.

.

Sick Love Oh-MinMin

.

.

~...~

Salju mulai turun menyelimuti kota Konoha—meninggalkan kesan dingin yang sangat di tubuh. Terutama pada gadis kecil manis dengan surai indigo pendeknya. Ditambah dengan kehadiran seseorang yang sangat menakutkan baginya—membuatnya semakin erat mencengkram belakang mantel yang dikenakan sang ayah seraya bersembunyi dibalik tubuh besar sang ayah. Sementara pemuda didepannya yang mendapatkan perlakuan seperti itu hanya menatap tak percaya. Apakah wajahnya sangat mengerikan sehingga gadis itu benar-benar takut kepadanya?

"Hinata-chan... jangan seperti itu kepada tamu kita. Ayo, sini bersama kaa-san dan beri salam pada Itachi-nii dan Sasuke-nii."

Wanita Hyuuga itu berusaha membujuk sang anak agar keluar dari persembunyiannya dibalik sang ayah dan memberi isyarat bahwa gadis kecil itu tidak perlu takut pada kedua pemuda yang sedang mengunjungi kediaman mereka saat ini.

"Hei, otouto—wajahmu mungkin terlalu mengerikan sehingga Hinata-chan takut kepada kita~ kau benar-benar membuat masalah.." Dan perkataan Itachi barusan sukses dihadiahi tatapan membunuh dari Sasuke dan aura mencekam yang mengerikan—yang hal itu justru sukses juga membuat gadis kecil itu semakin takut.

Itachi yang merasa dirinya mendapatkan masalah dari adiknya yang berbeda usia lima tahun darinya segera mengalihkan pembicaraannya kepada gadis kecil didepannya yang masih senantiasa bersembunyi dibalik sang ayah tercinta.

"Ne~ Hinata-chan... apa kabar? Nii-chan sudah lama ingin bertemu denganmu." Ucap Itachi dengan senyuman meneduhkan bagi hati gadis kecil itu yang mampu membuat gadis kecil itu berani menatap Itachi dengan pandangan polosnya yang sangat menggemas di mata Itachi.

Dengan perlahan Itachi mengelus puncak kepala Hinata untuk mengambil hati gadis itu agar gadis kecil itu tidak perlu takut kepadanya beserta adiknya. Melihat Hinata yang mulai tidak takut kepadanya—Itachi mengisyaratkan kepada Sasuke untuk ikut bergabung bersamanya. Awalnya Sasuke malas dan ragu, namun ia turuti. Rasa kesal yang sebelumnya dari perlakuan Hinata masih membekas pada dirinya. Ia tahu, bahwa wajahnya seseram penyihir es yang akan membunuh orang dalam sekejap dengan tatapan tajamnya, tapi tidak begitu juga gadis kecil itu memperlakukannya seperti ini.

Berusaha mengenyahkan rasa kesal dan malas pada dirinya—Sasuke pun berjongkok di depan Hinata dengan menatap kedua mata gadis itu dalam. Semula Sasuke ingin menakut-nakuti gadis itu dengan tatapan tajamnya, namun ia urung kala gadis itu menyentuh pipi kirinya dengan tangan kanan gadis itu. Hanya sebentar—yang setelahnya gadis itu kembali bersembunyi dibalik tubuh besar sang ayah.

Sasuke yang saat itu berusia lima belas tahun dibuat cengo oleh sikap Hinata yang berusia lima tahun. Pasalnya gadis didepannya diam-diam melemparkan senyum manis kepadanya tanpa sepengetahuan yang lain yang kembali larut dalam perbincangan mereka perihal kepindahan mereka ke Sunagakure.

Yah—Hiashi yang merupakan orang kepercayaan Fugaku dipindah tugaskan ke kantor cabang perusahaan Uchiha yang ada di Sunagakure beserta Itachi untuk merintis kantor cabang mereka yang ada disana.

~...~

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Mobil hitam itu berhenti tepat di depan gerbang sekolah yang menjulang tinggi, yang kemudian disusul dengan turunnya seorang pria jangkung dengan surai hitamnya. Melihat hal itu, Tsunade—selaku kepala sekolah—lantas menghampiri pria tersebut dan mempersilahkannya masuk serta menggiringnya ke dalam aula.

Dalam perjalanannya—Sasuke dapat melihat Hinata yang sedang berdiri bersama para murid lainnya yang seangkatan dengan gadis itu di dalam aula. Setelahnya pria itu duduk di kursi yang telah disediakan untuknya, dan mengikuti acara pembukaan sampai selesai.

.

.

.

