Malaikat

Bab VIII

Ditulis oleh 生川・明

.

- pernyataan hak cipta -

Kantai Collection adalah sepenuhnya milik KADOKAWA GAMES dan DMM -dot- com

Malaikat, sebuah mahakarya delusi yang tidak mungkin tercipta tanpa adanya iDutchman

.

- peringatan -

AU

delusi

RUNNING IN THE NINETIES IS A NEW WAY I LIKE TO BE

I'M JUST RUNNING IN THE NINETIES COME ON BABY RUN TO ME

WE ARE RUNNING IN THE NINETIES IS A NEW WAY TO SET ME FREE

I'M JUST RUNNING IN THE NINETIES

YES I WANNA KNOW YES I WANNA SEE

sinetron

DEJA VU I'VE JUST BEEN IN THIS PLACE BEFORE

HIGHER ON THE STREET AND I KNOW IT'S MY TIME TO GO

CALLING YOU AND THE SEARCH IS MYSTERY

STANDING ON MY FEET IT'S SO HARD WHEN I TRY TO BE ME WOAH

lebih buruk dibandingkan dengan Maria la del Barrio

.

- ucapan terima kasih -

KBBI daring Kemendikbud

Every Other Freckle, In Cold Blood, dan Deadcrush milik alt-J

e-u-r-o-b-e-a-t

Rekan sejawat yang telah mendorong berlanjutnya sinetron shameless ini di Facebook


KRAYON warna-warni.

Ampas karet penghapus yang disapu sebelah punggung tangan.

Meja lipat yang sedikit-sedikit bergeser seirama lengan yang menarik dan mendorong pewarna yang berbeda.

Telapak-telapak kecil yang berlepotan segala macam warna.

Bising gelak dan obrolan yang kabur di sana-sini.

Kaga-chan dengan khusyuknya terus menggambar tanpa memberi sedikit pun celah untuk diinterupsi. Di sekelilingnya, beberapa sahabatnya terlihat sama khusyuk dan tidak dapat diinterupsinya juga.

Menggambar.

Menulis.

Atau sekadar meninju-ninju kepalan mungil ke permukaan tanah liat yang untungnya diciptakan bisu.

Setidaknya begitu sampai bel berbunyi.

Kaga-chan menghentikan gerakan tangannya dan menghela napas lega. Seolah sebuah mahakarya baru saja tercipta. Ditutupnya buku gambarnya dan dimasukkan semua alat tulis dan gambarnya ke dalam tas selempang imut-imut berbentuk kepala binatangnya, lantas melangkah keluar meninggalkan ruang kelas bersama sahabat-sahabatnya.

Pembicaraan anak-anak.

Kartun episode semalam.

Gachapon edisi baru di toko kelontong ujung jalan.

Atau masakan ibu nanti malam.

Atau ke mana jalan-jalan akhir pekan bersama ayah nanti Sabtu dan Minggu.

Topik-topik obrolan yang hanya bisa Kaga-chan dengar tanpa ikut berkontribusi di dalamnya. Sejak dulu memang hanya seorang ayah pemabuk dan ibu yang selalu disakiti yang disaksikannya. Konsep kekerasan dalam rumah tangga yang terlalu dewasa itu nyatanya sudah dimengertinya dengan cukup fasih sehingga kemunculan Tante Malaikat kemudian mengingatkannya pada kartun dan drama pahlawan super favoritnya di televisi.

Tokoh yang selalu muncul untuk menegakkan keadilan dan membawa perdamaian pada dunia.

Konyol memang, menyadari bahwa Tante Malaikat tidak akan bertarung dan mengalahkan ayahnya sehingga ayahnya lenyap, tetapi ketika—secara mau tidak mau dan suka tidak suka—dikenalkan dengan konsep perceraian, Kaga-chan merasa kegiatan yang berarti memisahkan ibunya dari ayahnya itu cukup untuk membuatnya mengangguk menyetujui bahwa keadilan telah berhasil ditegakkan.

Ya, seperti hari ini contohnya.

Setelah kira-kira sebulan lebih tidak bertemu dengan Tante Malaikat, akhirnya hari ini ia dijemput oleh Tante Cantik—Haruna. Biasanya jika Tante Malaikat tidak bisa menjemput pasti ibunya yang akan menjemput, namun hari ini keduanya sama-sama tidak bisa. Tentu ini berkaitan dengan kegiatan perceraian itu.

Bukan masalah. Justru baik. Tandanya hari ini ia memiliki kesempatan untuk bertemu dengan pahlawan supernya.

.

"Kaga-chan."

.

Kaga-chan tersadar dari lamunan pendeknya dan menoleh ke arah salah satu sahabatnya.

.

"Itu papamu, bukan?"

.

