.

.

Inojin mengepak pakaian pakaiannya dengan bosan.

Ia berdecak saat menatap hasil lipatan bajunya yang berantakan. Berbeda dengan lipatan Ayame yang terlihat rapih tapi praktis.

"Bagaimana sih cara melipat bajunya?" tanya Inojin terdengar gusar.

Ayame mengambil alih baju berwarna pastel itu dengan lembut." Saya sudah bilang, saya saja yang mengurusnya."

Sebelum Ayame sempat melipat baju tersebut, Inojin merebutnya." Biar aku aja. Kenapa sih kalau mau dibantuin pasti ditolak?"

Ayame melirik Inojin, kemudian ia mengambil baju lain untuk dilipat. Sementara itu, Inojin mencoba lagi melipat baju itu yang sudah mulai kusut.

"Ne, Ayame," panggil Inojin, ketika ia sudah berhasil melipat baju itu.

"Ada apa tuan?"

"Apa kau menyukai ide dongeng ku yang kukatakan kemarin lusa?" Inojin menatap Ayame. Tatapan mereka bertemu.

Ayame segera mengalihkan pandangannya," ya. Saya suka. Menurut saya, idenya lumayan..., unik," katanya sedikit menurunkan suaranya.

Inojin menatap Ayame lumayan lama.

Karena canggung ditatap Inojin, Ayame meneruskan pekerjaaannya lalu mencoba mengalihkan pembicaraan," kita di Kyoto berapa lama, tuan?"

Bukannya menjawab, Inojin malah mengatakan sesuatu dengan tenang," kau berbohong padaku kan, Ayame-chan?"

Sambil berdiri dari tempat duduknya, Inojin melanjutkan," kau sama saja seperti ibu. Selalu berbohong pada ku."

Setelah itu, Inojin keluar dari kamarnya, meninggalkan Ayame yang masih terlihat bingung dengan pernyataannya.

.

Naruto milik Masashi Kishimoto

Rush and typo

.

Fict ini hanya ditulis untuk mengisi waktu luang

.

.

Ino tersenyum senang saat melihat kedatangan Inojin untuk pamit pergi ke Kyoto sana. Sesuai predaksi Ino, Inojin pasti akan datang ke rumah sakit. Jadi, ia bisa meminta suster untuk melepaskan benda terkutuk itu agar putra nya tak melihatnya.

"Ibu, wajahmu pucat sekali," kata Inojin khawatir ketika melihat keadaan Ino.

Ino hanya bisa tersenyum," menurut ibu, wajah ayahmu lebih pucat dari ini," katanya, mencoba untuk membuat lelucon.

Inojin menggeleng tidak setuju." Sumpah bu, aku tidak bercanda," lalu ia mendekat menuju samping Ino dan bertanya dengan nada penuh kehati hatian," ibu, baik baik saja kan?"

Ino menggaruk tengkuknya dan menarik selimutnya agar lebih menutupi bagian paha sampai kakinya hingga lebih tertutup." Ibu baik baik saja, manis. Kenapa kau tidak percaya pada ibu mu?"

Mendengar pertanyaan ibunya, Inojin memilih diam saja padahal wajah Ino pucat melebihi warna rambutnya sendiri.

"Baiklah. Ibu, Inojin pergi ke Kyoto karena menuruti permintaan ibu. Jadi ibu cepat sembuh ya," kata Inojin.

Ino mengangguk lalu mendekatkan wajahnya ke wajah Inojin untuk mencium pipinya. Inojin membiarkan ibunya mencium kening dirinya.

"Sampaikan salam ibu untuk ayahmu ya," kata Ino penuh ketenangan.

Inojin menatap ibunya lalu mengangguk. "Tentu saja. Pasti kusam-," kalimat Inojin terhenti ketika pandanganmya tertuju pada sebuah direksi. Nafas Inojin berburu ketika melihat itu.

Jadi, ibunya berbohong padanya?.

"Sayang, kau kenapa?" tanya Ino bingung melihat perubahan di wajah Inojin.

Masih terpaku dengan 'itu', Inojin hanya bisa terdiam sampai ibunya mengulangi pertanyaannya kembali.

