Disclaimer : Naruto and all the characters mentioned in the story they're all belongs to Masashi Kishimoto. I do not take any financial benefits from this.
Retour à tuer
[ Confession of pain ]
Kushina tersenyum tipis saat memasukkan adonan roti manis ke dalam tungku batu di hadapannya. Surai merah panjang yang biasa tergerai kini diikat menggunakan seutas tali coklat tua karena ruang pembakaran yang tidak terlalu besar, membuatnya meneteskan beberapa bulir keringat dari dahi, yang turun perlahan ke pelipis.
Terlihat lelah, lingkar hitam menghias sepasang kantung mata Kushina. Dia ingin beristirahat, tidur sekejap saja rasanya sudah cukup untuk memulihkan seluruh tenaga, tetapi saat ini dia sedang bertaruh cepat dengan waktu, drum kayu berisi adonan mentah tidak bisa lagi menunggu, atau mereka akan berjamur.
Keluarga mereka akan pindah ke kota untuk membuka toko roti di sana, tepatnya besok. Kota yang tidak terlalu besar. Namun jauh lebih baik jika dibandingkan dengan desa tempat tinggal mereka yang tidak begitu memiliki banyak penduduk.
"Ibu?"
Decit pintu kayu membuat Kushina terkejut, kepalanya menoleh secara spontan. "Naruto?" Dia memanggil untuk memastikan, lalu matanya menangkap rambut pirang seorang bocah dengan mata berwarna biru mengintip dari balik pintu. "Apa yang kau lakukan di sini, Naruto? Bukankah aku sudah memberimu tugas untuk membantu ayahmu membersihkan kuda? Bagaimana dengan pakaianmu? Barang-barang milikmu? Ba—"
"Ibu aku lapar," ungkap Naruto memotong perkataan Kushina. Wajah sedikit menunduk, tidak berani menatap wajah ibunya, tidak untuk saat ini.
Kushina tadinya ingin marah, tetapi melihat bagaimana Naruto merespon, dia menatap iba sebelum berlutut, lalu mengusap puncak kepala anak itu dengan lembut. "Maaf," tuturnya lembut, mengangkat wajah Naruto untuk menatapnya. "Ibu sedang panik, dan lelah saat ini, waktu yang kita miliki tidak banyak."
Matanya menatap Kushina yang tersenyum lembut, lalu Naruto mengangguk pelan, memberikan tanda dia paham.
Kushina bangkit, cepat-cepat mengambil keranjang kayu dari dalam lemari, lalu mengisinya dengan 4 buah roti manis yang masih mengeluarkan kepulan asap. "Ambil ini, dan berikan setengahnya pada ayahmu."
Perut Naruto berbunyi keras saat hidungnya mengendus aroma manis. Dia tersenyum lebar, sebelum mengangguk lagi. "Akan kupastikan ayah menghabiskan roti buatanmu, Ibu!"
Dia berlari menuju kandang kuda setelahnya, di mana Minato sedang mempersiapkan kereta untuk membawa mereka ke kota besok.
"Ayah, roti milikmu ada di dalam keranjang kuletakkan dekat jerami." Naruto duduk di atas balok kayu. Roti di kedua genggam tangan dilahap dengan rakus, hanya dalam hitungan detik saja semuanya sudah berpindah ke dalam perut.
"Kau pasti akan tumbuh sebagai pria yang hebat Naruto." Memutar baut dekat roda menggunakan besi yang telah dipipihkan, Minato tertawa. "Sampai di kota nanti, kau pasti punya banyak teman, tidak seperti di sini."
Si pirang kecil menoleh ke arah kuda hitam dalam kandang tidak jauh dari tempatnya duduk. "Aku," ada jeda sesaat, "aku tidak tahu ayah."
Meletakkan besi di tangannya ke atas jerami, Minato melirik ke arah putranya yang terlihat tidak lagi ceria. "Apa yang membuatmu ragu, Naruto?"
"Jika membuat kesalahan sedikit saja di kota, mereka akan melapor pada kerajaan, lalu kerajaan akan menghukum dengan membunuh," sahut Naruto datar. "Bagaimana dengan penduduk desa seperti kita? Bagaimana jika aku membuat kesalahan? Apa mereka akan membunuhku juga?"
"Di kota, atau di desa. Penduduk biasa seperti kita, atau keluarga kerajaan sekali pun," ada jeda saat Minato melangkah mendekati Naruto, lalu mengacak rambut pirang putranya lembut. "Jika kau membuat kesalahan, kau akan tetap di hukum. Hukuman akan terus berlaku Naruto, tidak peduli kau berada di mana, atau seperti apa statusmu."
Naruto menoleh ke arah Minato, memerhatikan sang ayah penuh keraguan sebelum wajahnya menunduk.
"Kau tidak akan membuat kesalahan, Naruto." Minato berjongkok, menggenggam telapak tangan putranya berusaha meyakinkan. "Karena aku, dan Ibumu akan selalu melindungimu. Apa pun itu caranya."
Saat kedua mata mereka berdua bertemu, Naruto tahu ayahnya tidak berbohong. Dia bisa memastikan hal itu dengan kedua matanya, juga kedua tangan yang digenggam erat.
"Kau percaya padaku bukan?" tanya Minato memastikan.
Si pirang kecil tersenyum, lalu mengangguk pelan. "Aku percaya, ayah."
Naruto benci mengaku jujur, awalnya dia berusaha menolak kenyataan pahit saat ayah, dan ibunya mengatakan mereka harus pergi meninggalkan desa. Dia benci pergi ke kota, jika boleh memilih Naruto tidak ingin pergi, dia ingin tinggal di tempat yang sama hingga mati. Namun senyum lega Kushina saat bercerita tentang keinginannya memiliki toko roti di kota terkabul, membuat lidah Naruto kelu. Dia tidak tega untuk mengungkapkan isi hatinya, dan membuat sang ibu sedih. Semuanya berakhir dengan protes yang tertelan bersama air ludah.
.
"Kau masih mengantuk?"
"Tidak," sahutnya. Mata yang sembab ditutupi. Pagi-pagi buta Naruto sudah harus merasakan dinginnya suhu udara yang menusuk ke dalam tulang dari dalam kereta kuda.
Semalaman dia menangis tanpa suara di kamarnya yang sudah kosong. Rasa kantuk hilang karena kesedihan yang berlarut. Itu pertama kalinya dia menangis setelah 4 tahun tidak pernah membiarkan pipinya basah oleh cairan asin. Tanpa sepengetahuan orang lain dia menuliskan potongan kalimat di atas lantai kayu kamarnya menggunakan pewarna putih, 'aku akan kembali' dengan itu dia berjanji tidak akan lagi menangis saat kakinya melangkah melewati pintu.
