Disclaimer : If Naruto is mine, Naruto will still have his spiky, cool, Minato-like blonde hair like on The Road to Ninja Movie
Lama ia menatap safir itu. Indah, namun terlihat hampa. Cerah, namun memendam kegelapan emosi didalamnya. Ia mengedip sekali, safir itu juga ikut berkedip, mengikuti gerakannya. Naruto mendesah melihat pantulannya di cermin. Safir itu, safir nya, begitu kosong, tanpa emosi. Begitu pun dengan dirinya, tak ada apa-apa didalam hatiya selain kehampaan. Hatinya sudah lama mati rasa, kebal karena kesedihan, kesepian, kebencian dan rasa sakit yang menyelimutinya bertahun-tahun.
Naruto melirik jam kecil diatas wastafel. "Waktunya untuk pergi," gumamnya. Ia memutar keran, membasuh wajahnya perlahan dan menggosok gigi. Wajah tan-nya sekarang terlihat lebih baik, meskipun matanya masih sama seperti sebelumnya.
'Satu hari lagi penuh kebohongan', batinnya. Naruto kemudian menyambar jumpsuit orange-nya yang kebesaran dan memakainya. 'Orange', batinnya lagi, 'cocok untuk matahari. Hangat dan kehadirannya selalu ditunggu. Dan tentunya tidak ada yang membenci bola raksasa yang melayang itu.' Naruto mendengus. 'Ironis, orange yang kupakai sangat terbalik denganku. Hatiku terasa seperti es dan hampir tidak ada orang yang mengharapkan kehadiranku.' Naruto kemudian kembali menatap pantulannya di cermin. 'Mungkin karena aku sudah mati', ia menambahkan dengan pahit.
Keluar dari kamar mandi, pandangannya teralih ke Konoha hitai-ate (forehead protector) yang tergeletak di meja makan mini miliknya. Hitai-ate yang didapatnya dari Iruka-sensei kembali membawa kenangan beberapa bulan lalu. Hari ketika ia akhirnya mengetahui penyebab penderitaannya selama ini, sekaligus hari dimana Tekad Api miliknya untuk Konoha padam. Kemarahan dan kekecewaannya pada penduduk desa membuatnya menyadari, bahwa mereka tak pantas untuk dilindungi olehnya. Jika mereka memperlakukannya seperti sampah, maka buat apa ia berkorban untuk mereka?
Selama ia menjadi genin Naruto menyadari, bahwa menjadi Hokage bukan hanya menjadi orang terkuat di desa. Menjadi Hokage artinya menjadi orang yang harus menanggung beban dan penderitaan seluruh desa. Hanya untuk mendapat pengakuan dari desa saja tidak cukup untuk membayar beban yang nantinya akan dipikulnya ketika ia benar-benar menjadi Hokage nanti. Saat ini ia merasa sudah cukup, ia tidak ingin lagi merasakan penderitaan lebih dari yang sekarang. Tidak setelah Sandaime pergi dan orang itu mengkhianatinya dan pergi dari desa.
Naruto mendesah pelan. Memikirkan hal itu sekarang hanya akan mengacaukan pikirannya. Lebih baik ia segera menemui Sakura. Gadis itu pasti akan memukulnya jika ia terlambat nanti. Ia segera berjalan keluar dari apartemennya tanpa mengunci pintu dibelakangnya. Toh, tidak ada barang berharga didalamnya. Jika pun ada beberapa penduduk yang ingin berbuat iseng padanya, mengunci pintu saja tidak akan cukup untuk menghalangi mereka mengacak-acak apartemennya. Biasanya mereka adalah remaja-remaja nakal yang 'bosan', dan apartemen Naruto selalu menjadi korban, karena jika pun ada yang melihat aksi mereka, tidak akan ada yang menghentikan mereka. Meskipun sudah puluhan kali mereka melakukan hal itu, mereka tidak pernah melakukannya ketika Naruto di dalam apartemen. Mereka tak cukup bodoh untuk menyerang seorang ninja yang terlatih untuk membunuh, secara terang-terangan.
