Brugh

Prang

Prang

"Hentikan, Hinata! Kau menghancurkan semuanya!"

Prangg~

"Hinata!"

Brugh

Prangg~

"Kau membuatnya berantakan!"

"Aku tidak peduli!"

"Jaga sikapmu! Jangan kenanakan begini!

"Kaulah yang kekanakan, Naruto!"

Naruto mengacak rambutnya dengan kesal, "Memang apa salahku!"

Hinata terdiam dengan nafas yang memburu penuh amarah. Ia berbalik, menatap tajam sosok jangkung yang berdiri tak jauh darinya. "Kau tanya apa salahmu!? Mengapa otakmu itu selalu dangkal—"

"Apa yang kau bicarakan!—"

"Siapa gadis itu, Naruto!"

"Dia bukan siapa-siapa—"

"Bohong! Aku tahu kau kenal dekat dengannya. Mencoba bermain dibelakangku, iya!?"

"Bermain apanya ... Jangan menuduhku sembarangan!"

"Aku tidak menuduhmu, itu kenyataannya!"

Naruto memejamkan matanya. Amarahnya kian tersulut karena tindak-tanduk sang kekasih. Ia tidak pernah melihat Hinata semarah ini. Ia yakin bahwasanya ia tidak memiliki kesalahan khusus pada gadis itu. Lalu apa yang sudah berhasil memancing ketempramentalan gadis itu hingga separah ini. "Apa buktimu?" Naruto berusaha tenang.

"Akhir-akhir ini kulihat kau dekat dengannya. Mengerjakan tugas bersamanya. Makan siang bersamanya. Kau bahkan mengantarnya pulang seusai kuliah. Saat aku datang kerumahmu untuk mengerjakan skripsi, paman mengatakan kau pergi bersamanya. Kau selalu saja bersamanya, apa kau sudah memiliki tambatan hati baru, Naruto!?"

"Kau salah paham—"

"Apanya yang salah paham! Aku bahkan melihat kau tertawa bersamanya. Kau bahagia, eh!?"

"Jangan memotong perkataanku!"

Hinata terdiam. Nafasnya tersengal bagai lari seribu kali. Amarahnya memuncak sejak dipendamnya dua bulan belakangan ini. Ia mendapat sedikit masalah pada pembuatan skripsinya. Dan berharap Naruto dapat membantu, berhubung dia adalah pemuda yang cukup pintar. Namun dilain pemikirannya, situasi justru semakin membuatnya rumit.

Hinata mengernyit melihat Naruto mengulurkan sebuah amplop coklat padanya. Meski dengan kesal yang masih membara, ia membukanya, membaca satu-persatu huruf yang tercetak jelas disana. Amethys itu terbelalak.

"A—Apa! ..."

"Lusa nanti aku terbang ke Skotlandia. Mungkin akan menyelesaikan semester akhirku disana, sesuai rekomendasi dari dosen Kurenai."

Hinata semakin terkejut melihat nama rekan mahasiswi yang akan diikutsertakan bersama Naruto.

Saara.

Anak sulung Hyuuga Hiashi itu meremas kertas digenggamannya menyerupai bola kecil dan melemparnya kearah Naruto. "Kau tidak pernah bilang apapun padaku!" amarahnya kembali meledak. "Kau sengaja agar kau bisa pergi berdua dengannya!?"

"Apa-apaan kau!"

"Mengaku saja! Kau tidak pernah mengatakan apapun tentang hal ini padaku. Padahal kau sudah merencanakannya dengan gadis itu, iya 'kan!? Kau anggap aku ini siapa Uzumaki Naruto!"

"Aku tidak pernah merencanakan apapun dengannya! Berhenti menuduhku yang tidak-tidak Hyuuga Hinata!—"

"Sudah kubilang aku tidak menuduhmu! Ini salah satu bukti yang baru kudapatkan. Kau ingin pergi berdua dengannya! Kau tega!—"

"Itu untuk keperluan kuliahku. Kau tidak akan mengerti!—"

"Ya, kau benar. Aku memang tidak pernah mengerti apapun tentangmu. Aku memang bukan kekasih yang pengertian. Bagus! Sekarang pergilah dengan orang yang mengerti dirimu!"