Setelah usai acara pembukaan—seluruh murid dan para tamu undangan berhamburan keluar menikmati acara masing-masing yang telah dipersembahkan dari beberapa murid kelas tiga dan stand-stand kecil yang dipersembahkan beberapa murid kelas dua dan kelas satu. Begitu juga dengan Sasuke—pria itu melangkahkan kedua kakinya untuk menghampiri gadis bersurai indigo itu yang kini tengah berada di belakang aula. Namun ia urung kala dirinya terjebak dengan siswi-siswi genit yang mengerubunginya. Walau begitu kedua matanya terus memperhatikan gerak-gerik gadis itu yang kini keberadaannya tidak lagi seorang diri seperti tadi.

Sedikit heran tentunya ia rasakan kala gadis itu mampu terlibat dalam obrolan ringan dengan seorang pria bersurai kuning yang ia ketahui menjabat sebagai guru bahasa Inggris dan wali kelasnya itu—mengingat gadis itu memiliki kelainan tersendiri terhadap laki-laki, menurutnya.

Ditambah dengan gadis itu yang mampu tertawa lepas dengan pria itu benar-benar suatu hal yang langkah. Satu hal yang dapat ia simpulkan—pria bersurai kuning itu berhasil mendapatkan hati gadis itu. Masalahnya disini adalah perasaan yang seperti apa yang telah ia ambil dari Hinata?

Dengan perlahan ia mengundur diri dari siswi-siswi itu yang tentu saja meninggalkan kekecewaan di hati para siswi itu yang masih ingin berlama-lama lebih dengan seorang pria Uchiha yang sangat tampan itu.

Tak perlu waktu lama, kedua kaki jenjangnya mampu menjangkau tempat keberadaan Hinata dengan cepat dengan senyuman tenang yang ia lemparkan pada Hinata setelah berhasil mengalihkan pandangan gadis itu dengan cara memanggil nama gadis itu.

"Naruto-Sensei, anda dipanggil kepala sekolah."

Dan—tak ada yang lebih ia senangi lagi ketika dirinya berhasil berduaan saja dengan Hinata tanpa ada satupun makhluk yang mengganggu mereka.

Tapi satu hal yang sangat ia tidak suka—reaksi itu. Lagi-lagi. Tak bisakah gadis itu bersikap normal terhadapnya seperti bersama pria bersurai kuning tadi barusan? Kesal tentu menyelubungi hati Uchiha muda itu yang kini berusia dua puluh tujuh tahun. Rasanya gadis itu benar-benar telah berlaku tidak adil dengannya.

Baiklah—Sasuke rasa ini sudah cukup, dan ia tidak ingin bermain kucing-kucingan seperti dulu lagi saat pertemuan pertama mereka. Ditambah dengan keberadaannya yang selalu diabaikan oleh Hinata. Jadi, lebih baik ia langsung saja ke intinya.

"Ikutlah denganku Hinata. Dan kuharap kau tidak melakukan penolakan terhadapku."

Yah—sedikit tekanan dalam kalimatnya dan senyuman yang ia tujukan pada gadis itu tidak apa-apa, bukan? Jika gadis itu mau menurutinya. Tentu ia lakukan.

.

.

.

.

.

.

.

.

~...~

Pemuda itu merasa kesal dan tidak suka kala mengetahui hanya kakaknya saja yang pergi ke Sunagakure bersama keluarga gadis itu. Ini benar-benar tidak adil. Pemuda itu baru saja menyukai gadis kecil manis itu dan kini gadis itu malah harus pergi dari kehidupannya? Oh—bahkan dia belum bisa mengajak gadis kecil itu untuk bermain-main bersamanya, seperti mengajaknya ke kediamannya, jalan-jalan ke taman, dan lain sebagainya.

Rasanya—Sasuke benar-benar frustasi berat.

"Ne~ otouto~ kenapa tampangmu mengerikan seperti itu? Kupikir sekarang kau benar-benar mirip penyihir es yang menakutkan~"

Dan lagi—hal yang paling menyebalkan adalah ketika kakaknya tahu kapan dan dimana waktu yang tepat untuk mempermainkan dan menggoda perasaannya. Sungguh ingin sekali rasanya ia mengubur kakaknya hidup-hidup ke dalam sumur yang dalam agar kakaknya tidak dapat menjahilinya lagi seperti ini. Tapi—rasa-rasanya itu tidak mungkin. Sasuke bukanlah seorang psikopat yang mengerikan seperti itu, walau tampangnya menjanjikan.

Maka, dengan perasaan berat nan enggan ia merelakan gadis itu untuk pergi yang tentunya tanpa sepengetahuan yang lainnya.

Yah—tanpa sepengetahuan yang lainnya, hanya ia dan Tuhan yang tahu. Apalagi kala gadis itu tersenyum manis kepadanya dibalik punggung sang ayah—benar-benar menggemaskan.

