Jadwal misi turnamen kembali diundur. Penyebabnya adalah Kim Kai yang belum kunjung membaik dan aku yang keracunan. Ya, keracunan. Trisula duyung berwajah bebek itu memiliki racun di dalamnya. Tubuhku senantiasa bersuhu tinggi dan semua sendiku terasa ngilu saat digerakkan. Dua hari aku tidak bisa tidur nyenyak karena sakitnya. Sekarang aku punya lingkaran hitam disekitar mataku dan bobot tubuhku turun tiga kilo dalam dua hari. Ini benar benar tidak bagus.
Untungnya setiap pagi dan sore Kyungsoo serta Helena bergantian menjengukku, mengupaskan makanan yang sia sia saja karena aku tak bisa makan dengan baik. Dua hari aku hanya makan dari cairan infus dan sedikit glukosa. Sampai pada akhirnya profesor Pawliger memberikan sebuah akar aneh yang langsung ditumbuk oleh suster rumah sakit dan menjejalkannya padaku. Rasanya benar benar buruk, aku hampir muntah tapi dengan cepat tangan mereka membekapku dan memijat leher depanku agar obatnya turun lagi. Rasanya benar benar buruk sampai mataku berair dan aku benar benar mengumpat dan bersumpah dalam hati akan membalas perbuatan duyung jelek itu tepat saat jika dan hanya jika kami bertemu lagi.
Malam itu, setelah siang harinya dipaksa menelan akar pahit yang dibawa Profesor Pawliger, akhirnya aku bisa merasakan kedua kakiku dan mulai mengantuk. Bangsal peserta turnamen sangat sepi dan gelap. Ruangan besar beratap tinggi ini hanya berisi enam kasur yang empat diantaranya kosong. Lampu minyak baru saja dimatikan dan dewi malam mengambil alih. Samar samar siluet burung melesat menghalangi cahaya bulan dan membuat kelebat bayangan gelap sepersekian detik.
Hanya ada aku dan Kim Kai yang masih terbaring di ruangan itu. Aku dengar Kim Kai bukan hanya terjebak dalam tanaman liar yang ganas, tapi ia juga disihir oleh sesuatu yang menyebabkan ia tidur tak sadarkan diri. Namun setelah dua hari berlalu ia berangsur membaik dan bisa membuka mata.
Saat aku mencoba untuk tidur dan hampir berhasil, sebuah suara membuyarkan usahaku. Bunyi pintu yang diseret terbuka memekakan telingaku yang masih sedikit terjaga. Bumsoo kepala sekolah Dumstrang dan Chanyeol masuk ke dalam untuk melihat Kim Kai. Buru buru aku berbalik badan untuk memunggungi mereka. Sebenarnya aku tidak boleh tertarik kepada kepentingan apa yang mereka miliki hingga masuk ke ruang orang sakit tengah malam begini. Tapi toh hatiku sudah terlanjur terganggu dengan suara keriet pintu yang disebabkan Bumsoo dan membuatku gagal mengantuk. Jadi, sekalian saja.
"Ada apa dengan anak ini? Kenapa dia malah berenang kesana?" Suara Bumsoo berbisik, tetap terdengar tegas walaupun volumenya ia kontrol.
"Maafkan aku, Sir. Ia sudah kuperingatkan. Mungkin ia sedang tak fokus." Chanyeol menjawab tak kalah pelan.
"Seharusnya bukan Kai yang seperti ini, tapi Si bodoh Lantern itu."
Aku menahan nafas. Berharap aku salah dengar karena congek atau apapun yang dapat menyumbat telingaku.
"Maafkan aku." Jawab Chanyeol.
"Kau!-" Bumsoo hampir berteriak. Namun gagal karena Chanyeol memotong perkataannya.
"Tolong Sir. Jangan disini. Ini tempat orang sakit. Bisa saja ia tiba tiba bangun dan mendengar semuanya." Suara Chanyeol terdengar khawatir. Nafasnya memburu dan ia tergesa-gesa.
Helaan nafas Bumsoo terdengar kacau. "Kalau begitu ikut aku."
Setelah itu terdengar pintu dibuka dan ditutup kembali, mereka keluar meninggalkan bangsal peserta. Aku tak mungkin diam saja, namaku telah mereka sebut dan sesuatu apapun yang akan mereka bahas kemungkinan besar adalah tentang diriku, entah mengenai apa.
Buru buru aku menyambar sanpbag tak kasat mata dan memakainya. Bangun dengan susah payah dan berjalan tertatih keluar bangsal, menuju lorong dengan kaki telanjang. Dingin lantai batu menyerang setiap syaraf di ujung kakiku tapi aku tidak peduli. Rasa penasaran dan ingin tahu sudah kepalang menguasaiku.
Di ujung lorong Bumsoo dan Chanyeol berbelok ke kanan, yang mana aku tahu disitu adalah lemari penyimpanan ramuan dan obat. Aku mengikuti mereka, mengintip di balik celah pintu ruang sempit yang tidak tertutup rapat. Bau ramuan menjemukan segera merasuki indraku. Bau asam akar dan apek ruangan telah bercampur membentuk aroma aneh yang membuat mual. Namun tak kulihat wajah mereka berdua terganggu karena aroma jelek ini.
