Gintama © Sorachi Hideaki

Nothing is impossible in Gintama, right?


"Mau aku temani menemui Kakek Gengai?" Gintoki bertanya, mengangsurkan Toshirou yang masih tertidur pulas kepada Hijikata.

"Hmm, mungkin lain kali. Aku harus segera kembali bertugas." Ia meringis membayangkan apa yang dilakukan Sougo selama menggantikan dirinya pagi ini. Dia yakin sekali pemuda itu sedang tidur siang di suatu tempat yang hangat.

"Kau mau membawanya bekerja, eh? Kenapa tidak titipkan saja padaku? Kebetulan Gin-san tidak ada kerjaan hari ini."

Hijikata mendengus. "Jangan bercanda. Aku tidak mau dia belajar menjadi pengangguran dan mengupil di tempat umum seperti dirimu."

"Kenapa kata-kata yang keluar dari mulutmu tidak pernah enak didengar, Oogushi-kun? Kau tidak pernah memuji Gin-san sekali pun. Padahal dia sudah begitu sabar menghadapi orang sepertimu."

"Jangan bersikap manja. Kau sendiri yang mengatakan tidak ada kerjaan hari ini."

"Baiklah, Gin-san akan menyibukkan diri dengan membaca ulang Jump." Gintoki menggumam, mengorek telinga kirinya. "Oh! Kau tidak akan menyuruh Okita-kun menjaganya, kan? Kita tidak tahu apa yang akan dilakukan pemuda sadis itu kepada Toushirou-kun."

"Aku tidak sebodoh itu, Yorozuya."

"Hai, hai. Selamat bekerja, Tuan Wakil Komandan. Jangan terlalu memaksakan diri, oke?" Gintoki memamerkan cengirannya. Mengulurkan tangan untuk mengacak rambut Hijikata pelan.

Ia hanya menggerutu. Tidak menepis tangan Gintoki, karena kedua tangannya sibuk memegangi Toushirou. Begitu pria berambut perak itu pergi dengan langkah riang, ia menunduk dan mengubur wajahnya pada surai hitam Toushirou. Menyembunyikan mukanya yang memerah.


"Ah, urusanmu dengan Danna sudah selesai, Hijikata-san?"

Tepat seperti dugaannya.

Ia menemukan Sougo saat berkeliling mengawasi anak buahnya yang tengah berpatroli. Pemuda tanggung itu sedang tidur di depan sebuah kedai dango. Kalau bukan karena sedang bersama Toushirou, dia pasti sudah menendang Sougo untuk membangunkannya.

"Kau sendiri, sudah selesai bertugas, ya?"

Sougo menguap lebar, merentangkan tangan dan meregangkan badannya hingga terdengar bunyi berderak dari sendi-sendinya. Sudut mata Hijikata mengejang.

"Hmm, semuanya oke, Fukuchou. Tidak ada keributan atau perkelahian."

Ia mendengus.

"Kupikir kau sudah mengembalikan bocah itu ke masa lalumu yang suram? Lalu apa saja yang kau dan Danna lakukan dari tadi, Hijikata-san? Aku tidak menyangka kau tidak punya rasa malu dan melakukan itu di hadapan anak kecil. Ckckck."

Kali ini ia tidak menahan diri untuk melayangkan kakinya dan menendang tulang kering Sougo. Tidak sekeras yang ia inginkan. Hanya cukup membuat pemuda itu mengaduh pelan.

"Melakukan apa maksudmu? Kau mau mati, ya?" Hijikata menjatuhkan diri dan duduk di samping Sougo, menghela nafas panjang. Ya Tuhan, ia ingin sekali meluruskan kedua tangannya. Kenapa Toushirou belum bangun juga?

"Hmm, melakukan yang biasa kalian lakukan; bertengkar. Apa lagi? Ah. Apa kau memikirkan sesuatu yang lain, Hijikata-san?" Sougo memicingkan mata, memandanginya dengan curiga.

