Desclaimer : Massashi Kishimoto

Pair : SasufemNaru

Rated : T

Genre : Drama, Romance

Warning : Alur cepat, Typo banyak.

Love to You by; B Broke (alias Be)

Ada sesuatu yang salah dengan dirinya, dan ia merasakannya, tapi.. ia belum yakin. Seminggu sejak pertemuannya dengan pemuda benama Megami Tetsu di rumahnya waktu itu, perasaannya terhadap sang suami berubah. Dia memang masih melakukan tugas- tugasnya sebagai istri, hanya saja.. ia. . merasa enggan hanya untuk menatap wajah suaminya. Bahkan ia sudah jarang berbincang, menghindari lebih tepatnya. Dia yakin ada yang salah, bagaimana perasaan sesak itu terus menghantuinya setiap melihat sikap suaminya. Mungkinkah dugaan awalnya benar? Bahwa ia telah jatuh cinta.

Jatuh cinta kepada suaminya sendiri. Dan saat ini ia tengah kecewa atau mungkin.. cemburu. Ini membuatnya gila, sejak kapan ia mulai mencintai suaminya, dan kenapa harus. Bukankah di awal ia cukup senang karena tidak terlalu terikat dengan orang berstatus suami, lalu sekarang. . .

"Ya tuhan.." Keluhnya dengan frustasi. Diacaknya surai pirang cerahnya dengan gemas sampai berantakan.

Dia stress, mencintai orang yang takkan pernah balik mencintainya membuat ia berfikir ekstrim. Apakah selamanya ia akan menjadi perawan dan bertepuk sebelah tangan. Dulu, suaminya mengatakan orientasi menyimpangnya sebelum menikah dan ia baik- baik saja. Karena dalam fikirannya setelah menikah, beberapa bulan kemudian atau tahun bersama tanpa cinta ia akan bertemu dengan sosok yang dicintainya. Meminta cerai dan hidup bahagia dengan sosok itu.

Tapi nyatanya, ini diluar perkiraannya. Dia mencintai suaminya yang gay, sudah menikah, dan hidup dalam satu atap bersama. Hanya satu yang kurang, dia tidak bahagia.

"Jelek sekali wajahmu, Naru- chan." Ujar sebuah suara. Membuyarkan lamunan Naruto.

"Gaara- kun. Sejak kapan?" tanyanya. Melihat seorang pemuda 21 tahun itu sudah duduk di depannya di bangku kantin.

"Sejak kamu mengeluh. Ada apa? Masalah?" Naruto menggeleng, ia tidak mungkin menceritakan kisah hidup tragisnya pada pria yang baru beberapa dekade dikenalnya.

"Aku banyak fikiran. Tugas akhir semester membuatku frustasi." Naruto tidak bohong, itu adalah salah satu dari sekian banyak alasan yang membuat fikirannya penuh.

"Hmm, aku bisa membantumu. Kalau mau sih."

"Tidak perlu. Terimakasih. Mungkin lain kali saja."

"Mau pesan apa? Sekalian aku pesankan makan siangnya."

"Ramen dan sekotak susu coklat saja."

"Okay. Silahkan tunggu sebentar, putri."

.

.

.

Makan malam itu hening seperti hari- hari sebelumnya, tapi atmosfer kali ini berbeda. Sasuke menyadari, bahwa ada yang berbeda dengan sikap istrinya akhir- akhir ini. Walau ia jarang di rumah, sedikitnya ia telah hafal perilaku dan sikap sang istri. Begitulah yang ia fikirkan saat mata kelamnya menatap wajah pucat dan kurang semangat istrinya. Gadis itu melamun untuk yang kesekian kalinya hari ini.

"Apa ada masalah? Kau jadi sering melamun." Tanyanya. Naruto menyernyitkan dahi.

"Hmm.." gumaman itu lagi. Sejak beberapa hari yang lalu naruto itu seakan enggan untuk berbicara dan mengobrol dengannya. "Aku merasa kau jadi menghidariku setelah kedatangan Tetsu kemari. Ada apa? Kau merasa jijik padaku?"

Onyx bertemu Shafir. Keduanya diam dan hanya saling menatap. Sampai Naruto mengerling, memutus kontak. "Aku tidak berfikir seperti itu sama sekali, Sasuke."

"Tapi kau lesu sekali kelihatannya. Aku yakin kau punya masalah." Tuntutnya. Bahkan sekarang tatapannya semakin menajam, memberi sedikit intimidasi.

