Senja pertama di atas kapal.
Langit bersih tanpa awan membuat pemandangan saat matahari bundar merah perlahan masuk ke dalam permukaan laut di kaki langit barat nampak menakjubkan.
Kapal yang membawa aktris pemeran karakter Fu'un Hime sudah meninggalkan pelabuhan bagian barat Konoha. Tidak terlihat lagi garis pantai Negara Hi no Kuni. Kapal khusus yang di ukir dengan bahan terbaik itu melaju dengan cepat membelah perairan yang terlihat menghitam.
Ombak lautan tenang. Cuaca baik. Perjalanan lancar sejauh ini. Beberapa penumpang sengaja keluar dari kabin untuk melihat matahari tenggelam. Mereka berdiri di geladak, berpegangan pagar kapal, merasakan hembusan angin yang menerpa wajah mereka secara langsung.
Tetapi itu bagi penumpang yang tidak punya masalah dengan mabuk laut. Karena Naruto dengan wajah suramnya itu justru sedang terkapar di atas kasur yang berada di dalam kamarnya. Naruto bahkan sampai dibuat merinding saat merasakan guncangan-guncangan yang terjadi ketika kapal menabrak benda-benda kecil yang menghalangi jalannya.
Naruto kehabisan kata. Ia benar-benar bingung. Kenapa juga ia harus menaiki kendaraan yang tak pernah ia naiki sampai saat ini?
Malam itu Naruto harus menghabiskan waktu dengan terkantuk-kantuk, tidur pun tak bisa karena perutnya yang terasa di kocok-kocok itu seakan melarang kelopak matanya untuk menutup. Terlebih lagi ia lupa membawa pakaian yang berada di Konoha, karena setelah pamit ia langsung saja menjalankan tugas pertamanya.
Lengkap sudah nasibnya hari ini, sudah mabuk, juga tak membawa apapun.
Inilah pengalaman barunya. Sebuah pengalaman yang sangat ia benci,
…menaiki kapal.
Naruto no Koganei Senkou :: Draco
.
.
.
Warning :
Strong!Naru, Smart!Naru, Typo, Abal, Suram, OOC, etc
.
.
.
Genre :
Adventure, Romance, Friendship, Family, Drama…
.
.
.
Rating :
M
Notification:
"Blablabla" = perkataan yang diucapkan langsung.
'Blablabla' = perkataan dalam hati.
[Blablabla] = perkataan yang diucapkan hewan kuchiyose
Desclaimer : (This is pure fiction, if there is a similarity maybe it is a concidence). Naruto belong to Masashi Kishimoto.
.
.
~Main Character~
Chapter 9
.
.
Warning, this fic containing elements of Time Travel. The time difference and all that relates to the past.
.
.
Hanya ada satu cara membuat dunia penuh dengan kebahagiaan.
Hanya ada satu jalan untuk mencapai kedamaian.
Hanya ada satu jiwa, yang terharap di hati-jiwa ini.
Meski dunia kadang tertawa dan menghina.
Memang dunia tak pernah tahu.
Memang mereka takkan pernah tahu,
Bila semua kisah yang terjadi hanyalah kehampaan.
Tapi memang dunia tak pernah tahu…
.
.
.
Start!
Kantin kapal sudah ramai di padati oleh penumpang saat Naruto tiba. Lampu-lampu kantin menyala terang. Suara sendok beradu piring terdengar di sela-sela percakapan dan tawa para penumpang yang mulai akrab. Mereka sudah semalam di atas kapal. Para penumpang sudah berkenalan, menyapa, bercakap-cakap dengan penumpang lainnya.
Kantin itu ada di geladak tengah, berbeda satu lantai dengan kabin. Tidak begitu sulit untuk menemukannya, karena hanya kantin lah ruangan paling luas di kapal. Ada puluhan meja dan kursi panjang tersusun rapi di sana. Dapur langsung menghadap meja-meja dan kursi itu, hanya di pisahkan oleh meja-meja tempat meletakkan makanan. Belasan pelayan sedang sibuk bekerja, mengirim nampan makanan ke bagian kantin.
Penumpang mengambil piring yang telah di sediakan, lantas berbaris rapi. Ada beberapa pelayan yang membantu menuangkan lauk dan sayur. Buah-buahan menumpuk di ujung, bisa di ambil semaunya. Gelas-gelas dan cerek berbaris. Ada berbagai macam pilihan minuman, dari air biasa, teh, jus sampai bir sekalipun.
Naruto berjalan gontai keluar ruangan yang terasa pengap selagi ratusan orang saling menghirup udara secara bersamaan. Berjalan menuju keluar kantin, untuk sekedar menikmati hembusan angin untuk mengurangi efek mabuk lautnya yang sudah tidak terasa. Setelah mencapai geladak, Naruto menduduki pagar, lantas memakan makanannya dengan pelan.
Mata birunya mulai terpaku pada ujung lautan yang tidak nampak apapun itu. Cakrawala. Masih terdiam di sisi kapal yang mulai bergerak dengan kecepatan yang mampu membuat kaus hitamnya terisi angin dan membuat sebuah gumpalan di punggungnya.
"Benar-benar hari yang indah, bukan?"