Kaga-chan mengalihkan pandangannya ke arah pintu gerbang yang tinggal beberapa langkah orang dewasa. Di sana berdiri sosok sang ayah, dalam balutan pakaian terapi yang pernah dilihatnya, tidak mabuk. Hanya saja air mukanya tidak pernah gagal membuat bulu kuduk baik Kaga-chan maupun ibunya berdiri.

Kaga-chan hendak berlari kembali ke dalam gedung taman kanak-kanaknya ketika sang ayah keburu melihatnya dan menghampirinya dengan mantap.

"Ayo pulang," ucap suara berat yang sangat serak tersebut seraya mengayunkan sebelah tangannya, meraih lengan sang anak.

Tanpa menjawab sepatah kata pun Kaga-chan mundur beberapa langkah dan mencengkeram lengan baju seragam sahabatnya. Setelah sekian lama terbebas dari belenggu neraka dunia, tidak ada ekspresi yang mampu menjelaskan perkawinan silang antara rasa syok dan rasa tidak ikhlasnya.

"Ayo pulang kubilang." Sekali lagi suara itu berucap, kini lebih ditekankan.

"T, tidak mau. Aku sedang menunggu jemputanku," bantah Kaga-chan lirih.

"Aku ayahmu! Jangan melawan!"

Kaga-chan terlonjak. Seketika rasa takut menyelimuti dirinya. Badannya bergetar hebat.

.

Lari.

.

Dari balik poni runcingnya Kaga-chan melirik sedikit wajah sang monster. Belum terlihat apa pun dengan cepat ia kembali membuang pandangannya ke tanah. Tidak sanggup.

.

Lari!

.

Dirasakannya genggamannya pada lengan baju sahabatnya menjadi kosong. Dengan nanar ia memberanikan diri menatap sosok-sosok seukurannya sudah berlari keluar melewati pintu gerbang melewati sosok besar di hadapannya.

.

Ah... L, lari...

.

"Kau mau melawan seperti ibumu, hah?"

.

"Maaf, Tuan. Siapa Anda?"

.

Kaga-chan bisa merasakan kembali seluruh organ gerak tubuhnya kala seorang guru dari kelas lain menariknya bersembunyi di balik sosoknya. Bersyukur ada yang datang menyelamatkannya...

"Aku ayahnya. Aku ke sini menjemputnya."

Guru itu terlihat sangsi, jadi dilemparkannya pandangannya kepada Kaga-chan.

"Benar dia ayahmu?"

Kaga-chan menggeleng mantap, masih dipenuhi rasa takut.

"Hei, jangan seperti itu. Ayah tahu kita sedang bertengkar, tapi jangan bertingkah seperti itu. Ayo pulang."

Kalimat itu terdengar begitu mengerikan. Sebuah dusta buah permainan lidah orang dewasa.

"T, tidak mau. Aku tidak mau pulang," bantah Kaga-chan sekali lagi, jelas berharap sang guru cukup akal sehat untuk menyadari siapa yang harus dituruti.

Kali ini, tanpa membujuk, sang monster langsung menarik lengannya dengan kasar dan menyeretnya menjauh dari guru kelas lain itu.

"Hei, jangan bersikap kasar seperti itu—"

"TAHU APA KAU SOAL ANAK INI, HAH!? AKU AYAHNYA! AKU LEBIH TAHU BAGAIMANA HARUS MEMPERLAKUKANNYA!"

.

Oh tidak...

.

Semakin jauh.

.

Tolong!

.

Seorang guru lain yang dikenalnya dengan sangat kental sebagai guru kelasnya menghampiri guru kelas lain tadi.

.

Jangan! Tolong aku!

.

Ia terlihat membisikkan sesuatu, mengisyaratkan bahwa sosok itu memang ayah dari Kaga-chan dan sebaiknya mereka tidak ikut campur dalam urusan dalam rumah tersebut.

.

TIDAK! TIDAK! JANGAN PERGI!

.

Saat si guru kelas lain tidak mengindahkan ucapan guru kelasnya dan lebih memilih untuk mengejar dan menahan sang monster, ada setitik rasa bersyukur yang memercik dalam diri Kaga-chan.

"Tuan, maaf, tapi kurasa sebaiknya Anda tidak membawa anak ini."

"Sudah kubilang aku ini ayahnya! Apa lagi urusanmu, hah!?"

"Maaf, tapi aku tidak bisa membiarkan Anda—"

.

BUAGH!

.

Semuanya terjadi begitu cepat. Terlalu cepat.

.

BANGUN! KUMOHON! TOLONG! TOLONG AKU!

.

...atau tidak sama sekali.


AWAN putih yang bergerak cepat.

Orang-orang yang berjalan berlawanan arah bergerak sama cepatnya.

Aspal yang seolah berlari.

Kemudian semuanya kembali melambat dan berhenti sebagaimana normalnya kala taksi menepi.

"Terima kasih. Mohon tunggu sebentar," ucap Haruna seraya meninggalkan taksinya.