Naruto menggeleng, "Tidak apa- apa. Tidak ada apapun. Hanya lelah." Lelah dengan semua fikiranku, lanjutnya dalam hati.

GREEK!

Kursi kayu yang Naruto duduki bergeser saat si empunya berdiri. Merapikan sisa makanan yang tidak ia habiskan untuk dibawa ke tempat sampah. "Aku ingin istirahat. Apa kau akan menginap di tempat tetsu- kun lagi?" lirih gadis itu, masih cukup terdengar di telinga Sasuke.

"Tidak. Masih ada laporan yang harus kuselesaikan. Kau tidurlah."

"Hmm.." Tubuh ramping nan jangkung berbalut pakaian khas pemuda itu melangkah pelan menuju kamar mereka.

Beberapa menit telah berlalu, tetapi Sasuke masih betah memandang makan malamnya yang juga masih bersisa tanpa berniat menyentuhnya kembali. Fikirannya berkecamuk mengenai sikap istrinya. Tentu ia tahu mengapa gadis itu seperti sekarang. Hanya orang bodoh yang tidak mengetahui bahwa gadis bersurai pirang itu tengah menyembunyikan sakit hati dan kekecewaannya terhadap suami yang lebih memilih kekasihnya dari pada pasangan hidup yang sudah terikat pernikahan.

Dan Sasuke sadar. Naruto telah berkorban begitu banyak untuknya. Untuk menutupi keegoisannya dari orang luar, tidak menuntut ini dan itu, bahkan membiarkannya sebagaimana maunya. Seberapa tak pedulinya ia pada orang lain, ia tidak bisa begitu saja mengabaikan perasaan istrinya. Bahkan ia tahu, kalau Naruto mencintainya, terlihat dari berbagai kegiatannya di rumah ini, cara bicaranya mungkin terdengar tidak niat, tetapi begitu perhatian. Satu lagi, setia. Gadis itu tidak menjalin hubungan dengan pria yang jelas- jelas mencintainya, dia hanya akan menceritakan keseharian di universitas tanpa ditutup- tutupi, dan itu menunjukkan bahwa dia percaya padanya, menginginkan keterbukaan.

Mungkin jika wanita yang menjadi istrinya bukanlah Naruto, wanita itu pasti akan memakinya, memintanya cerai atau bahkan tidak mau memandangnya lagi karena jijik. Mengingat itu, Sasuke ingin membalasnya. Membalas semua ketulusan istrinya saat mengurusnya. Membalas perhatiannya. Tetapi.. hatinya belum siap, ia masih takut. Benar- benar takut.

Takut bila kejadian yang membekas di hatinya akan terjadi lagi. Naïf memang, tapi inilah dirinya. Mungkin.. jika Tuhan mengabulkan, ia ingin merubah diri dan menerima Naruto sebagaimana mestinya suami menerima istrinya. Ya, dia berdo'a.

.

.

.

Jam menunjukkan pukul 3.45 pagi. Naruto yang telah terbangun tidak berniat segera memulai aktivitasnya di dapur. Dia tidak tahu, sejak kapan dirinya berada satu kasur dengan suaminya dan saling berhadapan. Yang dia ingat, sebelum terlelap ia telah menjamah tempat faforitnya, sofa. Bukan kasur. Apakah suaminya yang sudah memindahkannya?

Sepasang bola mata sewarna langit musim panas itu terus menjelajah, memandang tiap jengkal paras elok suaminya, rahangnya yang tegas, bibir tipisnya, hidung mancung serta bulu mata lentiknya. Naruto begitu mengaguminya, hingga tanpa sadar tangan kanannya telah menjelajahi wajah putih susu Sasuke. Dia yakin, kalau suaminya bukan seorang gay, pasti kekasihnya banyak sekali. Dia saja yang jarang mengagumi paras laki- laki kini dengan mudahnya mengatakan tampan untuk suaminya.

Jangan salah, naruto bukan gadis gampangan seperti kebanyakan wanita (yang rata- rata teman kampusnya) di luar sana. Ia paling malas melihat paras pemuda atau pria, bahkan yang paling tampan sekalipun. Baginya, pria itu sama saja. Hanya ayah dan mantan pacarnya yang sudah meninggallah yang mendapat predikat paling tampan darinya, walau kata orang mereka biasa saja.

