The Chronology of Magic

©2015: Juliette Apple

Harry Potter adalah milik J.K Rowling.

.

.

Daily Prophet, 2 Juni 1998

Artikel oleh M. Rogers.

Sudah satu bulan sejak Perang Besar Penyihir II berakhir. Hogwarts kini telah dibangun ulang. Para kriminal kini telah diadili dan berada di Azkaban. Bicara soal kriminal, kita tentu sudah tahu benar tentang apa yang menimpa Draco Malfoy. Ya, sungguh tragis. Pertanyaannya sekarang: dimana istrinya? Hilang tanpa jejak di pertengahan perang, kemanakah dia? Apakah dia sudah mati? Apakah dia selamat? Dimana dia? Dimana Hermione Granger?

Chapter 1: Ulang Tahun Rose

"Selamat ulang tahun, Rosemary."

Confetti sihiran, balon sihiran, glitter dan sebuket bunga. Oh, Rose tak pernah merasa sekacau ini sepanjang sejarah ulang tahunnya.

Berlutut dan mencium tangannya, pria yang menjadi dalang perayaan kecil-kecilan ulang tahunnya itu tampak tampan. Dengan rambut cokelatnya dan matanya yang hitam legam, cewek manapun akan enggan bilang tidak padanya.

Kecuali, cewek yang ditaksirnya.

"Kau..baik, Caulfield." Rose merasakan bibir pria itu di punggung tangannya. Basah dan kenyal. Ia merengut jijik. "Aku tersanjung kau menyiapkan, err, kejutan. Tapi, aku tidak merasa bahwa ulang tahunku butuh dirayakan."

Sang pria memerah, tiba-tiba rasa malu menyerbunya. Dengan sedikit rapuh dia berdiri dari posisi semula, menatap ragu pada manik kelabu sang gadis yang dia sudah lama taksir. Rosemary Malfoy, gadis Slytherin paling ditakuti dan paling diincar. Diincar-dalam artian baik dan buruk.

Robert Caulfield sudah sering diacuhkan dan ditolak Rose, namun kali ini sangat memalukan. Sungguh menyedihkan untuk pria sekelas Darah Murni Caulfield.

Dengan gerakan pelan ia menyibak rumput di lutut bekasnya berlutut, lalu memandang Rose lagi.

"Tapi, kupikir kau suka kejutan," katanya. Robert Caulfield mengulas senyum canggung. Rose memutar mata, mengutuk dalam hati. Salah satu balon sihiran Robert meletus dan membuat kaget seekor angsa yang sedang berjalan di pinggir danau di luar Hogwarts-tempat mereka berdiri dari tadi. Angsa itu mengepak-ngepak dan pergi.

Rose tersenyum simpel, dipaksakan. "Aku tidak suka. Maaf ya, Caulfield. Tapi..tetap saja, terima kasih ku untukmu. Sudah ya, aku punya janji."

Dengan lambaian tongkat yang anggun, Rose membuat confetti, balon, bunga, dan properti ulang tahunnya hilang dari pandangan. Ia menyelipkan beberapa helai rambut pirangnya kebelakang telinga, lalu tersenyum manis dan mengangguk pada Robert, menandakan selamat tinggal yang penuh kelas.

Rose berbalik dan berjalan menuju kastil, ketika ia mendengar sebuah sihir dilemparkan padanya.

"Kau tidak bisa merendahkanku seperti-"

"Petrificus Totalus," bisik Rose cepat dengan tongkat teracung pada Robert. Robert seketika membatu, wajahnya marah dan merah, tongkatnya juga teracung.

Robert tak menyangka ia akan menyingkir dari sihirnya secepat ini. Gadis ini...benar-benar!

"Kau yang memulai ini. Kau merendahkan dirimu sendiri. Kau payah. Kau dengar aku, Robert Caulfield? Payah." Rose berkata tanpa ekspresi, mata kelabunya kelam seperti awan badai. "Nah, permisi dulu. Kita tunggu sampai ada yang membebaskanmu. Oh, pastinya bukan aku. Karena aku tidak suka menarik kata-kata sendiri. Hmm, butuh berapa lama bagi orang-orang untuk menemukanmu di bagian terpencil diluar kastil? Oh, Robert Caulfield, kuharap kau cukup beruntung untuk bisa ditemukan sebelum makan malam. Cuaca sungguh panas diluar sini. Aku takut kulitmu akan gosong-oh, jangan lupakan dehidrasi!"