Baru pintu penumpang taksi tertutup, Haruna dikejutkan dengan teriakan seseorang yang terlihat seperti guru taman kanak-kanak—terlihat dari celemek yang dikenakannya—ke arah seorang pria besar yang sekelebat terlihat seperti suami Akagi langsung memasuki taksi yang melambat dan seketika langsung melaju kencang.

"Hei! Kau baik-baik saja?" tanya Haruna seraya menghampiri si guru.

"Cepat hubungi polisi! Pria itu menjemput paksa anak itu! Dia mengaku-aku sebagai ayahnya!" jawab si guru, membuat Haruna terkejut lebih jauh lagi.

Sambil mengeluarkan dan memutar nomor darurat kepolisian, Haruna segera kembali melompat masuk ke kursi penumpang taksinya.

"Cepat ikuti taksi di depan!" pekiknya.

Tanpa banyak tanya si sopir segera menjejak pedal gas.

.

Semuanya terjadi begitu cepat. Terlalu cepat.

.

"Kaga-san, saya tidak memiliki waktu untuk menjelaskan! Suami Akagi-san menculik Kaga-chan! Saya tengah mengejarnya dengan taksi dan sudah memberi tahu kepolisian! Kami mengejarnya ke arah—"

.

CKIIIT!

.

Taksi mengerem mendadak.

Haruna terlonjak dan membenturkan dahinya ke kursi penumpang di depannya.

Ponselnya terjatuh.

Lekas-lekas ia meraba-raba permukaan lantai mobil mencarinya.

Haruna sangat mengutuk jalanan yang padat.

Sangat amat mengutuknya.


PINTU ganda yang menutup dengan keras.

Riuh yang tertinggal dan mengabur di belakang sana.

Udara yang seketika menjadi panas dan menyesakkan dada.

Dinding-dinding megah yang mendadak terasa sebegitu sempit dan panjangnya.

.

"Kaga!"

.

Hyuuga tergopoh-gopoh mengejar langkah-langkah Kaga yang besar dan cepat.

"Kaga! Hei! Tunggu dulu!" cegahnya seraya menarik lengan wanita satunya yang memasang wajah datar sejuta arti.

"Tidak ada waktu untuk ini, Hyuuga. Tolong lepaskan tanganku," ucap Kaga dingin.

"Bodoh! Jangan bertindak gegabah! Kita tidak tahu apa yang ada di dalam kepala orang itu! Kau sudah bertindak terlalu ceroboh demi wanita itu, jangan sekarang kaubahayakan nyawamu sendiri untuknya!"

"Ya, aku tahu apa yang ada di dalam kepalanya, jadi lepaskan tanganku sekarang."

Hyuuga geram, namun hanya bisa menurut dan melepaskan lengan Kaga.

"Tolong jaga Akagi-san. Jangan tinggalkan dia barang sedetik pun. Yakinkan dirinya bahwa semuanya akan baik-baik saja," pinta Kaga dengan senyum pilu tertahan.

Tanpa menunggu jawaban si jaksa, si kuasa hukum yang tengah menjadi saksi itu langsung berlari meninggalkan gedung pengadilan menuju lapangan parkir dan tancap gas bermodalkan intuisinya.

Sedang di belakang sana, si jaksa mendesah tanpa daya.

.

"Tidak ada yang baik-baik saja, bedebah. Semua tidak akan baik-baik saja. Sial."


LANCER biru Kaga terus melaju secepat yang ia bisa, melintasi jalan-jalan Tokyo yang labil kosong dan padatnya. Ponselnya mendekam di saku tengah mobilnya, terus terhubung dalam mode pengeras dengan Haruna. Matanya terpaku pada jalanan yang ada di depannya. Setiap celah yang terbuka dibelahnya tanpa ragu.

Di jalan tol yang lurus dan lapang.

Kaki kiri menjejak pedal kopling.

Tangan kiri memindahkan tuas transmisi hingga angka tertinggi.

Kaki kanan terus menginjak pol pedal gas.

Di jalan raya yang berkelok dan padat.

Koordinasi tangan dan kakinya dipaksa selihai Fujiwara Takumi.

Peluhnya kian membasahi tubuhnya.

Jantungnya seakan ikut berlomba.

Meskipun radionya mati, rasanya seperti ada yang meledakkan musik Eurobeat di dalam mobilnya.

Entah sudah berapa lampu merah yang diterobosnya—mohon jangan ditiru—dan berapa banyak kendaraan lain yang membunyikan klakson karena dongkol disalip seenaknya. Kaga masa bodoh. Tujuannya hanya mengejar taksi yang ditumpangi calon mantan suami Akagi.

Bukan.

Tujuannya hanya menyelamatkan Kaga-chan dari mara bahaya.

"Kaga-san, saya sudah melihat Anda! Cepat menepi! Dia sudah meninggalkan taksinya!"

