.
.
Sick Love Oh-MinMin
.
.
Untuk kesekian kalinya pria itu menatap nanar pada gadis di depannya. Seolah tak ada kehidupan—gadis itu layaknya boneka manis yang terpampang apik di kursi rodanya yang menghadap pada jendela besar yang menghubungkannya langsung pada taman belakang di gedung besar tua itu.
Ini sudah terlampau lama—bahkan sangat, yang mampu membuat batinnya tertekan dengan hujaman rasa sakit yang tak dapat ia enyahkan. Segala cara sudah ia lakukan, namun hasilnya tetap nihil. Ia berusaha bersabar dan percaya bahwa gadisnya akan kembali seperti sedia kala dahulu, tapi kenyataan yang ia terima jauh dari harapan.
Bertekuk lutut pria itu lakukan. Ah—mungkin tidak...
Pria itu terlalu lelah. Dan ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan sekarang. Sekujur tubuhnya mulai mati rasa—seakan ikut terseret dalam dunia kehampaan gadis itu. Dengan menitiskan bulir-bulir air mata yang tidak pernah ia lakukan sebelumnya mengingat sifat arogan dan angkuhnya yang sangat melekat pada dirinya.
Kedua tangannya yang besar mulai menyentuh lembut tangan kiri gadis itu dengan menyandarkan keningnya yang diikuti isakan kecil yang bahkan hampir tak terdengar oleh telinga.
"Hinata..."
Dengan keadaan frustasi yang semakin meredamkan suara beratnya—
"Aku mohon... kembalilah..."
—Pria itu memohon yang kali ini dengan penyesalan yang sangat.
"Aku mohon, Hinata... maafkan aku..."
.
.
Ne, Sasuke-kun... bagaimana aku dapat menghilangkan rasa sakit ini setelah apa yang kau lakukan padaku?
.
.
.
.
.
.
.
.
~...~
Gadis itu mendongakkan kepalanya keatas—menatap pada awan gelap diatas sana dengan hujan deras yang mengguyur kota kelahirannya. Niatnya ingin berjalan-jalan sebentar setelah tiba di Konoha, tapi dipertengahan jalan gadis itu malah terjebak dengan derasnya hujan yang dengan perasaan enggan dan terpaksa gadis itu menepih di sebuah kedai minuman kecil.
Beberapa bagian rambutnya sedikit basah yang menghasilkan getaran kecil pada tubuhnya. Inginnya ia memasuki kedai itu dan membeli minuman panas yang tersaji disana—namun ia urung, mengingat para pelanggan di kedai tersebut kebanyakan dari kaum lelaki. Dan kebiasaan yang tak dapat ia hilangkan dari dulu sampai sekarang adalah ketakutan, jantungan, gagap ketika dirinya berhadapan langsung dengan seorang pria.
Berusaha untuk menghilangkan kebiasaan buruknya itu sudah ia lakukan, namun gagal. Yang alhasil ia menyerah untuk memaksakan dirinya berhadapan dengan lelaki. Terkecuali dengan ayahnya—tentunya, kakak sepupu laki-lakinya, Kiba dan Shino—teman sepermainannya selama ia di kota Sunagakure.
Hinata—gadis itu—mulai menggigit bibir bawahnya untuk menahan rasa dingin yang menusuk—efek terkena beberapa tetes hujan dan kondisi tubuhnya yang kurang baik beberapa hari ini. Ditambah dengan kepalanya yang mulai berdenyut kuat yang membuatnya semakin tidak tahan untuk berdiri terlalu lama.
Inginnya ia segera menerobos pasukan hujan yang mengguyur kota tersebut, namun ia urung—mengingat besok adalah hari pertama ia memasuki sekolah barunya di kota ini. Walau harus sebagai siswi pindahan di tahun terakhirnya di sekolah menengah atas.
Yah—semenjak kepergian ibunya beberapa bulan yang lalu, ayahnya memutuskan untuk pindah tugas ke kampung halaman mereka yang tentunya segera mendapatkan izin dari atasan sang ayahnya. Hinata beserta adik perempuan satu-satunya yang mendengar hal itu sedikit kaget sekaligus senang, karena dengan hal itu mereka dapat menghilangkan sedikit kenangan pahit yang mereka alami semenjak kepergian ibu mereka tercinta. Dan dengan itu, Hinata dan adiknya berharap banyak agar ayah mereka tidak terus-terusan terlarut dalam duka yang berkepanjangan. Walau mereka sendiri juga mengalami hal yang sama.
