Botol minuman bekas tampak menari-nari dengan lincah di tengah gerombolan siswi yang membentuk lingkaran. Botol yang sibuk berputar itu membuat siswi di sekitarnya menjadi tegang, berharap jika ujung Si Botol tak berhenti dan mengarah tepat ke hadapan mereka. Lambat laun, pergerakan botol bekas itu mulai melemah, hawa kecemasan semakin kentara di sana. Sedetik kemudian botol itu terhenti dan menunjuk seorang siswi bermata lavender yang tampak ketakutan. Sedangkan siswi yang lainnya menghembuskan napas lega lalu menyunggingkan senyum bahagia dan menatap Si Gadis Lavender dengan licik.

"Silakan pilih Hinata, Truth or Dare?" tanya siswi berambut merah muda dengan nada ceria. Sedangkan gadis yang dipanggil Hinata itu hanya menunduk, memikirkan pilihan yang sama-sama merugikan dirinya. Sesekali ia menggigit bibir bawahnya mencoba hilangkan kegelisahan.

"Cepatlah sedikit Hinata, sebentar lagi waktu istirahat akan berakhir!" desak gadis yang duduk di samping kanan Hinata bernama Ino. Hinata yang merasa semakin tertekan menutup matanya dan membukanya secara perlahan, ia telah mengambil sebuah keputusan.

"Aku pilih, dare."

.

.

TELEPHONE

.

.

Naruto © Masashi Kishimoto

Rated : T

Pairing : NaruHina (main)

WARNING : Cerita abal plus pasaran n GJ, alur kecepetan, OOC, typo(s) dan gangguan lainnya.

Summary : Salahkan permainan konyol yang mendewakan botol bekas sebagai benda penunjuk, salahkan Hinata yang dengan bodohnya memilih dare, salahkan Sakura yang menyuruh Hinata untuk menelepon sebuah nomor yang tidak ia ketahui, dan salahkan keadaan sehingga Hinata terjerat dengan berandalan sekolah. NaruHina.

DLDR

RnR

~Happy Reading~

Semua siswi yang mengikuti permainan Truth or Dare terperangah tak percaya, mereka memuji keberanian Hinata karena telah memilih dare. Bagaimana tidak, gadis pemalu dan pendiam seperti Hinata beberapa detik lalu memproklamirkan dirinya untuk memilih dare, bukankah itu di luar style Hinata? Atau Hinata terlalu polos untuk mengetahui betapa kejamnya arti dare bagi semua orang?

"Ka… kau serius Hinata?" tanya Tenten dengan tergagap.

Jujur saja, sebenarnya Hinata juga tidak yakin dengan pilihannya itu. Tapi, setelah mendengar pertanyaan-pertanyaan ekstrem yang dilontarkan kepada si pemilih truth, nyali Hinata menjadi ciut. Seperti pertanyaan Ino "Jadi apa warna pakaian dalam yang kau kenakan sekarang?" dan Hinata juga ingat ancaman Ino saat Sakura tidak mau menjawab pertanyaannya, "Baiklah, kalau kau tidak menjawab, maka akan kusebarkan ke semua kelas bahwa kau tidak pernah memakai dalaman selama sebelas tahun bersekolah." sontak pipi Sakura merah padam, dan dengan tidak ikhlas ia menjawab pertanyaan Ino.

Lihat, sadis bukan? Hinata tidak ingin hal seperti itu diketahui oleh sahabatnya. Bukankah semua orang memiliki privasi dan tetap ia jaga? Dengan alasan itulah Hinata menganggap bahwa dare lebih baik dibandingkan membuka aib dirinya sendiri.

"Aku yakin Tenten, tenang saja." jawab Hinata meyakinkan.

"Kuperingatkan Hinata, dare yang akan diberikan Sakura tidak semudah yang kau pikirkan." imbuh perempuan berambut pirang yang dikuncir dan hobi membawa kipas ke mana-mana.

"Aku tetap memilih dare Temari." mendengar itu, gadis berambut merah muda bernama Sakura berdehem kecil dan menatap Hinata dengan seksama.