Bumsoo menampar wajah Chanyeol. Tidak, Bumsoo tidak hanya menamparnya, ia memukulnya. Aku terkejut dan hampir saja aku terkesiap.
"Kenapa begitu saja kau tidak bisa? Huh?! Kau adalah murid terbaikku, Park!"
"Maafkan aku Sir."
"Apa kau yakin rantai naga itu sudah kau sihir?"
"Ya, Sir. Aku yakin."
"Lalu kenapa ia masih bisa lanjut ke tahap selanjutnya?!" Bumsoo berteriak sambil menendang tulang kering Chanyeol.
Chanyeol jatuh sambil meringis. Ujung sepatu Bumsoo sangat tebal dan mungkin saja itu sekeras kayu jati. Bumsoo menarik Chanyeol untuk berdiri. Dan sekali lagi meneriakinya.
"Sekarang, ia akan melaju ke maze! Ke tugas terakhir! Dan temanmu, ia malah terbaring di rumah sakit seperti mayat hidup."
Chanyeol diam. Pandangannya lurus hampir hampir kosong.
"Sudahlah, tugas terakhirmu sudah jelas. Jangan biarkan ia menyentuh pialanya. Kau paham betul itu Park."
Chanyeol mengangguk. Ia tidak berkedip dan sesekali meringis.
Ini lebih dari jelas. Semua hal yang tak masuk akal selama turnamen telah kutemukan alasannya, telah kutemukan penyebabnya. Semua itu rupanya akal busuk Dumstrang. Mereka menggunakan Chanyeol sebagai alat untuk membuatku kalah. Entah bodoh atau apa, kenapa aku yang menjadi sasaran, kenapa bukan Thomas saja yang kemampuannya jauh diatasku.
Tiba tiba saja Bumsoo menghela nafas panjang dan dengan enggan mengusap puncak kepala Chanyeol, "Jangan buat pangeran kita kecewa. Kau mengerti betul soal dia. Dia harus mendapatkan darah anak itu sebelum yang lain mengetahui rencana ini, dengan cara apapun. Jangan buat pangeran kita repot dengan harus mengambil darah anak itu secara langsung. Reputasiku dihadapannya tak bisa dipertaruhkan."
Nafasku berhenti. Jantungku serasa dipukul dengan telak. Chanyeol dan Bumsoo adalah anak buah Si Penghianat yang menginginkan darahku. Mereka akan mencelakaiku di turnamen dan mengambil darahku untuk Si Penghianat.
Sudah jelas mereka menginginkan kematianku. Mereka menginginkanku yang celaka. Si Penghianat ingin membunuhku, terlebih lagi melalui tangan Chanyeol, yang sayangnya, sebelum ini, sudah sepenuh hati kupercayai.
.
.
.
.
.
AMBER
Cast: Byun Baekhyun, Park Chanyeol
Genre: Fantasy, Crime, Romance
Disclaimer: Fanfiction ini adalah remake novel karya J.K. Rowling, Harry Potter and The Goblet of Fire. Segala apa yang berbeda dalam cerita adalah murni fiksi saya
Chapter 6—Ketidak percayaan
.
.
.
.
.
Aku jatuh terduduk di tepi danau. Nafasku seperti mau habis setelah kabur dan berlari kemari. Aku kebingungan, ayahku tak boleh tahu soal ini apalagi Helena dan Kyungsoo. Aku harus memikirkan sebuah jalan keluar, tapi otak licikku terlalu beku. Harusnya suasana ini menjadi indah karena pantulan bulan purnama terbentuk sempurna di permukaan danau. Kunang kunang berterbangan bagai kerlip bintang melintasi celah pohon dan beberapa mengikuti aliran angin. Bersamaan menerpa wajahku dan membuat air mataku kering. Semua kenyataan ini terlalu tiba tiba untukku. Terlalu mendadak seperti petir di siang bolong.
Chanyeol adalah pengikut Si Penghianat. Ia adalah salah satu dari mereka yang menginginkan darahku. Menginginkan kematianku lewat turnamen Triwizard. Hatiku terbakar amarah hingga ubun ubunku terasa panas. Aku berteriak dan memukul permukaan danau hingga pantulan bulan purnama diatasnya menjadi kacau.
Sekilas kuingat saat pertama kali kami bertemu, di danau yang sama dengan kekaguman satu sama lain. Kemudian kata katanya yang menenangkan saat aku harus menghadapi naga. Pesta dansa, tabrakan di lapangan Quidditch, botol sojunya, kolam air panas Dumstrang, dan ciuman itu. Semua kenangan indah itu berubah menjadi penghianatan yang menjijikkan. Caranya memerangkapku begitu halus, begitu licin dan picik. Seharusnya ia saja yang menjadi keturunan Slytherin murni. Ia menginginkan kematianku dengan bujuk rayu cinta. Ia menginginkan kematianku. Darahku.
