[ Chanson d'Amour ]

Minimon 1st Giveaway Winner Fics

Category: "Minimon's Choice"

Supernova •

2015 © Eclaire Delange

.

.

#

"Simpel; layak buat difavoritin." (chevalo)

Shoutout to one of our Minimon 1st Giveaway Favourite Picks, Gallang a.k.a Eclaire Delange!

Ini dia nih, salah satu pemenang giveaway kita kemaren. Udah pada tau dong ya ma author kece ini dari karya-karyanya yang ulala bikin gemuruh di dada, apalagi yang satu ini yuhuu. Oke, langsung aja abisin basa-basi buang penasaran, check this out!

(Note: telah diedit secara teknis. (cuman dirapihin dikittt aja gitu, tanda koma di akhir kalimatnya banyak diganti tanda titik aja, udah itu aja hehe))

p.s. Chanson d'Amour [ france ]: Love Song (why 'Love Song'? karena kalo katanya springyeol-ssi sih judul 'Supernova' (dan 'Lost Stars' di chapter 2) tuh mungkin based on lagu yang pernah di-cover (?) oleh Jungkook gitu. hope that explains wqwq.)

feedbacks (reviews/supportive critics etc.) are highly appreciated and all dedicated to the winner (not me ofc), so don't forget to leave yours ^^ enjoy!

.

.

.

.

.

.

.

#

I own this story entirely but the casts.

Jika Anda tidak menyukai jenis cerita ini atau alur yang saya buat atau bahkan casts yang saya pilih, silakan tinggalkan halaman ini. Saya tidak pernah memaksa Anda untuk membacanya lalu meninggalkan review tidak menyenangkan diakhir.

Remember, there's a clear difference between 'copying' and 'inspired'.

And as always, I'm watching you, Plagiarists.

(This is a pure fanfiction; no profit is taken by author)

.

And I thought I saw you out there crying

And I thought I heard you call my name

But are we all lost stars trying to light up the dark?

Are we all lost stars trying to light up the dark?

[Lost Stars – Maroon 5 (Covered by Jungkook of BTS)]

This fiction is also inspired by an old flim, Crossroad.

.

Jeon Jungkook tumbuh besar bersama musik.

Hidupnya—sepanjang umurnya, terpapar pada musik. Dia bernapas bersama setiap jengkal nada yang dimainkan ayahnya, setiap desibel yang dinyanyikan ibunya, dan tiap petikan kunci yang dimainkan kakak lelakinya. Dia tumbuh dengan kepekaan terhadap suara yang luar biasa. Dia punya nada sempurna yang memungkinkannya membedakan setiap nada dari satu permainan bahkan juga memisahkan mereka menjadi beberapa pita suara indah yang menari di sekitarnya. Jungkook punya pendengaran yang tajam untuk bisa mengetahui seberapa indah permainan seseorang dan seberapa amatir permainan orang itu walaupun dirinya sendiri tidak terlalu bagus dalam bermain musik namun dengan modal nada sempurnanya, Jungkook sudah terkenal dimana-mana.

Selain dari keluarganya, Jungkook juga memiliki figur yang memberikannya pengaruh besar dalam hal musik. Pianis paling berbakat sejak umurnya sebelas tahun, pemuda yang selalu berdiri di panggung dengan senyuman secerah matahari menerima penghargaannya, pemain piano yang selalu memejamkan mata dan tersenyum saat menikmati permainannya sendiri. Jungkook tidur dan terjaga bersama setiap denting piano yang dimainkannya, bersama suara beratnya yang menyanyi memabukkan seolah mendengkur meninabobokan Jungkook yang kelelahan, pemuda yang sama yang membuat Jungkook akhirnya memutuskan untuk masuk Julliard.

Mencarinya.

Mencari Kim Taehyung.

Pemuda yang punya rambut ungu keperakan cantik yang menyala-nyala di bawah sorot lampu di panggung saat duduk di balik grand piano raksasanya dan menyihir satu ruangan agar bersamanya menari di dalam dunia yang tak kasat mata. Dia selalu berhasil membuat Jungkook gemetar dan nyaris orgasme karena keindahan musiknya.

Taehyung bukan pemuda yang sombong, apalagi angkuh. Dia selalu bisa ditemukan sedang duduk di taman depan Julliard, dengan gitar di tangannya dan menemani semua adik tingkat yang ingin mewawancarainya tentang musik. Dia akan menjawab semua pertanyaannya dengan ceria, menjelaskan dengan tenang, sesekali menghadiahi mereka gubahan lagu yang indah dan sempurna. Jungkook akan berdiri di kejauhan; memejamkan mata dan menikmati kesempurnaan nada yang dimainkan Taehyung.

Namun Tuhan ternyata tetap memberikan cobaan pada semua ciptaannya bahkan saat ciptaannya yang sempurna itu bertingkah laku sama sempurnanya. Suatu hari yang cerah di pertengahan musim panas, anak-anak Julliard memutuskan untuk berkemah bersama. Keluar sejenak dari kesibukan New York untuk menikmati pegunungan dan udara lembap. Mereka melakukan hiking bersama sekitar dua puluh orang lelaki. Jungkook ada di antaranya, bersama Taehyung yang juga menikmati acara itu. Walaupun mencintai Taehyung semenjak kecil, Jungkook belum pernah sekali pun berani menyapanya. Dia selalu menjadi penggemar rahasia Taehyung yang ada dimana pun dia berada dan menatapnya dengan sorot penuh pemujaan.