Kembali, tangan tan ramping serta lentik itu kembali menjelajah. Mengusap surai raven suaminya dengan sayang. "Lembut sekali.." lirihnya seraya tersenyum manis.

"Sasuke.." Ucapnya dengan suara pelan, tidak ingin membangunkan pria di hadapannya.

"Kau.. sosok yang kuhormati setelah ayah dan ibu.. aku.." Naruto dengan perlahan mendekatkan wajahnya, mencium kening Sasuke dengan lembut dan dalam. Setelah itu melepasnya. "Aku mencintaimu.. suamiku."

Iris shafir sekali lagi memandang wajah tidur Sasuke sebelum menyibak selimut dan beranjak keluar kamar untuk memulai aktivitasnya. Tak menyadari bahwa kelopak salju itu telah terbuka, menampilkan sepasang iris onyx yang memandang punggung Naruto dengan sendu.

"Maafkan aku, Naruto.." lirih Sasuke.

.

.

.

"Kau akan pergi?" Tanya sebuah suara beriton dingin saat Naruto telah siap membuka pintu. Melirik sebentar ke arah suaminya yang asik membaca Koran di sofa ruang tamu, menghadapnya.

"Gaara- kun mengajakku ke toko buku. Dia bilang ada novel baru yang telah rilis. Apa ada yang kau butuhkan, Sasuke?" Naruto balik bertanya seraya berjalan pelan mendekati suaminya yang masih tidak mau menatapnya.

"Hn. Kau kencan? Sejak kapan kalian jadian?"

"Ya, tapi kami tidak pacaran, dia mengusulkan untuk saling mengenal dahulu. Dan aku menyetujuinya."

Sasuke melirik istrinya. Wajah gadis itu masih tenang seperti biasanya, hanya lebih pucat serta pipinya agak tirus. Rambutnya juga semakin berantakan dari yang biasanya.

"Mengapa tidak langsung kau terima saja dia jadi pacarmu? Kupikir mungkin kalian cocok." Katanya setelah beberapa saat terdiam. Entah kenapa dadanya menjadi sedikit sesak begitu menyelesaikan perkataannya. Tapi segera tak ia hiraukan.

"Entahlah. Aku inginnya seperti itu. Tapi ada sesuatu yang membuatku belum bisa menerimanya. Mungkin suatu saat, entah kapan." Desah Naruto menanggapi perkataan suaminya, yang sejujurnya secara tak langsung menyakiti hatinya. Suaminya seolah mengharapkan ketidak setiaannya.

"Jika tidak ada yang dibutuhkan, aku pergi dulu. Ittekimashu!" lanjutnya yang langsung melenggang pergi. Menyembunyikan wajah kacaunya dari pria bersurai raven itu.

.

.

.

Tubuh jangkung itu seakan membeku, terpaku menatap pemandangan paling mengusik dirinya akhir- akhr ini. Mata shafirnya tak pernah lepas melihat aktifitas ke dua pria yang duduk dengan jarak dua bangku di depannya, mereka asik berbincang sambil menikmati makan siang mereka. Tatapan lembut, tawa renyah, membuat dada Naruto tiba- tiba saja berdenyut nyeri.

Ia baru saja datang dan mendudukkan diri di meja tak jauh dari pasangan pria itu setelah beberapa jam lalu ia habiskan berkeliling toko buku bersama temannya. Dan sekarang, kedua matanya di hadapkan pada 'sesuatu' itu lagi.

"Naru- chan! Kau baik- baik saja?" Tanya Gaara khawatir, ia lihat wajah gadis itu menjadi lebih pucat dari esok tadi, ekspresinya juga nampak menahan sakit.

"Apa ada yang sakit?" Gaara bertanya kembali saat tidak mendapat jawaban. Tangan putih porseleinnya mengusap pipi tirus gadis blonde itu, terlihat miris. Tetapi sukses membuat kelereng biru itu memandangnya.

Sejenak ia bisa melihat luka di sana, hanya saja ia tidak tahu karena apa. "Maaf Gaara- kun. Sepertinya aku tidak enak badan. Aku akan pulang, permisi." Dan setelahnya sosok jangkung itu pergi tanpa bisa dicegah.

.

.

.

Ruangan kecil berukura itu gelap, hanya ada sorotan kecil dari jendelanya. Sorot cahaya matahari tenggelam. Memantul pada sepasang manic hitam kelam yang tidak berhenti menatap tubuh ringkih seseorang yang tidur meringkuk di atas kasur sambil memeluk sehelai kemeja miliknya.