Naruto melirik sebuah suara bariton yang tiba-tiba menyapa telinganya dan melihat sosok pria tua yang sedang tersenyum kearahnya. Pria tua itu tampak menyodorkan segelas minuman hangat yang mengepulkan asap, "Jahe, minuman ini bisa meredakan mabuk laut."
Naruto menatapnya selama beberapa saat, dari aromanya tercium sesuatu yang tidak asing baginya. Tanaman obat? Pikirnya. Naruto ragu-ragu mengambil gelas itu, lantas mengendusnya.
Sekilas ia menyeruput minuman jahe tersebut, dan hal selanjutnya yang ia rasakan adalah suatu rasa hangat mulai mengisi tenggorokannya. Sebuah siratan efek yang membuatnya tertegun selama beberapa saat. Dan matanya dibuat melebar saat rasa hangat yang ia rasakan itu mulai menjalar ke seluruh tubuhnya, memberikan rasa tenang.. dan nyaman. Mata sapphirenya memandang kerutan di wajah pria tua itu dengan sudut bibir terangkat.
"Terimakasih."
Pria tua itu hanya membalas dengan senyuman ketika melihat reaksi yang diberikan oleh pemuda di sampingnya, mengangguk, kemudian ia memandang lurus kedepan, kearah laut. Tepat setelah itu, tiba-tiba kerutan di wajahnya semakin dalam di kala wajah tua itu menunjukkan wajah gundahnya. Dalam pantulan buram kacamata kecil itu, Naruto melihat masa gelap dari pria tua di sampingnya.
Kemudian pemuda itu menghela napas.
Nampaknya ia telah membuat pilihan yang salah untuk bersantai di luar ruangan untuk menikmati makanannya, yang ditemani oleh pria tua yang sedang di rundung gundah gulana itu. Naruto perlahan meraih selembar tisu dari saku celana, menyerahkannya pada pria tua tersebut.
"Hmm, tidak perlu. Aku tidak sedang bersedih sekarang…"
Naruto menautkan alisnya sejenak, bergumam. "Oh begitu, ya sudahlah."
Kemudian Naruto melanjutkan suapan ke arah mulutnya sambil melirik ke arah Pria tua di sampingnya. Lihatlah wajahnya yang penuh dengan kerutan itu seakan sedang mengalami masa-masa sulit. Dia terlihat.. khawatir. Dia memandang jauh ke depan sana dengan tatapan sendu, seakan memikirkan sesuatu yang buruk akan terjadi nanti. Seakan apa yang terjadi di depan sana merupakan sebuah firasat buruk yang membuatnya seperti ini. Di suatu tempat, di balik wajah yang penuh kerutan dari setiap incinya pasti ada sesuatu dalam dirinya yang hanya ia ketahui seorang, kelam dan bahkan sulit untuk di temukan dalam materi apapun.
Naruto kembali menyodorkan tisu. Dan kali ini, pria tua tersebut menerimanya dengan senyuman tipis.
"Kau benar-benar pemuda yang baik."
Naruto memutar mata bosan. Kau saja yang seakan-akan menyuruhku untuk melakukan ini.
Pria tua tersebut menatap Naruto dengan senyum. Memang tidak salah ia memilih untuk berbicara dengan pemuda ini-segelintir dari orang-orang di kapal ini bukanlah orang yang bisa di ajak bicara.
Namun ia menyadari sesuatu.
"Ah iya, aku lupa memperkenalkan diri…" Pria tua itu kemudian menyodorkan tangannya. "Namaku Sandayu Asama, manajer dari aktris Fujikaze Yukie, yang memerankan sebagai Fu'un Hime dalam Film 'Tujuh Cahaya di balik dinginnya harapan'."
"Hmm… aku Naruto," Naruto membalas uluran tangan Sandayu, tersenyum kecil. "Hanya pengembara biasa."
"Di umurmu yang semuda ini?" tanya Sandayu terkejut. Ia mengamati wajah Naruto dan menilik kearah postur tubuhnya. Tentu saja, di lihat dari sudut pandang manapun pemuda ini belum bisa di katakan sebagai [Orang dewasa] yang dapat di katakan cukup untuk menjadi pengembara. Atau bisa dibilang pemuda ini hanyalah… remaja tanggung.
"Oh ayolah," Naruto menggerutu tidak suka saat dipandangi oleh Sandayu. Pria tua itu tersenyum. "Kau tidak perlu melihat dan menyamakanku dengan aturan yang ada di buku, di zaman yang penuh dengan peperangan ini banyak sekali yang memilih untuk menjadi pengembara. Mereka yang telah di tinggal oleh sanak saudara pun bingung harus menjalani hidup. Tak ada lagi yang bisa di lindungi.."
Pada hakikinya, Naruto yang telah bertahun-tahun hidup di dunia ninja pun tidak akan secara terang-terangan mengekspos bahwa dirinya adalah seorang ninja, dengan harapan bahwa orang yang ia temui bukanlah seorang mata-mata dari desa lain yang berusaha untuk mengorek informasi darinya. Sehingga orang yang berbicara padanya hanyalah beranggapan kalau dia bukanlah seorang ninja.
Setidaknya, Naruto lebih senang berpikir demikian.