"Hentikan, Sougo. Aku sedang tidak ingin berurusan denganmu." Lagi-lagi Hijikata menghela nafas panjang. Ini masih siang tapi ia sudah merasa lelah. Inilah akibatnya jika berurusan dengan Gintoki dan Sougo.

Dari dalam kedai samar-samar terdengar keramaian para pembeli. Aroma dango yang manis menyeruak mengganggu hidungnya. Ini sudah waktunya makan siang, tentu saja dia merasa lapar.

"Aku tahu kau menyukai anak itu, Hijikata-san. Tapi kau harus segera memulangkannya. Atau jangan-jangan kau ingin membesarkannya seperti anakmu sendiri?"

Ia menoleh, berharap melihat Sougo memasang tampang menyebalkan seperti biasa. Tapi kali ini tidak. Pemuda itu melihat ke arahnya dengan serius. Penutup mata yang ia pakai untuk tidur dinaikkan dan melingkari dahinya.

"Ah, lagipula mengurus diri sendiri saja tidak bisa, bagaimana kau akan mengurus bocah itu? Dia bisa mati kalau kau memberinya makanan anjing seperti yang sering kau makan." Sougo mengangkat bahu dengan gerakan santai. Ekspresi serius yang ia tunjukkan tadi seketika menghilang. Digantikan muka datarnya yang menyebalkan.

"Kami sedang mencari cara untuk mengembalikannya. Kau tidak perlu khawatir, aku tidak akan membiarkan diriku yang kecil dan menggemaskan ini terlalu lama bertemu dengan pangeran sadis sepertimu."

Sougo menggumam. "Baguslah. Cepat pulangkan anak itu, Hijikata-san. Kalau kau bersamanya terus, kau membuatku semakin sibuk harus menggantikan tugas-tugasmu."

"Sibuk apa? Aku yakin kau sudah tidur sejak tadi."

"Hmm, setidaknya aku tidak membolos kerja dan pergi bermesraan dengan seseorang di hutan. Karena kau ada di sini, aku akan pergi mencari tempat lain untuk meneruskan tidur siang. Tolong jangan bermalas-malasan, Hijikata-san." Pemuda berambut coklat itu pergi berlalu sambil melambaikan tangan.

Hijikata hanya menggerutu.


Hijikata menggandeng tangannya memasuki sebuah restoran keluarga. Toushirou belum pernah pergi makan di luar, jadi ia mengedarkan pandangannya dengan kagum. Tempatnya tidak begitu luas, tapi kondisinya bersih dan ramai. Aroma harum masakan membuat perutnya berbunyi semakin nyaring. Ia merabanya dengan tangan kiri yang bebas.

"Ara, Hijikata-san, siapa anak manis ini? Baru kali ini aku melihatnya."

Ia mengangkat kepalanya dan disambut senyuman hangat seorang wanita paruh baya. Meski terlihat ramah, wanita itu mengingatkannya pada nenek galak yang bekerja di kediaman Hijikata. Ia pun bersembunyi di belakang Hijikata. Tangan kirinya mencengkeram ujung jaket pria itu.

"Ah, dia—err… anak—kerabatku! Ya, benar. Dia anak salah satu kerabatku."

"Oh, begitu rupanya. Tapi dia mirip sekali denganmu, Hijikata-san."

Nenek itu masih tersenyum. Sepasang matanya nyaris membentuk garis lengkung, dikelilingi kerutan kulit yang menunjukkan usianya tak lagi muda. Kalau diperhatikan dengan baik, dia tidak benar-benar mirip dengan nenek galak itu. Dia tidak akan memarahi Toushirou, kan?

"Maaf, Mitsuko-san, dia agak pemalu." Hijikata menarik tangannya. "Ayo, perkenalkan dirimu."