Dan saat mereka menuruni bukit sebelum kembali ke hotel dan keesokan harinya kembali ke New York, seseorang terperosok ke jurang. Jungkook menjulurkan tangannya berusaha menyelamatkan pemuda itu namun Taehyung jauh lebih sigap. Dia melompat ke tepi jurang dan menjulurkan tangannya meraih tudung jaket yang digunakan pemuda itu. Namun tidak cukup tepat dan cepat karena tanah di bawah tubuh Taehyung menggeram dan luruh. Keduanya jatuh terguling ke dasar jurang.

Pemuda yang terjatuh itu mengalami gegar otak level dua dan mendapat perawatan intensif selama empat bulan di rumah sakit lengkap dengan perawatan lanjutan selama tiga bulan untuk meredakan trauma pasca-kecelakaan dan melatih saraf motoriknya.

Taehyung hanya berada di rumah sakit sekitar tiga bulan kurang-lebih. Jungkook selalu muncul di rumah sakit walaupun tidak pernah memasuki kamarnya yang tertutup sesak oleh kesedihan. Bukan karena Jungkook malu, bukan juga karena Jungkook pengecut; bukan. Tetapi karena Kim Taehyung, pianis paling berbakat selama satu dekade terakhir ini, terbangun dalam mimpi paling buruk yang bahkan tidak pernah dibayangkannya sama sekali.

Kim Taehyung kehilangan kedua tangannya.

.

.

Please don't see just a boy caught up in dream and fantasies…

Dalam kecelakaan itu, tulang belakang Taehyung terganggu dan mengakibatkan komplikasi ke bagian saraf yang menjalar ke otaknya dan itu mengakibatkan disfungsi kedua tangannya. Benda itu tergantung di lengannya tanpa bisa digunakan selamanya. Warnanya sedikit kebiruan oleh lebam yang tercipta saat kecelakaan. Selama Taehyung dirawat di rumah sakit, Jungkook tidak pernah berani memasuki kamarnya. Sekali dua kali, saat kebetulan Jungkook tiba di sana sebelum gelap dan jam kunjungan habis, dia mendengar Taehyung menangis.

Jenis tangisan yang membuat hati Jungkook teriris. Jenis sengal yang membuat Jungkook berhenti di depan pintu dan bersandar di sana; memejamkan mata dan mendapati dirinya juga menangis satu menit kemudian.

Sama perihnya, sama pedihnya.

Dunia musik adalah hutan dengan persaingan untuk bertahan hidup yang besar. Begitu media mendengar kabar Taehyung, dunia seketika berpaling darinya. Pada hari pertama, ada setumpuk bunga turut berduka cita di kamarnya, namun seminggu kemudian bunga itu layu dan orang-orang berhenti bersimpati. Taehyung ditinggalkan seorang diri dengan sisa-sisa bakatnya yang tidak akan pernah bisa didengarkan orang-orang dari tangannya sendiri lagi.

Dan hari itu, dua hari sebelum Taehyung diizinkan keluar dari rumah sakit dan mengasihani dirinya sendiri, Jungkook memutuskan untuk memasuki kamarnya yang lembap dan sesak oleh kesedihan. Taehyung sedang duduk di ranjangnya, makanan yang tidak disentuh, bunga mawar dari Jungkook yang separo layu, dan infus yang menacap di kakinya.

"Taehyung-sunbae," panggil Jungkook saat itu di depan pintu; tidak berani memasuki teritorial Taehyung lebih dari itu. Di tangannya ada sekeranjang buah dan beberapa tangkai bunga anyelir yang aromanya begitu lembut dipadukan dengan warna merah manyala poppy rapuh disela-sela warna pucat anyelir.

Taehyung sejenak menolak menatapnya sebelum menoleh; mengusahakan senyuman kecil yang menusuk hati Jungkook sebelum mengangguk. "Halo, Jeon Jungkook," sapanya dengan suara dalamnya yang serak. "Datang lagi? Dan kali ini masuk," dia melirik bawaan Jungkook.

Mendengarnya, Jungkook merona samar. "Sunbae tahu?" tanyanya sedikit kaget sekaligus malu bukan main ternyata Taehyung menyadari kehadirannya di balik dinding kamarnya.

"Kau sering kali menangis jauh lebih lama dari tangisku," katanya tersenyum dalam keramahan yang lemah; dia kelihatan kurus dan benar-benar tersiksa. "Dan aku bisa mendengar isakanmu sekali-dua kali," dia lalu mendesah menatap kedua tangannya yang terkulai di pangkuannya sebelum menatap Jungkook. "Kebetulan kau di sini, bisakah aku minta tolong memijitkan tombol merah pemanggil perawat? Aku perlu mereka."

Jungkook mendekat dan meletakkan bawaannya di atas meja. "Apa yang bisa kubantu? Aku akan melakukannya untukmu," desaknya menolak melirik tombol merah di atas remote mungil di atas meja. Dia ingin menghibur Taehyung dan membantunya mengerjakan apa saja yang bisa dikerjakan kedua tangannya saat ini.

"Bisakah?" tanya Taehyung tersenyum padanya; senyumannya mulai pudar, Jungkook tahu. Tidak ada cahaya terang sama sekali di senyumannya kali ini. Tidak seperti semua senyuman yang diingat Jungkook saat dia mengamati Taehyung dari kejauhan. Tidak ada binar brilian lagi di sana. Hanya senyuman kosong yang menunjukkan betapa kosong jiwanya tanpa kemampuannya bermain piano.

"Aku akan berusaha," Jungkook mengangguk penuh tekad.

Taehyung sejenak mengamatinya sebelum meringis kecil; sadar dia tidak punya pilihan lain selain mengizinkan Jungkook melakukannya. "Bisakah kau membantuku ke toilet?"