Ketika sudah terlihat sosok Haruna yang tengah menekan pendarahan di leher seorang sopir taksi—taksi yang ditumpangi suami Akagi tentunya—Kaga langsung menepikan mobilnya dan melompat keluar menghampiri mereka.

"Kaga-san, cepat kejar dia! Dia berlari melewati gang itu! Biar yang di sini saya tangani!"

Baru Kaga hendak berlari mengejar, Haruna menambahkan dengan tegas, "Berhati-hatilah! Dia membawa pisau!"


PENGEJARAN melalui gang sempit di awal kemudian berlanjut ke gang-gang pemukiman dan pertokoan kecil di antara gedung-gedung padat Tokyo. Ramainya gang-gang tersebut menyulitkan Kaga untuk mengejar Si Kapten—ya, mantan kaptennya dulu, yang kini benar-benar ia pastikan nantinya akan dan harus menjadi mantan suami Akagi juga. Mengetahui bahwa pria itu bukan hanya menyekap anaknya sendiri namun juga membawa pisau membuat Kaga was-was, khawatir jika sewaktu-waktu pisau itu bisa mendarat di tubuh orang-orang asing tak bersalah yang menyesaki gang-gang tersebut.

Berkali-kali pria itu menoleh ke belakang, ke arahnya.

Berkali-kali pria itu menubrukkan dirinya ke kerumunan atau menarik dan mendorong jatuh orang asing lainnya untuk menghalau langkah Kaga meski sedikit.

Berkali-kali berbelok memasuki gang-gang lainnya secara mendadak demi mengelabui Kaga.

Namun Kaga terus mengejarnya. Tidak sedikit pun memiliki waktu untuk mengindahkan lelah dan jengkelnya.

Tapi tidak dengan Si Kapten.

Dengan tubuhnya yang tidak terawat itu, ia jelas tahu bahwa ia akan berakhir konyol jika ia tetap meneruskan kejar-kejaran antarkucing ini.

Jadi ketika berbelok memasuki ujung gang yang gelap dan sepi, Si Kapten menghentikan langkahnya.

Dicengkeramnya anaknya sendiri dan ditodongkannya pisaunya ke arah si anak yang teramat malang itu.

Kaga berhenti beberapa meter darinya.

"Mendekat dan aku akan membunuh anak ini," ancam Si Kapten.

Kaga bergeming. Bergeming awas.

"T, Tante... Tolong aku... Uh..."

Oh, anak yang teramat malang. Apa salahmu sampai harus menderita sebegininya?

"Jangan coba-coba kau," ancam Si Kapten lagi.

Kaga hanya memiliki dua pilihan dalam kepalanya untuk dieksekusi: satu, melangkah mendekat perlahan dan mencari celah kesempatan dalam kesempitan; atau dua, tanpa menunggu langsung menubrukkan tubuhnya ke tubuh pria besar itu dan menjadi tameng manusia.

Hanya ada dua pilihan: dia yang mati, atau Kaga-chan.

Mengutip ucapan Hyuuga bahwa Kaga sudah terlalu gegabah dan sembrono semenjak menangani kasus Akagi, sudah jelas pilihan mana yang akan diambilnya kali ini.

Tanpa aba-aba Kaga langsung berlari, mengejutkan Si Kapten, namun terlambat karena begitu pria itu tersadar, Kaga sudah lebih dulu melonjak dan memeluk tawanannya.

Pada detik yang sama pula Si Kapten dengan kekuatan penuh mengayun dan menghunuskan pisaunya ke arah Kaga.

.

"Argh!"

.

Rasa nyeri yang disertai sensasi terkoyak berpusat langsung di sebelah bahu belakang Kaga. Tetapi, yang menjadikannya begitu tak berdaya adalah rasa sakit yang gagal didefinisikannya dengan kata-kata kala ia merasakan pisau itu kemudian dicabut.

Dengan sisa kekuatannya didekapnya Kaga-chan erat.

Tidak masalah jika dia akan dihabisi saat ini juga dengan tikaman lain. Yang terpenting anak dalam pelukannya harus baik-baik saja.

Tetapi, alih-alih skenario terburuk yang terlintas di dalam kepalanya terjadi, disaksikannya Si Kapten justru mendadak pucat dan langsung tunggang langgang meninggalkannya.

Dari arah yang berlawanan, terdengar derap yang disertai teriakan lantang memerintahkan Si Kapten untuk berhenti.

Di ujung gang sana, kilauan merah lampu dan pekik sirene mobil polisi membuatnya menghela satu napas lega.


"KAGA-CHAN!"

"Mama!"

Akagi berlari mendekap erat anaknya meninggalkan Hyuuga yang masih mematikan mesin mobilnya. Tidak habis-habisnya diciuminya kepala sang anak sambil meraba seluruh tubuhnya memastikan bahwa anaknya baik-baik saja.