Sudah tiga jam lebih ia duduk di sofa, memandangi istrinya tertidur dengan mata sembab. Tidak perlu berfikirpun, sasuke tahu istrinya menangis. Dan hatinya merasa sakit melihatnya terpuruk seperti itu.

Ingatannya kembali saat di mana ia bercakap- cakap dengan pria yang ia sayangi. Tempat di mana ia dengan kaget melihat istrinya keluar caffe dengan setengah berlari, meninggalkan seorang pria cukup tampan yang ia kenali dari cerita istrinya sebagai Gaara.

Flashback

Suara dentingan gelas marmer pada piring kecil di atas meja memecah keheningan di antara dua pria yang saling menatap. "Jadi.. bisa jelaskan kenapa setelah melihat istri gadismu pergi kau terlihat tidak focus, Sasu- kun?" Ujar suara lembut itu disertai senyuman manis pria usia 22 tahun dihadapannya.

"…" Sasuke hanya diam tidak menjawab, lantas ia menundukkan kepala. Menyembunyikan ekspresinya agar tak terbaca.

"Jangan bodoh, Sasu- kun. Aku tahu kau memikirkan istrimu. Bagaimanapun kalian sudah terikat."

Lagi- lagi Sasuke hanya terdiam, genggaman tangannya pada mug kecil itu mengerat.

"Berhentilah membohongi dirimu sendiri, Sasu- kun. Aku tahu hatimu mulai terbuka untuknya. Kamu mencintainya."

Mendengar ucapan Tetsu, Sasuke hanya terus diam tanpa membantah, karena memang itulah kenyataannya sekarang. Ia membohongi dirinya sendiri. "Pulang dan jelaskan semuanya pada istrimu. Jangan sampai kau menyesal."

SRAG! Kursi kayu itu bergeser, menampakkan wajah kalut pria bersurai raven. Sasuke nampak frustasi dan tetsu mengerti apa yang membuatnya seperti itu.

"Kamu masih trauma?" Tanyanya lirih. Kedua maniknya menyayu sendu. Dan Sasuke masih enggan membuka suara. "Dengarkan aku, Uchiha Sasuke!" Akhirnya, Tetsu berujar tegas. Meminta perhatian dan atensi penuh dari pria dihadapannya. Matanya menghujam lurus pada Sasuke yang telah ia anggap sebagai adiknya sendiri. Adik kesayangannya.

"Sudah saatnya kau melawan traumamu. Selama ini aku sudah cukup bersabar dengan tingkahmu yang selalu melarikan diri. Yakinkan dirimu, bahwa kali ini Tuhan telah mengirimkan wanita yang tepat untukmu."

"Jika kamu seperti ini terus, kalian berdualah yang akan tersakiti. Cukup sudah kamu bersembunyi dengan title gay. Kau sama sekali bukan pria seperti itu. Karena aku tahu, kamu hanya ingin melarikan diri. Jangan jadi orang pengecut selamanya. Lawan traumamu dan pergilah padanya. Aku yakin, Naruto adalah gadis yang tepat untukmu." Ucap Tetsu, sorot ketegasan memancar dari matanya. Tak ada jawaban, tetapi ia yakin. Sasuke tengah berfikir. Jadi diputuskannya untuk segera keluar caffe. "Fikirkan baik- baik. Aku pergi dulu, istri dan anak- anakku sudah menunggu. Lain kali kita mengobrol lagi."

Flashback end

"Ugh.." rintihan pelan menyadarkan lamunan Sasuke. Dilihatnya istrinya tertidur dengan dahi berkerut dan wajah memerah. Ada yang tidak beres, fikirnya.

Dengan pelan ia bangkit berdiri, mendekati istrinya dan meraba pipi serta dahi gadis itu, "Panas." Gumamnya. Setelah itu dia segera beranjak menyiapkan baskom air hangat dan pakaian ganti. Istrinya deman, dan ia tidak ada waktu untuk melamun lebih lama. Kekhawatiran mendominasi Sasuke.

.

.

.

Kelopak sewarna caramel itu terbuka. Dan hal pertama kali yang dilihatnya adalah sepasang manik hitam kelam yang menyorotnya tajam. Shafir bergulir, memandang kemeja biru donker yang melekat pada tubuh bidang suaminya. Senyum kecil tercipta, pakaian itu memang ciri khas suaminya. Kemeja yang ia peluk sambil menangis itu adalah pakaian kesukaan suaminya. Dan sekarang, Sasuke_ suaminya tercinta tengah mengenakannya.