"Baiklah Hinata, kalau begitu aku tantang kau untuk menelepon nomor 08xxxxxxxxx. Jika yang mengangkat perempuan katakan bahwa kau adalah selingkuhan dari pacarnya, jika itu laki-laki katakan kalau kau mencintainya."

Mata Hinata membulat sempurna. Sakura dengan cepat mengambil ponsel Hinata dan mengetikkan nomor yang ia sebutkan tadi di hp Hinata. Tak butuh waktu lama Sakura mengembalikan hp tersebut kepada si empunya yang masih terdiam dengan bola mata yang dapat menggelinding keluar.

"I… ini, nomor siapa Sakura?" tanya Hinata pelan.

"Entahlah, aku juga tidak tahu. Aku mengetahui nomor itu di dinding dekat gang rumahku." jawab Sakura enteng. Lain halnya dengan Hinata yang semakin terpuruk sehingga air wajahnya menjadi keruh. Kini nomor asing itu tertera jelas di layar ponsel Hinata, cukup menekan tombol di tengah maka Hinata akan menjalankan hukumannya.

"Sakura, kenapa kau tega menyuruh Hinata untuk menelepon nomor yang kita semua tidak tahu siapa pemiliknya?" gerutu Tenten.

"Baiklah, bagaimana dengan nomor ini?" Sakura memperlihatkan nomor telepon yang ia maksud.

"Ini nomor siapa lagi Sakura?" ucap Temari.

"Ini nomor hp yang aku temukan di uang kertas lecek kembalian belanja bumbu masakan."

Ino menepuk dahinya dan menatap Sakura dengan kesal, "Oh Ya Tuhan, kenapa tidak sekalian saja kau berikan nomor hp tukang pijit yang ditempel di batang pohon pinggir jalan, atau nomor hp yang kau temukan di botol bekas yang mengapung di laut?"

"Aku tidak menyimpannya." Sakura menundukkan kepalanya seakan-akan ia merasa bersalah. Melihat aksi Sakura, Ino hampir saja ingin memukul kepala Sakura dengan tongkat baseball hingga Sakura terpental jauh menuju air terjun Niagara. Tapi niat itu ia urungkan mengingat Sakura adalah sahabatnya, dan mengingat jika nanti mereka akan menjalankan ulangan Fisika. Ia khawatir jika Sakura tidak dapat menjawab semua soal yang diberikan, atau mungkin saja Sakura lupa apakah ia menulis dengan tangan kanan atau tangan kiri.

"Sakura, aku tidak tahu apakah cerebrum yang bersembunyi di balik kening lebarmu itu tengah mengalami penyusutan hingga kau terpaksa menggunakan sel kulit mati untuk berfikir, atau memang tingkahmu yang seperti anak harimau diadopsi oleh seekor buaya mandul? Maksudku, kenapa kau menyimpan nomor telepon yang tidak penting dan tidak mungkin untuk kau hubungi?" cerocos Tenten dengan emosi yang meletup-letup.

"Waktu itu semua kontak ku terhapus, dan nomor hp yang kuingat hanya nomor kalian, aku, dan orang tuaku. Karena terlalu sedikit, makanya aku menyimpan nomor hp yang aku temui."

Spontan empat pasang mata memandang Sakura dengan tatapan 'betapa absurdnya sahabatku yang satu ini.' dan mencoba meredam kemarahan mereka akibat kepolosan Sakura. Sedangkan Sakura menjadi salah tingkah sambil mengerjabkan matanya beberapa kali.

"Mengapa kalian menatapku seperti itu?"

"Kau aneh Sakura." lontar Temari spontan.

"Hey, aku tidak aneh! Aku yakin, jika Justin Bieber berada di posisiku, ia akan melakukan hal yang sama!" Sakura mulai membela diri.

"Dan aku juga yakin, jika itu memang terjadi maka tidak aneh Selena Gomez putus dengannya."

" Sahabatku yang baik hatinya, jika kalian tetap memperdebatkan sikap lahiriah Sakura, aku pastikan Iruka-sensei akan membagikan kertas ulangan Fisika sebelum Hinata melakukan hukumannya." potong Ino yang sudah tak tahan mendengar pertikaian ini. Batin Ino sudah lelah!

