Kuroko mengedarkan pandangannya dengan ekspresi datar. Menatap kearah Aomine yang sedang rebutan 'siapa yang membonceng dan siapa yang dibonceng' dengan Kise, kearah Kagami yang mengayuh sepeda dengan kencang bersama Himuro yang tampak antusias, kearah Midorima dan Takao yang baru saja terjatuh dari sepeda mereka, kearah Imayoshi dan Kasamatsu yang berpencar mengambil gambar peserta, atau kearah Momoi yang sedang ngadem beralaskan selembar kain dibawah pohon kelapa yang tumbuh miring bersama Furihata dan Murasakibara. Ya, kemana saja asalkan bukan ke sebelahnya, tepat dimana seorang kaisar dengan keabsolutannya memaksa untuk menjadi pihak yang membonceng dan sama sekali tak mau untuk dibonceng. Kuroko bukannya menolak untuk dibonceng Akashi, tapi...

"Ayo naik, Tetsuya!" seru Akashi. Dia memperbaiki posisi duduknya sambil memutar pedal sepeda, meninggikan yang sebelah kanan untuk memulai kayuhannya nanti.

Kuroko menoleh, menatap wajah Akashi sejenak lalu menghembuskan napas pelan.

"Aku tidak mau, Akashi kun"

Akashi mengeratkan pegangannya pada stang sembari kembali memutar pedal satu putaran.

"Kenapa? Kau merasa kesal karena akan dianggap uke jika kubonceng?"—Padahal kau kan memang seorang uke, lanjut Akashi dalam hati.

"Sebaiknya aku saja yang membonceng Akashi kun."

"Kenapa kau tidak mau? Dibonceng olehku tidak akan melukai harga dirimu, Tetsuya."

"Tapi aku tetap tidak mau Akashi kun."

"Apa salahnya dibonceng olehku? Tetsuya hanya perlu duduk di belakangku dan aku akan mengayuh sepedanya beberapa keliling. Itu bukan sesuatu yang akan melukai harga dirimu." kata Akashi. "Cepatlah, yang lain sudah bersenang-senang sejak tadi!" desaknya. Ia mulai kesal karena Kuroko yang terlalu banyak berpikir. Apa salahnya sih dibonceng olehnya? Dia kan tidak bau! Akashi mencium ketiaknya sembunyi-sembunyi, tuh kan wangi!

"Harga diriku memang tak terluka Akashi kun, tapi aku takut fisikku yang akan terluka."

Akashi mendelik. Fisiknya yang terluka? A—apa maksudnya? Akashi kan bukan pemuja BDSM, jadi tak mungkin fisiknya sampai terluka.

"Nanti berdarah." ucap Kuroko lagi.

Ber—berdarah? Bagus dong berdarah! Itu kan tandanya Kuroko masih peraw—

"Akashi kun kan tak bisa naik sepeda!" tandas Kuroko.

E—ehhhh?

Rumah Jodoh

Rated: T

Story: Yukiko240

Pair: Akakuro Dan Pair Lain Yang Akan Muncul Nantinya

Warning: OOC Yang Semena-Mena, Typo(s) Yang Membandel, EYD Yang Masih Belajar Dan Kesalahan Manusiawi Lainnya.

Happy Reading ^^

Akashi mencoba bersikap tenang meski rasanya ingin menceburkan dirinya kelaut saat itu juga. Matanya melirik sekitar dengan cepat, memastikan jika tak ada satu orang pun yang mendengar ucapan Kuroko barusan. Ia menyeret sepedanya dengan kaki sampai tubuhnya dan Kuroko bersisian.

"Aku akan mengayuhnya dengan pelan. Tetsuya tak perlu khawatir." kata Akashi mencoba meyakinkan Kuroko.

Kuroko menggeleng dramatis. Dia tak mau mempertaruhkan tubuhnya yang bohay ini menjadi lecet hanya gara-gara Akashi lebih mementingkan harga dirinya dihadapan para peserta. Desahan kecewa Akashi sampai di telinganya, tapi tak dia hiraukan. Dia masih keukeh berdiri sambil melihat peserta lainnya.

"Kau bisa mempercayaiku."

Kuroko masih diam.

"Aku tak akan membuat kita jatuh, aku berjanji."

Kuroko menutup wajahnya dengan telapak tangan saat angin berhembus kencang.

"Tetsuya, kuperintahkan kau untuk naik dan mau dibonceng olehku!"

Kuroko menoleh melemparkan tatapan tak setuju. Tapi Akashi Susilowati—entah kenapa Kuroko memanggilnya begitu—malah memberikan tatapan memaksa. Kuroko mendesah. Dengan enggan dia mulai duduk dibencengan belakang sambil membaca Al-Fatihah di dalam hati. Dia sangat tak yakin pada ucapan Akashi. Semoga saja lukaku nanti tak parah, doa Kuroko miris.

"Kenapa kau memegang sepeda? Peluk pinggangku." perintah Akashi saat melirik ke belakang dan mendapati Kuroko mencengkram besi sepeda.

Kuroko tak menggubris. Ia masih memegang erat besi sepeda dan menyamankan duduknya dibelakang punggung teman kecilnya itu.

"Tetsuya apa kau tidak mendengar—"

Greppp!

Akashi terdiam saat merasakan sepasang tangan melingkar erat di pinggangnya. Hangat. Senyum kecil tersungging di wajah pemuda bersurai merah. Entah kenapa, perasaanya begitu senang saat mendapati Kuroko berada disisinya seperti sekarang. Seperti sesuatu yang wajar. Seperti sesuatu yang memang sudah seharusnya begitu.