"Kau bisa melanjutkan tidurmu, Naruto," ujar Kushina dari arah depan kereta kuda.
Si pirang kecil memilih tidak menyahut.
Perjalanan dari desa ke kota menggunakan kereta kuda akan terasa cukup berat bagi anak-anak sepertinya. Duduk sendirian di bagian belakang tanpa ditemani siapa pun karena kedua orangtuanya duduk di bagian depan.
Saat rasa bosan mulai menyerang, hal yang bisa dilakukan Naruto hanya bermain dengan pisau lipat miliknya. Dia memotong beberapa ranting kayu yang didapat dari pohon kering, lalu mengasah ujungnya menjadi sebuah tombak kecil yang digunakan untuk membunuh serangga-serangga.
Entah sudah berapa puluh serangga dibunuh, terkumpul dalam wadah kayu. Dia berniat untuk menggunakan seluruh serangga tersebut untuk menarik perhatian burung kicau saat ayahnya beristirahat di dalam hutan sana.
"Naruto apa kau lapar?"
Suara Kushina menyita perhatian Naruto dari kegiatannya berburu serangga.
"Jika kau lapar, di dalam keranjang ada roti, daging, dan susu yang bisa kau makan," lanjut Kushina.
"Aku tidak lapar," sahut Naruto sedikit berteriak.
Dia berbohong, jujur saja perutnya lapar. Namun makan seorang diri terasa tidak begitu nikmat. Dia lebih memilih untuk menatap langit juga pepohonan rindang. Apalagi mereka mulai memasuki hutan saat ini, dia bisa melihat hewan liar seperti kelinci, tupai, bahkan rusa. Semuanya menarik, kecuali bau pohon pinus yang entah mengapa membuatnya sedikit mabuk.
"Pusing," gumam Naruto menahan napas. Dia memilih untuk menutup jendela kereta saat itu, lalu berbaring.
Hanya dalam hitungan hari kehidupannya akan berubah. Julukan anak desa yang lekat dengannya akan hilang saat tinggal di kota. Dia tidak tahu apakah kehidupan barunya akan menyenangkan, atau sebaliknya. Namun dia tahu ayah, dan ibunya tidak akan membuatnya tidak senang.
Meninggalkan desa memang menyedihkan, tetapi Naruto mencoba menghibur dirinya sendiri dengan bayangan sebuah pedang yang sangat tajam. Dia ingin sekali mengangkat pedang, dia ingin bertaruh layaknya pria tangguh, dan itu semua bisa tercapai jika dia berlatih dengan salah satu Master di kota sana karena kerajaan tidak memberikan fasilitas untuk desa sebaik kota. Pilih kasih yang jelas kentara ditutupi alasan sumber daya.
.
Dua hari berlalu, dan itu dua hari terlama yang pernah Naruto rasakan selama hidupnya. Dia tidak menyangka perjalanan akan sangat menguras energi seperti ini. Tidur di hutan dengan suara-suara menyeramkan, binatang buas, bahkan jebakan mematikan untuk membunuh hewan besar. Dia tidak melihat hewan-hewan seperti kelinci, tupai, atau rusa, bahkan satu burung kicau selama perjalanan.
Naruto sedikit kecewa menyadari beberapa hal yang dibayangkan, terkadang tidak berjalan sesuai keinginannya.
Dia mulai ragu, lebih tepatnya takut. Namun malu mengaku.
'Anak laki-laki yang kuat tidak boleh merengek, juga mengeluh' setidaknya itu yang ayah, dan ibunya katakan.
"Apa kalian dari desa? Bisa kami lihat surat kalian?"
Mengintip dari jendela. Naruto melihat 4 orang pria dengan pakaian berlapis baja lengkap dengan simbol unik pada dada kiri, juga pedang yang tersampir di pinggang mereka masing-masing. Ini juga pertama kalinya dia melihat pintu sangat besar, dengan tembok tinggi nan kokoh dari batu yang mengelilingi tepian kota.
"BUKA PINTUNYA!"
Mendengar pria itu berteriak sangat keras, tubuh Naruto tersentak karena kaget. Dia tidak tahu siapa yang bertugas di atas sana, siapa yang membuka pintu, atau bagaimana cara mereka bekerja. Namun secara tetiba pintu berukuran sangat besar di hadapannya terbuka lebar.
Saat kereta kuda mulai berjalan. Naruto melempar pisau lipatnya ke sembarang arah, lalu membuka kembali jendela kereta. Pemandangan baru di hadapannya membuat Naruto kagum hingga dia membuka matanya lebar-lebar.
Tidak ada tanah. Namun batu sebagai alas pijak. Tidak ada sungai. Namun pancuran air dengan patung di atasnya. Tidak ada pohon, atau tumbuhan liar, melainkan bangunan kokoh dari batu.
Apa ini?
Terasa sangat berbeda, tidak membuatnya takut. Namun membuat jantungnya berdegup cepat. Dia tidak pernah melihat orang sebanyak ini di desanya dulu. Bahkan bisa melihat banyak anak kecil yang berusia sama sepertinya bermain bersama menggunakan benda yang dia tidak tahu bagaimana cara menyebutnya.
"Naruto? Kau suka tempat ini?" tanya Kushina dari bagian depan kereta kuda.
"Bagaimana Naruto? Kau menyukainya?" timpal Minato.
"Aku menyukainya Ibu, Ayah! Aku sangat menyukainya!" sahut Naruto cepat dengan cengir lebar. Mungkin selama ini dia terlalu berlebihan. Kota tidak menyeramkan seperti yang dibayangkan sebelumnya.
Hampir 20 menit berjalan, Naruto tahu jika kereta kuda mereka berhenti tepat di sebuah bangunan dengan kaca besar menghiasi dinding samping pintu. Bangunannya tidak terlalu besar, tetapi terlihat sangat kuat, dan kokoh karena didominasi oleh batu.
Tanpa perlu diperintah Naruto melompat keluar kereta, lalu menghampiri pintu utama bangunan. Minato, dan Kushina yang melihat saling melirik ke arah bagian belakang kereta, tanpa perlu memastikan mereka tahu jika Naruto menyukai tempat ini.
"Bantu ayah," perintah Minato menyerahkan kotak kayu berisikan peralatan makan pada Naruto. "Jika kau bersikap baik pada ibumu, dan membantunya, besok aku akan membawamu bertemu Master di kota ini."