Toushirou mengangkat kepalanya takut-takut. Ia sedikit tersentak karena paman yang duduk tak jauh darinya membuat keributan kecil. Wanita tua itu—Mitsuko-san namanya—masih tersenyum kepadanya.

"Aku… Hijikata Toushi—" Tiba-tiba saja perutnya memutuskan untuk menyela dengan suara keras. Seketika itu mukanya memerah. Ia langsung menundukkan kepala. Tapi Mitsuko-san hanya tertawa, dan Hijikata melepas genggaman tangannya—harus sedikit menarik paksa—dan berpindah memegang pundaknya. Membawanya maju sedikit

"Kelihatannya ada yang tidak sabar ingin segera makan. Jadi, dua porsi Hijikata Special?"

Hijikata Special? Ia langsung mengangkat kepalanya lagi. Apa ini? Restoran ini punya menu khusus untuk Hijikata? Sehebat itu?

Tapi Hijikata cepat-cepat menggelengkan kepala.

"Ah, berikan anak ini—hei, kau mau makan ramen? Mereka membuat ramen terenak se-Edo."

Ia bertemu pandang dengan Hijikata. Sepasang mata biru yang sama dengannya, tapi sangat berbeda pada saat yang bersamaan. Seperti ada lapisan tertentu pada mata Hijikata yang membuatnya terlihat dewasa, bijak—Ah, apa yang dia pikirkan? Hijikata Toushirou ini 20 tahun lebih tua darinya. Wajar saja.

"Atau… kau mau yang lain? Nasi kare? Gyudon? Omelet? Kau boleh memilih sendiri dari daftar menu. Lihat, itu menunya."

Toushirou mengikuti arah yang ditunjukkan jari Hijikata dan melihat sederet gambar makanan menempel di dinding. Usianya memang baru enam tahun, tapi Toushirou tidak bodoh. Dia sudah bisa membaca dan mengenali kanji. Tapi tidak ada gambar yang bertuliskan Hijikata Special. Hijikata hanya mengizinkannya memilih dari menu yang ada. Tidak ada Hijikata Special.

Apa itu artinya dia tidak layak memakannya?

Dia memang seorang Hijikata, tapi menurut kakak-kakaknya, dia bukan Hijikata yang sah. Apa itu artinya dia tidak berhak makan Hijikata Special? Tapi bukankah Hijikata besar ini adalah dirinya? Berarti dia juga bukan Hijikata yang sah, kan? Lalu kenapa dia boleh makan Hijikata Special?

"Toushirou? Sudah menentukan pilihanmu?"

Tepukan pelan pada pundak membuyarkan lamunannya. Lagi-lagi ia bertemu dengan sepasang mata biru yang sorotnya terlihat jauh lebih matang darinya. Benarkah dia akan tumbuh besar menjadi pria sehebat itu, yang punya menu khusus untuk dirinya sendiri di restoran ini?

"Ah, aku tidak—terserah kau saja, Oniisan."

Tidak bisa dipungkiri, foto-foto makanan itu terlihat enak dan menggiurkan. Tapi yang terus terbayang di benaknya adalah Hijikata Special. Hidangan seperti apa yang hanya boleh dipesan oleh dirinya sendiri yang berusia 26 tahun itu?

Ia melihat Hijikata mengerutkan kening. Tapi pria itu hanya mengangkat bahu dan menepuk pundaknya pelan.

"Satu Hijikata Special dan satu ramen, Mitsuko-san."

"Ah, baiklah. Tunggu sebentar."

Toushirou hanya diam saja saat Hijikata menggiringnya ke sebuah meja di sudut ruangan.

Mungkin memang dia belum pantas menikmati Hijikata Special. Dia harus tumbuh dewasa dan menjadi wakil komandan Shinsengumi, baru boleh memesan makanan itu. Tapi kalau tidak bisa menikmati rasanya, melihatnya saja sudah cukup. Dia tidak boleh serakah, atau Ibu di surga akan marah besar kepadanya.