Dan dengan percaya diri, Akashi mulai menggenjot pedal sepedanya.

.

Erangan lirih terdengar dari bibir Takao pascajatuh dari sepeda yang dikayuh oleh Midorima. Ia mendudukkan dirinya di atas pasir dan membiarkan Midorima menegakkan sepeda. Kaki kanannya ia luruskan perlahan sembari meringis. Ia yakin jika lututnya yang hanya ditutupi celana kain pastilah lecet melihat beberapa serat kain yang menyembul keluar dari bagian lutut.

Takao kembali berdiri saat Midorima sudah mengatur posisi di atas sepeda. Lututnya terasa perih namun ia tahan. Ia tak ingin Midorima melihatnya dengan pandangan jijik jika dia bertingkah seperti wanita hanya karena sebuah luka kecil.

Takao tertahan saat matanya bertemu dengan manik pemuda yang sudah lama ia sukai. Namun pandangan itu tak lama sampai Midorima memutuskan kontak mata mereka dan bersikap menunggu Takao untuk menaiki boncengan dibelakangnya. Takao berjalan mendekat dengan sedikit tertatih diawal. Ia menempatkan diri senyaman mungkin sambil berpegangan pada besi sepeda. Ia

tak seberani itu memeluk Midorima, ditambah lagi Midorima yang tampak tak peduli atau pun menyuruhnya untuk melakukan hal itu.

"Wah wah... liat pasangan baru kita yang satu ini, masih tampak canggung yaaa?" Takao dapat melihat Imayoshi mendekat sembari menyorot dirinya dan Midorima yang baru saja akan kembali bersepeda. Pemuda berkacamata itu datang dengan cengiran lebar dan sorot mata yang menyebalkan. Dia tampak mencari angle yang pas baru kemudian memfokuskan diri untuk merekam.

"wahhh... ku pikir akan melihat adegan romantis bak drama Korea disaat kalian jatuh tadi. Sayang sekali ya... Midorima tampaknya tak memiliki sisi romantis sedikit pun meski hanya sekadar menolongmu berdiri Takao. Kasihan sekali kau dapat pasangan yang dingin seperti dia."

Takao tak tau apa yang dipikirkan oleh Imayoshi saat berkata seperti itu, tapi Takao dapat merasakan nada cemooh dalam kalimat yang dilontarkan lelaki berkacamata itu. Mata sipitnya bahkan menyimpan keangkeran yang entah mengapa Takao rasakan sejak pertama kali berjumpa dengannya.

Takao tak mengacuhkan perkataan Imayoshi, Midorima juga begitu. Sepeda yang ia duduki sedikit bergoyang dan Takao yakin Midorima akan menjalankannya. Ia mengeratkan genggamannya pada besi sepeda saat sepeda itu mulai melaju. Tapi tak lama sampai Midorima menghentikan sepeda itu mendadak, membuat Takao terdorong ke depan dan menubruk punggung lebar pemuda yang ia sukai itu.

"Imayoshi!' bentak Midorima, membuat Takao melirik dari balik punggung si pemuda pencinta ramalan. Iris matanya menangkap Imayoshi yang dengan tak bersalahnya cengar-cengir menghadang sepeda mereka dari depan. Ia memang tak bisa melihat wajah Midorima dari posisi ini tapi Takao yakin jika wajah yang selalu ia pandang dengan penuh damba itu sudah merah padam karena marah.

"Jangan terlalu dingin, Midorima. Setidaknya kau tawarilah Takao untuk memeluk pinggangmu." tegur Imayoshi. Ia menggeser sedikit badannya untuk melirik Takao dan meng-close up pemuda itu.

"Jangan berlebihan, Imayoshi. lakukan saja pekerjaanmu." balas Midorima.

"Aku melakukannya saat ini."

"Jika kau menganggap mencampuri urusan peserta termasuk pekerjaan."

"Ayolah, sebagai kameramen aku berharap bisa merekam adegan yang romantis."

"Kau bisa merekam peserta yang lain."

"Akan ku lakukan setelah ini."

Takao dapat mendengar dengusan keras Midorima. Ia tak berniat terlibat dalam perdebatan itu meski hatinya ketar-ketir. Kenapa Imayoshi pakai acara ikut campur segala sih?! Padahal dia sudah berusaha tak banyak tingkah agar Midorima tak jengkel padanya. Tapi sejujurnya, Takao cukup penasaran. Apa Midorima akan memberikan keinginan Imayoshi atau... ah, tidak! Tidak mungkin kan. Takao menggelengkan kepalanya pelan, menyingkirkan pemikiran konyol yang entah bagaimana bisa terlintas di otaknya. Bagi Midorima, Takao tak lebih dari penyakit yang harus di jauhi. seperti cacar air atau flu burung. Apapun, dan semua sama buruknya.

Takao meremas dadanya yang tiba-tiba terasa perih. Ia tak boleh lupa, tak boleh lupa sama sekali misinya untuk melupakan pemuda hijau itu. Ia sudah berusaha keras melakukannya sejak mereka lulus SMA. Dia tak boleh lemah dan hanyut hanya karena jarak mereka yang terpaut satu jengkal tangan. Berada sedekat ini hanyalah fatamorgana. Sebentar lagi, kenyataan asli akan datang dan menyadarkannya jika Midorima hanyalah sebuah ilusi. Ya, bagi Takao yang sekarang, Midorima hanya ilusi. Selamanya hanya akan menjadi sebuah ilusi, rapalnya dalam hati.