"A...aku tidak apa apa kok," Inojin berkilah dengan cepat lalu berpura pura teringat sesuatu." Aku harus cepat pergi, bu."

"Oh iya. Maaf ya, buat jadi lama."

Inojin menggeleng." Tidak apa kok. Aku pergi dulu."

Saat Inojin keluar dari kamar itu, lagi lagi ada seorang suster membawa troli dorong. Tanpa menyapanya, Inojin bergegas menuju lift.

Di lift, Inojin sendirian. Jadi ia memencet tombol menuju lobby.

Jadi, ibunya berbohong ya?. Berbohong tentang penyakitnya?.

Inojin menatap unjung sepatunya. Kalau Ino mengatakan bahwa ia baik baik saja dan tidak perlu diinfus, kenapa Inojin melihat beberapa tusukan jarum di pergelangan tangannya yang mulai membiru. Dan pergelangan tangan itu selalu disembunyikan di balik lengan baju rumah sakitnya atau di balik selimut

Apa ada motif terselubung yang membuat Ino mengirim Inojin ke Kyoto?

.

.

Perjalanan dari Tokyo ke Kyoto, sukses membuat Inojin pegal pegal. Bayangkan ia harus duduk di mobil selama tujuh jam. Padahal, kalau ia pergi dengan shinkansen, perjalanannya hanya 5 jam saja.

Inojin menatap gedung hotel bintang empat yang menjulang seakan akan hampir membelah langit malam. Sambil memandang sekitar, Inojin tak menyangka, Kyoto yang begitu melekat dengan sejarah, mempunyai gedung gedung yang merusak suasana sekitar.

"Tuan, lewat sini," panggil Ayame.

Bersama dengan Ayame, Inojin menuju kamar no 296 dengan lift.

"Ini kamar anda, Inojin-sama, bersama Sai-sama," kata Ayame yang tampak harus mengurusi hal lain.

Tanpa memikirkan Ayame, Inojin langsung masuk ke dalam kamar tanpa mengetuk terlebih dulu.

Kamar itu luas, cocok untuk sebuah kamar berbintang empat. Di dalamnya rapih sekali dan berbau khas parfum yang digunakan ayahnya. Hanya saja, di sebuah meja terdapat tumpukan berkas yang menggunung.

Ingat, ini bukan liburan, kata Inojin sambil menyampirkan jaket di gantungan. Inojin mengelilingi ruangan itu. Tak ada tanda tanda keberadaan ayahnya sama sekali.

Inojin berpikiran, mungkin ayahnya sedang pergi ke proyek dan pulang jam 11 malam sperti waktu Sai di Tokyo.

Inojin berjalan menuju sofa dan menyalakan tv untuk sekedar dijadikan adanya suara lain di ruangan yang begitu luas.

"Inojin, matikan televisinya kalau kau tidak mau menontonnya," kata sebuah suara di belakangnya.

Inojin menoleh dan mendapati Sai berdiri di belakangnya sedang mengeringkan rambut hitam legamnya dengan handuk.

Inojin berpikir betapa bodohnya dia. Seharusnya ia tahu kalau pintu kamar tidak terkunci pasti ada ayahnya di dalam kamar itu.

"Konbawa," sapa Inojin.

Sai mengangguk lalu berjalan menuju gantungan handuk." Bagaimana kabar ibumu?"

"Entah. Ibu tak berkata jujur tentang penyakitnya," kata Inojin santai, seakan akan tidak mempermasalahkan hal itu.

Sai terdiam sebentar lalu menuju tumpukan berkasnya dan menekurinya.

Ruangan itu hening kembali. Sampai Inojin menanyakan sesuatu," apa saja yang akan kulakukan di sini?."

"Kau boleh pergi jalan jalan bersama Ayame-san," jawab Sai tenang.

Inojin mengangkat pandangannya dari layar teleponnya." Apa ayah ikut?" tanyanya penuh harap.

"Sayangnya harus ada yang ayah kerjakan saat ini, Inojin," Sai mengangkat cangkir kopi dan meminum isinya perlahan lahan.

Inojin kembali murung." Aku tidur dulu," ia beranjak dari sofa lalu menuju kasur king size.