"Kau ...! jangan sembarangan bicara, Hinata!" Naruto kembali mengacak rambutnya, "Arggh! Berhentilah berpikiran aneh!"

"Baiklah! Baik ... aku berhenti berpikiran aneh. Mulai saat ini aku tidak akan mengganggu hubunganmu dengannya. Berbahagialah ...!"

"Hinata!"

"Aku ingin kita putus! Dan jangan harap aku datang untuk mengantarmu pergi!—"

"Terserah padamu! Kau sudah keterlaluan! Aku lelah dengan semua pemikiran tak berakal milikmu!

Hinata meraih tasnya dengan kasar kemudian menutup pintu apartemen milik mantan kekasihnya itu dengan kencang, hingga terdengan bunyi gebrakan yang menulikan telinga. Naruto sudah tidak peduli dengan tetangga apartemennya yang mungkin mendengar pertengkaran barusan.

Ia memandang sekitar. Ruangan itu berhasil diobrak-abrik oleh Hinata. Membuatnya terlihat bagai kapal pecah, sungguh tidak beraturan. Belum lagi pecahan beling dari piring yang Hinata banting.

"Aarrrgghhh!"

.

.

.

.

.

.

.

Naruto is belong's to Masashi Kishimoto

I Miss You © Miss Spearsza

(Naruto. U x Hinata. H)

AU, OOC

If you don't like this? Klik back, please

.

.

.

.

.

.

.

"Perbaiki beberapa dari yang kulingkari. Kau bisa mencari referensi lebihnya di perpustakaan ..."

"Um ... T—tapi, Profesor. Aku sudah mengumpulkan buku pinjamanku dari perpustakaan, dan tidak ada referensi yang tepat sesuai dengan yang kau berikan,"

"Aku akan menghubungimu seusai jam makan siang besok. Tapi untuk berjaga, cobalah cari di perpustakaan kota. Aku akan menghubungi salah satu kenalanku di Universitas Tekhnologi Suna untuk mencari referensi lainnya."

Ucapan final dari Profesor Yamato—selaku dosen pembimbingnya selama menyelesaikan skripsi itu mengembangkan senyum kelegaan di wajah anggun milik Hinata. Ia merasa sangat bersyukur karena Yamato merupakan dosen 'terbaik' dari seluruh dosen yang ada di Universitas Konoha. Awalnya ia mengira akan disandingkan dengan dosen galak yang hanya memikirkan kepentingannya sendiri tanpa peduli dengan mahasiswi yang sedang berharap skripsi padanya.

"Terima kasih banyak, Profesor."

Dan pertemuan mereka ditutup dengan rembulan yang mulai menyembul dari balik awan hitam. Pukul enam sore. Kampus luas yang terdiri dari enam gedung fakultas itu mulai terlihat sepi. Sastra sendiri—fakultasnya—hanya tersisa beberapa mahasiswa-mahasiswi junior yang kebetulan memiliki jam kuliah cukup sore. Salju-salju tipis mulai turun, menandakan masuknya musim dingin bagi Jepang.

Hinata merapikan buku-buku yang barusan digunakannya kedalam tas. Malam ini mungkin ia akan sedikit tenang. Menyeduh coklat panas kesukaannya merupakan ide yang bagus. Sambil memutar beberapa lagu favoritenya dan bermanja-manja dengan selimut tebal. Yah, lebih dari cukup untuk merilekskan pikirannya.

Jika tidak ada hambatan, mungkin tahun ini Hinata akan wisuda lebih cepat. Cepat? Cum laude lebih tepatnya. Hinata bukan gadis yang jenius. Ia hanya mengandalkan rajin dan tekun. Mungkin keberuntungan salah satu bumbu penyedapnya. Ia menyukai sastra sejak masih duduk di bangku sekolah pertama. Kekagumannya pada karya-karya Shakespeare membuat cita-cita menjadi seorang penulis terkenal itu tumbuh. Dan betapa bahagianya ia ketika nama Hyuuga Hinata terpampang pada pengumuman penerimaan mahasiswa-mahasiswi baru di Fakultas Sastra.

"Butuh tumpangan?"

Ia terlonjak kaget. Matanya menatap horor sosok yang kini tertawa dihadapannya. "Hahaha ... wajahmu aneh sekali,"

"I—itu tidak lucu, Ino!" kesalnya.

