhnya yang berantakan. Botol alkohol dan kertas bertebaran dimana-mana. Dan hanya ada satu pelakunya di sini. Tuan Kim yang terhormat.

"kenapa ayah seperti ini lagi?" keluh Mingyu, sambil menunduk mengambili kertas-kertas yang terinjak kakinya. Matanya membulat. Ini berkas penting! Ada tulisan saham, perusahaan, dan angka-angka uang disana.

"yaaa! ini berkas penting bagaimana bisa ayah meletakkannya di sini?!" omel Mingyu, mendelik ayahnya yang tengah mabuk itu. Tuan Kim hanya tersenyum aneh dan terkekeh.

"apa yang harus kau khawatirkan, Mingyu-ya? aku memenangkan semua perundingan. Perusahaan kita akan semakin besar dan kita akan semakin kaya... tak ada lagi yang perlu kau pikirkaan~" ucap Tuan Kim dengan begitu santai khas orang mabuk.

Dan tentu saja Mingyu tak menganggap omongan ayahnya hanya omong kosong. ia percaya jika Kim Youngwoon, ayahnya, memiliki lebih dari sekedar bakat untuk memperluas kekuasaan dan kekayaan perusahaannya. Mingyu sudah paham itu dari dulu. Sejak ia tahu ia mendapatkan apapun yang ia mau dengan mudah dan ia sadar ia memang memiliki kehidupan yang sempurna.

Hanya saja, ada secuil masalah yang di dalam keluarga berisi dua anggota ini.

"mengerti kau, Kim Mingyu? Kau tak perlu memikirkan apapun, ayah akan memberikan semuanya untukmu... bahkan jika kau meminta dunia, ayah bisa memberikannya hanya untukmu, nak." Ujar Tuan Kim seraya tersenyum hangat menatap Mingyu seraya mengambil jeda sejenak.

"... dan apakah ini berlebihan jika ayah hanya meminta satu hal padamu, Mingyu-ya?"

Pertanyaan ini lagi. pertanyaan terkutuk. Mingyu mengutuk pertanyaan itu karena ia tak pernah bisa menjawab iya atas permintaan lelaki yang telah membesarkannya hingga sekarang ini. lelaki yang telah membuatnya menjadi seorang pemuda yang tak pernah sedikitpun terlihat menyedihkan walau tanpa sosok seorang ibu.

Ayahnya adalah satu-satunya orang paling berharga yang ada di kehidupan Mingyu. Mingyu rela mengorbankan apapun untuk ayahnya, dan berada di posisi ia yang tak bisa memenuhi keinginan orang itu adalah sesuatu yang paling Mingyu benci. Ia merasa sangat tak berguna.

"ayah memang tak akan melangsungkan pernikahan tanpa restumu..." Tuan Kim berbisik, setelah kembali menegak minuman di gelas kacanya "tapi ayah tak yakin bisa bertahan di kehidupan yang sepi ini sendirian..." lanjutnya seraya memasang wajah paling memelas yang ia bisa.

Mingyu benci. Benci. Benci dengan dirinya sendiri yang memilih untuk membalikkan badannya pada ayahnya. Dan ia membenci mulutnya sendiri.

"tidak. aku tak akan membiarkan ayah menjadi seorang pembunuh lagi." ucap Mingyu sebelum ia berjalan meninggalkan ayahnya dan sama sekali tak berkeinginan untuk menoleh kebelakang.

Semuanya sudah jelas.

Itulah satu-satunya alasan kenapa Mingyu dengan egoisnya tak menginginkan ayahnya menikah lagi. untuk yang kelima kalinya.

.

.

Bruk

.

Mingyu menjatuhkan tubuhnya dengan keras diatas ranjang besar nan empuknya. Tanpa melepas bajunya, Mingyu menatap langit-langit atap kamarnya dengan tatapan kosong. memikirkan betapa melelahkannya malam ini—walau Mingyu tak yakin apa yang sebenarnya ia lakukan seharian.

Ia hanya pergi menunggu Wonwoo ditempatnya biasa menunggu penyihir itu. lalu ke pesta, menggoda sunbae paling hot yang pernah ada di kampus—dan ia sungguh sukses besar—Yoon Jeonghan mengajaknya kencan terlebih dulu, pada akhirnya. Nah, sampai disitu semuanya baik-baik saja, hingga ia mendengar nama Wonwoo keluar dari mulut orang lain dan seperti penyihir, dia seolah melesat dengan sapu terbangnya pergi entah kemana. Lalu, ayahnya dengan masalahnya sendiri yang justru paling menguras emosi dan energinya.

Ini karena Jeon Wonwoo. Tentu saja.

Si penyihir—sialan-itu.

Sebut saja Mingyu kekanakan. Dia memang, yang sampai di umur sembilan belas tahunnya, ia masih percaya dengan keberadaan penyihir. Jeon Wonwoo.