"Maaf,"
Lantas Naruto mengangguk, mengibaskan sebelah tangannya di depan dada. "Tidak apa-apa, aku sudah terbiasa dengan hal itu." Sebenarnya kalau Naruto sedikit subjektif, Sandayu melakukan dialog itu tulus dan bersahabat. Tetapi dengan hati dan pikirannya, Naruto tetaplah seorang yang paranoid. Dia bukannya tidak ingin mempercayai orang lain, hanya saja pandangan orang-orang ketika berpikir tentangnya selalu terlihat seperti memandang seekor monster.
Naruto hanya cuek dan terus melanjutkan aktifitasnya. Dan sekarang ia di buat kesal melihat tampang Sandayu yang dipenuhi rasa menyesal dan kasihan. Sungguh, Naruto benci yang namanya dikasihani!
Menggulirkan ibu jari di atas piring dan tangan menjulur ke lantai kayu, Naruto menaruh piring tersebut di sana tepat sebelum membawa mata menuju pantulan wajah yang tidak pernah terasa bagai wajahnya sendiri. Tidak ada sedikitpun yang namanya kebahagiaan di sana, di balik mata gelap itu, dan Naruto tidak tahan melihat cara matanya menyipit dan tubuhnya membeku, hanya sesaat, tapi cukup lama baginya untuk menyadari bahwa Sandayu hanya memiliki satu kebahagiaan disana. Melihat seorang anak kecil yang tertawa penuh bahagia.
"Tujuh Cahaya di balik dinginnya harapan, 'kah?" Naruto dengan sok akrab melancarkan pertanyaan pertama, memotong tatapan Sandayu kearahnya.
Sandayu mengalihkan matanya ke arah Naruto. "Benar," dia menjawab singkat. "Film itu telah di rilis bulan kemarin, saat ini kami sedang berencana untuk melanjutkan part di Yukigakure."
Selagi Sandayu berbicara, Naruto bergumam. Fujikaze Yukie…? Setahu Naruto, tidak ada seorang shinobi yang menyamar sebagai Aktris. Antara kelima Elemen Country, mungkin Naruto hanya tahu Killer Bee yang memiliki bakat khusus sebagai aktris Rapper. Naruto tertawa-saat mengingat kembali dimana kejadian pertarungan antara dirinya dan Killer Bee melawan Pain Jinchuriki… paman gurita itu tidak pernah sedikit pun mengeluarkan kata-kata yang bernada normal, alih-alih berkata normal, memberikan salam kepada penjaga gerbang maupun Kage sendiri saja ia selalu menggunakan nada rap nya itu. Hah… entah kenapa ia jadi kangen pada paman gurita yang hobinya nge rap itu.
Tapi semua itu tidak ada hubungannya dengan aktris bernama Fujikaze Yukie ini.
"Hei kau mendengarkanku?"
Naruto tersenyum, "Tentu, kau bisa melanjutkan ceritamu."
Sandayu kembali berbicara dengan kebanggaan kecil di hatinya, dimana ia bisa melihat Yukie-hime menjadi sosok seperti yang sekarang ini. Dan ia mulai cerita mengenai karier pertama Yukie-hime mulai dari umurnya yang masih sangat muda itu, hingga sampai saat ini. Sementara di sisi lain, Naruto lebih sibuk merenggangkan tubuhnya.
"Hei, kau benar-benar mendengarkanku?"
Naruto menoleh. Tolonglah, kalau kau terus membicarakan orang yang sama sekali tidak kukenal, jangan mengganggu acara olahragaku, begitu wajah nelangsanya berkata.
"Yah, siapapun aktris bernama Fujikaze Yukie itu… aku malah lebih senang kalau kau memikirkan dirimu sendiri, Sandayu."
Sandayu terdiam. Tertunduk dalam-dalam.
"Teramat besar. Bahkan kau tidak bisa membayangkan kebahagiaan apa yang bisa terjadi kalau kau tidak mengorbankan dirimu sendiri," Suaranya terdengar rendah, seperti bergumam. "Setidaknya pikirkanlah masa tua mu, tidak perlu terlalu memikirkan perempuan manja itu."
Naruto menghela napas, ini hari terakhir sebelum urusannya dimulai. Berarti besok ia sudah tidak ada lagi di kapal ini. Tidak bisa melihat wajah tua penuh kerutan itu. Apapun yang terjadi pagi ini, ia akan terus melanjutkan kehidupannya. Dan mungkin saja untuk selamanya tidak akan pernah melihat lagi pria tua ini.
"Aku mungkin keliru," Naruto menoleh menatapnya, pria tua ini tentu jauh lebih matang dan mengerti untuk memahami kehidupannya dengan baik. Dan apa jawaban atas pemahamannya itu? Namun, Sandayu mengatakan pendapat yang berbeda hari ini. "Aku dulu mungkin keliru. Ya, bahkan sampai sekarang keliru. Kau yang benar, Naruto. Kau berhak mengatakan itu kepadaku. Aku tahu atau tidak tahu, terima atau tidak terima, marah atau tidak, benci atau tidak benci, kau berhak mengatakan itu. Hak mu untuk mengatakan itu jauh lebih besar karena akan berguna bagi kehidupanku…" Sandayu menundukkan kepalanya dalam-dalam. Berbisik lemah. "…tapi aku tidak bisa membiarkannya sendirian setelah janji yang ku ucapkan kepada ayahnya…"
Sebagian dalam diri Naruto tertegun. Tidak menyadari kalau situasi yang di alami oleh Sandayu itu akan sama dengan dirinya. Sandayu hidup untuk melindungi Fujikaze Yukie atas janji yang telah ia buat kepada Ayah Yukie. Sedangkan Naruto telah membuat janji kepada Arashi untuk melindungi Kushina.