Mendekati lapangan tempat ia berkumpul dengan timnya, Naruto disambut tatapan dingin dari para penduduk. Sebagian dari mereka memilih untuk menganggapnya tidak ada. Naruto membalas mereka dengan cengiran lebar, terlalu lebar hingga menghalangi matanya untuk menampakkan perasaannya yang sebenarnya. Jika saja di sekitarnya ada rumah penduduk, ia pasti lebih memilih untuk berlari dari atap ke atap. Selain lebih cepat, ia juga bisa menghindari tatapan mereka.
Setibanya di lapangan, Naruto mendapati Sakura tengah duduk di tepi jembatan yang melintang di Sungai Naka. Matanya terpejam menikmati hembusan angin yang membelai wajahnya. Helaian rambut merah mudanya mengayun lembut seirama dengan angin. Indah, pikirnya. Namun ia segera membuang jauh-jauh pikiran itu. Ia memang menyukai Sakura, namun ia menyadari perasaan Sakura bukan untuknya. Ia teringat di hari ketika pertama kali mereka menjadi tim, Sakura megatakan bahwa ia adalah orang yang dibencinya. Sebuah luka kembali tertoreh di hatinya yang sudah tak berbentuk kala itu. Semenjak itu, ia menjaga jarak dengan Sakura. Ia tidak ingin terlalu terikat dengan gadis itu, mengetahui resiko yang akan didapatnya jika ia terus mengejarnya. Apalagi jika Sakura mengetahui rahasianya, ia pasti akan pergi darinya seperti yang dilakukan orang itu.
Merasa diperhatikan, Sakura membuka matanya. Dilihatnya Naruto tengah berdiri di ujung jembatan, memandangnya dengan intens. Bibirnya kemudian menyunggingkan senyum hangat pada Naruto, yang dibalas Naruto dengan cengiran lebar.
"Pagi Sakura-chan!" Kata Naruto sambil melambaikan tangannya dengan semangat.
"Pagi Naruto," Sakura menjawabnya disertai anggukan kecil. Senyum masih menghiasi wajah cantiknya.
"Ugh, pasti Kakashi-sensei telat lagi. Ne, Sakura-chan apa kau tidak bosan menunggunya terus-terusan seperti ini? Kenapa kita tidak ikut telat seperti dirinya? Kakashi-sensei biasanya datang dua atau tiga jam lagi, kenapa kita tidak datang setidaknya setengah jam sebelum kedatangannya? Ini benar-benar menyebalkan," gerutu Naruto sambil mengambil tempat di salah satu tonggak kayu di tengah lapangan.
Dahi Sakura mengernyit tidak setuju, "Jangan mengeluh, Naruto. Seorang shinobi harus kompeten dalam menjalankan tugas. Keterlambatan dalam menjalankan tugas akan berakibat fatal dalam misi. Lagipula Sensei pasti memiliki alasan untuk telat."
Naruto memandang Sakura tidak percaya, "Aku bertaruh dia pasti sedang membaca buku pornonya di suatu tempat, Sakura-chan."
"Dia mungkin saja sedang mengawasi kita, Naruto," kata Sakura sambil menghampiri Naruto. Ia kemudian duduk menyender di tonggak kayu di sebelah Naruto. Kakinya ia lipat ke depan dadanya.
Mata Naruto melebar, raut ketakutan muncul diwajahnya. "Jadi selain mesum, dia juga seorang penguntit?! Bagimana ini Sakura-chan, bagaimana jika ia memutuskan untuk menculik kita dan membawa kita ke—"
Dahi Sakura berkedut, tangan kanannya terkepal erat. "Bodoh! Bukan itu maksudku!"
"Eeh," Naruto segera mundur melihat tangan Sakura yang terangkat, bersiap untuk memberinya 'jitakan' lembut padanya.