Seketika itu juga rona merah menyebar di atas permukaan wajah Jungkook. Dia merasa darah berdesir dengan keras dari otak ke ujung kakinya. Membayangkan dirinya memapah Taehyung ke toilet dan membantunya membuang urin mungkin bukanlah masalah yang besar. Namun, bagi seorang homoseksual seperti Jungkook, itu jelas masalah. Taehyung mungkin lelaki sehat dengan orientasi seksual selurus penggaris, namun Jungkook adalah seorang homoseksual. Melewatkan masa remajanya untuk mengikuti bimbingan atas penyimpangannya, dia tidak pernah dihadapkan pada pilihan sesulit ini.

"Aku biasanya menggunakan pispot tapi kurasa hari ini aku cukup sehat untuk berjalan sedikit ke toilet." Tambah Taehyung mengamati ekspresi Jungkook yang terlihat seperti penderita wasir sebelum tertawa kecil yang lemah. "Pijit saja tombol merahnya, Jeon, kau tidak harus melakukannya," dia melirik remote mungil di atas meja, di dekat keranjang buah Jungkook.

Jungkook menghela napas. "Kau sehat," katanya pada dirinya sendiri di dalam hati sebelum menggeleng dan mendekat ke ranjang Taehyung. "Aku akan membantumu, Sunbae," katanya lalu menjulurkan kedua lengannya ke tubuh Taehyung yang kurus.

Taehyung mengamatinya sejenak sebelum tersenyum kecil dan mendorong torsonya mendekat ke Jungkook yang bergegas menerima berat tubuhnya yang sejujurnya terasa seringan bulu; dia membantu Taehyung turun dari ranjang. Melingkarkan lengannya di lehernya sendiri dan menyeimbangkan pemuda itu di sisinya; sejenak mereka berdiri untuk membiarkan Taehyung siap sebelum dengan lembut Jungkook membimbingnya ke toilet mungil.

Setiap langkah yang mereka ambil membuat Jungkook mulas. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi di dalam bilik mungil itu. Apakah dia sudah cukup normal untuk ini? Psikolognya menyatakan dengan jelas bahwa Jungkook tidak bisa sembuh; dia adalah seorang natural born gay. Sekali menyimpang, Jungkook akan selamanya begitu. Dan sekarang dia harus menemani Taehyung membuang urin.

Kegiatan sederhana yang bisa saja membuat Jungkook mati berdiri.

Di dalam bilik mungil lembap itu, Taehyung berdiri di depan toilet dan memandangi Jungkook yang seketika merasakan keringat dingin terbit di keningnya. Dengan lembut dan tangan yang gemetar, Jungkook mulai menyingkap pakaian rumah sakit Taehyung yang menggantung asal-asalan di tubuhnya yang kurus; kelihatan memamerkan tulang selangkanya yang berbogol-bogol. Dia memejamkan mata saat tangannya mulai membantu Taehyung dengan kegiatan sederhana itu. Dua menit yang terasa dua tahun saat akhirnya dia memapah Taehyung kembali ke ranjangnya.

Dan saat dia permisi untuk keluar sejenak menenangkan hormon menyimpangnya, Taehyung menatapnya dengan intens sebelum tersenyum.

"Aku tahu kau seorang homoseksual, Jeon Jungkook. Dan aku juga tahu, kau selalu di sana—di mana pun aku berada." Dia lalu menambahkan dengan sangat lembut. "Terima kasih."

.

Dan sekarang sudah sebulan Taehyung tidak pernah terdengar kabarnya sama sekali. Dia menyembunyikan dirinya dari simpati dunia di suatu tempat yang bahkan Jungkook sendiri tidak tahu di mana. Ketidakhadiran Taehyung membuat nilai-nilai Jungkook anjlok besar-besaran, ancaman DO dilayangkan dekanat Julliard pada Jungkook yang mengais semangatnya untuk belajar setelah Taehyung pergi. Dalam tidurnya, Jungkook masih mendengarkan permainan cerdas Taehyung. Dia begitu merindukan Taehyung hingga rasanya sakit sekali.

Dia memutuskan untuk mengundurkan diri dari Julliard bulan berikutnya dan memulai pencarian atas Taehyung. Dia bertanya dan menghubungi siapa saja yang mungkin mengetahui keberadaan Taehyung, dan dia benar-benar berusaha menemukan seniornya dengan seluruh kekuatannya sebelum dia akhirnya menemukan pemuda itu bersembunyi di sebuah rumah perawatan untuk orang-orang cacat.

Meringkuk di atas kursi rodanya dan seorang perawat mungil yang selalu siap dipanggil kapan pun dia membutuhkannya. Perawat yang kemudian diminta Jungkook untuk meninggalkan ruangan saat dia akhirnya menemukan Taehyung. Dia sudah tidak kembali ke apartemennya selama sebulan begitu memulai pencariannya atas Taehyung, tidak tersentuh peradaban sama sekali; dia bahkan tidak mencukur jambangnya sama sekali dan sekarang yang berdiri di hadapan Taehyung adalah Jungkook yang sama sekali berbeda.

"Kenapa kau memutuskan untuk bersembunyi?" tanya Jungkook begitu dia mendapatkan perhatian Taehyung sepenuhnya.

"Kenapa menurutmu aku harus memunculkan diri?" balas Taehyung menatapnya; matanya yang gelap melirik jambang Jungkook sebelum tersenyum kecil. Sedikit terhibur. "Ke kamar mandilah, aku punya alat cukur dan aftershave untuk kau gunakan. Persiapkan dirimu untuk percakapan yang beradab, Jeon," katanya lalu memalingkan wajah; mengizinkan Jungkook untuk mengurus dirinya.