Dan setelah mengetahui itu, Naruto berpikir.
Semudah itukah Sandayu membuat sebuah janji?
"Bahkan meskipun kau tahu bahwa dirimu itu bukanlah seorang yang kuat?" ucap Naruto. Sandayu hanya menundukkan kepalanya. Entah apa yang dipikirannya sekarang, namun terlihat raut cemas diwajahnya, meskipun itu tidak terlihat oleh Naruto. "Perempuan manja itu sudah memiliki insting untuk melindungi dirinya sendiri, kalaupun kau merasa khawatir kepadanya… kau cukup membekalinya dengan sesuatu yang berguna."
"Dan siapa yang kau panggil perempuan manja?" ucap seseorang dari arah belakangnya. Naruto tidak perlu menengok untuk melihat siapa, karena dari ekspresi terkejut Sandayu ia sudah bisa mengetahui siapa sosok yang berdiri di belakangnya.
"Siapa lagi?" Naruto mengangkat bahu, merasakan ketegangan di antara mereka.
Sosok itu yang diketahui adalah Yukie berjalan mendekat ke arah Naruto lalu membalikkan tubuh si pemuda tersebut sehingga kini tubuh mereka saling menatap, dan hal selanjutnya yang terjadi adalah sebuah tangan berkelebat dengan begitu cepat mengarah ke pipinya.
Rasa kosong dengan sekejap membasuh gadis itu. Dengan lekas ia langsung memandang kearah dimana Naruto telah menjatuhkan diri ke lautan, ia pikir pemuda itu berniat bunuh diri hanya untuk menghindari tamparannya. Tapi nyatanya, pemuda itu, bergelayutan pada sebuah benang tipis yang terlihat seperti kawat?
"Hap!" menyeimbangkan tubuhnya yang sedikit oleng setelah melompat, Naruto memberikan cengiran lebar kearah Yukie. "Butuh niat membunuh jika kau ingin menamparku, Fu'un Hime."
Dan kita kembali di perlihatkan dampak yang diberikan oleh tokoh utama kita ketika memberikan senyuman mataharinya.
"U-urusai!" dengan wajah memerah, Yukie menunjuk-nunjuk wajah Naruto dengan getaran halus di bahunya. "D-dan apa-apaan tadi itu? Kau pikir kau adalah parkour begitu?"
"Parkour?" Naruto memiringkan kepalanya dengan lugu, yang malah membuat Yukie semakin tidak tahan dibuatnya. "Apa itu?"
"K-k-kau… Sudahlah!" Yukie membuang mukanya kesamping, jarinya mengepal erat di samping tubuh, dan rona merah telah membakar kedua pipinya. Salahkan sifatnya yang tidak tahan ketika melihat sesuatu yang lucu. Namun entah mengapa, ia masih tetap menyimpan rasa kesal setelah pemuda ini mengatakan kalau ia seorang gadis manja.
Keheningan menghiasi suasana di atas geladak. Naruto menatap sekeliling sambil menatap kearah Sandayuu yang hanya bisa terdiam di sudut kapal, memerhatikan mereka berdua. Sesekali menyeka keringat. Nampaknya Sandayuu benar-benar tidak bisa melakukan apapun jika gadis bernama Yukie ini telah melakukan sesuatu, seakan-akan Yukie adalah seorang… Ratu.
Naruto melirik meja yang tak jauh dari tempatnya berdiri. Di sana duduk lima laki-laki dengan seorang perempuan-yang sejak tadi asyik memoles bibir dengan lipstik. Lima laki-laki bertubuh kekar itu bercakap-cakap kencang, sesekali tertawa bahak ketika salah satu dari teman mereka membuat sebuah lelucon. Perempuan yang bersama mereka juga sesekali ikut bicara, untuk kemudian sibuk mematut dirinya di depan cermin saku.
Seorang lelaki tua datang membawa sebuah pengeras suara. Mereka berdiri, segera bersiap-siap. Perhatian tertuju pada Sandayuu dengan wajah mengkerut.
"Manajer? Kita akan memulai scene di kapal.."
Sandayuu mengangguk, berjalan menuju Yukie. Mereka berbicara cukup singkat sampai Naruto beranggapan kalau mereka hanya melakukan isyarat.
Tapi saat itulah, saat rombongan Sandayuu mulai mengambil scene untuk film kedua mereka. Perempuan dengan dandanan tebal itu memulai scene dimana ia terjatuh dan di tolong oleh salah satu laki-laki yang memerankan sebagai ksatria.
"A-arigatou…" katanya dengan wajah malu-malu saat ksatria tersebut meraih tangannya.
Naruto memutar mata bosan. Ia tidak mengerti kenapa setiap film selalu ada adegan kurang menarik seperti itu. Apakah setiap adegan romantis harus selalu seperti itu? Seorang wanita cantik yang selalu ceroboh ditolong oleh seorang laki-laki keren dan berderajat tinggi? Oh ayolah, ini bukan drama cinderella. Atau setidaknya itulah yang Naruto pikirkan.. meskipun dirinya juga tidak mengerti alasan mengapa perasaan saling suka itu ada.