Awalnya Hinata berniat untuk tetap tinggal di Sunagakure selama ia menuntaskan tahun terakhirnya di sekolah menengah atas, tapi ia urung mengingat itu hanya akan semakin menjadi beban tanggungan bagi ayah beserta adiknya. Alhasil ia memilih untuk mengikuti rencana yang sudah disusun rapi nan apik oleh ayahnya.
"Terima kasih atas kunjungannya."
Hinata sedikit tersentak kala suara wanita sang penjaga kedai terdengar oleh telinganya dengan diikuti seorang pria jangkung yang keluar dari kedai tersebut dengan senyuman yang masih terpatri di wajah pria itu. Lantas Hinata sedikit menggeserkan tubuhnya kesamping kiri dengan harapan eksistensinya tidak diketahui oleh pria bersurai kuning disebelahnya.
"Ha~ Sepertinya akan memakan waktu yang lama..." pria itu bergumam dengan suara yang masih bisa dijangkau oleh telinga.
Hinata memilih diam dan berpura-pura untuk tidak mendengar ataupun tidak peduli dengan kegiatan pria disebelahnya. Walau begitu, hati kecilnya menyuruh untuk memperhatikan pria itu yang kini tengah menjulurkan tangannya ke depan dengan membiarkan hujan membasahi seluruh telapak tangan kanannya.
Namun, hal itu justru ia sesali kala pria itu memalingkan wajahnya dengan senyuman manis yang terpatri di wajah tampan pria itu.
"Ne~ nona muda, bukankah aku benar?"
Hinata memalingkan wajahnya ke kiri untuk menyembunyikan wajahnya yang mulai memerah karena menahan malu yang sangat.
Kepergok memandangi seorang pria bukanlah hal yang bagus!
"Hahaha..."
Laki-laki itu tertawa—yang bahkan tawanya mengundang jantung Hinata untuk bertalu-talu semakin kencang. Bukannya marah atau kesal dan sebagainya, gadis itu malah merasakan perasaan aneh yang tidak diketahuinya dengan pria asing disebelahnya.
"Ah—maaf! Aku tidak bermaksud mempermainkanmu!" pria bersurai kuning itu mulai panik kala disadarinya dirinya kini mulai bersikap lancang kepada gadis muda disebelahnya. Hinata sendiri memilih untuk tetap pada posisinya sebelumnya, berusaha untuk menghilangkan degup jantungnya yang aneh menurutnya.
Hening sesaat. Sebelum pria itu mengutarakan maksudnya—pria itu sedikit memijit tengkuknya.
"Ini."
Hinata melirik pada benda panjang yang kini terulur dihadapannya. Dengan perlahan Hinata memalingkan wajahnya pada pria bersurai kuning disebelahnya.
"Pakailah. Kau akan sakit jika menunggu disini terlalu lama."
Hinata hanya terdiam dengan waktu yang cukup lama. Yang tentunya dengan keadaan yang tidak ia mengerti.
Dengan pria bersurai kuning, dengan payungnya yang kini ia gunakan dan jaket birunya yang kini ia kenakan. Di bawah derasnya hujan yang mengguyuri kota ini.
.
.
.
.
.
.
.
...
..
.
.
..
...
.
.
.
.
.
.
.
.
Masih dalam keadaan yang sedikit tegang, gadis itu menunggu wanita bersurai kuning pucat didepannya yang sedang duduk dikursi kerjanya untuk intruksi lebih lanjut. Sementara itu, kedua tangannya sedari tadi terus memainkan ujung roknya dengan meremas-remas sedikit yang meninggalkan kerutan kusut yang kasat mata.
"Jadi, kau yang bernama Hyuuga Hinata?"
"Y-ya."
Dengan segera gadis itu memperbaiki posisinya kala wanita itu yang menjabat sebagai kepala sekolahnya mulai menatapnya lebih tajam.
"Baiklah. Naruto! Masuklah."
Kriieett~
Terdengar suara pintu di ruangan kepala sekolah itu terbuka dengan menampilkan sosok pria jangkung dengan surai kuningnya.
Tunggu! Surai kuning~?!
"Mulai hari ini Hyuuga Hinata akan menjadi muridmu di dalam kelasmu sekarang. Hyuuga-san, ini adalah wali kelasmu Uzumaki Naruto."
"Baik." Balas pria itu dengan mantap.
Hinata melirik pada pria disebelah kanannya dengan pandangan tak percaya atas apa yang tengah ia alami kini.
"Ne~ yoroshiku, Hyuuga-san."
Dan gadis itu benar-benar harus menjaga jarak dari eksistensi pria disebelahnya jika ia tidak ingin mengalami serangan jantung mendadak. Apalagi dengan senyuman meneduhkan pria itu yang mampu melemahkan hatinya.