Hah—Hinata~ kau benar-benar membuat hati seorang Uchiha Sasuke uring-uringan.

~...~

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Hening—tak ada suara. Keduanya lebih memilih diam daripada berusaha bersusah payah untuk mencari topik pembicaraan yang menyenangkan. Toh—keduanya lebih nyaman seperti ini. Sasuke yang menikmati kebersamaannya bersama Hinata—pada akhirnya. Dan Hinata yang berusaha menebak-nebak jalan pikir pria didepannya yang sedang berjalan memunggunginya.

Yah—memunggunginya. Hinata terlalu takut berada dengan jarak terlalu dekat dengan pria Uchiha didepannya. Pasalnya ia benar-benar tidak mengenal pria itu dan lagi—ia tetap harus menjaga sikapnya terhadap pria itu, walau pria itu terkesan tipe pria pengintimidasi. Tapi—biarlah. Toh—pria Uchiha itu juga tidak berbuat jahat kepadanya. Hanya mengajaknya jalan-jalan mengitari seluruh pekarangan gedung sekolah—yang bahkan Hinata sendiri tidak begitu tahu tentang sekolahnya, walau ia sudah sebulan lebih berada di sekolah ini.

Tapi—ngomong-ngomong tentang sekolah—gadis itu jadi teringat akan sosok pria bersurai kuning yang kini tak terlihat oleh indra penglihatannya. Keberadaannya yang tanpa disisinya membuatnya merasakan kehampaan tersendiri di hatinya. Entah bagaimana—dirinya merindukan pria itu yang bahkan mereka belum ada satu jam untuk berpisah.

Bahkan ketika gadis itu mengitari taman belakang sekolah—sosok pria bersurai kuning itu seolah berada disana, dengan bekal yang biasa pria itu bawa. Tak lupa dirinya yang selalu mengawasi dan mengintai pria itu di balik pohon besar nan rindang disana.

Tapi—betapa cerobohnya dirimu Hinata yang dengan mudahnya melupakan keberadaan pria berdarah Uchiha itu yang mengakibatkanmu menubruk punggung lebarnya yang sukses membuatmu jantungan bukan main.

"A-a...m-maafkan aku U-uchiha-san!"

Wajah gadis itu pucat sekaligus keringat dingin. Ia takut pria itu akan memarahinya atau apalah itu—sampai-sampai gadis itu menutupkan kedua matanya erat dengan kedua tangannya yang ia katup dan ia remas dengan kuat.

Sasuke tidak mempedulikannya.

Pria itu terdiam cukup lama—hingga pada akhirnya pria itu berbalik dan menghadap pada gadis bersurai indigo yang awalnya berada dibelakangnya.

"Hinata—menikahlah denganku."

"Ee?!"

Hinata terdiam—atau lebih tepatnya bibirnya mendadak kaku. Kedua matanya bahkan membola dengan besar.

Gadis itu mencoba berpikir bahwa apa yang ia dengar salah—atau pria itu salah ngomong atau yang lainnya. Namun, itu semua ia tepis kala pria itu memeluknya dengan perlahan. Membawanya kedalam pelukan hangat pria itu. Dengan perlakuan yang sangat lembut yang seolah-olah dirinya sangat rapuh dan mudah pecah sewaktu-waktu. Dan dengan perlahan juga jantung gadis itu berdetak dengan cepat. Bukan karena takut—tapi sesuatu yang aneh yang menjalari seluruh tubuhnya. Bahkan wajahnya kini benar-benar memanas hingga kepalanya terasa berdenyut dengan kuat. Namun, entah kenapa itu semua terasa menyenangkan dan nyaman secara bersamaan. Hingga gadis itu memejamkan kedua matanya dan membiarkan pria itu memeluknya dengan lebih lama.

Oh—Hinata...apa yang sedang kau pikirkan?

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

~...~

Ini sudah tiga tahun lamanya—dan pemuda Uchiha itu masih tetap saja mengingat gadis kecilnya yang telah pergi bersama separoh jiwanya. Ouch—mungkin ini terlalu berlebihan, tapi—rasanya Uchiha bungsu itu seperti pedofil, saja?! Jangan salahkan Sasuke—salahkan saja Hinata yang seenaknya melemparkan senyum malu-malu kepadanya yang membuat jantungnya jungkir-balik bukan main. Dan itu menjadi malahpetaka buatnya. Gadis itu harus membayar semua perbuatannya! Tapi dengan apa coba, Sasuke~?