"Kau lihat, dia menggelengkan kepalanya dan meremas dadanya. Itu tandanya jika dadanya sakit pascajatuh tadi dan membuat kepalanya pusing. Bagaimana jika dia mendadak pingsan? Bukankah itu salahmu sampai kalian bergulingan di atas pasir. Kau bahkan tak mempedulikannya dan lebih memilih mengurus sepedamu. Bagaimana bisa kau bersikap sedingin itu?"

Ctak!

Tiga sudut siku-siku mulai muncul di pelipis Midorima.

"Bagaimanapun juga dia adalah pasanganmu. Kalian terpilih lewat undian yang kau cabut sendiri,"

Ctak! Ctak!

Pemuda itu dapat merasakan kekesalannya naik sampai ubun-ubun saat Imayoshi menekannya kata di bagian 'pasangan'.

"Ah, pantas saja sampai sekarang kau masih jomblo. Aku bisa sangat mengerti alasannya." kata Imayoshi mengakhiri perkataanya. Ia memasang wajah pengertian—dengan cemooh yang kentara— yang membuat Midorima semakin ingin mengamuk.

Midorima menutup matanya sejenak. All is well... all is well, ucapnya menirukan jargon film india yang sering ditonton berulang-ulang oleh Furihata setiap kali menginap akhir pekan di apartemennya. Ia membuka matanya perlahan, dan merasa keren karena kekesalannya yang tadi hampir meluap kembali jinak. Ia menarik napas pelan, merasa berat untuk menyuruh Takao untuk memeluk pinggangnya.

"Peluk pinggangku, Takao." ucapnya pelan namun dapat terdengar jelas oleh dua asistensi lain di dekatnya.

Takao tertegun. Tadi... Midorima bilang apa? Peluk? Ah, mungkin maksudnya kupluk kali. Ya... Takao hanyalah salah dengar.

Midorima tak merasakan pergerakan dari Takao. Ia mengangkat sebelah alisnya. Ingin mengulang kembali ucapannya tapi gengsi. Pemuda hijau itu akhirnya menarik kedua lengan Takao dan melingkarkannya dengan erat di pinggangnya. Ia melirik ke Imayoshi yang tampak sangat puas di balik kameranya. Saat Midorima merasakan jika pelukan itu melonggar malah nyaris ingin dilepaskan, ia kembali menarik lengan mungil itu.

"Jangan dilepas. Gara-gara tadi kau tak memelukku sepedanya jadi jatuh. Aku tak mau jatuh untuk kedua kalinya." omel Midorima. Ia mulai mengayuh sepedanya tanpa mempedulikan Imayoshi yang langsung melemparkan tubuhnya ke samping agar tak tertabrak.

Di belakang punggungnya, seorang pemuda menikmati pelukannya terhadap orang yang sudah lama ia sukai dengan dada yang berdebar kencang. Wajahnya tampak memerah—dan terekam jelas di kamera Imayoshi—saat tertimpa cahaya matahari pagi, tapi kita tau itu bukan karena panas. Biarlah, ucapnya dalam hati, biar saat ini ia tenggelam dalam fatamorgana. Setidaknya, hanya untuk satu kali ini saja meski semua hanya ilusi semata.

.

Aomine menatap sengit Kise yang membalas tak kalah sengit. Percikan api terlihat dari mata mereka. Kedua tangan pemuda itu memegangi stang sepeda dari sisi yang berlawanan. Saat Kise mencoba menarik sepeda ke arahnya, Aomine mengencangkan genggamannya, membuat pemuda bersurai himawari di depannya merenggut kesal.

Aomine menghela napas. Tak habis pikir dengan model satu itu. Apa salahnya sih jika dia yang membonceng? Toh, tadi Kise sudah memboncengnya tiga kali putaran. Gantian dong! Tapi pemuda itu malah melotot sambil menggerutu. Aomine mengulum bibir. Lucu banget sih, pikirnya.

"Gantian Kise." ucap Aomine lirih. Pengennya sih ngebentak, tapi tak tega sama calon uke sendiri. Bagaimana kalau nanti Kise malah nangis, Aomine kan payah banget ngehibur orang. Dia mulai berpikir untuk meminta saran Momoi sehabis misi nanti. Lumayan buat bekal kalau-kalau dia tak sengaja buat Kise menangis beneran.

"Aiss... nanti kalau sudah satu jam. Satu jam pertama aku, satu jam berikutnya baru Aominecchi yang memboncengku."

Tapi satu jam itu terlalu lama. Apa salahnya kita gantian setiap tiga kali putaran?"

"Apa asiknya begitu?" Kise merenggut, ia bersidekap sambil menantang Aomine "Biarkan aku senang dulu kek, kenapa sih? Kau ini suka banget mengganggu kesenangan orang!"

Aomine memijat keningnya. Dia bukannya mau mengganggu kesenangan Kise, tapi...

Iris Aomine melirik Kasamatsu yang berdiri sambil merekam Kagami dan Himuro tak jauh dari mereka dengan ujung mata. Perasaan kesal merasuki dadanya karena sejak tadi pemuda itu berhasil membuat Kise mengabaikannya dan tebar pesona tak jelas. Hal itu juga yang menjadi alasan Aomine memaksa gantian membonceng, agar fokus Kise kembali padanya. Ia benar-benar tak suka pada Kasamatsu yang tampaknya memiliki 'sesuatu' hal dengan idolanya ini.

"Satu kali saja Kise, setelah itu kau boleh mengayuhnya sampai bosan." bujuk Aomine.

Kening pemuda kuning itu berkerut, tampak berpikir keras.