Sandayuu di sebelahnya tersenyum tipis. "Tertarik untuk ikut?"
"Aku tidak nyaman berada di tengah keramaian dan tak suka menjadi pusat perhatian, Sandayuu." Naruto berkata dengan pelan, matanya memandang jauh ke langit biru. Ekspresinya menandakan kalau ia pernah menjadi sosok yang sangat terkenal dibandingkan dengan seorang aktris sekalipun. 'Yah, meskipun terkenalnya aku karena menjadi buronan Elemental Country' batinnya tersenyum kecut.
"Souka.." Sandayuu memegang dagunya. "Kupikir kau ikut ke kapal ini dengan niatan untuk bisa menjadi bagian dari film. Bukankah naik ke kapal ini cukup mahal?"
"Ha.. .. ya.. begitulah." Naruto menggaruk kepala belakangnya dengan keringat jatuh dari pelipisnya. Pikirannya melayang jauh dimana Arashi memberikan tabungan untuk dirinya.
"Lagipula bukankah ini kapal satu-satunya yang tersisa untuk bisa pergi melintasi Kirigakure?"
"Yah, kau benar juga sih.. tapi apa yang ingin kau lakukan di negeri itu?" Sandayuu memejamkan matanya seakan memikirkan sesuatu. "Menurut informasi yang beredar sedang terjadi kudeta antara kedua belah pihak disana."
Naruto diam sebentar. Berpikir dalam, mencari cara terbaik menjelaskan.
"Hanya hal kecil. Menjumpai teman lama dan sedikit reuni, mungkin?"
Tapi Sandayuu tidak bereaksi. Bukan karena dia tidak percaya dengan kata-kata itu, hanya saja ini bukti betapa berbedanya Sandayuu dibandingkan semua orang di kapal; dia bahkan tidak menanyakan lebih dalam tentang profesinya sebagai pengembara.
"Senangnya.." kata Sandayuu dengan senyuman kecil diwajah tuanya.
"Hah?"
"Menjadi pengembara dan memiliki teman adalah sesuatu yang kuimpikan sejak dulu, disamping fakta bahwa aku tidak terikat dengan aturan, aku juga bisa merasakan apa artinya kebebasan."
Naruto menahan diri, tersenyum getir. "Tidak sesuai dengan apa yang kau pikirkan, Sandayuu." Sepertinya pemahaman setiap orang memang tidak selalu sama, semuanya berakhir pada tempat dimana dia dibesarkan dan rasa sakit yang pernah dia rasakan.
"Maksudmu?" tanyanya.
Naruto mendorong tubuhnya untuk menapak ke permukaan kayu, membenturkan punggungnya ke pinggiran kapal. Bersandar. "Suatu kasta. Anggap saja kau seorang bangsawan dan aku seorang budak." Naruto memejamkan mata sejenak, berusaha merumpamakan tentang kata-katanya. "Kemewahan dan sebuah rasa sakit."
Sandayuu kembali tidak bereaksi. Jelas sekali dia mengerti apa yang dimaksud. Dia menatap Naruto dengan gelisah, matanya melirik sekali, dua kali, tiga kali ke wajah Naruto yang menatap syuting film dengan tatapan teduh.
"Kebebasan yang akan terlontar dari seorang bangsawan adalah mendapatkan gelar dan semua yang dapat dimiliki," katanya, berpaling kearah Sandayuu. Angin laut meniup rambut peraknya, membuatnya merasa lebih segar. "Dan kebebasan yang akan keluar dari mulut budak adalah bisa hidup bersama keluarganya dengan bahagia."
Kemudian Naruto melanjutkan.
"Aku tak tahu situasi macam apa yang mengakibatkan orang tua sepertimu memegang tampuk kepemimpinan," Naruto melanjutkan. "Aku tak tahu apa saja yang telah terjadi sampai seorang putri terjerumus dalam hal ini. Tapi bisa kutebak, dilihat dari tidak percayanya dia terhadap orang yang memiliki kelihaian sepertiku serta orang-orang yang terluka dan mati di masa lalu, bahwa keadaan tidak berjalan dengan baik."
"Cukup," sergahnya, kata itu terlontar sebagai geraman.
Raut iba membayangi wajah Sandayuu. "Aku hanya ingin-sudah jelas keadaan tidak sesuai dengan yang kupikirkan. Bagi semua orang, ya, tapi terutama tuk orang tua sepertiku, sebagai pemimpin yang memerintah terlalu gegabah."
Naruto balas menatap pria itu, berhati-hati agar emosinya tidak terlihat. Ada kebenaran dalam segala hal yang dia katakan, tapi itu bukan keseluruhan cerita. Ya, memang berat tapi dia menerima tanggung jawabnya dengan kesadaran bahwa dia akan menghadapi kesulitan dari gambaran yang berusaha Naruto buat tentangnya.
"Sebenarnya situasi ini cukuplah sederhana," Naruto melambaikan tangannya dirasa Yukie menatapnya dari kejauhan, yang malah dibalas dengan mata yang melotot tajam. "Tentang alasan dan status, kau memikul beban berat sebagai pemimpin karena status Yukie, bukan begitu?"