"Hmph," tangan Sakura bergerak memeluk lututnya sendiri. Pandangannya menjadi sendu. "Mungkin saja dia mengawasi kita untuk melihat perkembangan kita, yah, kau tahu, setelah dia pergi," kata Sakura dengan suara pelan.
Mata Naruto meredup. Pandangannya menerawang jauh. Sudah dua minggu setelah kepergian Sasuke untuk mengejar ambisinya. Naruto memang bersikap biasa di depan orang-orang, namun bagi yang jeli, bisa dilihat cahaya di mata Naruto semakin meredup dan sikapnya terlihat sedikit dipaksakan. Namun mereka percaya bahwa kesedihan Naruto hanya akan bertahan sebentar, dan akan digantikan dengan optimisme nya yang biasa. Betapa salah anggapan mereka.
Naruto tidak akan kembali seperti dulu. Heck, mereka bahkan tidak tahu seperti apa Naruto sebenarnya. Bukannya perlu waktu untuk membangun kembali optimisme nya, tapi ia perlu waktu untuk kembali menyempurnakan topengnya.
Sejak pertama kali melihat Sasuke di pinggir danau, Naruto percaya bahwa ia dan Sasuke memiliki ikatan yang kuat. Karena itulah, meskipun ia menjaga jarak dengan Sakura, namun ia percaya pada Sasuke. Sasuke adalah satu-satunya yang melihat Naruto sebagai Naruto, bukan si bocah rubah, atau si peringkat akhir. Sasuke adalah satu dari segelintir orang yang mengakui keberadaannya. Meskipun Sasuke menganggapnya sebagai rival, namun ia menganggap sang Uchiha terakhir itu sebagai saudara. Karena itulah, ketika Sasuke mengkhianati Tim Tujuh, mengkhianati dirinya, ia tak percaya lagi dengan 'Ikatan'. Hanya dirinya sendirilah yang ia percayai.
"Hei, Naruto," lamunan Naruto buyar ketika ia melihat Sakura tengah memandangnya. Gadis itu memberikan senyum kecil padanya, mungkin bermaksud untuk menenangkannya, namun mata hijau zamrud itu tak bisa membohonginya.
"Ada apa Sakura-chan?" Naruto bertanya dengan nada netral.
"Bagaimana kalau kita sparring? Sudah lama kita tidak sparring bersama. Lagipula Kakashi-sensei masih lama untuk menampakkan dirinya."
Benar juga. Dua minggu terakhir ini Tsunade melarangnya untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang melelahkan, seperti latihan fisik dan sebagainya. Sebenarnya ia sudah sembuh seminggu yang lalu, namun Tsunade mengancamnya akan memberikan misi kelas D selama sebulan penuh jika ia ketahuan melanggar perintahnya. Jadi, selama seminggu terakhir ini ia habiskan dengan duduk di atas monumen Hokage, tempat favoritnya jika ia ingin menyendiri.
Naruto kembali memasang cengirannya, "Uwooh, kau pintar Sakura-chan! Sudah lama aku tidak meregangkan otot-ototku. Ah, senangnya sparring bersama denganmu Sakura-chan. Eh, sparring berdua saja dengan Sakura-chan, bukankah ini terlihat seperti—"
Buagh.
"Jangan harap!" Dengan kesal, Sakura meninggalkan Naruto yang terkapar di tanah. Asap kecil terlihat dari benjolan yang tiba-tiba saja muncul di kepala pirang miliknya.
Poof.
Seperti sebuah pertanda, Naruto dan Sakura menghentikan sparring mereka. Seluruh tubuh dan wajah mereka kotor karena debu dan keringat, namun suasana disekitar mereka lebih ringan dari sebelumnya. Mereka kemudian menghampiri Kakashi yang berdiri di samping lapangan. Mata tunggal miliknya terlihat melengkung ke bawah, pertanda bahwa ia sedang tersenyum di balik masker hitamnya.