"Baiklah." ucap Kise kemudian. "Tapi aku duduknya di depan yaaa..." lanjutnya sambil menyeringai. Niatnya sih mengisengi Aomine supaya terganggu saat mengayuh nanti, tapi bagi Aomine ini malah berkah. Aomine mengangguk dengan cepat, takut Kise berubah pikiran.

"Oke! Seumur hidup juga aku ikhlas."

"Enak saja. Hanya satu kali putaran, Aominecchi." bantah Kise.

"Iya iya, dasar bawel."

"Kau bilang apa?"

"Tidak."

Aomine menaiki saddle sepeda dan mengatur posisi. Ia melepas sebelah tangannya, memberi Kise ruang untuk duduk di batang sepeda yang membentang membuat garis lurus di antara saddle dan stang.

Kise menyelipkan tubuhnya di ruang sempit itu. Pantatnya terasa tak nyaman saat batang besi yang ia duduki hanya bisa menyangga sedikit dari pinggulnya. Ia bergerak-gerak mencari posisi yang pas meski tetap saja tak menolong sama sekali. Akhirnya ia mulai tenang saat pinggulnya tak sesakit tadi menahan tubuhnya.

"Ayo, Aominecchi!" serunya.

"Yosh!" seru Aomine.

Aomine langsung mengayuh sepedanya dengan semangat pol. Merasa senang saat tubuh Kise yang hampir tak berjarak dengannya dan bau parfum pemuda itu yang begitu jelas di hidungnya. Ia tak dapat menyembunyikan cengiran lebar yang mengembang. Ah, kalau begini situasinya sih... meski hanya sekali Aomine rela lahir batin. Oh ya, adegan mereka ini di rekam kan ya? Kan lumayan bisa di tonton lagi nanti.

Aomine mencoba menoleh ke belakang, melihat sekiranya salah satu dari kameran yang ada di sana merekam moment indahnya bersama Kise. Namun, yang Aomine dapatkan adalah pandangan kedua kameramen yang sama-sama menatapnya dengan kamera yang tetap menyorot tanpa fokus. Pandangan yang membuat Aomine merasa tak nyaman, karena baik Kasamatsu maupun Imayoshi—yang berdiri beberapa meter di belakang Kasamatsu—tampaknya menyimpan suatu hal dalam tatapan mereka. Hal itu pula lah yang membuat Aomine tertegun beberapa saat sampai tak menyadari jika sepeda yang ia kayuh melaju kencang ke dalam air.

"Aominecchi! Air laut! Air laut!" pekik Kise heboh. Ia tampak panik meletakkan tangannya di atas tangan Aomine dan mencoba memutar stang sepeda. Aomine yang baru sadar karena mendengar teriakan Kise mencoba menarik rem bahkan menurunkan sebelah kakinya untuk menghentikan laju sepeda yang semakin ke dalam. Tapi sayang...

"AAAAKH...!"

Byur!

Terlambat!

Kedua pemuda itu terjatuh berhimpitan dengan sepeda. Baju yang mereka kenakan langsung basah seluruhnya dengan posisi jatuh mereka yang berhimpitan. Kise bahkan sempat terminum air laut karena mulutnya yang terbuka saat berteriak tadi.

"Puih... puih..." Kise meludahkan air laut yang masih terasa di dalam mulutnya. Rasa asin menyebar membuatnya menyerngit tak suka. "Eughhh..."

"Kise, kau baik-baik saja?" Aomine mencoba menepuk-nepuk tengkuk Kise yang masih duduk di dalam air. Air laut yang setinggi perut Kise menghempas-hempas pelan sepeda yang masih tergeletak terabaikan.

Kise menatap Aomine tajam. Tangan Aomine di hempaskan dengan kasar.

"Ini semua gara-gara dirimu! Jika kau berencana untuk bunuh diri jangan ajak-ajak aku!" omelnya.

Aomine menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Maafkan aku," sesalnya, "tadi aku agak tak fokus."

"Jika kau tak fokus kenapa memaksa membonceng? Kau keras kepala sekali, padahal aku sudah bilang biar aku saja yang menyetirnya."

"Qku menyesal. Aku janji tak akan mengulanginya." lirih Aomine. Dia benar-benar merasa sangat bersalah. Kenapa tadi dia sampai bengong sih melihat ekspresi dua kameramen sialan itu? Hah, ini pasti gara-gara Kasamatsu! Gara-gara Kasamatsu dia jadi tak fokus dan sepedanya jadi berbalik ke arah laut. Atau karena dari awal Aomine memang punya keinginan untuk menenggelamkan pria itu kelaut, supaya tak lagi mencuri perhatian Kise darinya, sehingga alam bawah sadarnya merespon dengan baik. Ah, apapun! Aomine sangat menyesal sudah membuat Kise jadi basah dan marah seperti ini. Gagal deh usaha Aomine untuk bisa dekat dengan Kise selama misi ini berlangsung. Ughhh...

"Tak ada ulangan! Aku tak mau lagi. Aku mau pulang!" ucapan Kise menyentak Aomine. Ia langsung mengejar Kise yang sudah berjalan meninggalkannya.

"Kise!" Aomine menarik lengannya, "Aku benar-benar minta maa—

"KAU TIDAK LIHAT BAJUKU SUDAH BASAH KUYUP!"

Kise kembali meninggalkan Aomine. Ia berjalan cepat ke rumah tanpa mempedulikan pandangan dari peserta dan kru lain yang memperhatikan mereka sejak tadi. Malah Imayoshi dengan tak tau dirinya malah mengekor di belakang Kise sambil terus menyorot, membuat Kise melempari pemuda itu dengan kedua sendal pantainya.