"Apa itu benar?! Aku pasti akan jadi anak baik, dan membantu ibu!" sahut cepat menandakan Naruto bersungguh-sungguh.
"Itu benar, ayah tidak akan berbohong padamu," ucap Minato meyakinkan.
Cepat-cepat Naruto mengambil kotak kayu dari tangan Minato lalu berlari menuju Kushina yang saat ini membuka pintu rumah mereka. Melakukannya berulang kali karena beban di tangan tidak lagi terasa berat. Dalam hitungan menit kotak berukuran kecil hingga sedang sudah berpindah tempat ke hadapan pintu.
Dia menerobos masuk mendahului Kushina. Berlari ke pojok ruangan, menyusun kotak kayu di sana. Tidak ada lagi waktu untuk terkagum-kagum. Namun tetap saja, sedikitnya dia mencuri pandang untuk melirik ke arah tungku perapian yang terlihat kokoh sebelum berlari ke luar untuk mengambil kotak kayu lainnya.
Impiannya selama ini akan menjadi kenyataan. Baju berlapis baja, juga pedang tersampir di pinggang, semuanya tidak lagi hanya menjadi sebuah mimpi. Itu semua akan menjadi kenyataan hanya dalam hitungan hari saja.
.
"Naruto, ayo bangun!"
Membuka mata perlahan, si pirang mengerjap beberapa kali saat telinganya mendengar panggilan dari luar kamar. Dia memerhatikan sekitar sebelum bangkit dari atas kasur. Kamarnya masih berantakan, kotak kayu menumpuk, bahkan baju miliknya menumpuk seperti gunung, tetapi cahaya yang masuk melalui celah jendela terasa hangat. Dia tersenyum tipis, menyadari ini pengalaman pertama untuknya.
"Naruto!"
"Iya!" sahutnya cepat, memijakkan kaki ke atas lantai. Dia menguap sekali, sebelum melangkah ke arah pintu.
Aroma khas yang berasal dari tungku perapian segera menyambut. Manis seperti susu, yang membuat perutnya keroncongan tiba-tiba. Dia terus melangkah mengikuti aroma yang menyambut. Memerhatikan ruang demi ruang yang mulannya kosong, kini sudah tertata rapih. Tidak ada lagi debu, kain putih, atau kotak kayu yang membuat tangannya kotor. Dia tidak menyangka jika ayah, dan ibunya mampu merapikan seluruh isi rumah hanya satu malam. Tidak seperti kamarnya yang masih terlihat seperti kapal pecah.
"Naruto, ibu sudah membuatkanmu sarapan, dan ayah menunggumu di kandang kuda. Cepat makan lalu temui dia," perintah Kushina, meletakkan semangkuk bubur gandum beserta susu hangat ke atas meja. "Ibu mulai membuka toko roti mulai hari ini, jika kau punya waktu luang, bantu ibu!"
Naruto menyahut dengan angguk. Dia menarik sendok kayu, lalu menyuap bubur gandum ke dalam mulutnya cepat-cepat. Tidak sampai memakan waktu lama, dia sudah melompat turun dari atas kursi lalu berlari ke arah pintu belakang.
Dari arah pintu matanya bisa melihat Minato sedang menyikat bulu kuda, lalu Naruto berlari menghampiri dengan senyum tipis di bibir.
"Bagaimana tidurmu?" Minato, melepas sikat ke atas jerami, lalu menoleh pada putranya yang berlari menghampiri. "Ayah sudah mencari info tentang Master di kota ini semalam. Ayah ingin mengajakmu, tapi ibu bilang kau tertidur setelah makan malam. Tempatnya di pojok utara, tapi karena Master sedang tidak berada di kota saat ini, kelas diliburkan."
Sedikit menunduk, Naruto mengungkapkan kecewanya. "Lalu kapan Master akan kembali?"
"Master akan kembali dalam beberapa hari lagi. Itu tidak akan lama, Naruto." Minato mencoba menghibur, tetapi melihat Naruto masih terlihat dalam kondisi yang sama, dia melirik ke arah kuda dengan ide di kepala. "Bagaimana jika hari ini kau berjalan-jalan mengelilingi kota? Kau bisa mengunjungi tempat Master, atau bermain bersama anak-anak lainnya.
Naruto mengangkat kepala ragu, menatap Minato bingung. "Berjalan kaki?"
"Tentu saja tidak," sahut Minato cepat, "bawa kuda ini."
Naruto membuang muka ke arah samping. Dia tidak tahu apa rencana ayahnya ini akan menyenangkan. Ini masih terhitung hari pertamanya di kota, dia tidak tahu mana tempat yang bisa dikunjungi, atau tidak. "Um, t-tapi ayah, bagaimana jika ada para ba—"
"Bandit?" potong Minato tertawa. "Ini di kota, Naruto. Bandit tidak akan melukaimu. Para penjaga di depan sana akan membunuh mereka yang berani memasuki kota ini dengan ilegal." Dia menarik tali leher kuda mendekati Naruto, lalu menyerahkannya sambil tersenyum lebar. "Ayo sana pergi!"
"Baik ayah," sahut Naruto pelan.
Perintah sang ayah tidak bisa ditolak. Dia menaiki kuda, memacunya ke arah utara kota dengan perlahan. Tidak bersemangat karena berita yang diberikan ayahnya mengenai Master di kota ini membuatnya tidak senang. Namun si pirang mencoba melihat dari sisi baiknya, pemandangan di kota memang membuatnya cukup merasa lebih baik.
Semakin cepat memacu kuda, dia bisa melihat dari kejauhan sebuah bangunan kokoh di atas tanah yang luas. Dia mendekat. Matanya menangkap simbol pada papan kayu yang mengantung di atas pintu utama. Bentuknya seperti 4 buah pedang dengan tali warna merah saling mengikat, dan menyilang. Seluruh bangunan terdiri dari 3 lantai, 6 pasang jendela kayu berukuran besar menghias di setiap lantai. Di sisi kiri terdapat; lapangan dengan rumput hijau, tanah, juga bebatuan berukuran cukup luas. Beberapa pedang, panah, dan tombak hingga perisai dari kayu, baja, dan besi tersusun rapi di sudut lapangan, sedangkan di sisi kanan ada 6 buah kandang yang kiranya mampu menampung 20 ekor kuda.
Naruto diam sejenak di atas kuda, memandangi dari kejauhan terkagum sambil mengucap kata 'whoa' berulang kali dari bibirnya. Dia belum pernah bertemu Master di kota ini, dia juga tidak tahu seperti apa wajah, atau namanya. Namun bisa disimpulkan jika Master adalah orang yang hebat.