Jungkook beranjak ke kamar mandi; mengamati dirinya sendiri untuk pertama kalinya di cermin yang jernih dan merasa malu bukan main. Dia kelihatan begitu kotor dan tidak terurus; bagaimana bisa Taehyung tidak tertawa melihatnya? Dengan cekatan, dia meraih pisau cukur dan membubuhkan krim cukur di wajahnya. Menyapu krim itu bersama semua jambangnya sebelum mendesah lega mendapati wajahnya yang bersih. Dia menuang aftershave di kedua belah telapak tangannya dan menepuk-nepukannya dengan lembut ke kedua belah pipinya.

Setelah beradab, dia keluar dan menemukan Taehyung menunggunya dengan sebuah buku di pangkuannya. Perawat yang tadi diusir Jungkook sekarang berdiri di sisinya dengan senampan makanan.

"Apa yang kauinginkan dariku?" tanya Taehyung saat Jungkook berdiri di depannya dengan tekad yang berkobar-kobar.

"Membawamu kembali." sahut Jungkook seketika itu juga dan Taehyung terkekeh serak. "Kembali? Ke mana?" tanyanya menatap Jungkook yang balas menatapnya dengan sedikit terpana.

"Kembali… ke tempatmu yang seharusnya." Jungkook memandangi kamar Taehyung yang terang dan sedikit kumuh; jelas bukan ini masa depan yang dibayangkan Jungkook untuk seseorang yang menemaninya dengan nada-nada sempurna.

"Di mana tepatnya?"

"Bersama semua orang yang mencintaimu."

Dia mengamati Jungkook sejenak penuh spekulasi. "Seberapa sempurnanya nadamu?" tanya Taehyung kemudian.

"Aku ingat kau pernah memainkan Piano Sonata no. 16 milik Mozart dan nada C-mu melenceng dari yang seharusnya karena kau lupa menyetel pianomu dua tahun lalu."

"Kau lulus," kata Taehyung setenang pertapa dan melirik buku di pangkuannya. "Dan jika kau berkenan, ambilah buku ini. Aku ingin kau mempelajari salah satu dari dua puluh lima lagu ini dan kembali ke padaku dengan permainan terbaikmu sebelum aku bisa mempertimbangkan untuk kembali ke dunia yang kejam itu bersamamu."

.

.

Please see me reaching out for someone I can't see…

Jungkook menghantamkan kepalan tangannya dengan marah ke atas piano yang menjeritkan nada sumbang ke udara.

Dia sudah menghabiskan tiga bulan yang berharga untuk mempelajari satu lagu Taehyung namun tidak juga pernah bisa berhasil memainkannya dengan sempurna. Nada sempurnanya luar biasa, tetapi tangannya sama sekali tidak diciptakan untuk menunjang kemampuan nadanya yang sempurna. Dia hanya bisa membedakan tanpa benar-benar bisa bermain dengan baik. Dia sudah nyaris mematahkan kedua tangannya saat berlatih dengan grand piano raksasa yang disetel Taehyung sebelum kecelakaan naas itu, dan jelas nadanya sudah tidak benar semua. Jungkook bisa menyetel nada dengan baik, tapi saat kesepuluh tangannya menyentuh tuts dia langsung merasa seputih kertas. Bahkan jauh lebih putih.

Dia tidak bahkan tidak bisa memainkan baris pertama dengan sempurna sama sekali.

Jungkook mengacak rambutnya sendiri sebelum terkulai di tempat duduknya dan mendesah keras. Keningnya jatuh menghantam tuts dengan suara keras; rasa sakitnya diabaikan karena air mata sedang meluruh di pipi Jungkook. Dia merasa bodoh dan sangat tidak berguna. Dia ingin membawa Taehyung kembali ke dunia di mana dia seharusnya berada dan bukannya bersembunyi selamanya dari apa yang seharusnya diterimanya. Jungkook bahkan rela mengundurkan diri dari Julliard demi Taehyung; demi membawanya kembali ke dunia dan menunjukkan pada dunia yang selama ini mencerca Taehyung bahwa dia bisa berdiri kembali.

Taehyung adalah pianis terbaik sepanjang abad.

Tidak ada yang boleh melupakannya sama sekali—walaupun Taehyung sendiri yang memaksa semua orang melupakannya, Jungkook takkan pernah mengizinkan itu terjadi.

Jungkook mengangkat wajahnya dengan tekad baru yang berkobar di matanya, dia harus melakukan ini.

Dia harus membawa Taehyung kembali.

Dunia tidak boleh melupakan kehebatan dan kesempurnaan Taehyung sama sekali.

Jungkook menegakkan duduknya dan menghadapi tuts yang sejak tadi menatapnya penuh cemooh; kali ini dia akan melakukan hal terbaik yang bisa dilakukannya bahkan jika semua jemarinya berdarah karena berusaha, dia tidak peduli. Dia harus membawa Taehyung kembali apa pun yang terjadi. Jika Taehyung tidak bisa bermain, maka Jungkook yang harus mampu menciptakan kesempurnaan yang sama untuk Taehyung.

Dia menjauhkan buku Taehyung sebelum memejamkan matanya sejenak dan mulai bermain…

dengan seluruh hatinya.

.

.