Aomine hanya diam melihat sosok idola tercintanya menghilang dari balik rimbun pohon bersama Imayoshi yang masih keras kepala mengikuti. ia masih bisa merasakan sapuan ombak yang membasahi mata kakinya. Mungkin dia akan mencoba meminta maaf lagi nanti, di saat Kise sudah agak tenang. Dia mengusap wajahnya dengan kedua belah tangan, merasa kesal pada dirinya yang begitu ceroboh. ketika matanya tak sengaja bertemu pandangan dengan Kasamatsu, dia mengeram kesal. Merasa Kasamatsulah yang membuat kesialan datang padanya. Dia menghembuskan napas dengan keras. Yahhh, setidaknya tak ada yang menertawakan mereka, itu saja sudah membuat Aomine bersyukur. Baru saja dia akan mengambil sepeda yang masih tertinggal di belakang, celetukan Kagami membuatnya ingin melemparkan pemuda itu ke tengah laut saat ini juga.

"Dibenci nih yeee~ Ehehehe..."

Anjay!

.

Akashi menggigit bibirnya, keningnya berkerut sampai alisnya seakan mau menyatu. Sebuah perban bertekstur kasar berwarna coklat itu ia putar beberapa lilitan di pergelangan kaki Kuroko yang terletak di atas bantal sofa. Di atas meja, sebuah kantung es yang baru saja digunakan untuk mengurangi rasa sakit dan pembengkakan di kaki kiri Kuroko yang berhasil dibuat terkilir oleh Akashi saat bermain sepeda tadi. Ia mengambil perekat besi dan memasangkan di perban. Selesai!

Akashi menatap Kuroko. Suasana terasa begitu canggung di anatara mereka berdua. Ia merasa bersalah, sangat malah. Karena egonya Kuroko menjadi terluka. Andai saja ia tadi tak memaksa Kuroko untuk naik, ah... sudahlah! Yang pasti ia sudah bertekad akan merawat Kuroko sampai sembuh.

"Tetsuya, aku minta maa—"

Brak!

Pintu rumah terbanting dengan tidak elitnya membuat Akashi dan Kuroko terlonjak kaget. Pemuda bersurai kuning masuk diikuti dengan Imayoshi yang terus-terusan menyorotnya. Pemuda itu berlalu tanpa mempedulikannya maupun Kuroko, mengumpat tak jelas dengan cepat. Baju pemuda itu basah menyisakan jejak becek di lantai.

"Kenapa dia?" tanya Akashi.

Imayoshi melirik jenaka, "Berenang bersama hiu hahaha..."

Akashi mengulum senyum. Ia tahu Imayoshi tak serius dengan ucapannya.

"Kau saja yang berenang bersama gajah sana!" teriak Kise dari bagian dalam rumah. Ia kemudian kembali mengumpat tak jelas, menyebut nama Aomine yang di sandingkan dengan banyak kebun binatang. Akashi hanya geleng-geleng, merasa jika tingkah Kise begitu kekanakkan. Dia bahkan hanya basah, Kuroko yang terkilir saja tak semarah itu pada Akashi. Ngomong-ngomong tentang Kuroko, Akashi baru ingat ia belum jadi meminta maaf.

"ah, Tetsuya." panggil Akashi, memutus perhatian Kuroko terhadap suara Kise yang terdengar masih mengomel. Akashi bertumpu dengan lututnya, memandang penuh rasa bersalah pada manik biru sahabatnya. "Aku minta maaf. Maaf membuatmu terkilir. Aku sangat menyesal." ucapnya.

Iris itu terkunci di pandangannya, tapi tak menunjukkan kemarahan atau kekesalan. Datar, seperti biasanya. Hal yang membuat Akashi menjadi sangat kesal karena tak mampu mengira-ngira apa yang sedang di pikirkan oleh teman sejak kecilnya itu.

"Aku—"

"Astaga, Kurokocchi!" teriakan itu memotong Kuroko yang baru saja akan berbicara. "Apa yang terjadi padamu? Kenapa kakimu di perban seperti ini?" Kise bertanya panik. Ia berdiri di ujung sofa sambil menatap kaki Kuroko dengan prihatin.

"aku baik-baik saja Kise kun. Hanya sedikit terkilir." Jawab Kuroko pelan.

"tapi kenapa bisa terkilir? Apa yang kau lakukan?" Kise tetap heboh. Ia sekarang jongkok disebelah Kuroko dan menatapnya dengan serius, seperti serang kakak yang berlebihan.

"Dia tak sengaja terjatuh saat bersepeda bersamaku." sahut Akashi.

Kise mendelik, menatap Akashi dengan kekesalan yang kentara.

"Akashicchi," Kise mendesah, tampak sangat prihatin kepada pemuda merah itu. "Apakah salah satu keahlianmu adalah menyakiti Kurokocchi?"

Akashi tersentak, tak percaya kalimat itu akan keluar dari mlut Kise.

"Dulu kau menyakiti hatinya, apa sekarang kau akan menyakiti fisiknya?"

"Aku tak bermaksud menyakitinya, Ryota!"

"Tapi kau melakukannya!" Kise berdiri, "Katakan, ego macam apa lagi yang membuat dia terluka kali ini?"

Akashi bungkam. Sial! Kenapa ia merasa Kise begitu benar? Dia memang memaksa Kuroko untuk menaiki boncengan untuk harga dirinya tadi. Apa benar dia selalu menyakiti Kuroko selama ini? Padahal, dia sudah berjanji untuk melindungi Kuroko. Janji yang dia buat waktu itu... oh, shit! Bukankah kejadian itu juga terjadi karena kesalahannya. Karena dialah, saat itu Kuroko hampir kehilangan nyawa.