Hinata tidak sedang melamun ... sungguh. Hanya saja suara yang sengaja diseram-seramkan itu menyapa gendang telinganya disaat parkiran kampus tengah sepi. Siapapun akan terkejut.

"Sudah malam. Jangan memasang tampang seperti itu. Menyeramkan tahu ..."

Hinata hanya mendelik. Kemudian menatap Honda Jazz merah mengkilap milik sahabatnya itu dengan alis mengernyit. "Kau pulang sendiri?"

Ino mengangkat alisnya—mengiyakan. "Sebenarnya aku pinjam ini dari sepupu. Kau tahu aku tidak menyukai warna merah," matanya melirik jijik pada mobil tersebut.

"Asal kau tak bawa motor sport ke kampus, tidak akan jadi masalah," ejek Hinata. Ia tertawa kecil.

"Enak saja! Aku tidak ingin terlihat sangat macho."

Hinata tertawa keras setelahnya. "Baiklah ... jadi? Ingin mengantarku pulang?"

"Aku hanya menawarkan. Aku bukan supirmu," Ino memalingkan wajahnya.

Senyum geli terkembang di wajah Hinata, "Sudahlah, ayo!"

Ia menggiring Ino yang masih terlihat jengkel—yang Hinata tidak yakin hanya karena candaannya barusan—untuk memasuki bagian pengemudi sementara dirinya duduk pada kursi penumpang di sampingnya. Dan berikutnya mobil itu melaju meninggalkan kampus.

"Apa kau marah?"

"Tidak,"

"Lalu kenapa kau menekuk wajahmu?"

"Hanya sedang kesal. Tapi bukan padamu,"

Hinata menaikan alis kirinya heran. "Ceritakan padaku," ujarnya lembut.

"Aku yakin kau akan tertawa jika aku menceritakannya,"

"Jika itu lucu, mengapa tidak?"

Ino mendengus jengkel. Tawa Hinata memenuhi mobil tersebut. Jalanan yang padat terlihat begitu semerawut untuk dipandang. Membuat perutnya mual dan sedikit pusing. "Baiklah, aku janji tidak akan tertawa,"

"Profesor Jiraya melamarku."

"Apa!?" Jika seperti ini apa yang harus Hinata tertawakan? "Bagaimana bisa?"

"Aku sedang makan siang di kantin saat ia datang dan membawa setangkai bunga mawar yang hampir layu," Ino mengatakannya dengan wajah yang kian suram.

"Lalu?"

"Ia mengatakan, Wahai bidadari, maukah kau tinggal bersamaku selamanya. Memiliki seribu anak dan jutaan cucu hingga tua nanti. Seisi kantin menatapku tak berkedip. Itu sungguh memalukan!" geramnya.

Hinata sangat prihatin. Dosen yang sudah berkepala empat itu memang terkenal penyuka daun muda. Tapi Hinata tidak pernah tahu targetnya adalah sahabatnya sendiri. "Kau tidak menerimanya 'kan?"

"Tentu saja tidak! Sai berkali-kali lipat jauh lebih baik dari perjaka tua itu!" Ino menaikan nada suaranya dengan kesal, "Lagipula ... dia salah orang—"

"Haah?" Oke, mungkin dosen yang satu itu mulai gila pikir Hinata.

"Ya. Dia tidak sedang menggunakan kacamatanya padahal ia memiliki rabun jauh dan dekat yang sangat akut. Dia mengira aku Profesor Tsunade. Dia meminta maaf setelah itu," final Ino.

Ingin tertawa namun ia sudah janji. Diam saja pun akan terkesan ia tidak mendengarkan. Hinata hanya mengerjap-ngerjap matanya yang besar.

"Lupakan janjimu. Tertawa saja."

Hinata tidak akan setega itu. Hanya kikikan kecil dan senyum geli. "Mungkin hari ini bukan keberuntungamu, Ino,"

Blonde girl itu hanya mengangguk-angguk. Ia masih fokus pada jalanan meski dirinya dirundung malu yang amat besar jika mengingat insiden menjijikan itu. "But the way, weekend nanti kita akan mengunjungi Gala Yuzawa. Ikutlah ..."

"Kita?"