Pikiran pertamanya: pria ini sama seperti dirinya, dia melakukan hal yang sama dan memikul hal yang sama.
Sebenarnya bukan karena dia terlalu genius atau serba tahu seakan dia adalah pembuat cerita, hanya saja ini membicarakan tentang masa lalu. Tentu saja, Yukie bisa saja diibaratkan dengan Kushina. Mereka memiliki kesamaan yang sama, hanya saja Naruto agaknya kurang yakin kalau Yukie adalah seorang putri. Karena kehidupan masa lalunya, Naruto tidak kenal siapa Yukie dan asal usulnya. Jadi wajar saja kalau Naruto hanya menebak hal itu.
Sandayuu bersandar di pinggir, menengadah ke langit. "Kau benar-benar melihat semuanya. Kau benar Naruto, apa yang kau katakan semuanya adalah benar. Aku tidak akan menyalahkanmu karena masih ada bagian yang kurang. Dan seperti yang kau bilang, ini adalah tentang status. Aku mencoba untuk melindunginya dari segala mara bahaya dengan cara menyewa orang-orang kuat diluar sana. Tapi semuanya tidak pernah berhasil."
Naruto mengikuti tatapannya ke arah langit, tapi dia tidak memikirkan perkataan Sandayuu yang membenarkan dirinya. Dia memikirkan tentang seberapa dekat langit itu bisa ia jangkau. Terlihat dekat, namun terlihat mustahil untuk dijangkau.
"Polisi, Mata-mata, dan bahkan Tukang pukul," imbuhnya, "Aku selalu berusaha mencari orang yang mampu melindunginya meskipun aku sendiri agaknya ragu mereka memang berniat melindunginya, aku takut beberapa dari orang yang kusewa malah berniat mencelakainya karena status yang ia punya."
Entah kenapa, Naruto tidak kaget mendengar hal itu-bagaimanapun, ucapan Sandayuu benar-benar membuat asumsinya bahwa Yukie seorang putri adalah benar.
"Lalu.."
"Ya?" tanyanya.
"Siapa lagi yang kau sewa sekarang?"
Setidaknya, Naruto akan memberikan asumsinya mengenai orang yang akan disewa oleh Sandayuu, agar dia tidak salah memilih orang. Tentu saja, untuk menghindari adanya bahaya yang akan terjadi. Yah, walaupun mungkin ini adalah hari terakhir dimana dia bisa melihat Sandayuu sebelum sampai ke Kirigakure, setidaknya ia bisa membantu.
Namun tak sampai lima belas detik Naruto memikirkan itu, wajahnya tiba-tiba memucat seakan langsung mendapatkan firasat buruk saat ia memandang kesamping kepala Sandayuu dimana dia mendapatkan gadis berambut hitam dan bibir merah muda yang kini menyunggingkan senyum teramat manis ke arahnya itu.
"Yah, kupikir aku memilih orang yang benar untuk saat ini," Sandayuu yang tidak ngeh dengan ekspresi Naruto pun tersenyum teramat puas atas apa yang baru saja ia utarakan. "Ahaha, entah kenapa aku bisa menyewa sekelompok ninja."
Naruto meneguk ludah. Tak bisakah kau diam untuk saat ini? pikirnya gelisah seakan dihadapkan dengan maut.
"Saat aku memutari Konoha, entah kenapa aku berpapasan dengan mereka.." Sandayuu yang masih tidak sadar pun melanjutkan. "Dan kau tahu? Mereka juga memiliki tujuan yang sama denganmu, mereka bilang akan ke Kirigakure untuk menemui seseorang. Hahaha mungkin ini hari keberuntunganku."
Keringat dingin mulai menjalar ke seluruh tubuhnya ketika tawa Sandayuu malah membuat senyuman manis dari sosok yang ditatap Naruto itu menjadi sebuah seringaian lebar.
"Naruto-kun,"
Sosok itu berkata dengan begitu lembutnya, hangat dan penuh senyum, mengejanya lambat-lambat sehingga namanya ditekan pada bagian 'kun'.
Naruto meringis ketika namanya dicetuskan dalam satu penekanan. Dengan sedikit tawa gugup, Naruto menggigit bibir. "A-aha-ahaha hai… M-mikoto-chan.."
~•~
Kabin adalah tempat pertama kali Naruto merasakan kengerian. Bukan ketakutan-dia sudah sering merasakan takut sepanjang hidup, baik di kapal ini maupun di Uzu. Tapi belum pernah Naruto merasakan kengerian sampai menatap mata gadis di depannya dan menyadari bahwa onyx yang biasanya lembut itu telah berubah menjadi merah.
Sekarang, saat Naruto menundukkan kepalanya untuk menghindari wajahnya, dia menyadari bahwa, sekali lagi, gadis yang sabar itu akan mengerikan saat marah.
Dia berlutut di depannya. Naruto menopang tubuhnya dengan kedua tangan, dia sedang diceramahi panjang lebar atas apa yang ia perbuat, ingin rasanya ia meminta maaf, tapi sudah terlambat. Amat sudah terlambat.