Robert rasanya ingin meledak. Tapi itu salahnya karena coba-coba menyerang penyihir hebat sekelas Rose dengan mantra non-verbal kacangan. Mantra itu bahkan tak sampai menyentuh ujung kakinya.

Rose berbalik dengan enteng. Rambut pirang bergelombangnya yang penuh perdebadatan tertiup angin musim panas.

Ini juga salahnya karena mengajak Rose ke bagian belakang kastil, di pinggir danau. Dia pikir, butuh tempat sunyi untuk merayakan ulang tahun Rose yang ke-16 dan..memberinya sesuatu yang tak terduga.

Dia salah besar, dia sungguh salah.

Kini Rose telah pergi. Dengan matanya sendiri ia melihat punggung Rose menjauh menuju kastil.

Kalau saja ia tahu. Kalau saja dia mengerti.

Bahwa Rose sudah punya seseorang yang ia sukai.


"Kau tidak bisa semena-mena melontarkan mantra itu kepada murid!" seorang pria berkepala legam dan tampan meneriakinya. Rose Malfoy diteriaki oleh seorang pria dan hanya bisa diam tak berkutik.

"Tapi, Tom-dia berniat buruk padaku! Aku sudah tahu itu, aku membaca pikirannya! Ia sengaja mengajakku ke tempat sunyi supaya..supaya.." Rose mengepalkan tangannya penuh amarah, merasa terlalu kesal untuk melanjutkan kalimatnya. "Urgh! Kenapa kau selalu tidak mengerti?"

Pria itu-Tom-berdiri dengan kedua tangan terlipat di depan dadanya. Sebuah tongkat kayu kecokelatan yang penuh kelas digenggam di salah satu tangannya yang terkepal, menghadap ke langit-langit. Tom punya mata gelap yang mengintimidasi dan rambut gelap yang halus dan sedikit bergelombang. Bentuk wajahnya keras dan tegas, tatapannya sedingin perasaan dendam. Hanya tatapan itulah yang membuat Rose mabuk. Ia sudah tersihir sejak pertama kali membalas tatapan itu.

Di suatu hari di musim panas, saat mereka berdua masih kecil.

"Aku tak habis pikir kau menyerang kakak kelas, Rosie. Sudah berapa detensi bulan ini?" Tom menyerang Rose dengan tatapannya yang dingin, membuat Rose berpaling agar tak lagi tersihir.

"Sekali. Itu bila seseorang menemukan Robert dan bila ia mengadukanku."

"Oh, dia pasti akan melakukannya. Dan, orang yang akan menemukan dia adalah aku sebagai Ketua Murid." jelas Tom tegas. "Dimana tepatnya dia berada, Rose?"

Rose mendengus.

"Aku kaget kau bertanya."

"Benar. Pinggir danau. Kau harus latihan Occlumency lagi," Tom menyeringai.

Rose mendengus kesal lagi, tapi tidak mampu berkata apa-apa. Ia hanya menunduk, salah tingkah. Tom kembali memasang wajah dinginnya, lalu berjalan melewati tubuh Rose yang diam dan terpaku, padahal tidak ada sihir dilontarkan padanya. Tom, sebagai Ketua Murid Laki-Laki, memang punya tanggung jawab besar pada sekolah. Dan tanggung jawab itu membuatnya tidak boleh men-spesial-kan Rose, yang sejak dari bayi sudah 'dirawat' olehnya.

"Bahkan di hari ulang tahunku, kau masih memarahiku, Tom." Rose berbisik parau, merasa diri ingin menangis, namun menahannya dengan segenap tenaga. Bagaimana bisa orang sepenting Tom tidak mengucapkan selamat atau bahkan bersikap baik padanya di hari spesialnya itu?

Seketika langkah Tom terhenti. Berbalik perlahan dengan kaku, ia menjulurkan tangannya yang tak memegang tongkat untuk mencapai puncak kepala Rose. Telapaknya yang besar dan pucat mendarat diatas ubun-ubunnya, kemudian dengan perlahan dan lembut mengelusnya.