"Kamu tidak apa-apa!? Tidak terluka sama sekali!?" tanyanya panik.

Yang ditanya menggeleng mantap. Ia menyunggingkan satu senyum lebar seraya melempar pandangannya ke arah sosok pahlawan supernya yang tengah ditangani oleh juru rawat ambulans sambil memberikan kesaksian pada salah satu polisi bersama Haruna.

"Tante Malaikat melindungiku!" serunya riang.

Kaga yang menyadari kedatangan Akagi hanya melambaikan tangannya dan mengangguk.

Baru setelah polisi meninggalkannya Akagi dan Hyuuga menghampiri Kaga yang tengah kembali mengenakan kemejanya yang banjir dengan darah.

Sekonyong-konyong perut Akagi mulas membayangkan semua yang telah terjadi. Begitu banyak hal intens yang terjadi dalam waktu yang bersamaan sampai ia kelewat bingung harus bereaksi seperti apa di hadapan Kaga kini.

"K, kau baik-baik saja?" adalah satu-satunya kalimat yang keluar dari mulutnya.

Haruna dan Hyuuga kontan melontarkan ekspresi "menurut lo!?" kepadanya.

Sukses membuat Akagi terlihat bodoh.

Yang ditanya cuma tertawa.

"Tidak pernah lebih baik dari ini," jawabnya kalem.

"Begitu..." Akagi memeluk sebelah lengannya. Tertunduk. Merasa serba salah.

Ah, mau mengutarakan jangan bersikap seperti itu namun Kaga kembali teringat bahwa sudah menjadi kesepakatan di antaranya dan Akagi bahwa kini mereka bukanlah siapa-siapa kecuali seorang pengacara sekaligus saksi sidang perceraian, dan kliennya.

Pahit memang.

Melihat atmosfer yang melodramatis nan lembek itu, Hyuuga pun memutuskan untuk memecah suasana.

"Ceritakan padaku kronologi kejadiannya."

Sebagai saksi pertama dalam kasus baru ini, Haruna pun memberikan kesaksiannya secara kronologis dari saat ia mendapati suami Akagi menculik Kaga-chan dari sekolahnya hingga saat ia harus memberikan pertolongan pertama pada sopir taksi yang ditumpangi suami Akagi. Beruntung luka di leher si sopir hanya goresan saja sehingga dapat dipastikan bahwa ia akan baik-baik saja dan bisa bersaksi di pengadilan.

Dilanjutkan dengan kesaksian Kaga yang melakukan pengejaran. Setidaknya Kaga bisa memastikan bahwa tidak ada korban lain selama pengejaran selain dirinya.

"Setelah menusukku, dia berusaha untuk melarikan diri saat polisi muncul. Syukurlah mobil patroli berhasil menghadang jalan keluarnya. Suami Anda telah ditangkap atas tuduhan penculikan dan percobaan pembunuhan. Saya tidak tahu berapa lama ia akan menjalani hukuman penjara, tetapi saya tahu bahwa semua yang terjadi pada hari ini telah meyakinkan kita bahwa Anda jelas akan memenangkan gugatan perceraian ini serta hak asuh atas Kaga-chan dan harta benda yang kalian miliki," tutur Kaga menutup kesaksiannya secara seadanya dengan menjaga profesionalitasnya.

.

"Selamat, Akagi-san."


DALAM sekejap, dengan mengikuti proses yang sebagaimana mestinya dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, suami Akagi dijebloskan ke dalam penjara dan akan menjalani hukuman selama lima tahun. Tanpa membuang-buang waktu juga, sidang akhir perceraiannya dengan Akagi segera dilaksanakan.

Sesuai dengan dugaan Kaga, kejadian kapan hari itu memang memberikan keuntungan berupa kemudahan bagi pihak Akagi untuk memenangkan perceraiannya. Karena suaminya dipenjara dan Kaga-chan sendiri tidak pernah menghendaki untuk berada di bawah asuhan ayahnya, Akagi jelas memenangkan hak asuh atas anaknya. Bahkan kemewahan berupa aset seperti rumah dan segala isinya juga lari ke dalam genggaman Akagi.

Penderitaan bertahun-tahun lamanya itu kini terbayar sudah dengan kebebasan yang hakiki baginya. Sesuatu yang begitu sulitnya dipercaya.

Seperti saat putusan hakim diambil, Akagi malah bertanya-tanya apakah ini sungguhan atau dia hanya sedang bermimpi. Sulit memang memercayai impian yang baginya mustahil itu kini terwujud sudah.

Lalu hal lain menimpa kesadaran diri Akagi. Bagaimana ia begitu tidak tahu terima kasihnya.

Kepada Tuhan yang ia percayai.

Kepada takdirNya.

Dan yang paling jelas, kepada Kaga.