"Tidakkah kau ingat jika sejak kecil dulu, kau selalu menyakitinya? Bahkan janjimu untuk terus melindunginya kau lupakan begitu saja karena keegoisanmu." Seakan bisa membaca pikirannya, Kise terus menghajar Akashi dengan kenyataan.

"Kau tau... aku sangat menyesal!" sentak Akashi. Ia merasa begitu lemah saat berhubungan dengan semua hal yang berhubungan dengan Kuroko dan masa lalunya. Ia merasa kesal karena bisa-bisanya ia disudutkan oleh orang seperti Kise.

Pintu depan kembali menjeplak terbuka. Sosok Momoi, Murasakibara, Kagami, Aomine, Himuro dan Furihata masuk beriringan ke dalam rumah. Mereka hanya bisa menatap bingung situasi yang tampak tegang di dalam ruang santai itu. Imayoshi bahkan hanya mengangkat bahu, tak terlalu mengerti masalah apa yang sedang diperdebatkan antara bosnya dan Kise.

"Menyesal? Benarkah kau menyesal?" Kise menatap Furihata dengan sinis. "Kalau begitu, bagaimana jika situasinya kembali terulang?"

Akashi mengangkat alisnya, tak mengerti. "Apa maksudmu dengan situasi yang terulang, Ryota?"

Semua orang di sana menerka-nerka hal apa yang dimaksudkan Kise? Dan kenapa mereka harus bertengkar? Astaga, ini bahkan masih hari pertama. Tidak cukupkah Kise bertengkar dengan Aomine tadi?

Kise menoleh saat merasakan tarikan pada pergelangan tangannya. Ia menatap Kuroko yang menggeleng pelan, tak ingin Kise membuat masalah hanya kerna dirinya. Namun Kise hanya melemparkan senyum kecil, tak menggubris larangan Kuroko.

"Akashicchi, antara Kurokocchi dan Furihata, siapa yang akan kau pilih dengan syarat yang kau tolak harus menghilang selamanya?"

Jder!

Akashi merasa mendengar suara petir di dalam kepalanya. Apaan Kise?! Kenapa dia malah membuat situasi makin panas seperti ini? Akashi tau ia salah, ia menyesal. Apa tidak cukup semua penyesalannya akan kepergian Kuroko selama ini? Dia bahkan mencoba menebusnya sekarang. Kenapa si Sialan Kise membuat ia seakan kembali ditarik pada kejadian delapan tahun silam?

"Kise senpai, kau tak punya hak mengatakan hal itu!" seru Furihata. Ia meresa tak nyaman sekaligus kesal. Kenapa hal itu harus diungkit kembali? Apa yang diinginkan si model terkenal ini?

"Lah, kenapa tak berhak? Jadi, apa kau berpikir hanya kau yang memiliki hak untuk melakukannya? Kenapa? Karena Akashicchi lebih mencintaimu dibandingkan Kurokocchi?"

Furihata terdiam. Lidahnya kelu, tak mampu menjawab. Ia merasa sangat malu saat semua mata di sana mentap ke arahnya, termasuk Midorima, Aomine dan Takao yang baru saja datang.

"Kau tak bisa menyalahkan Furihata begitu saja, karena saat itu dia juga melepaskan Akashi." bela Takao. Ia satu-satunya saksi mata akan kejadian itu dan satu-satunya orang yang tau jika Furihata juga sangat hancur saat itu.

"Itu kesalahannya! Bukankah Akashicchi telah memilihnya, kenapa harus dilepaskan? Dia ingin bersikap sok pahlawan? Playing victim?!"

"Jaga bicaramu, Kise! Bukan salahnya jika Akashi lebih memilihnya. Bukankah Kuroko lah yang harus sadar posisinya. Seharusnya dia bisa membedakan batasan antara sahabat dan cinta." sergah Midorima.

"Memangnya salah jika mencintai sahabatmu sendiri? Aku juga mencintai Atshusi dan kami tetap bersahabat." ucap Himuro, merasa kesal dengan pernyataan Midorima barusan.

"Aku—"

"YAH, DIAM!" bentak Kagami memotong ucapan Midorima. Ia berjalan cepat ke arah Kuroko, mendorong Kise agar memberinya ruang, dan memeluk lelaki bersurai langit itu. Ia tak tahan. Sejak tadi orang-orang bodoh ini sibuk dengan pertengkaran mereka tanpa mempedulikan Kuroko yang menunduk dan bergetar. Bahkan, si Akashi sialan itu hanya bisa terdiam membisu, tampak seperti pecundang.

"Berhentilah membicarakan hal konyol seperti masa lalu, karena mulai saat ini, Kuroko adalah kekasihku!" tandas Kagami. Ia menarik tengkuk Kuroko dan menciumnya, tak memperdulikan suara terkesiap dari balik penggungnya. Kuroko pun tak memberontak, ia hanya pasrah dengan perlakuan Kagami.

Tubuh Kagami terhempas kebelakang tanpa perlawanan saat Akashi—orang yang bertanggungjawab atas penarikan itu—menatapnya nyalang. Matanya menatap nyalang Kagami, seakan ingin melumatnya bulat-bulat.

"Kau pikir apa yang kau lakukan?!" Suaranya terdengar mengancam. Akashi tampak semakin murka saat Kagami hanya membalasnya dengan kekehan kecil penuh hina.

"Mencium pacarku. Ada masalah untukmu?"

Akashi mengeram. Ingin menghempas tubuh Kagami sampai berantakan.