"Duduklah."

Ia menggumamkan terima kasih. Memanjat naik ke atas kursi yang barusan ditarik keluar oleh Hijikata. Pria itu duduk tegap di hadapannya, lalu membuka kancing jaketnya dan menghela nafas. Sekarang posturnya terlihat sedikit lebih santai. Tangan kanan Hijikata merogoh saku dalam jaket. Kemudian pria itu menggeram pelan, menarik tangannya keluar dalam keadaan kosong.

Toushirou baru sehari mengenal Hijikata, tapi ia sedikit tahu kebiasaan pria itu. Terima kasih kepada pelajaran singkat yang ia terima kemarin, ia jadi tahu kalau dirinya kelak akan menjadi perokok berat. Dia tahu merokok itu berbahaya. Ibu selalu mengingatkannya lagi jika kebetulan mereka sedang keluar dan bertemu pria dewasa yang merokok. Toushirou tidak tahu alasan ilmiahnya, tapi ia yakin sekali Hijikata mengetahuinya. Bagaimana pun juga, Hijikata seorang pria dewasa yang bertanggung jawab, bukan? Tapi kenapa dia merokok? Kalau tugas seorang polisi adalah melindungi orang lain, kenapa dia malah membahayakan dirinya sendiri?

Ia melirik ke arah Hijikata yang memandang ke konter utama. Pria itu bertopang dagu dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya mengetuk-ngetuk meja dengan jari-jarinya yang panjang. Tangan yang besar dan hangat; yang menelan tangan mungilnya dalam genggam erat. Selain dengan ibu, ia tidak pernah bergandengan tangan dengan orang lain, dan kini dengan Hijikata. Dengan dirinya sendiri. Toushirou masih sulit mempercayainya, tapi dia akan tumbuh besar menjadi pria dewasa yang mampu memberi rasa aman kepada orang lain, hanya dengan menggenggam tangannya saja.

Benarkah dia akan menjadi orang sehebat itu?

Sadar telah diperhatikan, Hijikata mengalihkan pandangannya. "Hmm? Ada apa? Kau mau memesan sesuatu yang lain?"

Toushirou cepat-cepat menggelengkan kepala, membuat Hijikata mendengus tertawa. Pria itu melipat kedua tangan di atas meja, sedikit mencondongkan badannya ke depan.

"Hei, err… apakah rumah tua itu masih tetap besar dan—ah… Kenapa aku bertanya padamu?" Hijikata menghela nafas, menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi. "Kau tidak akan tahu ada yang berubah. Maaf, aku selalu berpikiran kalau kau adalah… kalau kau hanya anak kecil yang tinggal di rumah tua yang sudah lama aku tinggalkan."

Hijikata tersenyum kecil, lalu kembali berpangku tangan.

Harusnya yang tadi hanya pernyataan biasa, tapi entah kenapa berhasil mengusik pikiran Toushirou.

Hijikata menganggapnya hanya anak kecil yang tinggal di rumah tua yang telah lama ia tinggalkan. Hijikata menganggap mereka orang yang berbeda. Bukan memandangnya sebagai masa lalu, tapi sebagai individu lain. Seseorang yang bukan dirinya.

Toushirou harusnya tidak terlalu memikirkan hal itu. Mungkin saja Hijikata sendiri sulit menerima bahwa ia bertemu dengan dirinya waktu kecil. Dia sendiri juga masih tidak percaya bahwa yang duduk di hadapannya adalah dirinya ketika dewasa kelak.

Tapi untuk anak seumurannya, Toushirou memiliki pemikiran yang kompleks di atas rata-rata. Pasti karena dia terlalu sering menyendiri di tengah hutan. Seperti seorang pertapa.