Ini tentu bukan tanpa alasan. Karena seorang Jeon Wonwoo, semuanya berpengaruh pada masa depannya—masanya sekarang. berhubungan dengan dirinya, ayahnya, keluarganya, bahkan pada otak Mingyu sendiri. tanpa Mingyu sadari memang, sosok seorang Jeon Wonwoo sudah menjadi bagian dari hidupnya.

Karena Jeon Wonwoo-lah yang memberikannya angkasa, padahal ia hanya meminta sebuah payung saat itu.

Dan karena Jeon Wonwoo memberikannya angkasa, ia membuat sebuah keputusan paling besar keduanya. Yang menyebabkan sebuah, dua buah, tiga buah, nyawa menghilang. Semuanya salah Mingyu, karena Jeon Wonwoo.

Kim Mingyu jelas sangat membenci sosok anak kecil berambut hitam kelam dan bermata kecil itu. tapi juga, Mingyu sangat ingin menemuinya,

.

.

Mingyu yakin Wonwoo memberikan mantra yang salah padanya saat itu.

.

Pemuda itu menghela napasnya. Lelah dengan apa yang ia pikirkan sendiri. semuanya tak ada ujung. Tak ada penyelesaiannya. Mingyu pintar, ia memenangkan olimpiade matematika tapi ia tak pernah bisa memikirkan bagaimana menyelesaikan masalahnya yang satu ini. hanya Wonwoo yang tahu bagaimana caranya.

"Jeon Wonwoo..."

Mingyu berbisik pelan. satu tangannya kemudian menutup kedua matanya dengan gerakan perlahan. Seperti yang Wonwoo ajarkan padanya saat itu. ia memejamkan matanya. membayangkan angkasa, galaksi hitam bertabur bintang yang indah seperti yang pernah ia lihat di buku-buku, tapi tak bisa. Kembali. ia hanya merasakan kegelapan yang membuatnya merasakan kesepian.

Kenapa ini tak bekerja padanya?

.

.


MW


.

.

Besoknya,

Siang itu terasa panas, matahari bersinar dengan terik. Cuaca yang sangat pas untuk berkencan. Yah, tentu saja. Mingyu yang sedari tadi bersandar di sebuah pohon besar itu kini bergegas. Ia telah melihat Jeonghan berjalan mendekatinya. dengan baju perpaduan warna pastel yang membuat sosok bunga jurusan itu terlihat sangat mempesona. Bahkan untuk Mingyu.

Pemuda itu berdehem pelan. baiklah, lupakan sebentar tentang masalahnya kemarin. Biarkan ia menikmati kencannya bersama Yoon Jeonghan. Ucap Mingyu dalam hati seraya memberikan senyuman paling mempesonanya pada Jeonghan yang kini telah berdiri di hadapannya.

"apa kau menunggu lama?"

"tentu saja tidak, putriku."

Jeonghan mendecih, namun ada semburat merah di pipinya. Mingyu pikir ia baru aja berhasil melayangkan satu amunisinya. Seorang Kim Mingyu memang bukan pemula untuk hal seperti ini.

"jadi kita akan pergi kemana?" tanya Jeonghan kemudian, yang kini telah berjalan beriringan dengan Mingyu. Menciptakan sebuah pemandangan indah yang cukup untuk membuat orang sekitar memberikan tatapan cemburu.

Mingyu terlihat berpikir untuk beberapa saat, kemudian tersenyum manis "bagaimana jika sekarang kita pergi makan, kemudian menonton teater musikal. Kudengar Lee Junghwan akan berperan hari ini."

"ya, ya! ide bagus! kau sudah memesan tiketnya?"

Mingyu mengangguk bangga, dan Jeonghan tak bisa menyembunyikan rasa bahagianya. Amunisi kedua, berhasil. Mingyu tak pernah gagal dalam hal mencari tahu informasi seseorang. sebelumnya ia sudah tahu Jeonghan adalah penggemar Lee Junghwan, seorang aktor musikal.

.

Kemudian, jangan tebak lagi apa amunisi-amunisi Mingyu untuk menyentuh hati Jeonghan berhasil atau tidak, karena jawabannya, tentu saja, tidak. inilah kenapa cerita ini muncul.

.

Saat itu Mingyu dan Jeonghan baru saja sampai di parkiran mobil tempat mobil mewah Mingyu terparkir. Awalnya semua berjalan dengan sangat baik. Mingyu dan Jeonghan sama-sama dalam mood yang sangat baik, hingga suara barang terjatuh mengusik mereka.

Mingyu menoleh kebelakang dan sepuluh langkah darinya ada seorang pelajar yang terjatuh dengan sepedanya. Saat itu Mingyu baru sadar saat Jeonghan lebih cepat tanggap untuk mendekati pelajar bersweater putih itu dan membantunya untuk berdiri. Mingyu melamun untuk beberapa detik. Mengagumi sosok Jeonghan yang membantu 'nerd' itu merapikan buku-bukunya yang berserak di tanah, hingga akhirnya ia ikut mendekati Jeonghan dan si pelajar dengan sepeda kuningnya itu.