Perutnya selalu berasa seperti dikocok-kocok tiap kali ia harus memikirkan Kaga. Jika itu perihal utang budi dan materialnya terhadap Kaga, itu sudah jelas. Tetapi ada hal lain yang lebih dari itu. Hal lain yang tidak berhasil didefinisikannya namun selalu menghunjamnya dengan perasaan bersalah di dalam hati. Dan perasaan-perasaan aneh lainnya yang sama sekali tidak dapat ia mengerti.

Dan sesungguhnya, Tuhan pun pasti menahu, apa yang menjadi kemelut dalam diri Akagi ini menjadikan segala impian dan daya upayanya untuk—pada akhirnya—bisa bercerai dengan suaminya, tak pula melipurkan laranya barang sesuap.

Dipandangnya sosok pengacara mulia yang telah mengubah kehidupannya seratus delapan puluh derajat itu kini tengah berbincang dengan rekannya—yang sama kondangnya dan dengan keajaiban lainnya dijadikannya pengacara bagi Akagi yang bukan siapa-siapa—sambil terus menulis entah-apa-yang-pasti-itu-urusan-profesinya. Bisa dilihatnya Kaga tampak kesulitan untuk menulis karena rasa sakit di bahunya belum hilang.

Dadanya berdegup lebih cepat.

Sejak dulu ialah yang paling tahu seberapa pekerja kerasnya sosok Kaga. Seberapa berdedikasinya Kaga terhadap apa pun yang dikerjakannya sekalipun itu sulit dan tidak dikehendakinya.

Apakah ini rasa bangga?

Atau rasa bersalah?

Mungkin.

Mungkin begitu jika harus mengatakannya tiga belas tahun yang lalu.

Yang sekarang pun memang rasa bangga dan rasa bersalah. Hanya saja ditambah bumbu kekacauan dalam dirinya yang sama sekali tidak ia mengerti apa.

Kekacauan yang membuat kewarasannya anjlok.

Dan saat pandangan mata mereka bertemu sekejap.

Akagi-lah yang buru-buru membuang muka.

Tidak kuat.

Entah karena apa.


BEBERAPA hari setelah putusan resmi bahwa Akagi dan suaminya telah bercerai, Akagi masih disibukkan dengan beberapa dokumen penting yang harus diselesaikan. Hyuuga menyerahkan sisa pekerjaan yang remeh-temeh itu pada Kaga sehingga ia bisa segera lanjut mengurusi klien lainnya.

Sebenarnya, jika itu perkara dokumen yang berhubungan dengan perceraiannya ya memang sudah selesai. Hanya saja Akagi mengutarakan perasaan tidak nyamannya untuk kembali meninggali rumah lamanya setelah semua yang terjadi. Ia memutuskan untuk menjual rumahnya saja. Maka dari itulah Kaga menyanggupi untuk membantunya menangani hal tersebut. Jadilah Akagi bolak-balik harus bertemu dengan Kaga, berdua saja di ruangannya, namun membisu.

Tidak nyaman sekali.

Pun begitu Kaga terlihat seolah-olah tidak merasa terganggu dengan atmosfer di antara mereka. Ia tetap terlihat tenang, biasa saja, sama sekali tidak melebih-lebihkan kemenangan Akagi akan perceraiannya. Padahal bukankah ini yang Kaga tunggu-tunggu? Akagi menjanda?

"Apa ini cukup?" tanya Akagi seraya menyerahkan dokumen terakhir yang perlu diisinya hari itu.

"Ah, ya," jawab Kaga sambil memeriksa dokumen tersebut dengan cepat.

"Anda sudah bisa pulang. Sisanya biar saya yang tangani. Jika di kemudian hari ada yang saya perlukan dari Anda untuk lengkapi, saya akan menghubungi."

Akagi menggigit bibir bawahnya. Apa-apaan situasi yang sangat canggung dan asing ini?

"Kami sudah menyiapkan taksi untuk mengantar Anda pulang. Selamat beristirahat. Jika tidak keberatan, saya titip salam untuk Kaga-chan."

Mengapa kau memperlakukanku seperti ini?

Akagi menatap Kaga yang sama sekali tidak ada memperhatikannya. Sejak pembicaraan mereka sebelum sidang perceraiannya yang sudah dulu itu Kaga betul-betul mengambil serius ucapannya untuk memperlakukan Akagi hanya sebagai kliennya. Menghapuskan segala yang ada di antara mereka.

"K, Kaga..."

Tanpa menatap Akagi sedikit pun Kaga hanya menjawab, "Ya? Apa masih ada keperluan lainnya, Akagi-san?"

Akagi tidak suka diperlakukan seperti ini. Akagi sangat tidak suka diperlakukan seperti ini. Diperlakukan seperti orang asing. Terlebih oleh Kaga.

Sayangnya, alih-alih menjawab Kaga dengan beres, kewarasan Akagi kembali anjlok sehingga yang keluar dari mulutnya malah sebuah pertanyaan bodoh lainnya:

"Apa aku telah melakukan kesalahan?"