Ino mengangguk, "Aku, Sai, Sakura, Sasuke, Kiba, Chouji dan Lee. Berhubung sebentar lagi musim dingin akan datang," Ino melirik sahabatnya tersebut. "Bagaimana?"

Hinata terlihat menimang-nimang tawaran tersebut. Ia ingin memperbaiki skripsinya secepat mungkin karena masih begitu banyak yang perlu ia selesaikan. Namun dilain sisi ia pun ingin bermain sejenak. Pelepas stress yang akhir-akhir ini melandanya. Apalagi Gala Yuzawa. Tempat yang sangat mengagumkan itu merupakan pilihan yang paling tepat untuk berlibur di awal musim dingin.

"Lupakan sejenak tentang skripsimu itu. Kau butuh refreshing, Hinata," tawar Ino sekali lagi.

"Hh ... baiklah. Aku ikut,"

.

.

.

.

.

Naruto menyesap kopinya. Salah satu kota di Skolandia—Edinburgh, saat ini cukup lenggang. Mungkin karena jam telah menunjukan pukul sebelas malam. Dan sebagian besar dari masyarakatnya lebih memilih mendekam di dalam rumah lengkap dengan penghangat ruangan. Salju sudah mulai lebat. Bahkan sedikitnya menumpuk pada kusen jendela apartemen sederhana yang Profesor Kurenai sewakan untuknya.

Pertemuannya akan dimulai lusa nanti. Ia hanya tinggal menyelesaikan bahan presentasi yang akan ditunjukannya pada Profesor Kakashi. Jika diterima dengan baik, maka ia resmi menjadi mahasiswa kedokteran Universitas Edinburgh untuk menyelesaikan pendidikannya hingga S3 nanti. Meskipun bukan skripsi, tetapi presentasi itu membutuhkan pemahaman dan ketelitian yang jelas juga tepat.

Drrt~

Saara

Naruto mengangkatnya. "Ya?"

"Oh! Kukira kau sudah tidur,"

Naruto tersenyum, "Kotanya indah. Sayang jika dilewatkan," alasannya. "Ada apa?"

Gadis itu memberi jeda pada jawaban yang akan dilontarkannya, sedikit ragu. "Umm ... aku ... ingin minta maaf padamu, Naruto."

Pemuda yang juga merupakan turunan Inggris itu mengernyitkan alis, "Maaf? Kau tidak melakukan kesalahan,"

"Yes i am ..." terdengar Saara menghela nafasnya yang berat. "A—aku ... tidak bermaksud untuk membuat hubungan kalian hancur. Mungkin aku yang terlalu berlebihan padamu. Aku ... jadi tidak enak,"

Naruto lagi-lagi tersenyum. Namun kali ini tersirat kemirisan dari lengkungan kurva itu. "Itu bukan salahmu, sungguh. Aku tidak bisa menjelaskannya padamu, yang pasti ini hanya salah paham,"

"Aku mendengarnya. Salah satu temanmu yang memberitahu. Aku ..."

"Sudahlah, Saara. Tidak ada yang perlu kau sesalkan. Demi Tuhan, ini bukan salahmu."

Keheningan melanda mereka. Naruto termenung menatap hujan salju yang berjatuhan melalui jendela kamarnya. Sementara gadis diseberang teleponnya masih digandrungi rasa gelisah. Ia tidak ingin terkesan sebagai perusak hubungan orang. Ia tidak berniat sama sekali.

"Sebaiknya kau tidur. Besok kita masih harus mendiskusikan penjelasan dan menulis kesimpulan. Aku yakin penerbangan tadi siang membuatmu lelah," Naruto lah yang memulai.

"Baiklah ... sampai nanti ..."

Dan hubungan telepon itupun terputus. Naruto kembali termenung. Kejadian tiga hari yang lalu membuat moodnya terasa buruk. Padahal ia harus mempersiapkan semuanya dengan baik untuk presentasi, termasuk suasana hati. Ia tidak pernah menyangka hubungannya dengan Hinata akan berakhir sangat tidak baik seperti itu. Bisa dikatakan bahwa itu pertengkaran terbesar sejak dua tahun mereka menjalin hubungan. Biasanya hanya ada aksi ngambek yang diluncurkan gadis manis itu dan berakhir dengannya yang bertingkah konyol agar Hinata tertawa.