"a.. maaf, kalian tak perlu membantuku... aku bisa..."

"tenang saja. semakin banyak orang akan semakin cepat" timpal Jeonghan dengan ramah seraya merapikan buku-buku pelajar berambut hitam dan berkulit putih it-

Mingyu yang sebelumnya memang tak berniat untuk membantu pelajar itu pun tiba-tiba membeku di tempatnya. Matanya sibuk menatap pelajar di depannya ini. kulit yang putih pucat, kurus, rambut berwarna hitam kelam, dan—shit—ketika pelajar itu telah selesai merapikan isi tasnya, ia mendongak. Menampakkan wajahnya. Mingyu menelan ludahnya susah payah saat matanya bertemu pandang dengan mata sipit pelajar itu.

Mungkin ini tak masuk akal, mata pelajar itu terlihat sipit dan bersirat tajam, namun Mingyu menemukan kepolosan yang selalu ia ingat semenjak sebelas tahun itu.

"terima kasih. Maaf sudah merepotkan." Ucap pelajar itu seraya membungkuk pada Jeonghan dan Mingyu, yang dibalas sebuah lambaian dari Jeonghan.

"bukan masalah! Itu, tanganmu lecet. Jangan lupa untuk mengobatinya" ujar Jeonghan perhatian. Pelajar yang terlihat pendiam itu hanya mengangguk seraya memberikan senyuman yang terlihat kaku sebelum akhirnya pergi dengan menaiki sepedanya yang berlaju kencang.

Mingyu masih menatap pelajar itu. matanya menyipit saat melihat posturnya dari belakang. benar-benar mirip seperti yang ia temui di restoran tadi malam. Mingyu tak tahu kenapa, tapi makin lama ia menatap, ia semakin yakin. Itu Jeon Wonwoo! Kim Mingyu apa kau hanya akan berdiri di sini?!

"nah, ayo Ming-"

"hyung! Kau mau menunggu sebentar di sini? Sebentar saja!" ujar Mingyu panik dan tanpa memastikan jawaban Jeonghan, pemuda itu sudah berlari pergi ke arah pelajar itu yang sudah berlalu dengan sepedanya. Ingat? Tadi ia mengayuh sepedanya dengan kecepatan tinggi. Hingga, well, Mingyu tak habis pikir bagaimana ia harus mengejar pelajar itu.

Yang ia tahu hanya berlari, dan berlari. Terima kasih untuk fisik Mingyu yang memang kuat dan entah keajaiban mana Mingyu berhasil makin mempersempit jarak diantara keduanya.

.

"YA! JEON WONWOO!"

.

Pekik Mingyu keras, tak peduli orang-orang yang kaget karena suaranya. Tapi ia tersenyum puas dalam napasnya yang memburu. Pelajar itu menghentikan sepedanya, dan menoleh kebelakang dengan pandangan bingung sekaligus kaget. Sedangkan Mingyu yang tak mau membuang-buang waktu langsung mendekati pemuda yang masih terlihat bingung. Mingyu sontak menggenggam lengan pemuda itu dengan erat.

"kau... Jeon Wonwoo, kan?"

Tanya Mingyu langsung. pemuda yang kini berada di hadapannya ini tak langsung menjawab. Hanya memandang Mingyu dengan tatapan tak mengerti dan risih. Ia mencoba melepaskan tangannya dari genggaman Mingyu, tapi Mingyu makin mengeratkan genggamanya, seraya menatap wajah pemuda di depannya lebih dekat. Kulit putih, rambut hitam, mata yang kecil, dan wajah yang terlihat manis membuat Mingyu yakin. Pemuda itu, tak harus menjawab pertanyaannya.

Mingyu tersenyum lebar, penuh dengan rasa puas dan ada sirat kelicikan disana.

.

.

"aku menemukanmu..."

.

.

.

Bersambung

.

.


hello everyone, This is Bisory~!

sebelumnya, saya ingin mengucapkan 'Happy New Year~!' dengan merilis cerita ini sebagai pembuka tahun 2016. lets make this year awesooomee~!

lalu fyi , ini adalah ff Meanie pertama sayaa, hasil dari 'menguntit' mereka sejak era Mansae, hihihiii

saya tahu disini mungkin ada banyak kekurangan. entah alur cerita ataupun penokohan atau apapun, tapi semoga readersnim sekalian bisa menikmatinya dan saya sangat terbuka untuk kritik dan saran. please take care of mee *deepbow*

I dont know what else to tell, but, yeah... let me know if you want another chapter of this three-long-fict (berisi tiga chapter yang isinya panjang-panjang kkkk)

With Love,

Bisory