.
.
.
.
...
..
.
~.~
.
..
...
.
.
.
.
Pria paruh baya itu menghentikan kegiatannya sejenak kala dirinya menemukan sebuah kotak persegi panjang yang tersimpan dalam tumpukan barang-barang bawaannya dari Sunagakure. Beberapa bagiannya sudah diselimuti oleh debu-debu tipis yang membuatnya secara refleks membersihkannya dengan pelan seolah barang itu rapuh yang mudah pecah. Tutupnya yang dilapisi oleh pita berwarna merah muda itu ia buka perlahan dengan menampilkan sebuah buku catatan berukuran sedang yang cukup tebal.
Kembali hati pria paruh baya itu berlabu dalam kenangan masa lalu yang penuh dengan cerita manis nan indah. Walau tak semulus yang dibayangkan, namun mereka mampu melewatinya bersama-sama hingga maut memisahkan mereka.
Hadiah pertama yang ia berikan kala ingin melamar sang istri. Itu tepatnya saat kelulusan perguruan tingginya ditambah lamarannya yang diterima disebuah perusahaan ternama yang sampai sekarang masih ia tekuni pekerjaannya.
Pria itu bukanlah seorang pria dengan tipe romantis atau apapun segala jenisnya yang mampu meluluhkan hati setiap wanita. Ia adalah seorang pria dengan tipe kaku yang sangat. Ayahnya saja sampai menggelengkan kepala mengingat sifat kaku mereka menjadi turun-temurun.
Dengan bermodalkan keberanian dan tekad, pria itu berpikir keras—cara apa yang pantas ia lakukan untuk melamar gadis pujaannya semasa di bangku perkuliahannya. Seorang gadis terhormat yang sangat baik hati yang mampu meluluhkan hati dinginnya yang sedingin es. Alhasil, satu cara sederhana terpintas oleh pria itu. Yang keesokan harinya segera pria itu lakukan—
Dengan modal meminta tolong kepada temannya untuk menyampaikan hadiahnya kepada gadis pujaannya yang didalamnya sudah terdapat satu buku catatan beserta pena dan syal berwarna merah. Tak lupa sepucuk surat yang mampu meluluhkan sang gadis pujaan.
.
.
Setiap hati manusia bagaikan sebuah kapal yang berlayar di lautan bebas. Dengan petunjuk kompas kemana rute yang akan mereka ambil untuk tempat berlabuh kapal mereka masing-masing.
Setiap harinya punya ceritanya tersendiri.
Seperti buku catatan yang kosong ini—sang kapal belum mendapatkan rutenya untuk mencapai pelabuhannya untuk tempatnya berlabuh. Ia masih menunggu sang kompas untuk memberinya petunjuk ataupun jawaban atas pertanyaan sulitnya ini.
Seperti kata para petuah dulu bahwa, seorang laki-laki tidak akan benar-benar sukses tanpa seorang wanita yang mendampinginya di sisinya.
Yang akan menemani hari-hari barunya yang penuh warna. Baik itu senang maupun susah.
Kini kapal itu sedang menunggu jawaban sang kompas di tengah lautan bebas yang membatasi pandangannya untuk menuju tempat berlabuhnya. Maukah kompas itu segera menunjukkan jawabannya agar kapal itu dapat berlabuh dengan segera?
.
.
Tak ada yang romantis dengan kalimat kakunya—menurutnya. Namun itu justru mampu memenangkan hati gadis itu yang segera menghampiri dirinya ditengah keramaian khalayak di area universitasnya.
"Otou-san?"
Segera pria paruh baya itu memperbaiki raut wajahnya yang sedih dan letih digantikan dengan senyuman yang meneduhkan kepada sang putri sulung tercintanya.
"Otou-san baik-baik saja?"
"Ya." Pria itu menjawab seadanya dengan senyum teduh yang masih terpatri.
Hinata tidaklah bodoh—yang sampai-sampai tidak menyadari keadaan sang ayah.
Ia tahu bahwa jauh didalamnya sang ayah kembali berduka dengan berbagai kenangan sang ayah bersama ibu mereka. Namun, Hinata tidak tahu harus melakukan apa agar sang ayah tidak terlarut dalam duka yang tak berujung ini.
"Bagaimana dengan sekolah barumu? Kau menikmatinya?" pria paruh baya itu mencoba mengalihkan pembicaraannya yang tanpa disadari oleh gadis itu. Karena nyatanya gadis itu terlarut dalam suasana cerita di sekolah barunya.