Baiklah. Baiklah.
Baiklah. Jika itu yang mereka inginkan. Jika mereka ingin aku celaka dalam turnamen, aku akan memberikan kemenangan mutlak atas turnamen ini. Dan akan kubuat wajahnya malu dihadapan semua anggota perkumpulannya. Malu yang amat sangat yang ia tak bisa menanggungnya hingga ingin membunuh dirinya sendiri.
Aku bangkit dan menghapus air mataku. Tak kusangka aku sudah semalaman duduk di tepi danau. Membekukan diriku sendiri dengan bodohnya. Ini sudah hampir pagi dan aku harus kembali ke bangsal. Kakiku sedikit membeku tapi masih bisa aku rasakan. Aku mencoba berdiri dengan perlahan, tapi kepalaku tiba tiba pening dan pandanganku buram. Sakitnya berawal dari bola mataku, kemudian menjalar hingga ke belakang kepalaku. Kukira aku akan pingsan, tapi sekelebat bayangan yang berganti ganti terus muncul dalam pikiranku seperti mimpi.
Kuburan.
Nisan.
Piala Triwizard.
Kemudian sakitnya semakin menjadi dan aku terhuyung kebelakang.
Tungku panas.
Dan patung malaikat maut.
Semuanya berkelebat dengan cepat dan berulang. Ini mulai lagi. Sakit yang familiar dibelakang mataku. Jauh lebih parah dari mimpi yang terakhir kali kualami. Kemudian bayangan bayangan itu berkelebat makin cepat dan makin cepat. Hitam berkilat kilat dan seakan meledak di kepalaku. Tanpa bisa dikontrol mengalirlah sesuatu dari kedua mataku. Kurasakan itu sangat kental dan panas, tapi otakku tak kuasa menerka apa itu. Aku terjengkang ke belakang. Rasanya pusing luar biasa. Kakiku lemas dan tubuhku ambruk ke rerumputan. Butir embun merembes ke dalam bajuku dan membuatnya basah. Punggungku pun turut serta membeku.
Tak lama kemudian kepalaku seperti terangkat dan berbaring pada sesuatu yang empuk. Topiku dilepasnya dan ia melihatku. Perlahan lahan kesadaranku kembali, pening dikepalaku berangsur menghilang dan tak menyisakan nyeri sedikitpun. Pengelihatanku kembali dan bisa kulihat di bola matanya ia terkejut. Melihatku yang kacau. Pipi basah karena bekas air mata yang sudah kering, dan juga..
"Kau berdarah."
Apa?
"Kau bisa melihatku?", tanyanya.
Aku mengusap pipiku dan kulihat tanganku memerah. Aku mengeluarkan darah dari kedua mataku. Tapi anehnya aku tak merasa sakit lagi disisi manapun bola mataku. Pening yang sesaat tadi menyerangku sudah hilang dan semuanya terasa normal. Hilang begitu saja.
Dan aku sadar siapa dia, yang menyandarkan kepalaku di pangkuannya. Chanyeol.
"Pergi kau dari sini!" Aku melompat menjauh darinya dan refleks menodongkan tongkatku.
"Maafkan aku Shoren. Maaf."
"Kau. Aku tak menyangka ternyata kau adalah salah satu dari mereka. Kau ingin aku celaka di turnamem itu? Hah? Itu yang kau mau?!'
"Bukan seperti itu!"
"Lalu apa? Aku telah mendengar semuanya!" Amarah ini tak bisa kubendung lagi. Nafasku memburu seakan aku akan meledak.
"Kau salah paham." Kudengar suaranya bergetar.
"Kalau begitu jelaskan padaku apa yang sebenarnya terjadi!"
Chanyeol tertunduk kemudian menggeleng dengan cepat, "Aku tidak bisa."
"See?! Kau memang bukan sekutu. Mulai hari ini jangan pernah mendekat. Aku tidak ingin melihat wajahmu lagi!"
"Shoren, maafkan aku."
"Maaf?! Maaf katamu?!" Suaraku benar benar terdengar mengerikan bahkan di telingaku sendiri. "Sekarang kutanya lagi padamu Chanyeol. Menurutmu pantaskah seseorang yang sudah menghianati dan menginginkan darahku diberi maaf? Apa kau akan memaafkan orang seperti itu?!"
"Kau menginginkan darahku untuk kauserahkan kepada Si Penghianat kan? Itu kan misimu yang sebenarnya. Baik, bunuh saja aku sekarang. Disini sepi. Tidak ada satupun yang tahu jika kau membunuhku. Satu mantra kecil akan menyelesaikan semuanya."
Kurasa aku sudah kehilangan kewarasan. Chanyeol pun sepertinya sama. Ia hanya mematung dihadapanku dan air mukanya mengeras.
"Ayo! Kau ingin darahku kan? Kenapa tak kita selesaikan disini saja, huh?!"