"…"

"…"

Mengenakan?.. Naruto berfikir sejenak. Dan tiba- tiba, ingatan tentang ia menangis sesunggukan dengan kemeja Sasuke dalam pelukannya terlintas. Membuat wajah tan itu berganti sewarna tomat.

"Wajahmu kembali memerah. Demammu tinggi lagi, Naruto. Akan kuambilkan bubur juga obat penurun panas. Sepertinya, jika hanya mengompres kening tidak manjur untukmu." Sasuke hampir beranjak, tetapi dengan cepat. tangan kecil Naruto menarik lengannya. "Sa, sasuke.. ba, baju itu.." dengan terbata, gadis blonde itu berusaha menanyakan.

Sasuke tersenyum, ia baru sadar, istrinya yang malu ternyata terlihat menggemaskan. "Aku tahu. Kau merindukanku kan." Ujar Sasuke kemudian pergi meninggalkan Naruto dengan rasa malunya.

Dalam perjalanannya menuju dapur, Sasuke telah bertekad. Dia akan memperbaiki sikap untuk istrinya, Uchiha Naruto. Dan dia akan berusaha melenyapkan traumanya, serta belajar mempercayai gadis blonde itu sepenuh hati.

.

.

.

Sepasang shafir milik Naruto terus melirik Sasuke yang terlihat sibuk membereskan peralatan makannya dan obat yang sama dengan yang baru saja gadis itu telan. Naruto malu, dan sedih di waktu bersamaan. Dia tidak pernah melihat pria itu seperhatian ini, apalagi terhadapnya. mengingat bahwa Sasuke tidak akan pernah menyambut tangannya untuk bisa saling menepuk, membuat Naruto hampir menangis kembali.

"Ada apa, Naruto? Masih ada yang sakit?" Sasuke mendekat, menunduk menyejajarkan wajah mereka dan mengelus pipi tan hangat itu.

Naruto tidak tahu. Apa yang harus ia lakukan. Semua ini terasa tidak nyata untuknya. Baru beberapa jam lalu, ia melihat suaminya berkencan. Dan sekarang, pria itu memperlakukannya dengan lembut. Apakah ini hanya sebuah mimpi? Jika iya, ia hanya bisa berharap untuk tidak pernah bangun. Tetapi, jika ini nyata. Mampukah ia mengeraskan hatinya dan membutakan matanya pada kenyataan bahwa suaminya hanya milik orang lain serta berusaha menikmati perlakuan suaminya seperti sekarang?

Tuhan, tolonglah hamba.. batinnya seraya tersenyum miris.

"Naruto." Panggil Sasuke lagi. Dan Naruto tersentak karenanya. "I, iya?"

"Kau melamun. Kalau sudah tidak ada yang dibutuhkan, lekaslah tidur. Ini sudah larut."

Naruto mengangguk, kemudian beranjak berdiri. "Kau mau kemana?" Sasuke bertanya jengkel. "Aku sudah bilang tadi. Tidur denganku saja. Kau asik melamun sampai tak mendengar semua ucapanku. Dasar istri durhaka." Sasuke berkata ketus. Dengan sebal, diangkatnya gadis itu dan ditidurkannya di atas kasur. Perlakuannya yang tiba- tiba itu berhasil membuat Naruto membelalakkan mata. Memandang tak percaya pada Sasuke.

"Jangan memelototiku. Mulai sekarang, tidurlah bersebelahan denganku. Sofa itu mau kugusur ke toko barang bekas."

Perasaannya saja, atau Sasuke menjadi cerewet di mimpinya ini. Sepertinya Naruto merindukan Sasuke yang 'nyata'.

.

.

.

Waktu seminggu berlalu begitu cepat, dalam seminggu itu pula perubahan sikap Sasuke terlihat jelas. Pria itu menjadi sosok yang pengertian dan err.. protektif. Naruto tidak mengerti, mengapa sikap suaminya bisa berubah begitu cepat hanya karena ia terserang demam. Bahkan, Sasuke tiba- tiba saja menjelma menjadi sopir pribadinya. Tak segan pula mengusir Gaara yang suatu waktu mengajaknya pulang bersama. "Minggir, anak panda. Dia istriku. Tidak lihat, nama marganya Uchiha? Pergi dan cari saja wanita lain. Ini jatahku." ucap Sasuke kala itu, membuat Gaara melotot dan ia sendiri tersedak susu kotak rasa coklat kesukaannya.