Tatapannya teralih pada layar ponsel yang masih menyala. Menampilkan sosok cantik Hinata dan dirinya lengkap dengan senyum bahagia. Kini dialah yang merasa bersalah pada Saara. Gadis itu tidak tahu menahu apapun. Tapi rumor yang sebenarnya adalah salah paham membuatnya merasa telah menjadi dalang dari semua ini.

Naruto menutup tirai soft krem itu. Menghampiri kasur kingsize dengan warna abu-putih kemudian berbaring disana. Mata sebiru samudra itu memandang kosong langit-langit kamar. Kedua tangan kokoh itu menyangga kepalanya.

"Hinata ..."

Nama itu meluncur begitu saja dalam gumaman yang dalam. Naruto masih mencintainya. Teramat mencintainya. Dan mustahil jika ia berani bermain api. Tak menampik kalau banyak gadis yang memang dekat dengannya sekedar teman atau memiliki maksud khusus, Naruto tidak buta. Dari gadis cantik dan pintar seperti Saara hingga Shion yang rela merombak penampilannya menyerupai Hinata. Tapi sampai saat ini tidak satupun yang berhasil menghancurkan dinding kesetiaan yang sudah ia bangun sekokoh mungkin. Cintanya akan selalu jatuh pada Hinata. Si gadis lugu yang pemalu.

Bisa aja ia menghubunginya sekarang. Tapi siapa yang tahu jika itu malah membuat semuanya semakin rumit? Hinata pasti masih marah.

Sebuah helaan nafas yang berat terembus, "Aku merindukanmu,"

.

.

.

.

.

"Auw! Kau menginjak kakiku, gendut!"

"Siapa yang kau sebut gendut, Kiba!?"

"Apa aku terdengar sedang membicarakan lidi? ... tentu saja kau!"

"Aku tidak gendut, Akamaru!"

"Hei—aku tidak terlihat seperti anjing,"

"Oh ya? Sepertinya sama saja ..."

"Kau menghinaku!"

"Kau juga menghinaku sebelumnya!"

"Apanya? Aku berbicara sesuai bukti. Nenek tua yang buta pun tahu kau itu gendut,"

"Argh ... aku tidak genduuuut!"

Hinata menatap miris pada kedua temannya itu. Sejak perjalanan tidak sedetikpun mereka akur. Bahkan ancaman Sasuke yang akan membuang mereka ke jalanan tidak lantas menghentikan adu mulut tersebut. Malah Uchiha bungsu itu menjadi sasaran empuk dadakan dari ketajaman lidah mereka.

"Kau yakin tidak ingin mencobanya?"

Hinata melirik gadis cantik disampingnya. Ia menenteng sepasang sepatu ski. Hinata menggeleng lembut, "Aku tidak pandai bermain ski,"

"Kau pikir aku mahir?" ia memasangkan alat tersebut pada kakinya, "Tahun lalu aku harus ganti rugi benda ini karena telah kupatahkan,"

Hinata menatapnya horor.

Rambut merah muda yang tertutup topi rajut hangat itu bergoyang seiring angin yang menerpanya. Sepatu itu sudah terpasang baik. Dan ia siap untuk meluncur. "Ini akan sangat menyenangkan, Hinata. Tawaranku masih berlaku sebelum aku meluncur," bujukan itu terus menerjangnya. Namun untuk yang kesekian kalinya ia menolak dengan halus.

"Buku ini terlihat menarik untuk dibaca. Juga secangkir cappucino late tidak akan membuatku bosan menunggu kalian. Percayalah, Sakura," Hinata mengangkat buku tebal dengan judul A Midsummer Night's Dream itu menghadap Sakura.

"Tidak ada yang bisa mengganggu saat Shakespeare berada di tanganmu," Gadis yang memiliki nama setara dengan bunga kebangsaan negaranya itu mendengus. Ia segera menghampiri Ino serta Lee yang berusaha melerai perkelahian antara duo lidah tajam—kiba dan Chouji. Mungkin kini majikan dari Akamaru itu berniat menjadikan Chouji sebagai Olaf yang obesitas.

Selanjutnya gadis Hyuuga itu hanya menikmati kesendiriannya bersama novel tercinta dan secangkir cappucino late yang masih mengepulkan asap. Hampir dari setengah halaman. Keseriusannya membuat waktu berjalan begitu singkat. Terkadang ia memandang teman-temannya yang sibuk bermain di atas salju tebal. Tentunya masih dengan aduan mulut antara Chouji dan Kiba.