"Siapa kau?"
Menoleh spontan karena terkejut, Naruto menyadari ada anak laki-laki duduk di atas kuda berwarna putih tepat di belakangnya, kira-kira lebih tua beberapa tahun jika dibandingkan dengan fisiknya. Anak itu mengenakan jubah hitam panjang yang menutupi seluruh tubuhnya dari kepala, hingga kaki. Bahkan untuk melihat dengan jelas seperti apa wajahnya saja sulit.
"N-Namaku Naruto," sahut si pirang ragu-ragu, menarik tali kekang kuda ke arah kiri.
Mereka berdua saling berhadapan. Namun si anak berjubah hitam tidak merespon.
"Kau sendiri siapa?" Mencoba membuka mulutnya lagi, Naruto berharap mungkin saja anak itu mau menjadi teman pertamanya di kota ini.
"Master sedang pergi meninggalkan kota, kelas diliburkan," sahut anak itu. Namun tidak menjawab pertanyaan Naruto.
"Aku tahu. Aku hanya ingin melihat-lihat saja," balas Naruto, menaikkan sebelah alis. Dia menarik tali kekang kuda ke arah kanan berniat untuk pergi karena sifat tidak bersahabat yang ditunjukan anak itu membuatnya tidak senang.
"Kau tidak berasal dari sini bukan?"
Belum ada 3 langkah, laju kudanya dihentikan. Naruto kembali menoleh, alisnya mengernyit melihat anak itu masih pada posisi yang sama. "Aku dari desa sebelah timur, dari mana kau tahu?"
Anak berjubah hitam tidak menyahut. Dia memacu kuda mendekati Naruto hingga bersanding tepat di sebelahnya. "Itu tidak penting, kau mau bermain bersama, Naruto?"
Kalimat pertanyaan singkat, tetapi ampuh untuk membuatnya tersenyum lebar. Dugaan Naruto salah, anak berjubah hitam itu tidak seburuk yang dipikirkan. "Tentu saja!"
"Kalau begitu ikut aku."
Keduanya memacu kuda beriringan ke arah timur. Selama perjalanan Naruto tidak berhenti mengoceh, beberapa pertanyaan dia ucap, berbagai macam topik mengenai kota, juga Master tentunya. Anehnya bukan merasa terusik, si anak berjubah hitam justru menjawab semua pertanyaan dengan detil, hingga si pirang terkagum-kagum dibuatnya.
"Begitu rupanya! Aku sama sekali ti—"
"Berhenti di sini, Naruto," potong anak itu, menghentikan laju kuda di depan jalan setapak menurun yang terlihat sangat curam.
Naruto hanya bisa diam memerhatikan. Dia belum tahu mengapa mereka berhenti di sini, dan mengapa anak itu mengikat tali kekang kuda pada pohon oak di sisi kiri mereka.
"Apa yang kau lihat?" tanya anak berjubah hitam. "Turun dan ikat kudamu di sini. Mereka tidak bisa menuruni jalan ini, mereka akan tergelincir."
Sekarang si pirang paham meskipun belum tahu betul ke mana anak berjubah itu membawanya, tetapi entah mengapa dia merasa di bawah sana ada tempat yang cukup menarik. Telinganya bisa mendengar suara gemercik air sedari tadi, angin yang menyapu lembut rambut serta kulitnya berasal juga dari sana.
"Ikut aku," perintah anak berjubah hitam.
Sengaja melangkah tepat di belakang, Naruto menoleh ke kiri, dan kanan. "Ada apa di bawah sana?"
"Tempat rahasia," sahut anak itu. Mereka berjalan selama beberapa detik, lalu tiba-tiba saja dia menggandeng tangan si pirang memasuki mulut gua.
Jantung Naruto berdetak lebih cepat. Entah karena kondisi di sekitar yang gelap, atau karena bisa melihat tangan pucat yang menggenggam telapak tangannya. "Kau tidak perlu mengandeng tanganku."
"Tempat ini penuh dengan kubangan air," sahut anak itu, mengabaikan protes si pirang.
Naruto mengernyit tidak paham. "Apa kubangan air dihitung berbahaya oleh anak kota? Di desa banyak sekali kubangan air. Bahkan lumpur. Aku sudah terbiasa."
"Ya, jika kubangan air di desamu menelan manusia hidup-hidup. Seperti menarik tubuhmu jauh ke dalam air hingga kau kehabisan napas, dan mati contohnya."
Naruto menelan ludah, secara tidak sengaja dia mengeratkan genggaman tangan. Kini dia paham, dan tentu tidak akan memprotes lagi. "Mengerikan, ternyata di kota ada yang seperti ini juga."
"Kau pikir kau hidup di mana? Kota, atau desa tidak berbeda, kita hidup di dunia yang sama, di tanah yang sama, hanya tempatnya saja yang berbeda," jelas anak itu.
Naruto memilih diam. Wajah menunduk, mata menatap datar ke arah lengan berkulit pucat karena malu.
"Kau bisa melompat?" Gandeng tangan di lepas, jari telunjuknya menunjuk ke suatu tempat. "Lihat di atas sana, celah di sebelah batu itu. Aku akan melompat terlebih dahulu, lalu aku akan menarikmu."
Mata Naruto menyipit, cahaya yang masuk dari celah terasa begitu kontras dengan gelapnya gua. Letak celah itu tidak begitu tinggi sebenarnya—hanya setinggi dada. Namun terlihat cukup sulit karena banyak dihiasi batuan tajam.
"Aku akan menarik sekarang, pegang tanganku!" Anak itu mengulurkan tangan yang disambut antusias oleh Naruto. Hanya satu tarikan, tubuh si pirang yang lebih kecil darinya, dengan mudah terangkat ke atas.
"Woaaah."
pemandangan yang menyambut membuatnya tidak bisa berbicara banyak selain membuka mulut, juga matanya lebar.
Terlalu takjub, hingga Naruto tidak tahu lagi apakah dia masih berada di dunia yang sama.
Ada danau di sana. Airnya yang kebiruan sangat jernih hingga mata siapa pun dapat melihat batuan juga ikan-ikan kecil, terlihat seperti kilau berlian karena pantulan sinar matahari. Sekitarnya dikelilingi oleh berbagai macam bunga, pepohonan, serta bebatuan pipih. Bahkan beberapa mahluk hidup terlihat bermain-main di tepi danau.
"Anak desa seharusnya tidak perlu terkejut," sindir anak itu, menyusuri jalan setapak yang membawanya ke tepi danau, diikuti Naruto di belakang. "Apa di desa tidak ada yang seperti ini?"