Benaknya mencatat detail-detail tanpa melibatkan perasaan, walaupun tekad telah menggelegak dalam dirinya, Naruto tetap tidak bisa berbuat apa-apa. Lengan gadis itu menggenggam sebatang ranting tebal, dengan lancip di ujungnya. Matanya melotot dan menatap tak berkedip kearahnya.
"Kenapa kamu menyembunyikan banyak hal dariku?" tanya Mikoto.
Naruto membuka mulut untuk bicara, tapi tidak ada kata-kata yang keluar. Dia berusaha untuk memaksa kata-kata keluar, tapi yang muncul hanya suara helaan napas yang nyaris tak terdengar. Naruto tahu kalau dia tidak mampu berbicara, tapi dia juga tak mampu bergerak sampai salah seorang wanita yang tidak ia ketahui itu bergerak maju.
"Ini," dia berkata, menyodorkan sesuatu. Selembar kertas dengan stempel merah pada bagian bawahnya. "Yagura mengumumkan penundaan waktu Ujian Chunnin selama satu minggu."
"Tidak," katanya otomatis. Dia tidak pernah mundur jika sudah bertekad.
"Mereka akan menyisir seluruh Kirigakure untuk membinasakan pemberontak! Yagura sengaja memberikan pemberitahuan dadakan ini ke seluruh penjuru.. setidaknya kau bisa mengulur waktu untuk menenangkan dirimu!" wanita itu bersikeras.
"Tidak," Naruto berkata seraya menegakkan tubuhnya. "Aku tidak memiliki waktu untuk memikirkan itu."
"Kau bodoh! Kau pikir dengan bermodal tekad sudah cukup untuk mengalahkan Yagura? Bahkan sebelum kau bertemu dengannya kau sudah mati di tangan anak buahnya! Kau tidak ada bedanya dengan bocah genin lainnya!"
Brak!
Aimi, murid dari Tsunade itu langsung memutar otaknya dengan kecepatan tinggi. Dia tidak sempat memikirkan apapun ketika sebuah kilatan emas telah mengisi pandangannya karena pada detik selanjutnya tubuhnya sudah menghantam dinding. Hanya saja, ketika dia baru berniat untuk bereaksi atas serangan dadakan yang terjadi, Aimi mendapati bahwa seluruh tubuhnya menegang ketika pergerakannya telah terkunci.
Naruto memicingkan matanya, "Jangan mengatakan seolah-olah kau tahu tentangku. Kubiarkan kau berpikir tentangku, tapi takkan pernah bisa kau mengatakannya dengan leluasa dihadapanku."
Aimi mencoba untuk mengatakan sesuatu namun mulutnya hanya bisa terbuka-dan tertutup kembali. Berkali-kali terulang, namun Aimi membatalkan niat untuk berbicara dan hanya bisa menatap iris biru yang membeku itu dengan tatapan sakitnya. Benaknya mulai membuat kesimpulan bahwa dia tidak apa-apanya dibandingkan genin ini, semua deduksi yang sempat ia pikirkan sebelum pergi dari Konoha pun hancur berantakan ketika pemuda itu menggunakan satu tangannya untuk mengambil sebilah kunai dari balik celananya dan menghunus tepat ke samping wajahnya.
"Asal kau tahu, aku hanya bisa memendam perasaan itu ketika orang lain selalu meremehkanku. Menghina, bahkan mencaci Klan ku."
Tubuh Aimi merosot ketika Naruto melepaskan kunciannya, terbungkuk dan tidak percaya atas apa yang baru saja terjadi secara tiba-tiba.
"Hanya satu hal yang harus kutekankan pada kalian," remaja itu membuka kelopak matanya lebar-lebar, memiringkan kepalanya dan membuat iris birunya itu mengosong. "Tidak usah mencampuri urusan orang lain yang tidak kau ketahui."
Hal berikutnya yang terjadi adalah suara-plak-memenuhi kabin, melihat bahwa saat ini Mikoto tengah mengepalkan tangannya seusai melepaskan tamparan kerasnya. Wajahnya memerah, menahan emosi. Meskipun dia berusaha menutupinya dengan suara datar, Naruto masih bisa melihat getaran halus di pundaknya.
"Kamu… tidak mengerti."
Tubuh Naruto menegang saat iris onyx tersebut telah mengeluarkan air mata, tangannya berusaha untuk menggapai, namun dia tak kuasa melakukan hal itu. Dia telah menyakiti Mikoto, menghapus air matanya hanya akan membuat masalah menjadi rumit.
"Maaf," Naruto menggigit bibir.
Hanya itu.
Sepatah kata yang mampu ia ucapkan.
Dia mengacuhkan rasa panas yang menyengat pipinya, dia hanya beranjak dari sana. Menggerakkan jari untuk membuka gagang pintu.
Tapi Mikoto menangis. Dia bukanlah laki-laki yang akan meninggalkan seorang wanita menangis, itulah sumpahnya. Tapi dia sadar, tidak ada yang bisa ia perbuat. Dia hanya akan memperburuk suasana jika melakukan itu.
Naruto beranjak dari kabin, giginya bergemeltuk dengan keras. Dia hanya bisa menyebutkan satu kata yang sama kembali. "Maaf."