Hinata menandai halaman terakhir yang dibacanya sebelum atensi itu memandang sepenuhnya pada teman serta sahabatnya.

Ada Kiba yang menarik-narik kaus Lee dengan iseng agar pemuda beralis tebal itu terjengkang, Chouji yang bersusah payah mengeluarkan kakinya dari timbunan salju, atau Sai yang mengajari Ino teknik dasar meluncur meski gadis itu terus saja terjatuh, juga Sakura yang berusaha kabur karena telah melempari sebongkah besar salju pada wajah Sasuke.

Untuk yang terakhir itu membuat tawa kecil melunjur begitu saja dari bibir mungilnya. Mengingatkan ketika Naruto mengerjarnya marah setelah wajah itu berhasil dibuat berantakan dengan sepidol merah oleh Hinata.

"E—eh?"

Wajahnya berubah murung saat menyadari apa yang ia pikirkan. Disesapnya minuman miliknya itu dalam gerakan yang anggun. Matanya terpejam untuk sekedar menenangkan pikiran yang mulai tidak benar. Bagaimana bisa ia mengingat mantan kekasihnya itu secara tiba-tiba? Tidak ada alasan khusus baginya. Hanya gambaran betapa manisnya Sakura dan Sasuke disana.

Namun terkadang ia takut. Takut jikalau keputusannya untuk berpisah adalah salah. Ia mencetuskannya dengan seratus persen sadar dan tidak mungkin keceplosan. Hinata selalu memikirkan secara cepat apapun perkataan yang sekiranya diucapkan spontan. Ia tidak ingin cintanya terbagi. Itulah alasan mengapa keputusannya tidak mungkin salah.

"Jangan melamun begitu,"

Ia tersentak dan segera menoleh ke samping. Inuzuka Kiba meneguk minuman berkabonasinya dengan ganas, mungkin kehausan. Ia melepas kedua sarung tangannya itu. Menampilkan tangan-tangan yang khas mahasiswa teknik mesin. "Kau tidak kedinginan?"

Kiba menggeleng, "Hanya sedikit. Aku sengaja melepasnya karena penuh dengan salju,"

Hinata hanya menggumamkan kata 'oh'. Kemudian ikut meneguk cappucino latenya yang kini tinggal setengah. Tatapan itu kini terfokus pada Lee dan Chouji.

"Aku ingin bertanya sesuatu padamu,"

Gadis itu menoleh, "Ya?"

"Kau putus dengan Naruto?"

Hinata diam. Tidak menyangka Kiba akan menanyakan hal itu. Ia membenarkan topi hangatnya dengan gugup dan salah tingkah. Haruskah mereka membahas ini? "Y—yah, seperti yang kau ketahui,"

Kiba terlihat terkejut, "Jadi benar?" Ia mengedip-kedipkan mata. "Kukira hanya gosip dari fakultas sebelah,"

Hinata memutar pandangnya ke lain arah. "Mungkin dia sudah bosan padaku dan memilih untuk selingkuh—"

Lagi-lagi pemuda itu terkejut, "Selingkuh?" sungguh, dia hanya tidak percaya. Meskipun pertemanan mereka tidak seakrab Sasuke dengan Naruto, tapi ia tahu persis bagaimana perasaan bocah ramen itu pada Hinata bahkan sejak kali pertama kuliah. Bisa saja Naruto terjun bebas dari puncak menara eiffel atau patung liberty untuk menunjukan sesungguhan cintanya. Dan kini Hinata bilang dia selingkuh? Are he going mad ...!?

"Kau yakin?"

"Jika tidak mana mungkin aku mengakhirinya ..." Hinata semakin gelisah, "Kiba, bisakah kita untuk tidak membicarakan hal ini? Kita sedang liburan ..." pintanya.

"Aa—maafkan aku," walau begitu, ia tetap berfikir. "Aku hanya sangat tidak yakin dia selingkuh. Mungkin kau salah paham ... ah, sudahlah."

Dan Hinata hanya bisa menghembuskan nafasnya yang terasa begitu berat.

.

.

.

.

.