Menggaruk belakang kepala, Naruto tertawa malu. "Di desa hanya ada hutan, dan sungai. Tidak ada danau. Tempat ini bagus, sayang sekali aksesnya sulit."
Anak itu mengangguk. Dia melepas sepatu, lalu duduk di tepian danau dengan kaki tercelup ke dalam air. "Itu sebabnya ini tempat rahasiaku."
"Apa aku boleh duduk di sebelahmu?" tanya Naruto malu-malu.
"Tentu."
Mendapat persetujuan, tanpa pikir dua kali si pirang ikut melepas sepatu. Dia menggulung celananya sebatas lutut, lalu duduk persis di sebelah anak itu dengan kaki tercelup ke dalam air. "Maksudmu dengan tempat rahasia, kau yang memiliki tempat ini?"
"Kenapa kau ke kota ini?" Tidak menjawab, anak itu justru balik bertanya.
"Keluargaku punya toko roti, dan di desa tidak begitu banyak penduduk. Sisa roti yang kami jual tidak pernah sedikit. Aku bahkan ikut memakannya setiap hari. Karena itu, ayah dan ibu memutuskan untuk pindah ke kota."
"Kau pikir jika pindah ke kota, rotimu akan habis?" tanya anak itu.
Naruto menggaruk belakang kepala ragu. "Sebenarnya aku tidak tahu." Lalu dia tersenyum lebar. "Tapi kata ayah kita harus mencobanya dulu, baru bisa membuktikan."
Anak itu diam sesaat, lalu membuka lagi mulutnya saat kaki Naruto tidak sengaja menyentuh telapak kakinya. "Berapa usiamu?"
"12 tahun, bagaimana denganmu?" sahut Naruto malu-malu.
"Lebih tua darimu beberapa tahun," sahut anak itu cepat.
Naruto merespon dengan 'oh' dari mulutnya. Setelah itu dia berbaring ke atas tanah menggunakan lengan sebagai peyangga kepala. Air danau yang segar, dan udara yang sejuk, entah mengapa membuatnya mengantuk.
"Apa yang kau lakukan?"
"Tidur."
Anak itu diam, mulanya hendak ikut merebahkan tubuh ke atas tanah, tetapi Naruto yang membuka mulut tiba-tiba membuat niatnya urung.
"Aku tidak punya teman di kota ini."
Butuh semenit bagi anak itu untuk menyahut, "Aku juga tidak punya teman."
Angin yang datang dari arah barat membuat rambut pirangnya bergoyang pelan. "Eh?" Naruto melirik tidak percaya. "Apa kau serius?"
"Tidak ada yang mau berteman karena jubah hitamku ini. Mereka berlari ketakutan setiap melihatku," sahut anak itu.
"Kenapa tidak dibuka saja?" usul Naruto. Jemarinya secara tidak sadar menyentuh kain yang terbuat dari satin. Hendak menariknya, tetapi tidak jadi. "Jubahmu ini?"
"Tidak bisa," sahut anak itu, "Ayahku bekerja untuk kerajaan. Semua orang kota mengenali wajahku, jika mereka melihatku pergi ke luar rumah seorang diri, mereka akan melapor pada penjaga. Aku tidak suka pergi bermain dengan penjaga, aku bukan anak kecil lagi. Tanpa jubah ini aku tidak bisa kabur dari rumah, atau berjalan-jalan di kota mencari udara segar, tapi dengan jubah ini juga aku tidak bisa berteman dengan siapa pun."
Naruto mengernyit. "Bukankah itu sama saja?"
"Hn, tapi setidaknya aku masih bisa pergi meninggalkan rumah."
"Kenapa kau mengatakannya seolah membenci rumahmu?" tanya Naruto penuh rasa ingin tahu.
"Aku tidak membencinya, hanya tidak suka," sahutnya terpotong. "Dan bosan," lanjutnya lagi.
Naruto memilih untuk tidak merespon. Dia membiarkan anak berjubah hitam berbicara lebih banyak.
"Setiap hari belajar, berlatih pedang dengan Master, lalu belajar lagi," ujar anak itu, "aku tahu melanjutkan posisi ayah di kerajaan setelah kami dewasa nanti adalah sebuah kewajiban, tetapi sepertinya sekeras apa pun berusaha, tetap saja itu tidak pernah memuaskan ayah."
"Kami?" tegas Naruto.
"Aku punya saudara laki-laki, karena itu kami harus bersaing, dan membuktikan pada ayah siapa yang lebih layak untuk menggantikan posisinya," sahut anak berjubah hitam pelan. Tiba-tiba saja dia menarik kakinya dari danau, lalu bangkit cepat-cepat mengenakan sepatu. "Maaf, aku harus pulang. Ayahku sebentar lagi kembali ke rumah. Kau bisa kembali seorang diri 'kan?"
Naruto ikut menarik kakinya dari dalam danau, mata mengikuti anak itu yang perlahan berjalan menjauhinya. Namun saat anak itu hendak memasuki celah, cepat-cepat Naruto membuka mulut. "Hey ... Aku bisa jadi temanmu. Aku tidak peduli dengan jubah hitam, atau ayahmu yang bekerja untuk kerajaan."
"Jangan meminta untuk jadi temanmu jika kau tidak benar-benar menginginkannya," sahut anak itu tersenyum sinis, "sampai jumpa besok."
Naruto tidak bergeming dari posisi yang sama. Anak itu sudah pergi meninggalkannya sejak tadi, tetapi matanya masih setia menatap ke satu titik yang sama—celah mulut gua. "Sulit sekali mencari teman, tapi bukankah tadi dia bilang sampai jumpa besok? Itu berarti dia akan menemuiku lagi, bukan?"
Naruto banyak bertanya pada dirinya sendiri. Lalu dia terdiam sesaat sebelum membuka kembali mulutnya lirih. "Belum tentu."
Tiba-tiba saja merasa tidak bersemangat. Si pirang bangkit dari atas tanah sambil membersihkan baju dari serpih tanah. Merasa tidak ada lagi yang mengharuskannya untuk diam di tempat, kakinya melangkah gontai untuk kembali ke rumah.
Besoknya.
Pertama kali yang dilakukan setelah membuka mata adalah; berlari keluar kamar, menghampiri ayah, dan ibunya untuk sarapan bersama, lalu membahas hal-hal seperti berapa banyak roti yang terjual habis hingga berapa orang baru yang dikenal mereka. Namun tidak sedikit pun Naruto membuka mulutnya tentang anak berjubah hitam.