"Apa yang dikatakan Ino itu benar, jadi…" Sakura menekan tombol 'panggil' di ponsel Hinata lalu mengaktifkan loud speaker dan meletakkan ponsel Hinata di dekat botol bekas. Hinata semakin shock melihat tingkah Sakura langsung lari terbirit-birit keluar kelas tapi langsung dihadang oleh Ino layaknya kipper yang menjaga gawang. Tangannya ia rentangkan dengan badan sedikit membungkuk. Hinata yang sudah tidak menemukan celah untuk kabur, berjalan dengan lunglai kembali ke sudut kelas dengan ekspresi seorang gadis yang dijadikan tumbal oleh penduduk desa.

"Kau tidak bisa kabur Hinata." decak Temari seraya mengibaskan kipasnya. Hinata menutup kedua matanya dan mulai berdoa dengan khitmat.

"Ya Tuhan, semoga nomor itu tidak aktif…"

Baru beberapa detik setelah Hinata melantunkan doanya secara diam-diam, terdengar nada sambung dari ponsel Hinata.

Tuuut… Tuut… Tuuut….

"Woah, tersambung!" pekik Ino dengan gembira. Gadis dengan poni panjang itu menyikut perut Hinata agar Hinata membuka kelopak matanya dan menyadari kenyataan yang teramat pahit bagi Hinata, dan sebuah anungrah bagi Ino. Mungkin memang terdengar kejam, tapi memang itulah hal yang disukai Ino. Melihat orang lain menderita. Tak peduli itu sahabatnya, gurunya, maupun ibu-ibu kantin yang sering dikibulin dari tahun ke tahun.

"Ya Tuhan, walaupun nomor ini aktif, jangan biarkan ia mengangkat teleponnya…"

"Hallo,"

Keadaan langusng berubah setelah orang yang berada di daratan entah dimana itu menjawab panggilan telepon Hinata. Ino, Sakura, dan Temari tersentak lalu menari penuh kegembiraan seperti penyanyi dangdut yang sedang disawer. Tenten menatap iba kepada Hinata sambil menahan ketiga temannya yang lain untuk tidak melanjutkan tarian menjijikkan ciptaan mereka itu. Kasihan teman sekelas yang lain, bisa-bisa hafalan rumus fisika yang bejibun itu hilang akibat menonton tarian ketiga sahabat karibnya yang lebih persis seperti orang kesurupan. Sedangkan Hinata, gadis itu sedang menatap langit biru lewat jendela kelas dengan raut wajah yang sedih.

"Ada apa Hinata?" tanya Tenten pelan.

"Tidak ada Tenten, hanya ingin melihat sinar matahari untuk terakhir kalinya." balas Hinata. Sakura langsung menarik lengan Hinata untuk duduk di sampingnya dan menjawab telepon.

"Ha… hallo," Hinata mulai gagap.

"Siapa ini?" tanya orang tersebut. Berdasarkan analisa Hinata (dan Hinata yakin jika teman-temannya juga sepaham dengannya) bahwa lawan bicaranya kini adalah seorang laki-laki. Suaranya terdengar berat dan sedikit errrr… seksi mungkin?

"Hinata, cepat selesaikan misimu!" bisik Ino dengan semangat yang menggebu-gebu. Hinata mengangguk lemah dan mulai mempersiapkan batin serta memutuskan urat malunya untuk beberapa detik ke depan.

"A… aku Hyuga Hinata dari Konoha High School, dan aku menyukaimu." Hinata dengan sigap memutuskan panggilan dimeriahkan dengan tepuk tangan oleh keempat sahabatnya sehingga kelas begitu ribut. Ino memeluk Hinata seraya mengucapkan selamat dengan raut wajah gembira, namun kegembiraan itu terhenti saat sang ketua kelas memungut botol bekas dan memukulnya ke kepala Ino.

"Hey, waktu kalian sudah habis! Ayo duduk di kursi masing-masing!" bentak si ketua kelas.