"Selamat tanggal 2 Juni yang ke-enam belas, Rose. Aku senang telah menemukanmu. Menemukan, secara harfiah," bisikan Tom terbang dan masuk ke telinga Rose. Suaranya yang serak dan tegas membuat Rose merinding. Ia ingin kembali ke masa kecilnya dimana ia bisa dengan mudah memeluk dan mencium pipi Tom. Masa kanak-kanak penuh kegelapan dan rahasia yang hanya dibaginya dengan Tom.

Rose bisa merasakan tangan Tom tak lagi di puncak kepalanya saat ia mendengar langkahnya yang berat menjauh. Ia masih terpaku, dengan tangan terkepal dan wajah memerah. Masih menahan tangisnya, Rose dengan perlahan berbalik dan melihat postur Tom-gagah dan kaku-dari belakang.

"Kalau saja kau pandai membaca isi hati daripada pikiran," mata Rose memelas. "Kau pasti tidak tahu, Tom Riddle, kalau aku mencintaimu. Sudah lama begitu."


Tom mengendik pada beberapa murid Ravenclaw yang melintasi koridor.

'Santai, Tom. Bersikap ramah-lah' Tom memasang senyum sopan lalu kembali mengendik ramah pada beberapa murid lain yang melintasi jalan yang sama dengannya. 'Sabar, Tom. Sebentar lagi kau akan bebas. Kau sudah tahu caranya membuat Horcrux bukan? Sabar, Tom. Sebentar lagi, kaulah Voldemort'

Tom berjalan dengan penuh wibawa menuju keluar kastil. Untung saja hari ini pelajaran berlangsung singkat. Hanya beberapa minggu lagi menuju libur musim panas.

'Cih, seperti munggle saja. Pulang untuk libur musim panas,' Tom mendengus jijik dalam hati sambil bibirnya tersenyum untuk membalas sapaan Dumbledore, guru yang membawanya kemari.

Salah satu halangannya dalam menjalankan kejahatan tersembunyi.

Memasang kuat-kuat Occlumency, Tom mendekat pada Dumbledore yang dengan isyarat singkat menunjukkan padanya bahwa ia ingin mengajaknya bicara.

"Tom," suara Dumbledore ramah dan hangat, namun menyimpan suatu kekhawatiran. "Apa kau dan Rose pulang untuk musim panas?"

Tom memasang wajah polosnya.

"Tidak, Professor. Kami tetap disini seperti biasanya." Tom membalas sebaik mungkin, ia merutuk dalam hati. Dumbledore sedang menyerangnya dengan Legilimency.

"Oh, senang sekali punya teman untuk berbagi." Dumbledore setengah tertawa. "Aku juga tidak kemana-mana selain berada di kastil untuk musim panas. Barbeque dan jagung bakar mungkin bisa kita santap bersama. Dengan Rose, tentu saja."

'Sial, terlalu kuat,' keringat dingin mengucur dari pelipis Tom. Memang susah melawan penyihir sehebat Albus Dumbledore. Meski begitu, Sang Professor tak tampak seperti sedang menyelidikinya. Kata-katanya tentang barbeque dan jagung bakar terdengar biasa saja. Tak dibuat-buat. Untuk beberapa saat, Tom pikir sudah aman untuk tidak menggunakan Occlumency.

'Tidak!' rutuk Tom. 'Dia tidak bisa memasuki pikiranku dan mengetahui rencanaku musim panas ini. Pertahankan, Tom!'

"Err, Prof, kurasa aku harus pergi," pernyataan singkat dari Tom membuat Albus Dumbledore mengernyit. "Ini..Rose.."

Air muka Dumbleodre berubah santai. "Oh, tentu saja. Sebaiknya cepat kau bereskan. Kudengar McGonnagal membuat detensi baru yang mengerikan. Semoga kau bisa membela adikmu seperti biasanya." Dumbledore mengedipkan satu matanya. "Aku tidak akan bilang,"

Tom menghela napas lelah bercampur lega. Hanpir saja bobol pertahanannya. "Aku percaya itu,"

Dumbledore mengangguk dan kemudian pergi. Tom juga tidak ingin lama-lama menapak pada lantai yang sama. Ia membuat langkahnya lebih cepat dan bertenaga, merasa kesal karena Dumbledore sungguh pandai-dan curiga.

'Aku tidak bisa membiarkan Si Tua menggagalkan semuanya. Tidak saat aku akan membuat Horcrux pertamaku.' Tom menghapus keringat dingin yang tadi mengalir. 'Dan Rose bukan adikku! Dasar Tua Bangka!'