Aku mengambil tongkatku dan mengarahkannya ke pergelangan tanganku sendiri. Hanya bisikan kecil mantra dan pembuluh nadiku akan putus. Jika ini yang ia mau jika ini yang mereka mau mengapa tak sekalian saja. Supaya aku tak dikejar kejar, tak diburu seperti binatang.
Kulihat wajahnya seketika panik dan memucat. "Shoren, tidak. Bukan seperti itu!"
"Bukan seperti ini? Lalu seperti apa? Begini?!" Aku menodongkan ujung tongkatku ke leherku.
"Kau benar benar tidak mengerti, Shoren." Aku bersumpah suaranya mulai serak.
"Lalu seperti apa?! Seperti apa yang harus aku tahu!" Suaraku tercekat. Paru paruku terasa diremas oleh dua tangan secara bersamaan. Mataku panas dan kurasa aku akan menangis. "Lalu hal seperti apa? Semuanya bilang aku tidak mengerti. Ayahku, Professor Pawliger, bahkan kau! Bukankah itu tidak adil? Semuanya membicarakan darahku, ingin nyawaku tapi aku sendiri tidak diberi tahu satu fakta pun! Barang secuil. Lalu kau minta aku untuk apa? Jikalau aku hidup aku akan terus dicelakai, bukan hanya aku tapi teman temanku juga! Cukup sampai ibuku. Kumohon."
Aku sendiri bingung. Chanyeol selalu bisa meruntuhkan semua pertahananku bahkan saat aku sudah membencinya. Awalnya aku ingin menang telak dalam turnamen agar para Dumstrang merasa malu, tapi setelah melihat Chanyeol aku justru ingin mati di tangannya. Ia membuatku terlihat bodoh dengan mudah dan aku benci diriku sendiri.
"Sekarang aku ingin mati, kuserahkan darahku dengan percuma supaya kalian berhenti. Tapi kini kau bilang aku tidak mengerti apa apa. Menurutmu apa yang harus aku lakukan, hah?!"
Aku berteriak padanya. Aku tak peduli para hantu atau mungkin mata mata Si Penghianat yang lain akan mendengar ini. Aku sudah kepalang frustasi dan kebingungan. Hidup pun aku akan selalu dikejar, jika aku mati maka semuanya mungkin akan selesai. Aku akan mengabiskan darahku disini. Biar darahku terbuang percuma sehingga Si penghianat pun tak akan mampu menggunakannya.
Ya, kurasa itu adalah ide terbaik. Akan kubunuh diriku sendiri disini. Biar tanah basah ini menyerap semua darahku dengan cepat hingga tak bersisa.
Aku menggenggam tongkatku dengan erat. Menekan ujungnya ke dadaku.
"Shoren, apa yang kau lakukan?! Jangan bodoh!"
Teriakannya tidak membuatku berhenti. Kupejamkan mataku. Pikiranku sungguh pendek tapi mungkin ini yang terbaik.
Sectu—sempra..
"Expelliarmus!"
Seketika tanganku terhempas dan tongkatku terlempar. Chanyeol melucuti tongkatku.
"Apakah kau—semarah itu? Padaku?" Tanyanya lirih. Sorot matanya terluka.
Tapi tidak denganku. Aku tidak terpengaruh sedikitpun. "Kau masih menanyakannya?! Setelah melihat semua ini?!"
Entah kenapa aku begitu marah sekarang. Perasaanku dengan mudahnya beralih dan seolah ada bisikan yang datang membuatku benar benar muak pada Chanyeol. Kupanggil tongkatku lagi. Ia datang dengan patuh dan mendarat di genggamanku. Ku pegang ia mantap dan tanganku bergerak menodongnya.
"Terserah apa katamu." Suaraku menggeram. "Jangan pernah muncul lagi dihadapanku."
Setelah itu kutinggalkan ia sendiri di tepi danau. Aku berjalan cepat menyusuri hutan lebat untuk kembali ke kastil. Persetan dia ingat jalan kembali atau tidak. Akan lebih baik jika ia digigit ular atau beruang. Aku sudah benar benar tidak peduli. Kepalaku mulai pusing dan aku harus cepat cepat kembali ke bangsal sebelum suster rumah sakit sekolah menyadari aku hilang dan menyebabkan kepanikan.
Sepanjang perjalanan aku benar benar masih marah, kepalaku terus berpikir bagaimana caranya aku memenangkan turnamen Triwizard padahal sebelumnya aku tak pernah memikirkan untuk menang. Pikiranku terus marah dan menyalahkan semua orang, tapi hatiku, entah kenapa mengatakan Chanyeol bukan salah satu dari mereka.
Entahlah.
.
.
.
.
.
Keesokan harinya saat aku keluar rumah sakit dan diperbolehkan pindah ke kamarku sendiri aku berpapasan dengan Chanyeol di salah satu tangga menuju asramaku. Kami tak saling menyapa, aku yang acuh lebih tepatnya. Pikiranku masih menolak memaafkannya meski hatiku masih diliputi tanda tanya.
Kekakuan diantara kami terus berlanjut, bahkan di perpustakaan. Ia memergokiku belajar sihir hitam baru di seksi terlarang dan aku hanya melengos menjauhinya.