"Maa, sepertinya kalian terlihat bersemangat," ia memberi tatapan penuh arti pada Naruto dan Sakura. Ia tersenyum geli ketika melihat cengiran Naruto yang semakin lebar dan wajah Sakura yang sedikit merah, entah karena malu atau marah.
"Jangan salah paham, Sensei. Kami hanya bosan menunggumu untuk datang kesini," kata Sakura sambil menyilangkan tangannya.
"Ne, ne, Sensei. Apa kita akan melakukan misi keren lagi? Seperti mengawal seorang puteri atau membawa informasi super rahasia ke desa lain? Atau, atau, memata-matai seseorang yang mencurigakan di istana Daimyo, Sensei?" Kakashi hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat sikap Naruto. Namun ia sedikit merasa lega karena Naruto bisa kembali ke dirinya yang dulu. Sementara Sakura disampingnya hanya menghela nafas pelan.
Tersenyum, Kakashi mencondongkan badannya ke depan, "Tentu saja, Naruto. Hari ini kita beruntung mendapatkan sebuah misi yang sangat penting. Misi kali ini adalah untuk mengambil kembali barang yang hilang milik keluarga Daimyo," Kakashi berkata sambil melambaikan gulungan misi didepan Naruto dan Sakura.
"Benarkah? Benda apa itu Sensei? Apa itu senjata super rahasia yang sangat berbahaya? Atau mungkin sebuah perhiasan langka yang diwariskan keluarga Daimyo secara turun-temurun? Atau—"
"Bukan. Barang ini jauh lebih berbahaya, Naruto. Tidak banyak orang yang mampu menyelesaikan misi ini. Tapi aku yakin kalian pasti bisa melakukannya," kata Kakashi dengan bangga. Di depannya, terlihat wajah Naruto dan Sakura yang tampak berbinar.
"Misi kali ini adalah... membawa kembali Tora si Kucing peliharaan istri daimyo!"
Kakashi tidak bisa menyembunyikan kegeliannya ketika melihat wajah horror di kedua murid kesayangannya.
"Tim tujuh melapor. Misi membawa kembali Tora: sukses."
Tsunade menyeringai ketika melihat penampilan Naruto dan Sakura yang berantakan. Seluruh tubuh mereka terdapat noda lumpur dengan beberapa daun dan ranting menghiasi rambut mereka. Bekas-bekas cakaran terlihat jelas di wajah mereka, terutama Naruto. Pandangan mereka saat ini tertuju pada seekor kucing hitam yang kini tengah berusaha melepaskan diri dari pelukan maut sang pemilik. Andai saja tatapan bisa membunuh, kucing malang itu pasti sudah mati.
"Selamat atas keberhasilannya, Tim Tujuh. Apa kalian berniat mengambil misi lagi atau kalian mungkin ingin melakukan hal lain?"
Naruto mengalihkan perhatiannya kepada Tsunade. Dengan jengkel, ia menyilangkan kedua tangannya ketika melihat seringai menjengkelkan di wajah Tsunade. Sebelum ia sempat berbicara, Kakashi terlebih dahulu memotongnya. "Kurasa hari ini cukup, Hokage-sama. Naruto dan Sakura pasti lelah setelah seharian mengejar Tora." Kali ini Kakashi menjadi target tatapan maut duo Naruto dan Sakura.
"Baiklah kalau begitu. Kalian boleh bubar. Naruto, kau tetap tinggal."
Sakura melempar tatapan khawatir pada Naruto, namun Kakashi segera menuntunnya keluar ruangan. Sementara Naruto hanya menaikkan alis kepada Tsunade.
"Ada perlu apa, Nenek?" Kata Naruto sampil melipat tangannya dibelakang kepala. Matanya ia sipitkan, membuatnya terlihat seperti rubah. Diruangan itu sekarang hanya ada dirinya dan sang Hokage.
Alis Tsunade berkedut mendengar panggilan tidak sopan Naruto padanya. "Apa kau sudah menyiapkan jawabannya?" Nada Tsunade berubah serius. Jari-jarinya ia satukan dan menempatkannya didepan wajahnya.