"Urgh, dasar ketua kelas yang minta dilengserkan! Beginikan gayamu, hah!" Ino memukul kepala ketua kelas dengan beringasnya. Bukan sekali atau dua kali, tapi tiga kali!

"Hentikan ibu tiri! Kau merusak tatanan rambutku!"

"Apaa? Ibu tiri? Kau pikir aku sudi memungutmu menjadi anak tiriku? Dari zaman Temari memakai kipas sampai ia menggunakan AC, tidak akan pernah namamu berada di dalam kartu keluargaku!"

"Hey kalian, sudah henti-" Tenten mencoba melerai, tapi ucapannya tertahan saat Sakura mengajaknya untuk beranjak dari sudut kelas.

"Sudahlah Tenten, biarkan Ino dan Sai berlovey-dovey." bisik Sakura pelan, mendengar itu Tenten membulatkan bibirnya dan mengangguk mengerti.

.

.

Mari kita beranjak dari Konoha High School menuju sekolah yang lainnya. Tepatnya di sebuah kantin yang dihebohkan dengan berbagai macam tujuan, dari yang hanya menuntaskan keinginan perutnya, sampai tempat untuk bergunjing teman sekelas, dari volume paling kecil hingga suara yang dapat mengalahkan falsetto Celine Dion, dan dari yang membeli makanan dengan uang sendiri, sampai menebeng pada makanan temannya.

Dan di kantin itu juga, tampak beberapa siswa tengah berkumpul sambil menatap seorang pelajar dengan rambut kuning yang menjejalkan ponselnya ke dalam saku celana.

"Siapa yang menelponmu, Naruto?" tanya lelaki dengan tampang sangar namun dapat dikatakan romantis. Lihat saja keningnya yang bertato 'ai' itu.

"Tidak ada, hanya perempuan kurang kerjaan." balas lelaki berambut kuning itu dengan malas.

"Tidak mau mengerjainya?" singgung lelaki dengan ketampanan dia atas rata-rata.

"Benar juga, lagipula aku sudah bosan dengan mangsa kita sekarang." sambung lelaki bertato 'ai'.

"Tapi dia itu perempuan Gaara," balas Naruto.

"Dan dia mengganggumu kan? Oh ayolah Naruto, sejak kapan kau lemah dengan seorang wanita?"

"Aku tidak lemah!" protes Naruto.

"Kalau begitu, apa yang ditunggu lagi, ayo kita menganggunya!"

"Asal kalian tahu saja, dia tidak bersekolah di sini. Jadi, lupakan saja keinginan kalian untuk mengganggunya."

"Yang penting dia masih satu kota dengan kita bukan? Katakan padaku, di mana sekolahnya." desak Sasuke.

"Konoha High School."

"Konoha High School? Sekolah yang diseberang sekolah kita?" ujar Gaara memastikan. Naruto hanya mengangguk.

"Hey, itu tidak jauh Naruto!"

Mendengar permintaan teman sejawatnya yang sangat jelas kekurangan rasa kasih sayang itu, Naruto beranjak dari kantin dan menghembuskan napas dengan pelan.

"Baiklah, pulang sekolah nanti kita pergi ke Konoha High School."

.

.

Megumi datang bawa fic NaruHina lagi gueyss..
Bukannya lanjutin fic tapi malah bikin fic baru… yah begitulah yang namanya ide, kalau yang satu ngilang, timbul yang baru, terus ngilang lagi, begitu aja sampai fic awal kagak selesai-selesai.

Kagak ding, fic ini terinspirasi saat supir angkot ngasih uang kembalian pake nomor hp dekat kening Pattimura. Megumi yang awalnya agak enggak woles (Ya eyalah, Megumi kasih uang bagus-bagus masih ada bunyi krenyess krenyess nya kalau di remas kayak THR lebaran, malah dikasih uang lecek yang kalau diterawang susah minta ampun nyari gambar pahlawannya kecuali cahaya matahari tepat 90 derajat dari uang lecek itu) jadi lumayan menerima karena udah dapat inspirasi.

So, menurut readers sekalian, fic ini lanjut atau berhenti sampai sini aja?

Balas lewat review ne?!

The last of my bacot : review pliss…