Naruto masih merasa ini tidaklah nyata. Hatinya selalu menghangat karena sikap Sasuke, jantungnya bahkan berdebar sangat kencang saat Sasuke selalu berhasil mencuri ciuman darinya. Naruto takut, jika yang dia rasakan hanya akan berakhir menyakitkan.

"Naru! Sore ini akan ada tamu. Kau masak banyak ya. ah, masakkan juga pudding berbagai rasa. Tamunya termasuk anak- anak." Seru Sasuke seraya mendekati Naruto yang tengah memasak. Di tangan kanannya terdapat sapu lantai, sedang tangan kirinya membawa kemonceng.

Sejujurnya Naruto ingin menegur, tetapi fikiran tentang perubahan sikap suaminya ini membuat ia urung dan hanya memandang Sasuke sedih. "Sasuke, aku ingin bicara."

"Nanti saja, Naruto. Tamunya sudah hampir datang. Aku akan bersihkan ruang tamu dan TV. Kau focus saja memasak. Kalau capek, aku akan bantu."

"Sasuke!" teriak Naruto memanggil suaminya yang telah beranjak. Membuat pria muda itu menoleh memandang Naruto heran. Tetapi, Sasuke segera mengerti bahwa gadis itu memang ingin berbicara serius. Dan Sasuke tahu, apa yang akan mereka bicarakan nanti.

Di dekatinya gadis itu, kemudian menunduk dan mengecup ringan bibir ranum milik istrinya. Kebiasaannya sejak seminggu ini. "Bersabarlah. Akan ku jelaskan semua yang ingin kau tahu. Tetapi setelah tamu- tamu kita nanti pulang."

Senyuman kecil terpatri di wajah suaminya, terlihat bahagia. Naruto hanya mampu mengangguk tanpa bersuara.

.

.

.

"Hai, Naru- chan. Kita bertemu lagi. Kenalkan, mereka keluargaku."

Gadis bernama lengkap Uchiha Naruto itu mematung. Memandang seorang pria yang ia kenal sebagai pacar suaminya itu berdiri di depan pintu apartement- nya bersama seorang wanita cantik dan dua orang bocah cilik termasuk balita.

Fikirannya terasa kosong, bahkan setelah Sasuke menyambut mereka dan memeluk Tetsu sambil memanggilnya "Tetsu- niisan." Naruto masih saja tidak mengerti. Apakah tetsu itu sudah berkeluarga? Bukankah Sasuke dan tetsu berpacaran? Apa selama ini mereka menjalani backstreet? Selingkuh?

Kenapa tiba- tiba kepalanya pusing dan ia ingin menangis. Apa wanita ada, memang untuk di sakiti. Sial, rasanya sakit sekali.

"Naru- chan sedang apa?, tidak usah repot- repot begitu." Sebuah suara ramah menyapa gendang telinganya. Membuat Naruto mengalihkan pandangan pada seorang wanita paruh baya yang mendekat ke arahnya. Saat ini ia tengah menyiapkan makan malam untuk menyambut tamu- tamunya, tamu Sasuke.

"Eh, tidak kok. Ini tidak merepotkan."

"Wah, kelihatannya enak. Kamu pintar memasak ya, Sasuke pasti betah makan di rumah."

"Ehehe.." Naruto tertawa canggung. Ia memandang wanita bernama Sato itu cukup lama.

"Aku kaget lho, waktu Tetsu- kun bilang Sasuke sudah menikah. Dulu dia pernah di sakiti, dan jadi pasif kalau ada cewek yang suka dengannya. Tapi sepertinya traumanya sudah sembuh ya."

"Eh?" Gadis bersurai pirang itu tercenung. Ia hanya mampu terdiam menanggapi ucapan wanita di depannya. Bahkan setelah ucapan berikutnya, ia melupakan gorengannya.

"Dia sampai mengaku gay saat ditembak cewek. Dan Suamiku pasti jadi senjatanya. Dasar! Jenius dari mana coba?"

.

.

.

Keduanya berdiri di pelataran parkir apartement, mengantarkan kepulangan Tetsu dan keluarga kecilnya. Besok mereka akan pindah ke otto karena Tetsu telah dipromosikan. Sehingga Sasuke menyarankan untuk makan malam ditempat mereka hari ini.