Sekonyong-konyong isi semesta menatapnya dengan tatapan "menurut lo!?".

Oh, tentu saja, Akagi! Betapa tidak? Itu apa yang terjadi di tiga belas tahun silam sana? Lantas, tambahkan dengan yang sekarang!

Sayang saja Kaga hanya meliriknya sekilas dan memilih untuk tidak menggubris pertanyaan bodoh barusan dan hanya menjawab, "Taksimu sudah menunggu di depan. Hati-hati di jalan."

Akagi kembali menggigit bibir bawahnya. Sambil mematung otaknya berpikir keras harus bicara apa untuk meluruskan hubungan di antara dirinya dan Kaga.

"Hari sudah semakin sore. Pulanglah—"

"Aku tidak akan pergi jika kau seperti ini!"

Kaga mendelik.

Seperti ini?

SEPERTI INI?

SEPERTI APA?

Diletakkannya berkas di tangannya dan didongakkannya kepalanya, menatap kedua bola mata Akagi. Tepat di kedua bola matanya.

Tajam.

Menusuk.

"K, Kaga...?"

"Seperti apa?" tanya Kaga dingin.

Akagi membatu.

"Apa lagi yang kauharapkan dariku?" tanyanya kembali, sama dinginnya.

Menyaksikan Akagi yang tidak mampu menjawabnya, Kaga menghela napas dan bangkit menuju pintu ruangannya.

"Pulanglah. Tidak ada yang perlu kita bicarakan lagi di sini."

Pun begitu Akagi tetap mematung.

"Tidak mau..."

Kaga berang. Dihampirinya Akagi yang masih mematung dan diseretnya menuju pintu.

Akagi melawan.

Kaga semakin berang.

"Kuberi kau pengakuan cinta dulu dan kau malah bungkam. Sekarang pun kuberi kau pengakuan cinta dan kau terus menolak. Ada saja alasanmu. Kau bersuamilah. Kau ingin cerailah. Sekarang kau sudah menjanda pun kau pasti masih akan menolak, bukan? Maka dari itu saat kau memintaku untuk berhenti bersikap seolah kita memiliki sesuatu di antara kita aku menurut. Lalu sekarang kau bersikap tidak suka dengan caraku menghormati pilihanmu? Lantas apa maumu, Akagi?"

"Kaga..."

"Mau kau kucabuli di atas meja kerjaku? Atau perlu sekalian di depan mantan suamimu? Hah?" Kaga meledakkan kalimat-kalimat tersebut tanpa sedikit pun meninggikan suaranya.

Kalimat-kalimat itu meluncur begitu saja seumpamanya ia tengah menyampaikan informasi. Bukan emosi. Apalagi isi hati.

Hanya saja jelas matanya menyiratkan satu pengusiran yang mantap, sama seperti dulu saat ia mengusir wanita yang sangat dicintainya itu keluar dari ruang rawat rumah sakitnya, atau saat ia mendorongnya sebelum ia melarikan diri sebegitu jauhnya tiga belas tahun yang lalu.

Siapa pun pasti akan berpikir betapa egoisnya Akagi dan membencinya untuk itu.

Tak terkecualikan Kaga.

Ia pun berpikir betapa egoisnya Akagi.

Bukan hanya terhadap keinginannya sendiri, namun juga terhadap eksistensi Kaga di dalam hidupnya. Akagi selalu menginginkan kehadirannya, hanya untuk dirinya, bahkan hingga memenjara hati Kaga tanpa belas kasih, tanpa sedikit pun membiarkannya barang sesaat mengecap rasanya mencintai—dan mungkin juga dicintai—orang lain. Sedang dirinya, sekalipun tidak pula bahagia, mengasihani diri sendiri dan merasa paling malang sedunia hingga dipikirnya dengan menurut untuk menikah dan bahkan memiliki anak dari mantan suaminya lantas menjadikannya sama menderitanya dengan Kaga. Bahkan lebih.

"Pulanglah," ucap Kaga lirih. Tidak lagi memerintah. Malah memelas.

Dipikirnya dengan begitu setidaknya Akagi berbelas kasih padanya dan menurut.

Naif sekali.

Tentu saja Akagi tidak pula mengindahkan pedih hatinya!

Kedua tangannya malah memeluk sebelah lengan Kaga. Lebih erat. Lebih erat lagi.

"Kaga... Aku takut..."

Takut?

Ya, tentu saja Akagi takut.

Takut menghadapi Kaga yang seperti ini.

Takut Kaga yang nyata ada di hadapannya saat ini akan meninggalkannya kembali.

Tapi, hei, siapalah Akagi sampai boleh mengemis Kaga untuk menetap sekarang? Apa masih sudi ia bertindak sebegitu kejinya terhadap Kaga?