Jika ditanya mengapa? Tentu dia punya alasan. Bukannya berbohong dari orangtua, hanya saja dia merasa belum saatnya. Lebih baik pergi ke kandang kuda, mengambil sikat dari tumpukan jerami, lalu menghabiskan waktu di sana karena Minato, Kushuna sibuk melayani pelanggan yang terus berdatangan, memaksa tungku perapian mereka terus bekerja, menciptakan aroma manis, dan gurih bercampur di udara.
Mulanya Naruto berniat ingin membantu, tetapi dia teringat oleh ucapan anak berjubah hitam kemarin. "Sampai jumpa lagi," ujarnya meniru.
Dia melirik ke arah kuda, jika ingin dia bisa saja pergi ke tempat rahasia itu saat ini juga, tetapi yang membuatnya ragu, dia tidak tahu apa anak berjubah hitam itu berada di sana.
Naruto menggeleng. Sikat pada tangan kembali dilempar ke atas tumpukan jerami. Dia tidak akan buang-buang waktu lagi, dia ragu anak itu benar-benar ingin bertemu dengannya lagi, karena itu memutuskan untuk membantu kedua orangtuanya hingga langit diwarnai oranye kemerahan, dipilihnya.
Besok.
Dan besoknya lagi.
Apa yang Naruto lakukan, hanya membantu orangtuanya bekerja. Di ambang pintu dia berdiri, menghitung sudah berapa banyak hari terlewati menjadi anak baik yang terus membantu kedua orangtua. Saat jemarinya menunjukkan digit lebih dari 3, hela napas panjang terdengar darinya.
Jika boleh jujur, dia masih tidak bisa menghapus kalimat yang diucap anak itu. 'Sampai jumpa nanti' yang membuatnya uring-uringan. Bahkan membuatnya hampir tidak nafsu makan.
Ragu antara pergi, atau tidak. Sulit baginya untuk memutuskan, satu sisi ingin teman, sisi lainnya tidak yakin ada yang mau menjadi temannya.
"Pergi, tidak, pergi, tidak, pergi, tidak ..., pergi?" Naruto menghela napas. Kancing bajunya yang ganjil memerintahkan untuk pergi, dan itu dirasa cukup untuk membuatnya melangkah ke arah kandang kuda.
'Bukan keinginanku, tetapi keinginan kancing baju. Jadi jika anak itu tidak di sana, ini bukan kesalahanku yang tidak menarik untuk dijadikan teman, tetapi kesalahan kancing baju' Naruto mengucapkan mantra itu berulang kali saat kakinya mengambil langkah.
Tali kekang dilepas, Naruto tidak lagi menunggu untuk memacu cepat ke arah timur. Namun senyum lebar di bibirnya menghilang perlahan melihat tidak ada kuda putih yang terikat pada pohon oak.
Hati si pirang mencelos, seharusnya dia sudah bisa menebak ini sejak awal. Apa yang dia harapkan setelah beberapa hari terlewati? Anak itu masih menunggunya dengan setia? Dia bahkan tidak se-spesial itu.
"Payah," gumam dari bibirnya terdengar pelan.
Kembali ke rumah terasa sangat membosankan. Meski anak itu tidak ada, dia memutuskan untuk menghabiskan waktu hingga makan malam tiba. Kuda diikat pada pohon oak, lalu kakinya melangkah pelan. Namun siapa sangka, ketika dia melewati celah, matanya menangkap anak laki-laki berdiri memunggungi.
Rambutnya sehitam arang, terlihat sangat kontras dengan lehernya yang pucat. Anak itu mengenakan jubah hitam panjang yang sama, dan jantung Naruto dibuatnya berdetak lebih cepat, karena membayangkan bagaimana wajah anak itu terlihat.
"H-hey!"
Naruto coba untuk melangkah mendekat, tetapi anak itu menarik penutup kepala cepat-cepat, untuk menutupi kepala beserta wajahnya.
Diam karena menyesal, seandainya mulut tetap rapat, mungkin saja dia bisa melihat seperti apa wajah anak itu.
"Siapa kau?! Apa yang kau lakukan di sini?!" Anak itu membentak. Tubuhnya tegang karena menjaga jarak, tangannya terkepal erat, dan wajah menunduk seakan menyembunyikan ekspresi.
"I-Ini aku Naruto," sahutnya terbata. "Beberapa hari yang lalu kita bermain bersama kau ingat? Kau membawaku ke tempat ini." Si pirang mencoba mendekat. Namun tiba-tiba anak itu menarik sebilah pedang yang tersampir di pinggangnya.
"Kenapa kau kembali?" Pedang yang mengacung dari tangannya tidak terlihat ragu untuk menebas kapan saja.
"A-Aku tahu kau pasti kesal! Kau bilang sampai jumpa besok, dan a-aku baru mengunjungimu sekarang," sahut si pirang terbata. "Aku ..., aku ingin menjadi temanmu, tapi kau bilang aku tidak sungguh-sungguh! Aku ingin tahu siapa namamu, seperti apa wajahmu, dan yang lainnya karena aku benar-benar ingin menjadi temanmu! A-aku tidak punya teman di kota ini, kau tahu itu!"
"Kupikir kau tidak akan kembali seperti mereka." Anak itu menurunkan pedangnya perlahan. Suaranya terdengar sangat pelan. Namun Naruto masih bisa mendengarnya dengan jelas. "Aku akan memberitahu namaku jika kau benar-benar ingin menjadi temanku."
"A-Aku benar-benar ingin menjadi temanmu!" sahut Naruto cepat. "Aku sungguh-sungguh ingin jadi temanmu!"
Anak berjubah hitam tidak merespon. Dia melangkah mendekat, sangat dekat, hingga Naruto merasa jantungnya berdetak lebih cepat.
"A-Apa yang kau lakukan?"
"Itachi."
"Huh?" Naruto menatap ke arah anak itu, "Itachi?" ulangnya.
Bersamaan dengan anak berjubah hitam yang mengangguk pelan, Naruto tersenyum lebar, hingga kelopak matanya menutup. "Aku akan ingat itu baik-baik."
Anak itu, tidak merespon.
Mereka melangkah menyusuri jalan setapak, di tepi danau mereka berdiri, lalu keduanya saling berhadapan.
"Kau mau main?"
Bukan sahut verbal yang Naruto dapat, melainkan pedang dari baja dilempar ke arahnya. Warnanya kehitaman, tapi Naruto tahu jika itu bukan karat.
"Kau bisa membantuku berlatih pedang," ujar anak itu yang terdengar lebih seperti perintah.