Naruto membuka kedua matanya dan menatap Tsunade lurus-lurus. "Ya."
Ia munurunkan kedua tangannya. Pandangannya tertuju pada jari-jari kakinya. "Kurasa aku akan pergi," katanya lirih.
Tsunade memejamkan kedua matanya. Sedetik kemudian, sebuah senyum muncul di bibirnya. "Begitu."
Naruto kembali menatap Tsunade. "Kapan kau akan memberitahu mereka?" tanya sang Godaime.
Naruto mengangkat bahu, "Besok, mungkin."
"Kalau begitu aku akan segera memberitahu Jiraiya. Dia mungkin akan menghubungimu nanti. Kau boleh pergi sekarang."
Naruto hanya mengangguk dan segera berbalik, namun suara Tsunade kembali menghentikannya, "Naruto," bocah pirang itu kembali menghadap Tsunade, sebelah alisnya terangkat. "Apa ada yang ingin kau bicarakan?" meskipun suaranya terdengar netral, namun mata coklatnya terlihat khawatir.
Naruto memasang senyum lebar, "Tenang saja, Nenek. Tidak ada yang perlu kau khawatirkan," dengan itu Naruto meninggalkan Tsunade yang masih duduk termangu. Kekhawatiran masih belum lepas dari mata coklatnya.
Menghela nafas, Tsunade segera membuka laci tempat teman setianya tersimpan dengan aman.
Naruto kembali ke apartemennya setelah kunjungan rutinnya ke Ichiraku. Entah mengapa setiap kali ia berkunjung ke kedai ramen itu, ia bisa melupakan kekosongan yang selama ini ia rasakan, meskipun hanya untuk sementara. Selain itu, ramen lezat yang dihidangkan Teuchi juga menjadi bonus tambahan.
Begitu Naruto menginjakkan kaki ke apartemen, yang untungnya masih utuh seperti saat ia meninggalkannya terakhir kali, ia segera menuju kamar mandi. Jika beruntung, ia bisa mandi dengan air panas yang hanya keluar beberapa kali saja dalam sebulan. Baru saja ia akan melepas jumpsuitnya ketika ia dikejutkan dengan seseorang yang keluar dari kamar mandinya. Sebuah handuk orange melingkar di pinggul orang asing itu. Rambut putih panjangnya terlihat masih meneteskan air, membuat lantai dibawahnya basah.
Selama beberapa saat tidak ada yang berbicara. Naruto menatap orang didepannya dengan tidak percaya. Sementara orang didepannya terlihat kaget melihat kedatangan Naruto. "Y-yo Naruto. Kau sudah pulang?" tanya Jiraiya dengan senyum canggung.
Siiiiing...
"Hei, mesum. Itu handuk milikku, kan?" tanya Naruto datar.
"O-oh, kau mau mandi, ya, Naruto? Ini kau pakai saja, aku sudah selesai kok," kata Jiraiya sambil menyodorkan handuk yang tadi dipakainya. Rambut panjangnya secara ajaib menutupi bagian bawah perutnya.
Perempatan instan segera muncul di kepala Naruto. "Najis! Amit-amit! Bisa-bisa aku ketularan kutilmu yang menjijikan itu."
"Hei!"
Blam!
"Buatmu saja," kata Naruto dari balik pintu kamar mandi.
"Dasar tidak sopan," gerutu Jiraiya. "Oi, Naruto. Jangan lama-lama didalam. Akan kutunggu kau diluar."
Naruto mendapati Jiraiya tengah duduk di salah satu kursi yang ada di sekitar meja makannya. Didepannya tampak buku catatan kecil tempat ia biasa menuliskan ide-ide mesumnya. Naruto kemudian menarik salah satu kursi yang menghadap Jiraiya.