"Apakah kata-kataku tempo hari kurang jelas? Stay away from me." Jeda dariku sejenak. "Please."
"Tapi Shoren, ak—aku."
Tak kubiarkan ia menyelesaikan kalimatnya untukku. Kupakai topi snapbag ku kemudian pergi keluar seksi terlarang sambil menggendong buku tebal.
.
.
.
.
.
Suara drumb band menggema sejak sore. Terompet dan cello bersahutan layaknya petir dan gemuruh. Podium setengah lingkaran di depan maze terbagi menjadi empat kubu. Dumstrang dengan panji merah darahnya, Beauxbatons dengan emblem emas dan perak, serta kubu Thomas yang ramai dan kubu gryffindor yang sepi hanya untukku.
Hari ini adalah tugas akhir bagi kami. Menemukan piala Triwizard di dalam maze selebar sepuluh kali lapangan sepak bola. Dengan banyak pintu jebakan, makhluk gaib dan sihir hitam. Aku tak begitu peduli karena kemenangan hanyalah milikku. Kemenanganku adalah balas dendam untuk si keparat Chanyeol. julukan baru untuknya karena ia terus mengemis maaf dariku bahkan saat aku benar benar mengacuhkannya.
Kulihat Helena yang melambaikan bendera Gryffindor dengan mata sembab, tak terkecuali Kyungsoo yang tak kalah kacau. Mereka pasti sangat khawatir, apalagi mereka tahu bahwa ada sebuah rencana untukku dibalik turnamen ini. Demi meredakan kekhawatiran mereka, akupun mengangguk singkat dan tersenyum, menggumamkan dont worry pada mereka sambil berkedip. Kudapat balasan fighting dari keduanya. Membuatku sedikit senang dan hangat.
Tak lupa ayahku berada disamping mereka, wajahnya benar benar cemas dan terlihat jauh lebih tua dari terakhir kali kulihat. Aku sungguh tak sanggup melihatnya, tapi aku sendiri pun tak mungkin berlari meninggalkan tempatku dan berlari memeluknya.
Stay alive. Ayah tak peduli meski kau menjadi yang terakhir keluar maze. Asalkan kau masih hidup itu sudah segalanya bagi ayah. Oh, Shoren, promise me.
Kuingat lagi kata kata terakhirnya sebelum pelukan terakhir di depan pintu maze. Aku akan menjaga janjiku padanya. Kulihat lagi wajah ayahku yang sedang berkaca-kaca.
Tatapanku beralih kearah pintu masuk maze. Ketujuh peserta dihadapkan pada sebuah ceruk dari dedaunan, satu untuk masing masing. Bisa kulihat sekilas didalam begitu gelap dan berkabut. Jarak pandang yang ada memaksa siapapun untuk waspada dan berhati hati.
"So!" Suara Professor Pawliger menggema. Kami bertujuh menoleh ke asal suara dan bisa kulihat semua professor dari ketiga sekolah duduk di bangku khusus. "Para peserta akan masuk ke maze, penuh dengan sihir dan makhluk gaib. Jika kalian merasa tidak mampu, kirimkan tanda dengan tongkat dan tim kami akan langsung menjemput. Tidak ada peraturan, tidak ada larangan. Siapa saja yang menyentuh piala Triwizard pertama kali ia akan dinobatkan menjadi pemenang."
Ini dia, tidak ada aturan, tidak ada larangan.
"Ketujuh peserta Triwizard!" Aku menahan nafas diantara jeda yang dibuat profesor Pawliger. "Dipersilahkan masuk."
Suara drum band kembali menggema, mengiringi kepergian tujuh peserta yang menjemput bahaya. Tak kuhiraukan tatapan memelas dari Chanyeol, maupun kedua teman baikku. Sampai akhirnya kesedihanku menghilang. Lorong dedaunan gelap dengan kabut putih menyapa pengelihatanku. Suasananya mencekam, bahkan melebihi hutan terlarang. Disana bisa saja ada naga, ular, beruang liar, apapun itu. Tapi ambisi mengalahkan Dumstrang mengalahkan kekhawatiranku. Sudah tak kuhiraukan lagi tatapan mengejek atau cemoohan dari kumpulan Ravenclaw maupun Slytherin. Mereka hanya manusia bermulut besar yang bahkan namanya saja tak dipilih oleh piala api. 'Hanya orang-orang lemah', pikiran sombongku nyeletuk.
Aku melangkah masuk, begitu juga dengan peserta yang lain. Tiga langkah, lima langkah, dedaunan di belakangku menutup, menyisakan sayup suara drum band kemudian lambat laun menghilang. Kini yang ada hanya sunyi, sepi, seakan akan mampu menulikan telinga. Siapapun yang tak kuat mental akan langsung menangis dan memohon untuk keluar.