Profesor Kakashi tersenyum dibalik masker yang menutupi sebagian wajahnya. Hanya senyum tipis namun berhasil membuat Naruto maupun Saara menghela nafasnya dengan lega. Presentasi dari disertasi yang mereka buat baru saja usai. Keringat dingin membasahi kening keduanya meskipun ruangan itu memiliki dua pendingin sekaligus.

"Desertasi kalian," Kakashi manggut-manggut. "Memuaskan. Aku menyukai bagaimana kalian menjelaskan tiap inti dari pokok-pokok pikiran tersebut. Briliant!" pujinya dengan aksen British yang kental. "Kurenai tak salah mengirimkan mahasiswa-mahasiswi terbaiknya padaku. Yeah, meskipun ada beberapa dari kalian yang akan kuasah lebih dalam. Mungkin itu kelemahan kalian, but no problem. I know you are can ... "

Pria itu bangkit dan menghampiri jendela besar yang menampilkan view kota Edinburgh yang tertutupi salju meski tak selebat beberapa hari yang lalu. "Satu pertanyaan tidak masalah, bukan?"

Kedua pemuda-pemudi itu saling pandang.

"Mungkin tidak berhubungan dengan desertasi yang kalian buat. Tapi sangat berkaitan dengan apa yang akan menjadi tujuan kalian." Kelopak mata yang setengah sayu itu melirik arlogi ditangannya. Setengah dua siang. "Apa kalian memiliki mental yang matang?"

"Ehm ... maksud anda, Profesor?" Saara angkat bicara.

"Perlu kalian ketahui. Menjadi seorang dokter bukanlah hal yang mudah. Mengemban pendidikannya pun tidak semudah dan secepat kalian menerima raport setelah menyelesaikan serangkaian ujian. Saat kau memilih untuk menjadi seorang dokter sejati kau memerlukan waktu ... dan mental,"

"Jangan selalu berfikiran positif ketika jas putih itu kalian kenakan. Ada tanggung jawab yang sangat besar yang harus kalian pikul. Itu adalah nyawa ..."

"Tidak semua dari tugasmu dapat berhasil, anak muda. Ada kalanya kau akan merasakan kehilangan ketika pasien yang kau tangani tak dapat melanjutkan hidup. Mengobati dan menyembuhkan setiap pasien adalah sumpah kita sebagai dokter."

"Disitulah aku melihat kelemahan kalian ..." kini Kakashi menatap sepenuhnya pada kedua mahasiswa-mahasiswi itu. "Kalian tidak memiliki cukup mental untuk menghadapi banyak persoalan dalam medis. Itu yang kusayangkan dari kalian," Iya mendengus menahan tawa. "Jangan heran. Aku hapal dari puluhan mahasiswa dan mahasiswi yang memiliki permasalahan sama dengan kalian ..."

"Simple question. Bisakah kalian untuk menghadapi hal itu?"

Naruto maupun Saara tercengang. Mungkin penjelasannya sangat sepele dan ringan. Namun realita kadang berbeda dengan ekspetasi yang mereka bayangkan. Mereka menatap dosen yang tengah merapikan laptop serta beberapa kertas dan buku untuk dimasukan kedalam tasnya.

"Simpan jawaban kalian untuk pertemuan berikutnya. Hubungi aku untuk informasi jadwal. Permisi." Dan pria itu pun meninggalkan ruangan.

Hening.

"Hh ... aku lapar." Saara menghela nafasnya. Dengan cekatan ia membereskan seluruh berkas-berkas yang ada kemudian mendongak menatap Naruto. "Bagaimana jika makan siang? Aku tahu restoran yang cukup murah di dekat sini,"

Naruto tidak menoleh. Tangannya sibuk menari di atas laptop sebelum menutup benda itu. "Apa ada ramen?"

"Hahaha ..." Gadis bersurai merah kecoklatan itu tertawa gamblang. "Kau menanyakan ramen di negara ini, Naruto?"

Naruto mengusap tengkuknya. "Ku kira akan ada. Tapi ... mungkin tidak banyak,"

Saara menjentikan jari. Menunjuk Naruto dengan mata yang menyipit lucu. "You get the point. Akan sulit untuk menemukannya. Aku tidak tahu dimana supermarket yang menjual makanan khas asia,"

Naruto murung seketika. Ramen adalah sahabat sejatinya. "Mungkin aku harus terbiasa tanpanya,"

Lagi-lagi Saara tertawa, "Kau berlebihan. Sudahlah, ayo!" Dan keduanya pun melangkah meninggalkan ruangan serta kampus tersebut.