Tom berjalan penuh amarah keluar kastil dan berbelok menuju danau. Diluar sungguh terik dan gersang. Meski begitu, kehadiran angin sepoi-sepoi membuat keadaan jauh lebih baik.

Tom menemukan Robert Caulfield dalam keadaan parah, nyaris tak sadarkan diri, dan dehidrasi.

"Astaga, dia memang benar-benar adikku." Tom menyeringai pada Caulfield. Dengan lambaian tongkat Tom yang tegas, Robert Caulfield dapat merasakan tubuhnya bekerja kembali.

Dengan cepat ia ambruk ke tanah berumput, matanya mengerjap-ngerjap, napasnya memburu. Tongkatnya masih di genggamannya. Tom mendekatinya dan memberinya tangan agar ia dapat berdiri, namun Robert menepisnya dengan kasar.

"Tidak..tidak perlu," Robert terengah. Mata Tom memicing tajam, merasa tidak suka karena Robert menepis tangannya. Merasa jijik karena pria lemah di depannya menolak bantuan darinya.

"Aquamenti," Tom merapal, lalu air meluncur dari tongkatnya dan melayang di udara dengan sihir non-verbal. "Aku tak punya wadah, tapi kau bisa gunakan tanganmu untuk minum," Tom mengendik pada air yang beterbangan di sekitar tongkatnya.

Robert Caulfield memerah seperti kepiting rebus, sangat kepanasan dan haus. "Tidak, aku tidak minum dengan tangan," Robert terengah, tak sedikitpun melirik pada air yang keluar dari tongkat Tom.

Tom rasanya mau membunuh saja. Sudah diberi hati, ia minta jantung. Tom membatalkan sihir melayang nya, lalu air itu jatuh sia-sia di tanah berumput. Ia menghiraukan Robert yang kehausan.

Tiba-tiba, Horcrux melintasi pikirannya yang legam.

Mendekati Robert, dengan akrab Tom tersenyum. "Katakan, Rob. Apa kau pulang musim panas ini?"

Mendengar Tom memanggilnya sebegitu akrab, Robert tidak tahu harus senang atau merasa terhina. Karena:

1. Ia baru saja disapa dengan akrab oleh cowok paling populer di Hogwarts, tapi..

2. Tidak ada yang memanggil dia dengan nama jelek seperti 'Rob'. Meski, ya, namanya Robert. Tapi ibunya bahkan tidak memberinya nama panggilan.

"Tidak tahu, Riddle. Pentingkah itu?" Robert mendapatkan kembali napasnya. Kemudian dengan gengsi tinggi berusaha berdiri tegap, tapi gagal.

Tom tersenyum. "Tidak. Hanya saja, aku dan Rose akan tetap tinggal. Dan ada Professor Dumbledore juga. Barangkali kau tak pulang, mungkin kau mau bergabung dengan pesta musim panas kami?"

Robert membelalak. "Persetan! Aku tak sudi kau ajak bila ada Rose. Dia jalang! Murahan dan penuh dengki! Tom, entah apa yang ada di pikiranmu ketika kau menyelamatkannya berkali-kali. Ketika kau menemukannya! Dia..dia sam-"

Seketika itu juga, Robert Caulfield merasakan tubuhnya bagai ditusuk ribuan jarum. Badannya sakit, sungguh sakit sampai-sampai berteriak ia tak kuat. Di depannya, mata legam menatap dalam-menghunus. Ia tak pernah mendapat tatapan sekeji ini. Apalagi..ini Tom. Lelaki yang ia pikir takkan melakukan kekerasan pada siapapun.

"Tidak ada yang merendahkan Rose. Tak satupun," Tom berkata dingin. Ia menggerakan tongkatnya, dan tubuh Robert seperti patah di segala tempat. "Well, sakit bukan? Kau akan menerima lebih bila melaporkan ini kepada orang lain. Apalagi melaporkan apa yang terjadi antara kau dan Rose. Beruntung aku tak menghapus ingatanmu,"

Robert membelalak. Ini bukan sihir biasa. Ini...sihir hitam. Tapi, darimana ia belajar semua ini?

Tom menyentak dan tubuh Robert terhempas ke tanah, wajah duluan. Ia merasa sakit di sekujur tubuh, takut, dan trauma. Air matanya mengalir deras dan ia gemetar hebat.