Memungut pedang dari atas tanah, alis Naruto mengernyit. Pedang yang terlihat berat. Namun sangat ringan ketika berada di genggaman. "Sebenarnya aku tidak bisa. Aku belum pernah mengangkat pedang sebelumnya."
"Ini tidak sulit." Anak itu menarik pedang miliknya yang tersampir di pinggang, mengacungkannya ke arah Naruto, sama seperti beberapa menit yang lalu.
Naruto tidak tahu apa yang harus dilakukan. Dia menatap anak berjubah hitam ragu.
"Ayo cepat. Master tidak suka anak yang lemah," desak anak itu.
Genggam tangannya mengerat, Naruto sadar provokasi anak itu pada dirinya berhasil. "Aku tidak lemah!" bentaknya, "aku takut melukaimu, karena aku tidak tahu bagaimana cara bertarung!"
"Itu sama saja. Kau lemah, dan akan selamanya lemah!" Anak itu menebaskan pedangnya. Namun meleset karena Naruto menahan serangannya lebih dulu.
"Hentikan! Aku tidak ingin membantumu berlatih pedang, aku takut melukaimu!"
"Jangan meremehkanku," sahut anak berjubah hitam. Dia mengambil satu langkah ke belakang hendak menebaskan lagi pedangnya ke arah Naruto. Namun tubuhnya limbung karena kaki yang tersangkut akar pohon, dan pedang dalam genggam menebas sisi dalam lengan kiri tanpa izin, merobek daging cukup dalam hingga darah segarnya deras mengalir.
"AAGHHH!"
Pupil Naruto membulat sempurna. Darah segar yang menetes ke atas tanah membuat tubuhnya gemetar. Matanya tidak berhalusinasi, pedang itu benar-benar merobek dalam hingga dia bisa melihat daging kemerahan yang tidak henti mengeluarkan darah.
"I-Itachi!" Pedang dilempar dari genggam tangan, dia berlari menghampiri. Namun anak itu terlihat berusaha menjauh darinya. "Itachi! Aku akan meminta bantuan tunggu aku di—"
"Tidak!" potong anak berjubah hitam membentak. "Tidak! Tidak! Tidak! Aku bilang tidak! Ayah akan membenciku jika dia mengetahui hal ini!"
Naruto menggeleng. Dia tidak bisa melihat anak itu menahan sakit bersimbah darah di sekujur tubuh. "Kalau begitu tunggu di sini, aku akan mengambil kain, dan obat dari rumah!"
Secepat kilat kudanya dipacu kembali ke rumah. Bahkan Minato, dan Kushina dibuat heran melihat tingkah lakunya, tetapi dia tidak punya banyak waktu untuk menjelaskan. Cepat-cepat mengambil beberapa kain, dan serbuk berwarna hijau tua dari dalam kotak kayu dirasa lebih penting karena dia berpacu dengan waktu.
Sayangnya, saat dia kembali ke tepi danau, anak berjubah hitam itu tidak lagi ada di sana.
.
Makan malam kali ini terasa begitu hening, Naruto tidak mau membuka mulut. Bahkan saat kedua orangtuanya mencoba mengajaknya bicara. Dia masih memikirkan bagaimana keadaan anak itu; ke mana dia pergi? Bagaimana luka di tangannya? Apa dia baik-baik saja?
"Naruto kau tidak menghabiskan makan malammu?" Kushina lagi-lagi bertanya, nada cemas terdengar jelas pada kalimatnya, sedangkan Minato hanya bisa diam mengamati. "Sebenarnya ada apa? Kau bisa bicara dengan kami jika kau mau, sejak sore tadi kau terlihat seperti tidak biasanya."
Naruto mengangkat wajahnya untuk menatap Kushina lembut. Dia ingin bicara sejujurnya, tetapi suaranya hilang, seakan terkunci jauh di dalam kerongkongan.
"Apa kau tidak percaya pada ibu, dan ayah? Naruto apa ka—"
Ketukan terdengar dari arah pintu utama. Kushina yang tidak lagi melanjutkan kalimat memilih untuk menatap Minato bingung. Ini sudah terhitung cukup larut untuk pelanggan berkunjung, lagi pula toko roti mereka sudah tutup sejak matahari terbenam tadi.
"Biar aku saja," ujar Minato bangkit dari atas kursi, dia melangkah ke arah pintu lalu membukanya.
Sang ayah yang berdiri di ambang pintu tidak menyulitkan Naruto untuk bisa melihat ada tiga orang penjaga di sana, berdiri di depan pintu rumahnya dengan wajah yang terlihat sangat tidah ramah.
"Kami harus membawa putramu."
Kushina mengernyit tidak mengerti, tetapi dia tahu telinganya tidak salah dengar. Perlahan dia menggeser tubuh Naruto ke samping, lalu melangkah menghampiri Minato. "Apa maksud kalian?"
"Ini sudah larut. Kami tidak mengizinkan putra kami pergi, apa pun itu alasannya," sambung Minato berusaha bersikap normal, meski rasa panas mulai memenuhi dada.
"Putra kalian melukai salah satu anggota keluarga Uchiha, hingga tangannya terluka parah," sahut salah seorang penjaga.
"Tidak!" teriak Naruto berlari menghampiri. Namun Kushina sudah menarik tangannya terlebih dahulu untuk memeluknya. "Aku tidak melukainya! Kalian salah! Aku membantunya! Aku berusaha menolongnya!"
"Naruto tidak mungkin melukai orang lain, kalian jelas salah!" sergah Kushina.
Ketiga penjaga saling menatap, lalu mereka mengangguk.
"Ini perintah. Kami tidak akan memperlakukan kasar jika kalian tidak membantah," ucap salah seorang penjaga, memandang sinis ke arah Kushina. "Bawa anak itu," sambungnya lagi.
Kushina mengeratkan pelukan hingga jemarinya pada tubuh Naruto memutih. "Tidak! Aku tidak akan menyerahkan putraku!"
"Kami tidak bisa menyerahkan putra kami begitu saja!" sergah Minato menahan kedua pria yang mencoba mendekat. "Kami tahu Naruto tidak mungkin berani untuk melukai seseorang, apalagi dari keluarga Uchiha."
"Tahan kedua orangtuanya."
Dua orang penjaga mengeluarkan pedang. Sisi tajamnya diacungkan ke arah Minato, dan Kushina tanpa ragu sebelum memisahkan mereka paksa, dengan tangan diikat ke belakang. "Cepat, bawa anak itu."
"Brengsek! Jangan sentuh Naruto!" Minato mencoba melawan. Namun mata pedang yang tertempel di lehernya membuatnya sulit bergerak.