Tiga detik kemudian.. Naruto menghentikan langkahnya, menatap Mikoto. Dikala gadis itu tengah menarik ujung bajunya. Sekarang matanya kering, walaupun Naruto masih bisa melihat jejak air mata yang masih lembab meliuk-liuk di pipinya. Sekarang dia membendung air mata itu dalam dirinya, mengendalikan dengan cara yang tak bisa perempuan lain lakukan.
"Naruto-kun," Mikoto berbisik. "Kumohon.. jangan pergi," gadis ini menengadah menatapnya, matanya basah dan merah. "Kalau kamu pergi, aku akan selalu ikut bersamamu."
Bibir Naruto melengkung membentuk senyuman tipis dan air mata pun telah memenuhi pelupuk matanya. "Dasar bodoh," dia berkata, berbalik dan memeluk Mikoto dengan erat. Dia menyeka wajahnya dan menatap Shikaku yang tersenyum di atas kasur. "Kalau kau melakukan itu, Paman Itachi akan membunuhku, kau tahu?" dia melontarkan tawa tertahan, suara serak yang dirusak oleh air mata merahnya.
Sungguh menyedihkan betapa banyak kesalahan yang dia lakukan, memendam masalah tidak akan membuat masalah itu selesai. Dia telah melupakan hal-hal kecil yang pernah terjadi di masa lalu, dia memiliki teman, dan semua temannya pasti akan mengerti dan membantunya menghadapi itu.
"Aku rasa," Mikoto berkata lambat-lambat, "Kalau orang itu adalah kamu, mungkin Ayah akan membunuhmu, tak peduli kau mengatakannya atau tidak,"
Dia akhirnya berpaling untuk menatap.. dan ada setitik senyum di bibirnya. Matanya sudah hampir kering sekarang. "Aku hanya berharap aku punya pilihan," katanya.
"Pilihan?"
"Seandainya bisa, aku akan membuat diriku tidak peduli lagi."
Mereka berdua terdiam untuk waktu lama.
Andaikan Naruto tidak paranoid terhadap sesuatu yang benar-benar ia rasa akan membawa perkara, mungkin dia telah melakukannya. Dia punya teman, itu akan mempermudah segalanya. Dia tidak perlu bangun pagi dengan mimpi buruk atau perasaan hampa lagi.
Lalu Naruto berpikir tentang Mikoto. Itu pertanyaan yang akan dia ajukan pada dirinya sendiri setiap kali Mikoto menatapnya dengan mata lembutnya, setiap kali dia dengan segera melakukan sesuatu hanya karena dia memintanya. Apakah aku mencintainya? Naruto tidak tahu. Dia belum cukup dewasa untuk memikirkan hal itu, dia hanyalah seorang remaja tanggung. Tapi Naruto tahu atau setidaknya ia bisa memberitahu dirinya sendiri bahwa dia menyukainya.
Mereka dua saling bertatapan saat memasuki dunianya sendiri.
Suasana bunga-bunga yang bertebaran membuat simphoni romantis memenuhi ruangan. Selanjutnya, hanya ada satu hal yang terlintas di pikirannya.
Cium?
Yang benar saja!
Setelah semua ini, mengapa hanya itu pikiran yang terlintas dibenaknya? Memangnya masalah ini harus berakhir seperti dalam kisah roman?
"CUT!"
Naruto mendorong tubuhnya mundur dan memasang wajah terkejut yang ia punya. Dia akan mengutuk dirinya sendiri saat menatap cermin, betapa bodoh wajahnya saat ini. Saat beberapa orang telah berdiri di depan pintu kabinnya. Pak Sutradara dengan senyuman mesumnya dan Sandayuu dengan senyuman tuanya.
"Dasar anak muda.. tak bisakah kalian menahan diri?"
Namun Naruto tidak memberikan reaksi lebih dari itu, dia hanya tertawa.. yah tertawa untuk menjelaskan bahwa saat ini dia tidak memiliki penyesalan. Masalah ini tidak perlu dibawa lebih jauh yang hanya akan merusak alur cerita, karena Naruto tahu, dia hanya perlu menjalankan hidupnya dengan mudah. Sebagian dirinya ingin merogoh ke bawah kasur untuk mengambil buku Dunia dimata birumu yang tersimpan disana, dia tidak perlu memikirkan apapun pandangan orang lain terhadapnya, dia hanya perlu menjadi diri sendiri..
Ya..
sebagai seorang tokoh utama.
~•~
To be Continued~
A/N: Maafkan hamba kalau lama update dan jarang sekali ada koneksi dengan dunia maya. Sejujurnya, hamba juga baru saja merasakan apa yang pernah dirasakan author lama lainnya. Kuliah bukanlah perkara yang mudah, butuh waktu untuk membuat sepenggal kata agar bisa melengkapi cerita yang rumpang. Tapi yah, hamba akan tetap mengusahakannya untuk tetap melanjutkan semua fic yang hamba telantarkan.
Dan untuk beberapa tanda baca.. hamba sengaja menaruh [koma] di beberapa bagian yang tidak sesuai dengan EYD, sebagaimana hamba sengaja membuatnya seperti itu karena menurut hamba agar terlihat pas dan readers tidak perlu membaca cepat dan asal scroll kebawah :v
Oh ya, hamba minta maaf jika chapter kali ini mengecewakan.
Thanks for Review..
Draco, out!