Aku terus melangkah, sembari mengucapkan mantra lampu diujung tongkatku. Aku tak tahu bentuk keseluruhan maze ini, setiap kali turnamen bentuknya selalu diubah, bahkan beberapa jam sekali beberapa jalur bisa berubah menjadi jalan buntu. Tak ada yang bisa kuandalkan selain instingku. Para peserta tidak diperbolehkan membawa apapun selain tongkat. Andaikan saja peta perompak bisa kubawa maka semuanya pasti berjalan dengan mudah. Tapi tidak, aku akan menang dengan terhormat.
Kutemui pertigaan, instingku mengatakan aku harus tetap berjalan lurus. Kuarahkan tongkatku ke kanan, hanya ada jalan kosong yang panjang, begitu juga dengan jalan ke kiri. Aku melangkah perlahan, berusaha sebisa mungkin tidak bersuara. Namun saat lima langkah telah kulewati di pertigaan itu kurasakan ada sesuatu yang melintas. Sangat cepat seperti bayangan. Buru buru aku berbalik dan mataku bergerak liar. Ini tidak baik.
Kulangkahkan kakiku semakin cepat, berniat bersembunyi dibalik tikungan berikutnya. Saat aku memutuskan berlari kemudian berbelok, seseorang menabrakku dengan kuat. Kami bebarengan berdiri dan saling menodongkan tongkat.
"Kim Kai?!" Teriakku setengah berbisik.
Ia hanya tenang, tak berusaha menyerangku atau memukulku. Tapi ini aneh, ia hanya memperhatikanku. Berbicara saja tidak. Saat kuarahkan tongkatku untuk melihat wajahnya ada sesuatu yang aneh pada matanya. Dua bola matanya tertutup selaput keabuan! Ia disihir.
"Are you okay?", tanyaku padanya.
Tapi ia tak menunjukkan reaksi, ia malah meninggalkanku dan pergi ke arah sebaliknya. Ia jelas jelas disihir, aku tahu itu dari kedua matanya yang dihalangi sesuatu. Maze ini benar benar bukan lelucon.
Aku harus bergegas sebelum mengalami hal yang sama. Aku berlari, berbelok di titik yang kuyakini akan membawaku ke piala. Ranting ranting daun disini tajam dan berduri. Beberapa lorongnya menyempit dan melebar dengan tiba tiba. Di beberapa lorong juga terdapat sihir angin puting beliung yang membuat langkahku menjadi berat dan terseok. Tepat disaat aku ingin berbelok ke kiri di sebuah persimpangan, aku mendengar sebuah jeritan di arah berlawanan. Itu Maddison.
Aku berlari menuju asal suaranya, tidak jauh, namun juga sulit ditemukan. Kemudian aku berhenti di sebuah perempatan, tempat perkiraanku teriakan Madisson berasal, tapi aku tak tahu harus mengarah kemana. Saat pandanganku menyisir keempat jalan aku melihat akar dibawah dinding bagian timur menggeliat dan mencakar cakar tanah. Ada sebuah tongkat disana dan kuyakin itu milik Madisson.
Aku berlari kesana dan kulihat ia dihisap masuk kebalik tempok tanaman. Ini tanaman setan.
Madisson pun sudah lemas tak bergerak, sepertinya ia tak sadarkan diri. Aku harus menyelamatkannya. Ia tak pernah mencelakai ataupun mencurangiku. Sisi Gryffindorku mengambil alih.
Secepat kilat aku mengarahkan tongkatku ke akar akarnya yang melilit Maddison. Ingin meledakkannya dengan sekali rapal tapi aku tahu Madisson juga bisa saja terluka. Akhirnya kuputuskan untuk memantrai dinding maze nya saja.
"Reducto!"
Dinding maze itu bergoyang, bergelombang hingga yang terjauh yang bisa kulihat dan ia melambat. Kugunakan kesempatan ini untuk mengurai akar tanaman yang melilit Madisson, memotongnya sedikit demi sedikit kemudian menariknya keluar. Namun sialnya, dinging maze marah padaku karena bagiannya diledakkan. Ia mulai menyempit hingga tak menyisakan celah. Ini gawat, aku harus cepat.
Kunaikkan Madisson diatas punggungku dan berlari secepat yang aku bisa, tembok tanaman dibelakangku terus menyempit seakan ingin melahap kami. Untungnya kulihat pertigaan di ujung sana. Jika aku berbelok mungkin aku bisa lolos dari himpitan tanaman tanaman sialan ini. Kupaksa kakiku untuk berlari lebih cepat, tak peduli duri di ranting yang mencuat terus menggoresku, yang penting aku dan Madisson tidak remuk dihimpit.
Akhirnya lima langkah lagi dan aku berhasil berbelok. Disusul suara berdebum dari dinding di belakangku. Menyisakan asap tebal dan beberapa daun yang berterbangan. Aku cukup lega. Dengan nafas yang terengah kuturunkan Madisson dan membaringkannya perlahan. Ia masih bernafas namun sangat pelan. Terpaksa ia harus keluar dari permainan ini jika masih ingin hidup.