Turn the page, maybe we'll find a brand new ending…

Jungkook bisa melihat betapa terkejutnya Taehyung saat dua bulan kemudian dia muncul dengan gitar tersandang di bahunya. Pemuda itu sedang duduk di ranjangnya dengan penyangga buku di depannya dan sedang disuapi puding oleh perawat pribadinya; pemuda mungil yang sangat efisien. Jungkook sudah lama mengabaikan bagaimana dia berada begitu dekat dengan Taehyung yang dipujanya.

"Aku memintamu bermain piano, kan," katanya begitu Jungkook duduk di depannya lalu mengeluarkan gitar akustiknya yang sudah kusam oleh usia. Dia menyetel senarnya tanpa benar-benar memperhatikan Taehyung yang sedang menikmati waktu berkualitasnya.

"Aku bodoh sekali tentang piano," kata Jungkook seraya menatapnya dengan intens. "Jadi, aku memutuskan untuk mencoba memberikanmu sesuatu yang baru."

Taehyung menatapnya. "Julliard jurusan apa?" tanyanya.

"Dulunya jurusan vokal," kata Jungkook seraya menyetel senarnya sementara Taehyung di depannya mengerutkan alis.

"Dulunya?"

"Aku mengundurkan diri."

"Kenapa kau mengundurkan diri?"

"Aku sibuk mencari cara untuk menundukkan ego seorang pianis paling berbakat abad ini dan kuliah sedikit menganggu konsentrasiku."

Taehyung terpana mendengarnya. "Kau… keluar Julliard demi aku?"

"Ya," Jungkook balas menatapnya dengan gitar yang siap dipetik dengan jemarinya yang memar dan carut-marut akibat berlatih sebulan penuh tanpa berhenti sedikit pun kecuali mendesak seperti makan dan kebutuhan ke kamar mandi. "Karena menurutku, kemampuanmu jauh lebih berharga daripada suaraku. Dan aku harus membawamu kembali ke dunia."

"Menurutmu aku layak untuk pengorbanan itu?" tanya Taehyung menatapnya; belum mengizinkan Jungkook bermain sama sekali. "Menurutmu aku cukup layak untuk itu hingga kau memutuskan keluar dari Julliard demi mencariku? Kau domba bodoh yang naif."

"Naif," ulang Jungkook tenang. "Aku tidak keberatan dikatakan naif karena setidaknya itu berarti aku adalah manusia. Dan aku lebih berani mengambil risiko yang ditawarkan kehidupan padaku daripada bersembunyi di balik cangkang yang aman dan menolak semua risiko yang ada." Dia lalu mulai memangku gitarnya dengan mantap. "Dan aku hanya akan mengatakan ini sekali, Kim Taehyung, dan sebaiknya kau mendengarkannya baik-baik."

Taehyung diam; menunggu dengan alis berkerut.

"Aku tumbuh besar bersama semua karyamu. Bocah sebelas tahun yang memainkan Piano Concerto no. 21 in C-major dengan sangat cerdas. Aku tidur dan terjaga bersama semua karyamu. Memimpikan tangan dewamu dan menyenandungkan setiap permainanmu. Jika kau berpikir aku bodoh dan naif karena berusaha membawa idolaku kembali ke masa kejayaannya, maka kau salah. Kaulah yang bodoh karena menyerah pada dunia yang menekanmu. Lemah sekali. Kehilangan tangan membuatmu kehilangan otak juga ternyata."

Kemudian, tanpa menunggu jawaban dari Taehyung sama sekali, Jungkook mulai bermain.

But don't you dare to let our best memories bring you sorrow

Yesterday, I saw a lion kiss a deer…

Kedua tangannya yang babak belur bergerak dengan lincah di atas gitarnya; memainkan semua nada cerdas yang Taehyung gubah di dalam bukunya. Dia bahkan mengaransemennya menjadi begitu kaya, hingga Taehyung sejenak berhenti bernapas karena mendengarkan lagunya diaransemen dengan begitu indah. Pemuda itu bahkan menambahkan beberapa lirik pendek yang membuat kesan indah dan anggun lagu itu menyihir siapa saja yang mendengarkannya. Perawat di sisi Taehyung terdiam; lupa akan tugasnya melayani Taehyung dan terpana menatap permainan Jungkook.

Pemuda itu sedang membungkuk mengamati gitar dan tangannya yang bergerak lincah di atas senar. Alisnya berkerut dengan serius mengingat gerak yang harus dilakukannya dengan cepat agar tidak kehilangan tempo permainan Taehyung yang selalu didengarkannya. Dia berusaha keras menduplikat permainan sempurna Taehyung dengan kedua tangannya yang tidak sehebat Taehyung, namun telinganya menangkapnya; walaupun tidak sehebat Taehyung, dia sudah melakukannya dengan sempurna.

Di akhir lagu, dia mendongak, napasnya tersengal dan jemarinya perih bahkan mulai berdarah lagi. Dan dia tidak perlu mengatakan apa pun karena Taehyung tahu pertanyaan yang dibawanya kemari hanya satu.

.

.

Who are we?

Just a speck of dust within the galaxy…

"Supernova."

"The death of the star."

"Yap."

"Menurutmu, jika aku supernova, bagaimana ledakanku?"

"Kau bukan supernova. Setidaknya nyaris menjadi supernova."

"Karena seseorang menyelamatkanku dari ledakan diriku sendiri. Ada seseorang yang menyelamatkanku dari mass-ku sendiri."

"Aku hanya ingin kita menjadi dua buah bintang yang mass-nya saling tarik menarik dan menciptakan ledakan. Kau tahu big bang?"

"Tentu."

"Mereka saling tarik menarik dan akhirnya meledak, apa yang mereka tinggalkan sebagai kenang-kenangan?"