Kepalanya terangkat, dan ia melihat Tom berjalan menjauh menuju kastil.

Robert bersumpah takkan mengadu, karena takut dibunuh.

Setelahnya, ia merasa semuanya gelap. Ia dapat merasakan rumput basah karena air dari tongkat Tom tadi.


Rose melangkah ragu-ragu ke Aula Besar untuk makan malam. Tatapannya lurus ke tempat meja makan guru. Dari tadi, ia memerhatikan Minerva McGonnagal.

Sang Professor tidak merasa diperhatikan oleh siapapun. Ia terlarut dalam perbincangan dan merasa asik sendiri. Tidak ada yang salah.

Rose merasa sedikit tenang, tetapi rasa tegang masih mengantung di ujung jantungnya.

"Tidak. Tidak ada detensi untukmu,"

Tiba-tiba, suara serak yang berat terdengar dari belakang tengkuknya. Rose nyaris melompat karena kaget. Matanya membelalak, dan dengan sigap ia menoleh ke belakang.

Ternyata Tom.

Ia tampak segar dengan rambut tersisir rapi. Sepertinya ia habis mandi. (A/N: lol)

Tom tersenyum penuh karisma dan menepuk pundaknya. Dengan begitu, Rose tahu bahwa ia telah membereskan segalanya-lagi.

Tom berjalan di depannya menuju meja makan Slytherin, Rose membuntutinya dan duduk di sebelahnya. Mata Rose masih sekali-kali melirik pada McGonnagal, tapi wanita itu tak memberi tanda-tanda akan mengamuk padanya.

Rose menghela napas. "Tom, Tom, Tom." ia meracau. "Lagi-lagi kau. Oh, memang kau malaikat penyelamatku. Kukira setelah peristiwa kadal, kau tak mau lagi membantuku."

Tom minum dari pialanya, mata legamnya melirik Rose sementara separuh wajahnya tertutupi badan piala.

"Aku melakukan ini karena Robert Caulfield adalah bajingan," kata Tom bengis sambil meletakkan pialanya. Meski begitu, Rose tetap merasakan hangat di hatinya. Setidaknya, meski tak tahu siapa keluarga dan orangtuanya, ia masih punya Tom Riddle sebagai pelindungnya.

"Perhatian, semuanya." seisi ruangan dikejutkan oleh gelegar suara yang diberi mantra sonorus. Prof. Dippet berdiri di depan aula dengan wajah serius. Aula Besar hening seperti tak memiliki isi. Ketegangan entah mengapa menjalari Rose lagi.

"Ini takkan lama, tapi juga tak singkat. Pertama, libur musim panas dua minggu lagi. Bagi yang ingin tinggal di kastil, tidak diperbolehkan keluar kastil secara bebas. Kami akan memasang penjagaan lebih," Kepala Sekolah Hogwarts itu menurunkan suaranya, membuat atmosfer terasa tidak enak. "Ini soal penyerangan di pinggir Danau Gelap. Seorang siswa ditemukan dalam kondisi tersiksa. Kupikir...Neismeferon."

Seluruh isi Aula Besar berjengit atas pernyataan mengerikan Sang Kepala Sekolah. Siapa bejat yang tega menyerang seseorang dengan mantra gelap menyakitkan seperti itu? Sepertinya hanya Tom yang diam dan tenang, tidak merasa takut dan tegang. Rose menatap Tom yang dengan santai melahap pie nya. Mungkinkah?

"Itu saja untuk malam ini," kata Prof. Dippet. "Semoga saja tidak ada lagi kejadian serupa." ia menambahkan seraya berbalik ke meja makan guru. Aula Besar seketika ricuh kembali.

Rose masih menatap Tom. Kini, sang pria memotong steak dengan pisau dan garpu.

"Tom, apakah kau.."

Tom meliriknya lewat ekor mata, lalu kembali fokus pada steaknya.

"Merlin, Tom.." mata Rose membesar, manik kelabunya berpendar. "Kau..menyerang Caulfield dengan..neismeferon.. Oh, Tom, kupikir kejadian itu takkan terulang lagi."

Tom tak menjawabnya. Tom diam-diam mengingat terakhir kali ia menyerang seseorang dengan cara yang sama. Sudah lama, 2 atau 4 tahun yang lalu. Alasannya masih sama: Rose.