Harusnya itu hanya kalimat biasa, tapi kenapa dadanya terasa sedikit sesak mendengarnya? Kenapa Hijikata tidak mau melihat ke arahnya lebih lama? Kenapa Hijikata seperti tidak maumengakui kalau Toushirou adalah dirinya dulu?

Apakah dirinya yang sekarang—Hijikata sang wakil komandan Shinsengumi yang pemberani dan disegani—merasa malu atas Toushirou? Malu karena dirinya dulu, karena Toushirou, hanya seorang anak yang lemah dan cengeng?

Malu karena mereka adalah orang yang sama, tapi begitu berbeda?

Toushirou tidak sadar telah menundukkan kepala, hingga sebuah tangan besar mendarat pada puncak kepalanya. Mengusap pelan, mengangkatnya perlahan. Sepasang mata biru memperhatikannya lekat-lekat. Matanya sendiri. Dirinya sendiri kelak.

Hijikata menunjukkan senyum paksa. Dan melihatnya, membuat Toushirou merasa seperti ada tali yang membelit dadanya.

Kenapa Hijikata terlihat kesulitan menatapnya langsung? Apakah dirinya begitu memalukan?

"Nak, aku tidak tahu apa yang ada di dalam pikiranmu saat ini, meski kau adalah diriku sendiri. Tapi yang aku tahu, diriku kecil dulu selalu memikirkan sesuatu secara berlebihan. Ini memang sulit dipercaya, tapi aku adalah dirimu, dan aku mengenalmu dengan baik. Jadi pikiran negatif apa pun yang ada di kepalamu saat ini, aku pastikan padamu kalau itu tidak benar. Itu hanya perasaanmu saja. Berhenti berpikir macam-macam tentang diriku. Itu artinya, berhenti berpikir macam-macam tentang dirimu sendiri, oke?"

Kalau bukan karena Hijikata adalah dirinya kelak, Toushirou akan mengira pria itu bisa membaca pikiran. Tapi apa yang dikatakan Hijikata ada benarnya. Dia memang terlalu berlebihan dalam memikirkan sesuatu. Karena tidak mungkin Hijikata malu pada dirinya sendiri, apalagi membencinya. Tapi kalau pun itu benar, tidak ada yang bisa pria itu lakukan tentang Toushirou. Tentang masa lalunya. Karena hanya Toushirou yang bisa mengubahnya

Toushirou akan berubah dari anak laki-laki yang cengeng, menjadi wakil komandan Shinsengumi yang disegani. Dia beruntung karena punya kesempatan untuk melihat masa depannya. Apalagi ia akan menjadi seorang yang hebat seperti Hijikata. Apa lagi yang ia khawatirkan?

"Ah, maaf menunggu lama. Satu Hijikata Special dan satu ramen spesial. Silakan dinikmati." Pelayan wanita tersenyum lebar sambil meletakkan dua mangkuk di atas meja.

Toushirou memandangi semangkuk ramennya dengan mata bersinar-sinar. Tapi sebelum mulai makan ada tugas penting yang harus ia lakukan; mengamati Hijikata Special dan menyimpannya dalam memori. Hidangan khusus yang hanya bisa dipesan oleh dirinya saat dewasa nanti.

Tapi begitu Toushirou mengalihkan perhatiannya dari mangkuknya ke mangkuk Hijikata yang ia lihat adalah—

"Err… makanan anjing apa itu?"

Hijikata mengangkat kepalanya dengan cepat dan memandanginya dengan tatapan tidak percaya.

"Ma-makanan anjing kau bilang?!"

Toushirou tidak tahu kenapa, tapi ia tidak bisa berhenti tersenyum mendengarkan Hijikata berbicara panjang lebar tentang Hijikata Special yang, kelihatannya begitu spesial bagi pria itu. Tiba-tiba saja ia melihat sisi lain dari dirinya kelak; seorang pria yang begitu bersemangat dan berapi-api. Dan sedikit aneh.

Tapi sudahlah. Itu kan dirinya sendiri.