"Yah sebaiknya begitu. Kau pasti lelah," gumam Sai lalu kembali ke pekerjaannya.

Dari atas kasurnya, Inojin berharap memiliki sebuah kekuatan agar bisa membakar tumpukan berkas menjamur itu. Saat sedang berkelit dengan pikirannya, tanpa sadar Inojin menutup matanya.

Sai menatap putranya lalu kembali menghirup uap kopi pahitnya.

.

.

Inojin terbangun karena merasakan sengatan hangat dari sinar matahari. Saat ia melirik jam, rupanya jam sudah menunjukkan pukul 7 pagi. Benar benar perjalanan kemarin menguras tenaga Inojin.

Inojin bangun dari tempat tidur lalu merapihkannya. Ruangan ini masih menyisakan wangi aroma theraphy lavender yang mengingatkan Inojin pada ibunya. Beberapa detik kemudian, Inojin menghela nafas.

Apa ibu punya alasan untuk berbohong?

Setelah selesai dari kamar mandi, Inojin membuka jendela kamar itu agar udara segar masuk. Tidak ada lagi yang dapat Inojin rapihkan, karena tampaknya sebelum ayahnya pergi kerja ia sudah merapihkan seluruh bagian kamar itu.

Terdengar sebuah ketukan dari luar.

Inojin menoleh," masuk Ayame-chan."

Ayame masuk ke dalam kamar dengan langkah hati hati. Ia mendekati sosok berambut pirang yang sedang berdiri menghadap jendela.

"Ohayou," sapa Ayame ketika sudah tepat di belakang Inojin.

Inojin hanya mengangguk lalu membalikkan tubuhnya." Ayah mana, Ayame?" tanyanya sambil menatap ke balik punggung Ayame.

"Tuan sudah pergi ke proyeknya dari jam 6 tadi. Anda mau sarapan apa?" tanya Ayame mengalihkan pembicaraan.

Inojin menatap Ayame dengan jemu lalu mengatakan," oh, jadi ayah tidak bisa jalan jalan bersama ya?. Aku mau sarapan di luar saja. Aku kurang suka masakan hotel," kemudian ia berlalu menuju kamar mandi.

" Saya tunggu di lobby," Ayame membungkuk lalu menuju luar kamar.

Sambil menunggu dalam lift, Ayame menghembuskan nafasnya dengan perasaan bersalah. Dalam seminggu ini, ia sudah dua kali berbohong pada Inojin. Berbohong tentang pendapat ia akan ide dongeng Inojin dan tentang alasan kepergian Sai yang sebenarnya.

.

Flashback

"Ayame-san, pagi ini saya akan pulang ke Tokyo karena istri saya perlu dioperasi secepat mungkin. Tolong jaga Inojin, jangan sampai dia tahu kalau saya pulang ke Tokyo," kata pria pucat di hadapan Ayame.

Ayame terkejut mendengar berita itu," nyonya perlu dioperasi?. Apa luka kecelakaannya sampai separah itu?"

Sai mengangguk dengan wajah seriusnya." Ya"

Ayame menggigit bibirnya, sedih." Baiklah. Saya usahakan agar Inojin-sama tidak tahu. Tapi, tuan akan kembali kapan ke Kyoto?"

"Mungkin besok," Sai memberikan kartu kredit kepada Ayame." Jangan Inojin tahu kalau ibunya dioperasi," Sai menghela nafas sedih," selain mendapat luka pada kecelakaan, Ino juga sudah menderita penyakit yang perlu dioperasi."

Ayame hanya dapat mengangguk." Serahkan pada saya, tuan. Sampaikan salam saya pada nyonya. Semoga operasinya berjalan lancar."

Sai mengangguk lalu pamit dan pergi menaiki mobil menuju stasiun kereta shinkansen.

.

Inojin menatap Ayame lalu bertanya," apa yang kita lakukan setelah ini, Ayame?"

"Tuan mau pergi kemana?" Ayme balik bertanya sambil mengulurkan tisue pada Inojin." Bagaimana kalau kita jalan jalan," usul Ayame.