Rose merasa tak nafsu makan, apalagi ketika Abraxas Malfoy memasuki ruangan. Pria yang menjulukinya 'Malfoy-Lain-Bukan-Saudaraku' itu duduk tak jauh darinya dan Tom. Ia selalu baik pada Tom, tapi tak pernah terlalu baik padanya.

Rose merasa muak. Ulang tahunnya kali ini sungguh, sungguh kacau. Ia beringsut berdiri, lalu dengan langkah cepat kembali ke Asrama Slytherin.

Tom hanya memandangnya lewat ujung mata.

Selalu memerhatikannya tanpa banyak bicara. Selalu begitu.


Seorang pria tegap berdiri di dekat perapian yang tidak menyala dan duduk tak jauh darinya adalah sahabatnya sejak kecil. Raut wajah mereka merenung, banyak pikiran. Pria yang berdiri sesekali mengurut dahi sedangkan pria yang duduk tidak bergerak sama sekali.

"Ini semua salah Si Brengsek itu," ucap pria yang duduk penuh dendam. Kedua tangannya terkepal dan diletakkan diatas pahanya. Pandangan matanya intens dan menusuk, menunjukkan rasa benci yang besar.

Diluar sedang hujan besar. Dari luar ruangan tempat mereka berada, tampak pepohonan yang rantingnya tertarik-tarik gerak angin kencang, kesana-kemari. Tak jauh dari pepohonan, ada semacam padang ilalang yang lebat dan luas, seperti tidak ada ujungnya.

Pria yang berdiri untuk sesaat bengong menatap pemandangan diluar, mengacuhkan sahabatnya yang membara di kursi duduknya. Tapi sahabatnya itu bangkit dari duduknya dan mendekat, membuatnya terbangun dari lamunan.

"Kita harus mencari lagi," desak pria yang tadi duduk. Rambut merahnya menyala, diacak dan dijambak olehnya sendiri dalam kesengsaraan. "Aku tahu dia masih hidup!"

"Sabar," pria yang daritadi berdiri memperingati dengan tenang. "Aku juga berkeyakinan sama, Ron. Tapi sudah enam belas tahun berlalu. Kupikir sudah waktunya berhenti."

Pria berambut merah yang bernama Ron itu tampak tidak setuju dengan sahabatnya. Rautnya mengeras dan merah.

"Ini semua karena iblis itu!" Ron memaki. "Sial! Sial! Terkutuk dia!"

"Hentikan!"

"Kau tidak tahu bagaimana rasanya kehilangan wanita yang kau cintai! Kau tidak tahu rasanya jadi aku! Bagaimana jika hal yang sama menimpa Ginny?!" Ron mencerca. "Oh, Harry. Andai saja aku bisa memutar balik waktu, aku akan menjadi orang yang membunuh Draco Malfoy di tahun keenam. Aku akan..aku akan gunakan sihir gelap atau apapun. Apapun agar Hermione tidak pernah disakiti olehnya."

Ron terisak, dan sahabatnya-Harry-hanya menatapnya prihatin.

"Jangan membuat dirimu menderita, Ron. Satu yang harus kau ketahui: Malfoy tidak pernah menyakiti Hermione." Harry meremas kedua bahu Ron dan menatapnya lurus di kedua matanya.

Ron masih terisak oleh amarah.

"Siapa...siapa yang tahu kalau..kalau mereka saling mencintai?" Ron makin keras isakannya. "Bahwa ia sebenarnya tidak pernah mencintaiku. Oh, Hermione. Sekarang dia hilang begitu saja dan menghancurkan hatiku."

Harry melepaskan remasan pada bahu Ron dan menatap lantai penuh duka. Sementara itu, diluar hujan mereda. Pepohonan yang tadi terkoyak angin kehilangan banyak daunnya. Dedaunan yang jatuh itu terkulai lemas di jalan setapak The Burrow, membuat kotor.


Rose terbangun oleh suara keras di kepalanya, seperti tabuhan genderang atau semacamnya. Sepertinya ia baru saja mendapat mimpi buruk.

'Jarang-jarang aku bermimpi, dan sekali aku mimpi, malah mimpi buruk.' Rose menggerutu sebal dalam hati. Padahal ia ingin tidur lebih lama.