"Semesta."

"Ya."

"Jadi, apakah kita akan meledak sekarang?"

"Kita akan saling tarik menarik. Sesuatu di dalam diri kita yang disebut mass akan saling tarik menarik antarkutubnya dan pada satu titik kita akan bertemu dan meledak."

"Kita akan menciptakan galaksi."

"Lengkap dengan black hole-nya."

"Dan komet—"

"Sistem tata suryanya sendiri."

"Kemudian kita akan lenyap tak berbekas."

"Namun setiap partikel dalam tubuh kita menciptakan hal-hal baru yang akan diingat manusia tentang kita."

"Kau siap dengan ledakanmu sendiri?"

"Jika itu artinya bersamamu, tentu saja."

"Kita."

"Ya, kita."

.

.

Take my hand; let's see where we wake up tomorrow…

"Bisa memungsikannya dengan baik?"

Taehyung menatap Jungkook yang sedang menatap tangan kinetik yang terpasang di kedua tangannya. "Kurasa belum," katanya mencoba menggerakkan salah satu otot buatan yang disambungkan ke tangannya dengan putus asa menyaksikan tangan kinetik itu bergeming. Dia mendesah. "Ini sulit sekali."

Jungkook bergegas membantunya untuk menegakkan tubuh dan memandangnya penuh semangat. "Kau bisa melakukannya," katanya selembut beledu lalu mengacak rambut Taehyung lembut sebelum mengecup keningnya. "Aku akan pergi sebentar dan kembali lagi sebelum kau merindukanku, oke?"

"Aku sudah merindukanmu bahkan sebelum kau pergi," balas Taehyung dengan senyuman separo di bibirnya dan Jungkook tertawa renyah mendengarnya; tawa yang membuat Taehyung kembali berdiri. Tekad bajanyalah yang digunakan Taehyung untuk bertumpu dan kembali tegak menantang dunia.

Tangan kinetiknya yang baru belum bisa berfungsi sesuai apa yang diinginkannya dan Taehyung masih perlu banyak latihan sebelum bisa mengaksesnya sebebas dia dulu mengakses lengannya sendiri. Jungkook selalu di sisinya, bahkan sudah tidak terganggu lagi oleh pekerjaannya membantu Taehyung mandi dan tetek-bengeknya. Dia ada di sana; setia dan tulus hingga tiap malam saat mengamatinya tertidur di sisi Taehyung dengan berbantalkan lengannya sendiri, Taehyung meneteskan air matanya.

Jika bukan karena Jungkook, dia takkan ada di sini. Mencoba kembali berdiri dengan kakinya sendiri.

Jungkook menemaninya belajar memainkan piano dengan tangan kinetiknya yang masih suka bertingkah. Kadang melenceng dari nada dan Taehyung bahkan tidak bisa memainkan lagu Ave Maria kesukaannya dengan baik. Dan Jungkook selalu di sana; membenahi tangannya, membantunya minum, menyuapinya makanan, duduk di sisinya dan mengontrol permainannya, mengkritik nada sempurnanya… Taehyung merasa dirinya hampir sempurna.

Hanya ada satu kendala yang menghalangi kata hampir itu untuk pergi dari sisi sempurna.

Taehyung tidak bisa mengatakan ini pada Jungkook hingga saat ini; dia tidak bisa mengatakan kalimat sesederhana 'aku mencintaimu' pada Jungkook.

Sudah ratusan kali Taehyung mencobanya, namun dia tidak pernah berhasil. Jungkook yang manis dan riang, yang selalu ada di sisinya saat dia membutuhkan, yang selalu memberikannya apa yang dia inginkan tanpa perlu banyak bicara. Jungkook yang dengan tulus membantunya mandi, melayaninya saat makan, membantunya mengganti baju. Jungkook yang ada di sisinya setiap detik berharga hidupnya.

Dia belum pernah mengatakan pada pemuda itu betapa dia sangat mencintainya.

"Kenapa kau ada di sini bersamaku?"

"Kenapa aku harus meninggalkanmu?"

Taehyung menatap punggung Jungkook yang beranjak keluar untuk membelikannya buah. Sejenak, pemuda itu berhenti di depan pintu dan menoleh padanya. Tersenyum begitu manis hingga Taehyung merasa jiwanya yang berdosa bisa saja melepaskan diri dari raganya.

"Tidak keberatan menungguku beberapa menit?"

Sangat keberatan. "Tentu saja tidak," Taehyung membalas senyumnya dan mencoba melambai dengan tangan kinetiknya yang berderit lembut dan bergerak mengayun dengan kaku. "Yah, kurasa itulah hal terbaik yang bisa kulakukan," ringisnya pada Jungkook yang tertawa terhibur.

"Kau melakukan hal yang terbaik," kata Jungkook menatapnya intens. "Hanya dengan bernapas," dia lalu mendesah dan membuka pintu. "Aku segera kembali," katanya lalu menutup pintu; tidak mengizinkan dirinya sendiri melihat Taehyung yang sedang tersenyum padanya.

"Aku mencintaimu, Jeon Jungkook. Sungguh."

.

.

I'll be damned; Cupid's demanding back his arrow

So let's get drunk on our tears

Dia akan melakukannya hari ini. Sebelum mereka berdua meledak menjadi debu di semesta. Meninggalkan kenangan yang mengejutkan seluruh spesies.

"Aku ingin mendengarkan bait pertama Moonlight Sonata."