"I'm sorry." Ujarku padanya sambil memberi tanda kembang api perak dari tongkatku. Cahayanya membumbung tinggi di angkasa dan saat aku lari menjauh aku mendengar beberapa orang mendekat dengan sapu terbang. Syukurlah, bantuan sudah datang. Sesaat kemudian aku memutuskan untuk meneruskan perjalanan.
Sayangnya perjuanganku belum selesai, aku terus berlari dan berbelok, bahkan beberapa kali aku kembali ke tempat yang sama. Sampai suatu waktu dimana aku tak sengaja melihat sebuah cahaya dari balik dinding maze. Cahaya itu kecil, biru yang diam. Mengintip nakal dibalik akar akar tanaman maze.
Senyumku mengembang, "No way!"
Seketika aku berlari menuju asal cahaya. Tidak mungkin itu adalah cahaya dari piala. Aku kira menemukan piala Triwizard tak akan semudah ini. Tapi sudahlah, mungkin leluhur Gryffindor sedang memihakku kali ini. Aku terus berlari menuju secercah biru kecil, berbelok di ujung sana dan bisa kulihat apa sumber cahaya itu, tapi siapa yang mengira aku justru tertabrak sesuatu. Sangat besar sampai pipiku sakit.
"Kau?!"
Sial. Chanyeol juga mengetahui piala itu disini. Ia yang menabrakku barusan. Kami sama sama terjatuh dan berguling. Tapi aku tak peduli, aku harus tahu cahaya apa itu.
Dan semua dugaanku benar. Lampu jalan yang diberi pegangan dan diisi cahaya biru. Piala Triwizard. Berdiri secara biasa diatas podium kayu yang jelek. Aku tidak pernah mengira akan mempertaruhkan nyawaku hanya untuk benda tua yang harusnya ada di toko barang antik.
Sedetik setelah aku memproses pengelihatanku, aku sadar Chanyeol juga disini. Tidak, tidak, tidak. Dia tidak boleh menyentuhnya lebih dulu.
Kami berdua sama sama bangkit, berlari bersamaan menuju piala itu. Aku berada di depannya tapi ia menarik bajuku dari belakang hingga aku terjungkal. Sial, dia main curang.
"Expelliarmus!" Kumantrai kaki dan tongkatnya hingga ia sama terjungkalnya.
Yeah. Jangan bermain main dengan Shoren Lantern. Aku berlari melewatinya. Menghiraukan tatapannya. Tapi rupanya ia tak mau menyerah. Ia meraih kakiku dan aku jatuh untuk kedua kalinya. Saat kami ingin bangkit dan berlari lagi akar akar jahat itu mulai melilit kaki kami. Sangat ketat hingga sakit rasanya. Akar akar itu mulai menjalar ke paha, perut, lengan dan leher. Oh tidak, aku tak mau dihisap.
"Lumos solem!"
Cahaya yang besar dan menyilaukan keluar dari ujung tongkatku, membuat akar akar itu menjerit dan melonggarkan pegangannya. Degan seluruh kekuatan aku merangkak keluar dari lilitannya, menjejak, mencakar dan melakukan segalanya agar aku terbebas. Sampai akhirnya aku bisa bernafas lega. Segera aku berdiri dan ingin berlari, tapi sebuah suara menahan sekujur tubuhku.
"Shoren—" Itu Chanyeol. "To-tolong aku."
Tangannya meraih ke udara, kemudian mencakar-cakar tanah agar ia tak ditarik masuk ke dalam dinding maze. Ia berusaha meraih tongkatnya yang tadi terlontar karena kumantrai.
Aku benar-benar tidak menyukai saat-saat ini. Saat dimana sebagian diriku bertengkar dengan sebagian yang lain. Bagian diriku yang ingin memenangkan Chanyeol dan bagian diriku yang ingin memenangkan egoku. Chanyeol telah menyakitiku lebih dari siapapun. Ia menghianatiku dengan cara yang terlampau sakit. Tapi, sebagian diriku mengatakan ia adalah orang yang oernah membuat hriku menjadi lebih indah, membuat hatiku merasa hangat meskipun semua hanyalah kepura-puraannya.
"Lumos solem!."
Namun, dari semua hal yang kubenci, aku lebih membenci perasaanku yang ingin menyelamatkannya.
Aku segera membantu menarik akar akar jahat itu, mengirisnya dengan mantra dan menarik Chanyeol keluar. Keadaannya sama kacaunya denganku dan ia terlihat sangat berterimakasih. Tapi aku hanya membalasnya dengan tatapan dingin seperti akhir-akhir ini. Membantu menyelamatkan nyawanya bukan berarti aku sudah memaafkannya. Keinginanku untuk menang telak atasnya masih sangat menggebu. Tapi kukira ia juga tak tahu malu dan masih ingin menang dariku. Terbukti saat ia menahan tanganku ketika aku akan berlari lurus ke arah piala.
"Jangan sentuh pialanya." Katanya singkat.
"Apa?" Aku sungguh tak percaya ia akan berkata seperti itu. "Apa kau bilang?"
"Kumohon. Jangan sentuh pialanya."
"Sudah cukup. Jika kau ingin menang maka rebut pialanya dariku. Jangan memohon."