Ucapan Sato tadi sudah cukup membuat hati naruto lega. Suaminya bukan gay. Tetapi ia masih butuh penjelasan. Hanya saja gadis itu tidak akan memaksa, ia menghormati Sasuke sebagai suaminya. Maka ia akan menunggu sampai Sasuke mempercayainya sepenuh hati.

Yang jelas, sekarang Naruto tahu, bahwa Tetsu adalah kakak angkat Sasuke setelah Itachi_ kakak kandung Sasuke_ meninggal di usia 6 tahun karena lemah jantung. Dan kini menikah dengan wanita berada, serta hidup bahagia. Yeah, Happy ending memang selalu melegakan.

"Jangan senyum- senyum sendirian, Naru. Kau membuatku takut."

"Iyaaaa, suamikuuu."

"Naru.."

"Hmm?"

"Kau tidak sedang kerasukankan?"

Naruto menggeleng cepat, senyumnya masih merekah dibibir penuhnya.

"Aku cuma ingin memeluk lenganmu, Sasuke."

"Baik. Tapi nanti aku mau ambil jatah malam pertama kita ya, bolehkan?."

Dan setelahnya hanya terdengan suara gedebuk, karena Naruto sukses tersandung kakinya sendiri.

Satu lagi, Sasuke juga tengah menyiapkan hatinya untuk menjelaskan semuanya pada gadis di sampingnya, gadis yang dicintainya. Ah ya, Istrinya

The End

Haahhhh… akhirnya bisa saya selesaikan juga. Saya harap ini tidak mengecewakan, maafkan saya juga karena sepertinya feelnya kurang greget, pembaca yang terhormat!

Soal masa lalu Sasuke juga, nggak saya bahas di sini. Saya takut nanti malah terkesan hurt atau angst. Hehe, inikan drama romance.

Nah, nah, ada yang berkenan meninggalkan review- nya untuk saya?

.

.

.

Sebelum itu, saya ingin balas- balas review dulu.. (^_^)/

Fitriis185 : Nggak tersakiti kok.. Cuma jalan menuju Happy End. Di sinikan yang 'sakit' Sasuke. Hehehhe

Aiko Vallery : Iniiiihh udah lanjuuutt … haha, makasih revienya. Juga 'Ganbatte' nya, meresap sampai ke hati..

Arum Junnie : Suka tidak ya? Ini udah kejawab, tehehehe.. makasih reviewnya~

Choikim1310 : Iyaa, kalau kebanyakan Chapter takut nggak sempat nerusin, keburu moodnya hilang..

Pedofillgila : Sasuke yang bilang, makanya segera dinikahkan itu, Sasukenya..

IntanPandini85 : Ini sudah saya lanjutkan, makasih reviewnya

ShaphirOnyx Namiuchimaki : apakah Naru terlihat kasihan di chap ini? Hehe

Danaraljapamu : Makasih atas komentarnya, semoga chap ini juga lumayan untuk dibaca.. hehehe (^_^)

Rin SafOnyx : Adelia kan ini? Wah, ganti penname ya.. Jangan 'senpai', aduh~ saya masih amatir lho.. panggilnya Be aja.. soal gaara, maafkan saya, dia Cuma muncul sekilas di sini.. jangan marah ya..

Noe Himura : Makasih reviewnya, semoga chap ini tidak mengecewakan..

Dan Harpa : Udah di next nih.. anda tetap mau reviewkan? Hehehe

Namikazehyunli : oke! Ini dilanjut. Review ya..

Aoi Itsuka : begitulah kiranya.. ini sudah dilanjut.. makasih reviewnya.

SFN Yourstory : Happy End kok.. saya belum sanggup buat Sad End seperti Luke.. makasih ya

Vipra : tentu saja sudah terjawab.. terimakasih sudah menyukainya, smg chap ini tidak mengecewakan anda

Oka : makasih makasih makasiih sekali, sudah bersabar menunggu.. di sini sudah terjawabkan sasu cemburu sama siapa? Hehehe

Sekali lagi "ARIGATOU GOZAIMAS!" buat semua yang sudah me- review, Fav maupun Follow. Sekali lagi saya harap kalian tidak kecewa dengan Endingnya..

Akhir kata "Sampai jumpa" di cerita lainnya. Ttd : B Broke (Bukan Luke Lukas)