Taehyung tertawa serak. "Dari semua lagu gubahan seniman terkenal, kau memilih Moonlight Sonata?" tanyanya menatap Jungkook yang duduk di sisinya dengan senyuman ceria di bibirnya. "Kau kelinci imut masokis, kau tahu itu," katanya lalu menggunakan tangan kinetiknya yang sudah akrab dengan seluruh ototnya untuk mengusap rambut Jungkook dan mengecup bibirnya lembut.

"Jika aku diizinkan memilih lagu untuk hidupku sendiri maka aku akan memilih Moonlight Sonata," Jungkook menatapnya dengan intens. "Kau tahu, hidup tidak selama apa yang kaupikirkan." Dia meraih tangan Taehyung dan membiarkan dia melihat sendiri tangan itu. "Kau punya tangan kinetik untuk menggantikan tubuhmu yang menjadi bukti kuat betapa rapuhnya dirimu sendiri melawan hidup."

"Setelah ini," Taehyung kemudian berkata, "Bisakah aku mengirimmu kembali ke Julliard?"

Jungkook tertawa serak. "Are we all the lost stars trying to light up the dark?"

"Stars just like love; it never gets lose," balas Taehyung menatapnya sebelum menunduk ke tuts pianonya. "Jadi, aku harus memainkan lagu masokismu sekarang?"

"Semakin cepat, semakin baik," Jungkook membalasnya seketika dengan nada penuh dukungan yang tulus.

Menatap ekspresi indah Jungkook, Taehyung mulai memainkan Moonlight Sonata mereka dengan tangannya. Nada sempurnanya bermain di sekitar mereka; menyusup ke dalam otak mereka yang beku dan melelehkan semua kekecewaan dan ketakutan menjadi semangat yang mengaliri setiap pembuluh darah mereka.

Di bagian akhir bagian ketiga, Taehyung menatap Jungkook yang sedang mengawasi tangan kinetiknya.

"Jungkook?"

"Ya?"

Mereka berdua bertatapan. Begitu lama hingga Taehyung bisa menatap helai demi helai bulu mata Jungkook yang lentik dan kecokelatan. Noktah-noktah cokelat di bola matanya dan bahkan kerlip semangatnya. Taehyung tersenyum.

Aku mencintaimu. "Kau indah sekali." Sungguh mencintaimu.

"Terima kasih."

Aku ingin kau tahu, "Kembali kasih." aku tidak akan bisa di sini tanpamu.

"Lanjutkan permainanmu."

Aku mencintaimu, Jeon Jungkook. Aku mencintaimu.

"Siap."

.

.

And I thought I heard you call my name

And I thought I heard you out there crying…

"Aku kembali lima menit lagi."

"Oke."

Jungkook mendorong pintu terbuka dan menoleh sekali lagi pada Taehyung yang sedang melatih tangannya sebelum menutup pintu di balik punggungnya dan bersandar di pintu. Mendongak menatap langit-langit rumah sakit yang berwarna putih dengan lampu-lampu LED mungil yang menyala nyaris sepanjang hari. Napasnya tercekat saat getaran merambat di tubuhnya.

Getaran yang bahkan tidak bisa dikendalikannya.

Jungkook tersenyum kecil saat dia mulai dengan perlahan menghitung mundur. Kedua tangan di sisi tubuhnya bergetar dan dia kehilangan akses atas keduanya. Dia bernapas melalui mulutnya yang terbuka. Otaknya berdenyut mengerikan sementara tulang belakangnya gemetar. Dia bersandar semakin dalam ke pintu di punggungnya dan mengap-mengap mencoba bernapas dengan baik namun dia tidak bisa. Alih-alih berhenti, getaran di tangannya semakin kuat hingga dia merasa tangannya mati rasa.

"Aku mencintaimu, Jeon Jungkook."

Jungkook berhenti; matanya seketika terbuka dan dia menoleh ke pintu yang tertutup di balik punggungnya. Dia mendengar ketukan samar di pintu sebelum merosot terduduk di depan pintu dan menempelkan telingannya ke daun pintu.

"Aku mencintaimu. Aku mencintaimu. Aku mencintaimu. Aku mencintaimu…"

Hangat terasa menembus pintu yang memisahkan mereka. Suara serak Taehyung terdengar begitu indah di telinga Jungkook sementara dia memangku kedua tangannya yang masih gemetar di luar kendali otaknya yang mulai macet. Dia meluruskan kakinya dan bernapas; mencoba mengontrol tubuhnya sendiri hingga selapis keringat terbit di keningnya.

"Kenapa ini begitu sulit?"

Jungkook tersenyum di tengah napasnya yang menderu. "Apa yang sulit, Taehyung?" bisiknya selembut angin musim dingin ke pintu di sisinya; berharap Taehyung mendengarnya.

"Sulit sekali mengatakannya seperti apa yang kuinginkan. Kata cinta sudah digunakan terlalu sering oleh semua orang hingga dia kehilangan makna kesakralannya sama sekali."

"Kau terlalu banyak berpikir, Sayang…" bisik Jungkook sekali lagi saat kakinya mulai gemetar melawan kehendaknya sendiri.

"Jeon Jungkook."

"Ya?"

"Aku mencintaimu…"

"Aku juga mencintaimu, Kim Taehyung."

"Aku berharap kau mendengarkanku melalui pintu ini."

"Memang."

"Seandainya ada kata lain selain cinta yang bisa kugunakan untuk menggambarkan perasaanku, karena cinta tidak cukup kuat untuk itu."

"Untukku cinta bahkan lebih dari cukup."

"Are we all lost stars trying to light up the dark?"

"But not that strong."