Tak peduli ia akan terluka dengan kata kataku atau tidak. Kukira ini sudah keterlaluan dan ia berhak mendapatkannya.
Aku menghempaskan tangannya dan berlari kearah piala. Tak kupedulikan teriakannya yang terdengar memohon dengan pilu. Akhirnya Chanyeol pun mengejarku setelah mengambil tongkatnya yang terlempar, berusaha menjambak bajuku namun tak bisa. Didepan mataku hanya ada piala tua yang menyala dengan redup, beberapa langkah lagi akan kuberikan kenangan pahit untuk Durmstrang dan yang lainnya. Tanganku menjulur untuk menyentuh piala itu, saat akhirnya aku merasakan permukaan dingin dari piala tua itu, aku melihat ada tangan lain yang turut meraihnya.
.
.
.
.
.
Tak ada yang kuingat setelah aku dan Chanyeol menyentuh Piala Triwizard secara bersamaan, tiba-tiba saja punggungku terasa remuk dan kakiku sedikit terkilir. Kulihat cahaya biru temaram sedikit jauh di arah timurku, mungkin piala itu terlempar dengan tidak sengaja. Di sudut lain kulihat tubuh Chanyeol tertelungkup dan tidak bergerak, wajar saja kami seakan akan terlempar dari lantai dua dan jatuh di sebuah tempat yang aku sendiri belum sadar dimana itu.
Perlahan aku mencoba bangun dan menggerakkan kakiku, syukurlah cederanya tak seburuk yang aku kira. Entah mengapa atmosfer di tempat ini sungguh tidak menyenangkan. Begitu gelap dan berkabut. Aku belum pernah ke tempat ini sekalipun dalam hidupku, tapi anehnya aku merasa pernah kemari. Seperti de javu.
Ayahku pernah bilang, de javu adalah hal yang setiap orang pernah rasakan. Bukan kejadian yang terjadi dua kali, namun karena bisa saja orang tersebut pernah melakukan kejadian yang sama di tempat yang sama di dalam mimpi.
Astaga. Mimpi. Mimpiku.
Aku buru buru bangkit dan melihat sekeliling. Suasana ini benar-benar sama seperti di dalam mimpiku.
Kuburan.
Nisan.
Patung malaikat maut.
Piala Triwizard.
Dan tungku panas.
Tuhan, ini bukan pertanda baik.
"Chanyeol! Bangun!" Aku mengguncang tubuh Chanyeol sekuat tenaga setelah berlari kearahnya seperti orang kesetanan. "Cepat bangun!"
Chanyeol mengerang dan ia berusaha bangkit. "Apa yang terjadi?"
"Piala itu! Piala itu adalah portkey! Dan kita sudah menyentuhnya. Aku melihat tempat ini di dalam mimpiku. Dan itu bukan mimpi yang bagus."
(*portkey: alat transortasi penyihir yang bisa membuat penyihir berpindah tempat dalam waktu yang sudah ditentukan dan ke tempat yang sudah ditentukan pula. Hampir seperti teleporter. Penyihir akan berpindah tempat dengan cepat hanya dengan menyentuhnya.)
Kulihat Chanyeol kalap dan dia mengamati situasi dengan terburu-buru. "Shit!" Ia mengumpat. "Kita harus segera pergi dari sini."
Aku mengangguk dan membantunya berdiri, namun saat kami berdua mencoba berlari untuk mengambil piala Triwizard yang terlempar, sebuah suara menghentikan kami. Tidak, menghentikanku lebih tepatnya.
.
.
.
.
.
Bersambung.
Jeongmal, jinjja, real, mianhabnida.
Mohon maaf yang sedalam dalamnya untuk pembaca dan pengikut fanfiction ini karena sudah saya buat menunggu. Mohon maaf karena saya sudah sampai di tahun terakhir kuliah. Saya baru saja di semester kemarin selesai proposal skripsi dan KKN (Kuliah Kerja Nyata) dan setelah ini saya harus PKL (Praktek Kerja Lapangan) dan Skripsi. Untuk itu mohon maaf kedepannya mungkin jarak antara chap ini dan chap terakhir akan sangat lama (mungkin lho ya). Mohon maaf juga kalau setelah baca chap ini ceritanya ga sebanding dengan lamanya saya (bisa dibilang) semi hiatus. Semoga kedepannya saya diberi kelancaran dalam penyusunan ini itu dan bisa segera menyelesaikan fict ini.
Dan mohon maaf juga kalau ada typo dan bahasa yang ga enak dibaca, saya ndak sempet baca ulang soalnya hehe. Pokoknya beribu ribu maaf darikuuuu. Dan terimakasih telah sungguh sangat sabar menunggu update an fanfiction ini. Kalian da best!
Oiya, doakan juga ya lamaran scholarship saya tembus biar bisa ketemu oppa oppa hahahaks (alasan sekolah yang ga bener).
Waktu kalian baca chap ini di ffn, saya sudah dalam masa pengetikan final chap kok ;) (walaupun masih 2 paragraf hehehe)