"Masalah? Tentu saja masalah untukku. Tak ada yang boleh memacarinya tanpa seizinku, tidakkah kau paham akan hal itu?!"

Kagami mendengus, merasa jijik dengan sikap Akashi yang begitu egois. "Satu-satunya yang kami pahami di sini hanyalah egomu yang terlalu besar."

"Setidaknya kau harus paham untuk menurut pada ucapanku."

"Jika aku tidak mau?" tantang Kagami.

"Maka kau akan menyesal!"

Akashi mendekati Kuroko, menggendongnya tubuh ringkih itu dengan gaya pengantin dan membawanya memasuki kamar.

"Aomine, kau tidur dengan Kise malam ini." ucapnya, sebelum pintu kamar itu berdebam tertutup.

.

.

Kuroko dapat merasakan betapa hati-hatinya Akashi menidurkannya ke atas ranjang. Ia mamalingkan wajahnya, tak sudi melihat Akashi yang menutupi tubuhnya dengan selimut saat ia merasa begitu sakit lahir batin. Netranya menangkap sebuah pigura di atas nakan. Foto dia dan Akashi. Kuroko tak menyangka jika Akashi masih menyimpan potret mereka bahkan setelah sekian lama.

Kuroko merasakan jika otaknya tak lagi mampu menguntai benang kusut dari semua masalah di hidupnya. Sikap Akashi masih sama, tak ada yang berubah meski sudah sekian lama. Kuroko merasa hatinya begitu perih. Kenapa pemuda yang ia cintai ini begitu egois? Kenapa bersikap seolah memiliki hak atas hidupnya di saat Kuroko mulai menyerah mengharapkannya. Apa karena janji? Apa karena janji itu Akashi tak memberikan kebebasan untuknya? Jika memang karena itu, maka biar ia sudahi saja janji itu.

"Akashi kun." Panggilnya. Ia menatap pemuda yang duduk di pinggir ranjang sambil menatapnya. Pemuda itu memberikan senyum kecil padanya. Ia sedikit ragu. Apa Akashi akan marah dengan keputusannya?

"Ya?"

Kuroko mengambil pigura dari atas nakas. Ia mengamatinya dengan lembut, seakan terbawa kembali pada kenangan masa lalu mereka.

"Kau masih ingat kapan foto ini diambil?" tanya Kuroko. Akashi mengangguk. Ia menarik tangan Kuroko dan melihat gambar mereka berdua di selembar foto. Senyum kecil kembali menghiasi wajahnya, sebelum berganti dengan raut penuh sesal.

"Aku benar-benar minta maaf, Tetsuya." Akashi meneguk ludah, "aku begitu keterlaluan. Padahal, waktu itu yang ku janjikan adalah melindungimu, namun yang kulakukan malah selalu menyakitimu."

Kuroko tersenyum penuh pengertian. Ia tahu itu bukan salah Akashi. ia lah yang terlalu manja minta tetap di urus saat sudah sebesar ini.

"Itu bukan salahmu."

"Tidak, aku yang salah. Kejadian waktu itu juga terjadi karena aku. Kalau saja aku tidak—"

"Akashi kun, aku tak menyalahkanmu. Aku bisa mengerti sekarang betapa menjengkelkannya dulu diriku ini. Pantas saja kau sangat membenciku."

"Aku tidak membencimu!" sergah Akashi, "itu hanya perasaan anak kecil, bahkan aku tak benar-benar membencimu saat itu."

"Aku tau. karena itu aku yakin jika Akashi kun pasti akan menemukanku saat itu."

Akashi membuang muka, tak sanggup melihat wajah penuh pengertian Kuroko.

"Aku minta maaf, memaksa Akashi kun mengucapkan janji itu dulu." lirih Kuroko. Akashi menoleh cepat, menatap tak suka akan ucapannya barusan.

"Aku tak terpaksa."

Kuroko menarik napas. Sedikit meringis saat kakinya terasa kembali berdenyut. Namun kemudian ia menyamankan dirinya di atas kasur sembari bertatapan dengan Akashi.

"Akashi kun, " ucapnya, mencoba mengutarakan hal yang sejak tadi ia pikirkan. "Aku ingin mengakhiri perjanjian kekanakan kita." ucapnya.

Akashi tersentak, tak menyangka jika Kuroko akan mengatakan hal seperti itu.

"Apa maksudmu dengan mengakhiri, Tetsuya?" suara Akashi terdengar begitu dalam, membuat keberanian Kuroko sedikit goyah.

"Perjanjian itu... aku sudah tak menganggapnya ada lagi sejak lama. Dan rasanya tak adil jika Akashi kun masih memikirkan tentang hal itu saat aku sudah tak peduli. Aku sudah sangat dewasa untuk melindungi diriku sendiri." tuturnya mencoba menekan suaraya yang bergetar. Ia meremas pinggiran pigura, meredam rasa takut yang sebenarnya menguasai hatinya.

Hening cuku lama, sebelum akhirnya akashi berkata, "aku akan bersikap jika kau tak mengatakan apa pun, Tetsuya." Akashi bangkit. Ia menarik pigura foto dari tangan Kuroko dan menyimpannya dalam laci. Ia lalu menaikkan selimut sebatas dada. "Tidurlah, aku akan meminta Atsushi untuk menyiapkan sup hangat untukmu." Ia pun melangkah menuju pintu.