"Kita akan pergi besok sore, jadi kau bisa mengucapkan perpisahan dengan teman-temanmu. Dan pastikan kau menyiapkan semua yang akan kau butuhkan, ini akan jadi perjalanan panjang," kata Jiraiya tanpa mengalihkan perhatiannya dari bukunya.
"Oh," hanya itu yang keluar dari mulut Naruto.
Jiraiya mengangkat wajahnya begitu mendengar reaksi Naruto yang biasa-biasa saja. Dahinya mengernyit ketika ia melihat mata biru itu tidak secerah dulu, ketika ia pertama kali bertemu dengannya. Pandangan matanya kini terlihat seperti Minato, selalu waspada dan tampak lelah. Mata itu seharusnya milik seseorang yang telah melihat banyak beban kehidupan, bukan seorang anak tiga belas tahun. Tidak peduli seberapa baik Naruto menyembunyikannya, ia tetap tidak akan bisa mengelabui mata terlatihnya. Bagaimanapun juga, seorang penipu tidak akan bisa membodohi penipu lain. Bocah itu masih terlalu cepat 30 tahun untuk bisa membohongi seorang pengorek informasi profesional seperti dirinya.
"Kita tidak tahu kapan Akatsuki akan datang, jadi menurutku semain cepat kita meninggalkan Konoha, akan semakin baik," kata Jiraiya sambil memperhatikan wajah Naruto yang masih pasif.
"Terserah kau sajalah. Suasana hatiku sedang buruk hari ini. Jika sudah selesai, cepat kau pergi dari sini. Aku mau tidur."
"Hee? Kenapa kau jadi galak begini, bocah? Lagi kedatangan tamu bulanan?"
Naruto memandang tajam Jiraiya. "Kau pikir siapa yang menerobos rumah orang seenaknya dan mandi tanpa izin, ha?!"
"Salahmu sendiri kau tidak mengunci pintu," Jiraiya melihat mata Naruto bergerak sekilas ke kanan.
"Aku tak sengaja menjatuhkan kuncinya ke dalam toilet beberapa hari lalu. Aku masih belum sempat mencari gantinya," kata Naruto santai.
'Seperti biasa, kau memang pintar berbohong, Naruto.' kata Jiraiya dalam hati.
"Kau memang sangat ceroboh. Sebaiknya kau cari gantinya besok, jika kau tidak ingin apartemenmu menjadi puing-puing setelah kau pulang nanti."
Wajah Naruto menegang sesaat, sebelum kembali pasif. "Ya, ya. Aku tahu. Sekarang bisakah kau pergi dari sini?"
"Anak jaman sekarang," gumam Jiraiya sambil bergerak menuju jendela. "Akan kutunggu kau di gerbang jam empat sore," Jiraiya berkata dari ambang jemdela.
"Pakai pintunya!"
Menghela nafas, Naruto bergerak untuk menutup jendela yang seenaknya dibiarkan terbuka oleh Jiraiya dan menguncinya kembali. Ia kemudian duduk termenung di kasurnya, memikirkan kembali kejadian dua minggu lalu.
Saat itu ia baru saja kembali dari misi membawa kembali Sasuke yang gagal. Jiraiya menawarinya untuk mengembara sekaligus berlatih selama tiga tahun. Dan jangan lupakan Akatsuki. Meskipun pergi bersama Jiraiya juga tidak menjamin ia akan aman dari kejaran Akatsuki, namun setidaknya tidak akan terjadi pertumpahan darah di Konoha. Invasi dari Oto dan Suna beberapa bulan lalu sudah cukup membuat Konoha berada di titik terendahnya, jadi jika ia tetap berada di sini, serangan Akatsuki sudah pasti akan langsung menghancurkan Konoha. Meh, bukannya ia peduli pada desa ini. Ia hanya tidak mau membuat Tsunade kerepotan nantinya menangani tekanan warga desa dan Dewan. Lagipula, akan sangat disayangkan jika kedai Ichiraku sampai hancur nantinya. Dua dari beberapa alasan lain itulah yang membuatnya menyetujui tawaran Jiraiya.