Ia memandang malas keluar jendela, kearah pemandangan Lapangan Quidditch. Lapangan di pagi hari sudah penuh dengan para pemain inti yang rajin berlatih, menenteng sapu-sapu bermerk mereka dan memakai seragam sesuai warna asrama.

Pagi ini, menurut penglihatan Rose, adalah giliran Slytherin dan Ravenclaw latihan. Dibuktikan oleh seragam hijau-hijau dan biru-biru yang berseliweran di tengah lapangan.

Rose teringat, Robert Caulfield adalah Kapten Quidditch Slytherin. Lelaki itu sekarang sedang terkapar di Hospital Wings, menderita akibat serangan neismeferon. Dari kejauhan, Tim Slytherin tampak terpencar amburadul-tanpa siapapun mengetuai.

Rose bergidik.

Tom tidak sembarangan saat menyerang orang. Sekali lontar, yang keluar adalah kutukan gelap. Hidup Robert pasti tidak akan sama lagi.

Sejak kecil, memanglah Tom dikenal sebagai pribadi yang dingin dan keras. Rose yang tumbuh didekatnya adalah yang paling mengerti. Apa yang ia biarkan orang lain lihat bukanlah apa yang terjadi di kepalanya.

Itulah Tom: mengerikan dan tak tertebak.

Cukup lama Rose merenung, sebelum akhirnya tersadar bahwa ini hari Sabtu dan tidak ada kelas.

Ia bergegas turun dari tempat tidurnya dan mandi.

Ia mengenakan kaus jingga dan celana jins panjang, keluar dari asrama dan menyusuri lorong-lorong Hogwarts tanpa tujuan pasti.

Saat sedang berjalan-jalan, dari atas balkon, ia menangkap sosok Tom.

Tom sedang dibawah, dekat air mancur di taman Hogwarts yang kehijauan, dikerumuni cewek-cewek populer. Kebanyakan dari mereka berasal dari Slytherin, dan mayoritas tidak suka pada Rose. Mereka semua naksir Tom, dan menganggap Rose adalah parasitnya Tom, yang membuat kehidupan cintanya tidak berjalan lancar.

Karenanya, melihat Tom dengan gadis-gadis sombong itu membuat Rose muak. Masih berjalan, mata Rose berpaling dari Tom.

Sementara itu dibawah, Tom menengadah. Gadis-gadis di sekelilingnya berisik, merajuk dan menggoda. Semuanya Darah Murni dan cantik-cantik. Salah seorang dari mereka bernama Daisy sedang mengajak Tom berdiskusi tentang kafe mana yang paling romantis bagi pasangan.

Tom mendengus panjang mendengar betapa tidak pentingnya obrolan mereka. Dari bawah sana, ia dapat membaca pikiran Rose yang melintas diatas balkon. Sudah sejak tadi Tom tahu kalau Rose sedang memandang kearahnya.

Tom menyeringai.

"Aku ada janji," potong Tom pada Daisy. "Sampai nanti,"

Tanpa basa-basi, Tom melengos pergi menjauh dari para gadis yang hanya bisa mendengus sedih.

Tom melangkah dengan langkah panjang, menaiki undakan-undakan dan tangga dengan seringai masih memanjang di pipinya.

Sampai di anak tangga teratas, ia menghadang Rose yang ingin turun ke bawah. Rose tampak terkejut melihat adanya Tom di hadapan hidungnya, dan Tom telah kehilangan seringainya.

"Pagi, Rosie," Tom menyerahkan tangannya. "Ayo kita pergi kencan,"

Rose sekali lagi bergidik pagi ini.

Itulah Tom: mengerikan dan tak tertebak.

xx

hi, lama tak jumpa.

julie akhirnya balik nulis ff lagi. hm padahal ff forgotten masih terbengkalai yak. hmm apakah pembaca-pembaca masih sama seperti dulu? apa ada pembaca baru?

hm julie cuma mau bilang kalo skrg julie nulisnya di ponsel! sooo lack of self editing, tulisan julie bakal apa adanya aja, soalnya ngedit ms word di ponsel susah bgt. jadi jgn protes kalo tulisannya bold semua! wkwkw dannn akun julie yg lama tidak bisa dibuka. okeh, julie pindah acc disini. hmmmmmmmm

akhirnya, seperti biasa, tinggalkan jejak! review! julie akan balas di next chap!

adios.

-J.A