"Tidak! Tidak! Minato lakukan sesuatu!" Kushina menjerit, dia tidak mampu lagi menahan air matanya ketika melihat salah seorang penjaga menarik paksa lengan Naruto, dan menyeretnya keluar rumah.
"Ibu!" teriak Naruto ketakutan, masih menoleh ke arah orangtuanya, berharap jika mereka mampu menolongnya.
"Naruto! Tidak! Tunggu! Jangan bawa Naruto! Tidak! Naruto! NARUTO!" Kushina menggeleng cepat. Berkali-kali lengannya ditarik, tetapi usahanya sia-sia. Seorang wanita tidak akan mampu melawan dua orang pria bersenjata.
"Cepat jalan! Kau membuang waktuku," bentak penjaga, menyeret tangan Naruto ke arah kuda miliknya.
"Aku tidak melukainya, aku sama sekali tidak melukainya paman!" Naruto menunduk. Dia tidak tahu ke mana para penjaga akan membawanya, atau akan seperti apa nasibnya nanti. Dia ingin menangis, tetapi ayahnya pernah bilang jika anak laki-laki tidak seharusnya menangis.
"Katakan itu pada Uchiha nanti. Aku tidak ingin punya urusan denganmu, Uchiha bisa membunuhku jika perintah mereka tidak dijalankan sempurna," sahutnya, "jika kau tahu akan jadi seperti ini sudah seharusnya kau tidak mencari masalah anak muda."
Naruto bisa merasakan cengkram erat pada lengannya melonggar. Namun belum sempat dia bertanya, tubuhnya sudah lebih dulu terhempas dari atas kuda ke atas tumpukan jerami.
"Kau tunggu di sini. Kalau sampai berani kabur, kau akan tahu akibatnya nanti," ancam si penjaga mengacungkan jari telunjuk.
Naruto menatap takut ke arah pagar kayu yang lebih tinggi darinya dengan rantai besi mengikat sekeliling. Tanpa harus melihat sekitar, dia tahu mereka menyekapnya di dalam kandang kuda. Tumpukan jerami, garpu besi, dan wadah kayu berisikan air, itu sudah lebih cukup untuk mengetahui di mana dia berada sekarang.
"Ibu," bisiknya pelan.
Dia tidak menyangka semua akan berakhir seperti ini, disekap dalam kandang kuda karena kejahatan yang bahkan tidak dia lakukan. Apa karena dia dari desa? Apa karena ayah Itachi bekerja untuk kerajaan? Apa mereka berhak menghukum siapa pun tanpa ada rasa adil?
"Aku mau pulang," lirihnya pelan. Dia memeluk kedua kaki, menunduk dalam, berusaha sangat keras untuk menahan air matanya menetes, tetapi perhatiannya terbagi saat suara besi yang diadu terdengar dari arah luar.
Naruto mengangkat wajah, alis mengernyit penuh waspada. Dia bisa mendengar suara langkah kaki kian mendekat ke arahnya. Semakin dekat, dan dekat, membuatnya takut hingga matanya paksa dipejam. Dia merasa mungkin ini saatnya untuk mati, tetapi bukan bentak didengar dari para penjaga, telinganya justru mendengar bisik seorang wanita, memanggil namanya pelan.
Bisik lembut yang membuatnya membuka mata karena tahu siapa si pemilik suara sejak lama.
"Ibu?" Mata Naruto menatap ngeri. Sosok Ibunya yang lembut kini terlihat berberda dengan darah melumuri seluruh permukaan tubuh, berdiri tepat di depan pagar kayu, barusaha membuka ikatan rantai dengan kunci di tangan kirinya. Aura membunuh yang sangat mendominasi telah menghapus semuanya. Tidak ada lagi cinta, dan kasih sayang terpantul dari kedua mata yang biasa menatapnya lembut.
"Jangan banyak bicara Naruto," desisnya pelan. Kushina menarik ikatan rantai terakhir sebelum membuangnya ke sembarang arah. "Pergi dari sini." Suaranya bergetar ketika dia menarik paksa Naruto keluar dari dalam kandang. "Ibu, dan Ayah akan mengurus semuanya, kau tidak perlu khawatir."
Kushina tersenyum, tetapi Naruto tahu itu bukanlah senyum bahagia."Ibu ..., kenapa ka—"
"Kau harus cepat pergi." Kushina mendorong kasar tubuh Naruto ke arah pintu. "Ayo pergi dari sini!"
"I-Ibu ..., bagaimana dengan ibu? Ayah?"
"Mereka akan membunuhmu Naruto!" Air mata Kushina menetes deras membasahi pipi. "KUBILANG PERGI! PERGI! CEPAT PERGI DARI SINI, DAN JANGAN PERNAH KEMBALI!"
Pupil Naruto membulat. Tubuhnya bergetar hebat saat kakinya mengambil langkah mundur perlahan. Dia tidak percaya, hatinya menolak mentah-mentah, tetapi tangis Kushina yang pecah membuatnya bingung harus mempercayai otak, atau hatinya.
"M-Maaf," gumamnya, "maafkan aku ibu!"
Dengan itu dia berlari tanpa arah, terlalu cepat hingga membuatnya terjatuh. Dia berusaha bangun. Namun seluruh tubuhnya terasa lemas. Tangannya hanya bisa mengepal, air mata yang ditahan sedari tadi menetes dari sudut matanya hingga membuatnya terisak.
"Maafkan aku Ibu, ayah!"
Dia terus berlari. Berkali-kali menghapus air mata, tetapi masih saja merasakan tetes asin itu kembali membasahi pipi. Pandangan matanya buram, dia tidak bisa melihat dengan jelas. Bahkan ketika seseorang berdiri tepat di hadapannya.
Naruto terjatuh lagi. Cepat-cepat air matanya dihapus, lalu matanya menangkap sosok anak laki-laki bersurai hitam, berkulit pucat, berdiri tepat di hadapannya.
"I-Itachi?" Pupilnya kembali membulat sempurna, rasa takut lagi-lagi menghampiri. Dia merasa familiar dengan sosok itu. Namun tidak begitu yakin.
Anak laki-laki itu menggeleng. Tidak ada ekspresi di wajahnya saat dia menjawab. "Aku Sasuke."
"A-Aku tidak melukai Itachi!" Naruto bangkit dari atas tanah cepat-cepat, sepasang mata menatap takut dengan alis mengernyit sebelum berlari meninggalkan Sasuke yang menatapnya tanpa ekspresi dari arah belakang.
"Aku tidak melukai siapa pun!"
.
Continued