Itu yang selama ini ia yakini, dan dengan paksa ia percayai. Namun ada alasan yang lebih besar dari itu. Alasan yang lebih egois.
Di tempat ini, ia sudah kehilangan sebagian besar alasannya untuk tetap hidup. Dimulai dari penolakan dari penduduk desa, kematian sosok yang menjadi tuntunannya sejak ia mulai mengingat, dan kini pengkhianatan oleh orang yang paling ia percayai. Jika bukan karena rekan-rekannya, ia mungkin sudah kehilangan akal sehatnya. Ikatan yang ia jalin dengan mereka memang tak sekuat Sandaime atau Sasuke, namun cukup mempertahankan kewarasannya. Karena itulah, ia ingin pergi dari sini, desa yang telah membesarkannya. Terlalu banyak kenangan pahit yang tidak bisa ditutupi dengan segelintir kenangan manis yang dimilikinya. Ia ingin bebas, meski hanya untuk sebentar saja.
"Berapa lama?" tanya Sakura lirih.
"Hanya tiga tahun, Sakura-chan. Setelah itu aku akan kembali dan kau pasti akan terkejut melihat seberapa hebatnya aku nanti. Tunggu saja, Sakura-chan."
"Kau janji akan kembali?" dalam hatinya, Sakura masih menyimpan ketakutan. Bagaimana jika Naruto juga pergi meninggalkannya sendirian?
"Ya, aku janji. Dan aku tidak akan mengingkari janjiku, Sakura-chan," kata Naruto lembut.
Sakura tersenyum kecil, "Aku tahu itu."
"Ooi, cepatlah Naruto. Berapa lama lagi kau akan bermesra-mesraan dengan pacarmu?" Jiraiya yang telah menunggu di gerbang merasa jengkel karena jadwal kepergian mereka yang terpaksa molor karena Naruto.
"Diam kau, mesum!" seru Naruto sambil mengacungkan tinjunya pada si pertapa mesum. "Kalau begitu, sampai jumpa, Sakura-chan. Jaga dirimu baik-baik." Naruto kemudian berbalik dan berlari ke arah gerbang, tempat Jiraiya tengah menunggunya.
"Kau juga, Naruto!" seru Sakura sambil melambaikan tangannya.
Jiraiya melihat interaksi Sakura dan Naruto dengan senyum kecil. Mereka benar-benar mengingatkannya pada timnya dulu.
'Mereka pasti akan lebih hebat dari kami nantinya.'
Mata coklatnya terbuka lebar begitu sang pemilik merasakan seseorang telah memasuki ruangannya di Menara Hokage. Ia segera terduduk tegak dan mempertajam seluruh indranya. Sepertinya penyusup yang masuk memiliki kemampuan yang tinggi, karena tak seorang pun ANBU yang menyadari keberadaannya. Ia menyipitkan matanya, berusaha menangkap pergerakan di ruangan yang suda menggelap itu. Ia mengernyit ketika mengetahui identitas si penyusup dari jejak chakranya.
Benar saja, tak jauh dari meja kerjanya, udara terlihat berriak sebelum akhirnya dua orang, atau lebih tepatnya seseorang yang terlihat menggendong seseorang dipunggungnya, menampakkan diri. Dari postur tubuhnya yang tampak tegang, Tsunade tahu bahwa ini adalah situasi yang serius.
"Kenapa kalian kembali, Jiraiya?" tanya Tsunade serius. Matanya tak lepas dari sosok yang ada di balik punggung besar Jiraiya.
"Ini mengenai Naruto."
x
x
AN:
Thank you for reading my (peculiar) story. I really thank you for who favorite/alert and who kindly give me a word or two about this story.
Cerita ini tidak akan menjadi yaoi/BL/slash. Maaf jika ada yang kecewa.
Untuk selanjutnya, saya akan usahakan untuk update teratur, mungkin minggu besok saya baru akan update.
Again, thank you for you all.
Review will be appreciated...