"Akashi kun, aku serius. Kita tak bisa hidup dengan memegang janji konyol seperti itu. Kau tak bisa mengekangku sesuka hatimu begini!"seru Kuroko. Namun hanya debaman pintu yang ia dapat sebagai balasan. Kuroko mendesah lelah. Merasa tak berguna dan begitu lemah. Tidakkah dia bisa bersikap tegas meski hanya sekali? Atau... dia hanya akan terus berakhir patah hati.

Kuroko menarik selimut menutupi seluruh tubuhnya. Fisiknya sakit, hatinya apalagi. Dan untuk kesekian kalinya ia merasa menyesal datang kembali ke Jepang.

.

.

.

Akashi menyandarkan tubuhnya pada dinding yang menjadi pagar rumahnya. Sekaleng minuman berisotonik telah ia kosongkan, kalengnya kemudian ia remas untuk melampiaskan kemarahan. Matahari hampir di atas kepala, sinarnya terasa menyakitkan menusuk kulit. Tapi Akashi tak peduli, ia hanya mengambil satu lagi kaleng minumnya, membuka, dan meneguk cepat. Setelah kaleng itu kosong, ia kembali meremasnya dan melemparkan ke tong sampah yang sudah penuh dengan kaleng-kaleng lainnya. Di atas pagar dinding itu, masih ada tiga perempat dus lagi minuman kaleng yang menunggu giliran.

"Apa Akashi senpai berencana mabuk denganminuman penuh ion seperti ini?"

Tak perlu menoleh, Akashi tau itu Furihata. Ia hanya diam dan membiarkan pemuda cihuahua itu mengambil sekaleng minumannya dari dalam kardus dan meneguknya perlahan.

"Aku tak menyangka jika yang mengungkit hal itu malah orang yang tak ada hubungannya." ucapnya kembali. Tapi Akashi masih tak merespon, meski ia membenarkan perkataan Furihata. Akashi pikir dia lah yang akan mencoba mengungkit hal itu kembali di saat meminta maaf pada Kuroko, tapi siapa sangka, Kise Ryota dalam mood nuruk menghancurkan segala persiapan yang telah ia rencanakan. Damn, Akashi sangat ingin menenggelamkan anak itu ke laut saat ini. Atau kenapa tidak ia mati terseret ombak tadi?

"Bagaimana keadaannya? Apa dia mengatakan sesuatu?"

Akashi menggeleng. Tak tau jawaban seperti apa yang akan ia lontarkan. Keadan Tetsuya? tentu saja sangat buruk. Hari ini bukan hanya kakinya, tapi hatinya juga sudah Akashi buat terkilir. Dan dia... dia mengatakan untuk mengakhiri janji mereka. Satu-satunya hal yang menjadi benang merah di antara mereka. Akashi tidak terima! Dia memang sudah berkali-kali mengingkarinya, tapi kali ini ia bersungguh-sungguh akan menjaga Kuroko.

Furihata menatap Akashi simpati. Merasa kesal jika senpainya itu masih dengan sikap egois dan kebodohannya. Sampai kapan orang ini akan menganggap Kuroko hanya sekadar teman? Sampai Kuroko benar-benar memilih lelaki lain dan meninggalkannya? Furihata menjadi gemas. Ia tak menyangka jiak Akashi begitu konyol. Apa salahnya, akui saja?! Bukankah semuanya akan mudah jika ia mengakui perasaanya dan berhenti mengekang Kuroko atas dasar janji atau teman sejak kecil?

Furihata membuang nafas, merasa tak ada gunanya bicara dengan Akashi dalam situasi ini. ia membuang minumannya yang baru diminum satu tegukan. Ia kemudian berbalik dan melangkah meninggalkan Akashi yang tampak tak peduli akan kedatangan ataupun kepergiannya. Namun baru lima langkah, ia berhenti. Mendapat ide untuk membantu Akashi mendapat sedikit pencerahan.

"Ngomong-ngomong Akashi senpai... di saat ini, antara aku dan Kuroko senpai, siapa yang akan kau pilih seagai orang yang memiliki peluang lebih besar sebagai kekasihmu? Dengan aturan, kau akan terikat dengannya sampai kau mati."

Akashi berbalik. Menatap manik Furihata yang tampak berkilat licik. "Apa maksudmu Kouki? Kenapa kau bertanya seperti itu lagi"

"Bukan apa-apa senpai. Tapi, jika kau sudah tau jawabannya, kau akan mengerti siapa yang paling kau butuhkan dan arti kehadirannya di hidupmu. Pikirkanlah dengan baik."

Furihata kembali melanjutkan langkahnya, meninggalkan Akashi dengan kening yang berkerut.

"Terikat... sampai mati?" ulangnya pelan, merasa masih tak mengerti ataupun menemukan jawaban yang jelas atas pertanyaan itu.

Haah, Akashi benar-benar butuh pencerahan!

.

.

Tbc...

Alohaaaa...

Oke, kalian bisa menyebut aku si ingkar janji kayak akashi, tapi tolong maafkan aku~

Aku tau aku dulu janji untuk update seminggu sekali, tapi banyak hal buruk yang terjadi...

Dari laptop hilang, jatuh bangun cari tempat magang, ngerjain skripsi setengah mati... hueee... akhirnya aku baru bisa update sekarang, ini juga dengan curi-curi waktu.

Dalam waktu dekat mungkin aku bakal sidang akhir, jadi ga tau kapan bisa update chap selanjutnya

Mohon doanya yaaa... mudah-mudahan bisa lulus dengan hasil maksimal... aamiin

Oya, maaf kalo kali ini aku ga bales riview, aku buru-buru sihhh...

Tapi kalian jangan lupa tinggalin review yaaa

Review kalian bahan bakar sekaligus semangat buat aku! ^^

Makasih banyak ^^