Inojin meraih tisue itu," jalan jalan?, boleh juga. Walaupun aku masih merasa tidak enak saja. Masak aku senang senang, ibu lagi sakit," katanya dengan nada menyesal." Emm, tapi boleh juga. Aku bakal lumutan nunggu ayah pulang kerja."

Ayame tersenyum terpaksa." Kita mau kemana dulu?"

"Sebentar," Inojin mengambil ponselnya lalu tampak mengetik sesuatu. Tak lama kemudian ia berkata dengan riang pada Ayame," bagaimana kalau ke Arashiyama, tidak teralu jauh kan dari sini."

Ayame mengangguk . Sebenarnya Inojin pernah ke Kyoto saat darmawisata sekolah. Tapi ia hanya mengunjungi istana menyusun jadwal jadwal untuk hari ini dibantu Ayame. Sesekali Ayame memberi usul.

" Ayame," panggil Inojin sambil mendongakkan wajahnya dari kertas berisi susunan jadwal.

" Ya?"

Inojin tersenyum lebar hingga matanya menyipit." Terima kasih ya, mau menemaniku," lalu ia mendengus." Beda sekali dengan ayah dan ibu."

Entah apa yang merasuki diri wanita berhati bagaikan kapas itu ketika mendengar keluhan tuan mudanya. Tanpa sadar, Ayame menatap Inojin dengan pandangan seakan akan Inojin berubah menjadi sosok iblis. Lalu ia menggenggam tangan kecil Inojin, yang tampak takut melihat dirinya sekarang.

"Dengar baik baik, anak muda," kata Ayame dengan nada mendesis." Ibumu mempertaruhkan nyawanya di rumah sakit sekarang, ayahmu jauh jauh pergi ke Tokyo hari ini. Sedangkan kau hanya bisa berkeluh kesah."

Ayame merasa udara di sekitarnya memanas sampai ia mendengar isakan seseorang.

Dengan tangan bergetar, Ayame melepaskan genggamannya." Ma...ma...maafkan saya."

Orang orang yang berada di restoran itu menatap kedua orang itu, lalu kembali ke kegiatan masing masing.

Sambil mengelap air matanya yang menggenang di pelupuk matanya, Inojin mengatakan sesuatu di sela sela isakan kecilnya." A...aku tahu semuanya. Aku tahu ibu akan dioperasi hari ini, walaupun aku tidak tahu kenapa ibuku dioperasi. Tentang ayah, aku juga ta..tahu."

Ayame merasakan rasa bersalah karena mengguncang diri Inojin.

Inojin melanjutkan," aku tidak tahu kenapa ibu sampai perlu menyembunyikan penyakitnya dari aku."

"Saya minta maaf."

Inojin mengabaikan kalimat yang meluncur dari mulut Ayame." Makanya, hari ini aku mau pergi ke tempat tempat untuk mendoakan ibu. Lagipula, ini permintaan ibu. Kalau aku tidak menirutinya, pasti ibu sedih."

Ayame terhenyak mendengarnya. Ketika ia mau mengatakan sesuatu, Inojin memotongnya dengan cepat," lalu, Ayame-chan.., mau kan menemaniku?"

" Tentu saja, Inojin- sama."

.

.

Tbc

.

.

A.n

Apa cuman Scarleet doang yang ngerasa bagian bawah udah mulai ambigu gimanaaa gituu. Ntar di chap berikutnya dijelasin gimana si Inojin tau tentang masalah itu.

Oh iya. Makasih ya buat reviewnya, dan para reader baik yang silent ridder

Ketemu di chap berikutnya, kalau masih ada umur yaaa

.

Omake

.

" Oh iya Ayame-chan, aku mau ganti ide dongengku. Setuju tidak?" tanya Inojin meminta pendapat Ayame, lalu menghabiskan milk shakenya.

"Ya. Menurut saya, lebih baik idenya yang sedikit berbeda saja," usul Ayame sambil menatap arlojinya." Ta..tapi itu terserah anda,"buru buru ia tambahkan kalimatnya.

Inojin tertawa." Baiklah. Kalau begitu bagaimana tentang pangeran yang pemalas."

"Pangeran yang pemalas?" ulang Ayame bingung.

Yap, dan menurut Inojin, Shikadai lah yqng cocok dijadikan pangeran itu

.