Keduanya terdiam, kelelahan. Jungkook mendongak, menyandarkan kepalanya di pintu dan bernapas tersendat-sendat. Lidahnya terjulur keluar tanpa perintah darinya sama sekali mencoba meraup napas sebanyak mungkin sementara otaknya mulai nyeri. Berdentum-dentum tidak serasi dengan detakan jantungnya. Paru-parunya menjerit dan mengempis saat mereka berusaha memompa darah dan napas.

Air mata meleleh di pipi Jungkook. Sakitnya tak tertahankan; tubuh Jungkook terasa nyaris meledak oleh sensasinya. Semua otot melawan kendali otaknya; benda mungil itu tak berdaya melawan kekuatan tak kasat mata dari dalam tubuhnya sendiri. Dia bisa saja mati sekarang namun Taehyung masih membutuhkannya. Pemuda itu sedang menunggunya kembali. Menunggunya. Dan Jungkook takut dia tidak bisa menepati janjinya sama sekali.

Dua ketukan terasa di kepala Jungkook.

"I thought I heard you out there crying…"

"I am," bisik Jungkook mendengar suara lirih Taehyung mendendangkan lagu itu untuknya. Seolah mereka berdua sedang mendongengkan kisah sedih untuk satu sama lain. "Aku mencintaimu, Kim Taehyung."

"And I thought I heard you call my name."

Jungkook tidak menjawab karena bibirnya mulai gemetar; merosot ke satu sisi. Dia kehilangan kendali atas tubuhnya sendiri sekarang. Dia menelan ludahnya dengan sulit dan tersengal setelah melakukannya. Dia butuh sesuatu; obat atau dokter atau apa pun yang bisa memperpanjang waktunya di dunia. Dia bahkan mau menjaminkan jiwanya pada setan agar memiliki setidaknya dua jam lagi bersama Taehyung. Mengatakan padanya betapa dia mencintai Taehyung.

"Hei, Jungkook."

Jungkook tersengal. "Ya?" balasnya; dia selalu tahu Taehyung mendengarkan dan menyadari kehadirannya.

"Seberapa dekat kita?"

"Untuk ledakannya?"

"Ya."

Jungkook tersengal lagi dan mendongak; matanya kabur. "Entahlah," dia mengigit lidahnya sendiri dan darah merebes di dalam mulutnya. "Kurasa cukup dekat."

Pintu di belakang Jungkook terbuka dan tanpa bisa mengendalikan dirinya sendiri, Jungkook ambruk ke pangkuan Taehyung yang memandanginya dengan matanya yang sayu. Mereka berdua berpandangan. Jungkook terbujur di pangkuannya dengan tangan dan kaki gemetar pelan dan intensif.

"Apakah sudah cukup dekat sekarang?" bisik Taehyung; napasnya membelai wajah kaku Jungkook dengan lembut. Dia kelihatan sepucat seprai dan selayu daun terakhir yang menggantung lemah di ranting pohon di penghujung musim gugur. Otot-ototnya melemah dan senyumnya memudar.

"Kurasa ya."

Taehyung merunduk dengan perlahan dan mengecup bibir Jungkook dengan intim. Membawa perasaan mereka berdua naik ke permukaan untuk menunjukkan diri. Jungkook bisa merasakannya tanpa Taehyung butuh terlalu banyak kata; setiap inci kulit Taehyung menjeritkan kata itu padanya hingga getaran di tubuh Jungkook menghangat. Mereka saling mengisi dan saling mengenang; membawa setiap detakan jantung mereka yang tersisa untuk mengingat semua ini.

Cinta yang mereka miliki, masa depan yang belum sempat mereka rajut, hari-hari yang belum sempat mereka jalani, semua janji dan isyarat yang belum mereka lakukan, setiap ciuman yang belum mereka nikmati… masa depan yang direnggut dari tangan mereka.

Dan setelahnya, sebuah ledakan terjadi. Begitu dahsyat hingga Jungkook bahkan tidak sempat menahan napasnya untuk menyambut ledakan itu. Rasa sakit menyentakkan otaknya yang beku untuk kembali hidup selama satu detik yang berharga sebelum semuanya padam; seperti lampu yang dimatikan. Hal terakhir yang diingat Taehyung dari ledakan itu adalah kesiap napas Jungkook sebelum dia memejamkan matanya.

Terkulai di pangkuan Taehyung dengan segaris darah terbit dari hidungnya.

Tidak bernapas.

.

.

"Kau akan meninggalkanku sendirian?"

"Sesuatu dalam diriku akan menemukan sesuatu dalam dirimu dan membentuk sesuatu yang baru atas nama kita; apakah itu artinya aku meninggalkanmu?"

"Kau di dalam diriku."

"Ya, Sayang, ya."

"Kita akan meledak bersama; menciptakan galaksi…"

"Galaksi atas nama kita sendiri."

"Ya."

.

END!

.

Author's Corner:

TAU KOOK INI ENDINGNYA GAJELAAASS! /dibunuh rame2 :'DD gini nih ginii, mereka janji meledak bersama kan? Maksudnya adalah mereka berdua tau mereka udah mau mati. Mereka nantinya bakal mati sama-sama. Entah siapa yang duluan, mereka tau waktu mereka udah dikit banget. Jadi, ya gitu, kayaknya pesannya gak nyampe TTATT INI GAGAL DEMI APA INI GAGAAAAL! Tapi gagal2 gini bole minta reviewnya gaak? /bbuing-bbuing(?)

PS. Hey, guys, have questions? Kindly reach me over PM for questioning, BBM's pin, LINE's ID or you can follow me on jaejaeclaire and mention for folback, k x))))

.