Mereka memilih untuk berjalan kaki demi menghemat kantong. Menikmati indahnya bangunan-bangunan tua khas zaman renaissance, meskipun beberapanya memiliki perubahan. Tapi itu tidak memudarkan sejarah yang masih melekat.

Jalanan cukup ramai namun tidak padat. Kepulan-kepulan asap yang mengepul tiap kali bernafas atau berbicara seperti menjadi ciri khas sendiri. Perawakan-perawakan tinggi dengan wajah elegan silih berganti melewati mereka. Atau beberapa menggunakan topi bowler sebagai penghias kepala layaknya keluarga kerajaan.

"Apa London sama halnya dengan kota ini?" Naruto berceletuk.

"Hm. Tidak juga. Seperti yang kau tahu, London lebih maju dan terlihat sangat modern," Saara berkomentar tanpa mengalihkan kegiatannya. "Kukira kau tahu mengingat kau berdarah Inggris."

Tawa Naruto terdengar begitu renyah. Ia melipat kedua tangan kokoh itu dan menyenderkan kepalanya disana. "Apakah tempatnya jauh? Kakiku mulai keram,"

"Sebentar lagi. Tidak jauh ..."

Restoran itu tidak besar. Terbilang sederhana namun ramai akan pengunjung. Begitupun ketika mereka memasukinya, aroma yang khas dan lezat membuat perut kedunya berbunyi nyaring.

"Hai, selamat siang. Ada yang ingin anda pesan?"

Salah satu pelayan dengan logat khas Inggris menghampiri keduanya yang memilih duduk di bangku terluar restoran. Wajahnya putih dengan rona kemerahan yang menghiasi pipinya serta rambut pirang yang tergulung rapi di belakang kepala. Keduanya pun memesan makanan yang menjadi khas daerah tersebut.

"Ne ... Naruto, apa yang membuatmu tertarik memilih kedokteran?"

Pemuda itu menaikan alisnya, "Kurasa menjadi dokter adalah impian setiap orang ketika mereka kecil,"

Saara mengangguk mengiyakan, "Tapi, maksudku, untuk menjadi seorang dokter tidaklah mudah," gadis itu menatap iris sewarna dengan samudera di hadapannya dengan teliti. "Sejauh aku mengenalmu, aku tidak pernah sedikitpun melihat kau merasa terbebani,"

Naruto menurunkan alisnya secara perlahan. Berganti dengan sebuah senyum samar yang tersirat akan kepedihan, "Dalam perjuangan menggapai impian tidaklah mudah. Apapun impian itu, jalani dengan ikhlas. Maka beban akan segan untuk menghampirimu." Senyum itu semakin lebar, "Seorang gadis pemalu pernah mengatakan itu kepadaku ketika aku jatuh sakit karena stress,"

Tatapan Saara menyendu. "Kau masih mencintai Hinata?"

"Aku tidak pernah mengatakan bahwa aku berhenti mencintainya."

Tidak ada yang melanjutkan percakapan setelahnya karena pelayan cantik tadi sudah kembali dengan membawakan pesanan mereka. Naruto menyantap makanannya dengan nikmat. Berbeda dengan gadis dihadapannya yang seketika seolah kehilangan nafsu makan. Makanan lezat itu terasa hambar di lidahnya. Tatapannya semakin menyendu dalam tanpa Naruto ketahui.

'Aku tak bermaksud, maafkan aku ...'

.

.

.

To Be Continue


Notes : Sebenarnya aku gak begitu yakin tapi nekat di publish juga. Entahlah, agak gak pede T.T

Jadi kalau banyak request minta dilanjut sok atuh mangga, tapi kalau agak kurang berkenan ya teu nanaon upami di apus mah ... intinya kelanjutan cerita ini tergantung permintaan xD

Untuk perbaikan cerita, saran atau apapun itu diterima lewat review yaa tapi jangan flame. belajarlah untuk menghargai karya orang lain :)

Sign,

Miss Spearsza