Tapi memang jika tidak begini Akagi tidak akan mengakui bahwa memang di lubuk hatinya yang terdalam ia nyatanya menginginkan Kaga untuk menetap!

Oh Tuhan! Durjana!

"Kaga, aku—"

"Semuanya sudah berakhir, Akagi."

Kaga melepaskan lengannya dari pelukan Akagi.

"Semuanya sudah berakhir seperti harapanmu. Kau sudah bebas. Aku sudah menyelesaikan tugasku. Jangan pernah pikirkan tentang utangmu padaku. Kau tidak pernah berutang apa pun padaku. Hiduplah dengan bahagia, dengan apa yang kaumiliki sekarang. Itu semua memang untukmu. Itu semua memang milikmu."

Diraihnya kenop pintu ruangannya.

"...Sampaikan salamku untuk anakmu, yang entah kenapa bisa sama namanya denganku, yang entah kenapa bisa memanggilku seperti itu."

Akagi gundah. Nelangsa. Masygul. Sadar bahwa sekali pintu itu terbuka, semuanya akan berakhir di antaranya dan Kaga. Selamanya.

Jadi ketika Kaga memutar kenop pintunya, secara bodoh Akagi spontan meracau,

.

"Jika nyatanya aku mencintaimu, apa semuanya akan tetap berakhir di antara kita, Kaga?"

.

Gerakan tangan itu terhenti.

.

Akagi memberanikan diri untuk menatap Kaga.

Kaga hanya tersenyum tipis ke arahnya.

Kali ini bukan hanya memutar kenopnya, tetapi dibukanya lebar-lebar pintu itu.

.

"Silakan keluar, Akagi-san, sebelum saya panggilkan satpam untuk mengantar Anda keluar."

.

Oh tidak.

.

Selesai sudah.

.

Tidak lagi bisa berkata-kata, tidak pula menghendaki hubungannya berakhir dengan Kaga, spontan banjir air mata Akagi. Bukan cuma banjir mengalir, ia bahkan terisak dan merengek. Semakin keras. Lebih keras.

Haruna yang tengah tersambung dengan klien lain di telepon bahkan sampai berlari meninggalkan gagang teleponnya karena kaget sekaligus khawatir terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.

Kaga yang turut kaget refleks langsung menutup pintu ruangannya kembali dan bahkan menguncinya.

"A, Akagi..."

Yang dipanggil masih sibuk merengek keras.

"H, hei, Akagi..." Kaga melunakkan suaranya demi menenangkan Akagi.

Memang Akagi berhenti merengek keras tak terkontrol, tetapi kini ia duduk memeluk lutut di lantai dan tetap menangis. Membuat Kaga pusing tujuh keliling. Bagaimana tidak? Jika ada yang harus menangis, jelas itu Kaga! Bukan dirinya!

Kaga berlutut di hadapannya.

"Akagi..." panggilnya seraya membelai kedua bahu Akagi dengan sangat berhati-hati.

Masih bergeming.

"Akagi..." panggilnya sekali lagi, menggoyangkan bahu-bahu Akagi, mengemis.

Tetap bergeming.

Kaga menghela napas. Ditariknya lengan-lengan Akagi dengan paksa.

Bukan main kacaunya wajah Akagi saat ini.

Ya, tentu lebih kacau hidup dan perasaannya, sih.

Tetapi, ya, melihat wajah pujaan hatinya kacau begini, sedih hatinya.

"Berhentilah menangis atau aku akan menciummu," bisik Kaga dengan wajah ikut merana.

Di luar dugaan, Akagi malah sengit menjawab, "Cium saja! Aku tak lagi peduli, Kaga! Aku tak lagi peduli! Aku ini cuma janda yang merana!"

Dipukulnya bahu Kaga berkali-kali. Tak ada ingatnya bahwa bahu itu masih teramat nyeri setelah mempertaruhkan nyawanya demi menyelamatkan anak orang yang sangat dicintainya ini. Pun ingat Akagi tetap masa bodoh. Kesal. Kesal sekali tak ada habisnya dendam Kaga padanya meski tiga belas tahun sudah berlalu.

Tapi memang bukan cuma Akagi yang kesal.

Kaga yang sudah terlalu jengkel atas sikap Akagi langsung menahan kedua tangan yang terkepal kuat itu.

.

Lalu.

.

Saat itu juga.

.

Setelah tiga belas tahun lelah ia menahan egonya.

.

Kaga melayangkan wajahnya, menempelkannya ke wajah Akagi, mempertemukan bibir-bibir mereka dengan kasar dan tanpa permisi.

.

Untuk pertama kalinya.

.

Untuk pertama kalinya.


bersambung


Catatan penulis:

TROPHY UNLOCKED: First Kiss

.

Also: *kibas rambut seraya kacak pinggang ala-ala Beyoncé* It's Britney, bitch.