Kau malah melemparkan semua kesalahan pada gadis kecil nan lugu itu yang tidak tahu apa-apa akibat perasaanmu yang tak lazim itu. Tidakkah kau kasihan pada gadis itu?

"Kau ingin ke Suna?"

Itu suara sang ayah.

"Bukankah dua minggu lagi kau akan ujian akhir, Sasuke-kun?"

Itu suara sang ibu.

Pemuda Uchiha itu memijit ujung pangkal hidungnya untuk menghilangkan penat dikepalanya yang tak kunjung hilang—efek bayangan gadis kecil itu yang selalu menghantuinya dan pertanyaan beruntun dari kedua orang tuanya.

Menghela napas lelah tentu ia lakukan—berharap dapat menghilangkan beban berat yang tiba-tiba ia pikul.

"Aku—hanya ingin mencari udara segar, otousan, okaasan."

Akhirnya Sasuke dapat menjelaskan alasan perihal ia ingin pergi—walau sedikit tak logis, dan Sasuke tahu itu.

"Mencari udara segar?"

Bahkan Fugaku dan Mikoto pun tak mampu lepas untuk tidak membeo secara bersamaan akibat alasan Sasuke yang sungguh mengerikan dan jelek.

Jujur, pemuda itu tidak tahu lagi harus mencari alasan apa yang lebih logis—karena yang ada di pikirannya adalah segera ke Suna dan menemui gadis kecil itu yang sudah membuatnya tiga tahun suntuk dan uring-uringan.

Fugaku dan Mikoto saling menatap dan memandang—bertanya-tanya permasalahan apa yang sedang dimiliki sang anak, namun keduanya juga tak mendapatkan jawabannya. Yang alhasil keduanya mengizinkan pemuda itu untuk segera berangkat ke Suna di hari itu juga dengan kereta listrik ekspress.

Pemuda Uchiha itu senang bukan main kala dirinya akan segera menemui Hinatanya—gadis kecilnya. Dan menghilangkan rasa menyesakkan ini yang sudah bertahun-tahun lamanya ia pendam. Membayangkan hal apa saja yang akan ia lakukan bersama Hinatanya—membuatnya tersenyum-senyum dengan sendirinya.

Tapi—satu hal yang ia sesali.

Setibanya disana—Hinatanya tidak lagi mengenalnya. Gadis itu telah melupakannya bahkan mengabaikannya. Hal yang ia rutuki karena ia tidak bertindak lebih cepat hingga gadis itu tidak mengenalnya kembali, yang tentunya dengan pandangan takut gadis itu terhadapnya dan enggan berada dekat dengannya.

Sakit hati tentu pemuda itu rasakan.

Kekecewaan.

Dan kesedihan.

Dan pada akhirnya pemuda itu pulang dengan kehampaan dan kesakitan yang nyata.

Menghamburkan tubuhnya pada kasur besarnya. Yang setelahnya ia tertawa miris dengan diselingi air matanya yang mengalir dengan perlahan.

Tak adakah yang lebih menyedihkan dan memaluhkan dari ini?

Rasanya pemuda itu seperti pecundang.

Dan lagi—gadis itu benar-benar pandai memainkan perasaannya. Bahkan menjungkir-balikkan perasaannya seperti ini.

Saat itu juga—pemuda itu berusaha mulai melupakan gadis kecil itu dengan kesenangan yang ia buat sendiri. Apapun itu—yang terpenting bayangan akan gadis kecil itu menghilang darinya.

Berhasilkah?

Tidak.

Bahkan pemuda itu menyesalinya. Hingga tahun ke-empat kala percobaannya untuk melupakan gadis itu—ia benar-benar gagal total. Dan menyerah.

Yang pada akhirnya—ia kembali mengunjungi dan memerhatikan gadis itu secara diam-diam. Hingga gadis itu tumbuh sebagai gadis remaja yang sangat memikat hatinya.

~...~

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

"Hinata..."

Gadis itu tidak menjawab ataupun merespon seperti tadi karena ia tahu bahwa pria yang memeluknya ini tidak akan ada habisnya untuk menyebut-nyebut dan mengulang-ngulang namanya seperti ini.

"Hinata..."

"Hinata..."

Perlahan namun pasti. Gadis itu terbawa oleh arus yang sengaja sudah pria itu susun dengan apik. Terjerumus oleh cinta yang menyakitkan. Yang untuk kembali pun tidak akan bisa gadis itu lakukan.

"Akan kubuat kau menjadi milikku seutuhnya."

.

.

TBC.

.

.

A/N: *ngelirikkeatas*...! *garuk-garukkepala*..! entahlah min gk tahu harus ngomong apa untuk chap-2 ini. Tapi—terima kasih buat yang sudah mangkir—mampir—plus review...^^