Tak disangkanya bahwa teman-teman di sekolah barunya benar-benar sangat ramah dan baik terhadapnya. Yang bahkan tak pernah ia dapat ketika berada di sekolah lamanya ketika ia masih di kota Sunagakure. Bahkan ia sangat bersemangat kala menceritakan sekolah barunya yang tentunya hal itu dapat menenangkan hati sang ayah. Tak dapat dipungkiri bahwa wajah dan sifat yang dimiliki Hinata benar-benar mirip dengan mendiang ibunya. Benar-benar mirip.
Pria itu jadi merindukan istrinya untuk kesekian kalinya yang tentunya dengan senyuman teduh di wajahnya.
.
.
.
.
.
.
#..#
.
.
.
.
.
.
Jam pelajaran sekolah telah usai. Seluruh murid bersorak ria kala bel berbunyi nyaring di segala penjuru sekolah. Sementara itu, Hinata bergegas merapikan barang-barangnya ke dalam tasnya untuk segera pulang—menyusuli teman-temannya yang sudah berhamburan keluar terlebih dahulu beberapa menit yang lalu.
Ia tadi sengaja berlama-lama di sekolahnya untuk menikmati angin musim semi di kelasnya, yang kebetulan bangku yang ia tempati berada paling ujung dan paling belakang dekat jendela, yang dengan leluasa ia dapat menikmati angin musim semi yang menyejukkan di kelasnya.
Tenten dan Ino—kedua teman barunya—sempat bersikeras untuk menunggunya dan berniat untuk pulang bersama, namun Hinata tolak dengan halus karena tidak ingin membuat temannya menunggu dirinya yang mungkin akan menghabiskan waktu yang lama. Dengan wajah memelas dan memohon tentunya—yang pada akhirnya Hinata memenangkan perdebatan kecil yang mereka lakukan.
"Hyuuga-san?!"
Hinata sedikit terlonjak kaget kala mendengar suara baritone laki-laki dari belakang punggungnya yang membuatnya dengan segera memutar tubuhnya menghadap laki-laki yang memanggil namanya dengan beberapa jarak yang dibuatnya. Wajahnya pucat pasih dengan kedua mata yang ketakutan memandang lelaki didepannya.
Pria itu yang melihatnya lantas tertawa pelan melihat reaksi muridnya yang sedikit berbeda dari murid-muridnya yang lain.
"Ah, maaf, jika Sensei mengagetkanmu~" ucap pria itu dengan mengibaskan tangannya beberapa kali pertanda bahwa gadis itu tak perlu takut dengannya.
"Baiklah, Sensei kembali ke kantor dulu. Sensei hanya ingin bertanya tadi kenapa kau belum pulang? Ah—bagaimana perasaanmu setelah sebulan berada di sekolah dan kelas barumu? Kau menyukainya?"
Hinata terdiam seribu bahasa. Tak seharusnya ia berperilaku buruk seperti ini. Tetapi, ini juga bukan kemauannya sendiri dengan refleks yang begitu berlebihan jika berhadapan dengan laki-laki manapun. Terutama dengan pria didepannya. Yang sewaktu-waktu dapat menghentikan degup jantungnya yang selalu tak normal kala berhadapan langsung dengan pria yang menjabat sebagai guru wali kelasnya ini.
Tapi, ini sudah terlalu lama Hinata!
Gadis itu sendiri juga tidak ingin terus-terusan terjebak dalam keaadan seperti ini sampai ia menamatkan bangku sekolahnya disini.
Maka, dengan tekad yang kuat dan kepalan kedua tangan yang kuat. Gadis itu menghirup napas dalam-dalam—bermaksud untuk menjawab pertanyaan Senseinya tentang perasaannya terhadap sekolah barunya. Yang bahkan itu adalah suatu hal yang mudah dilakukan—tapi ntah kenapa terasa sulit dilakukan untuk seorang Hyuuga Hinata.
PUK!
Namun, niatnya terhenti kala pria itu menepuk pelan puncak kepalanya.
"?!"
"Kau tidak perlu memaksanya, Hyuuga-san. Jika kau perlu bantuan, Sensei akan siap membantumu."
Dan setelahnya pria itu pergi meninggalkan gadis itu sendirian di dalam kelas yang sunyi. Tak hanya itu, pria itu juga telah meninggalkan bekas telapak tangan besar yang hangat di puncak kepalanya yang menghasilkan getaran aneh di hatinya serta gelitikan aneh di perutnya. Sore itu tak ada seorangpun yang tahu, bahwa gadis itu memiliki perasaan yang aneh pada pria bersurai kuning yang menjabat sebagai gurunya—walau gadis itu sendiri tidak mengetahui arti perasaan aneh yang menjalar di seluruh tubuhnya.
Dan—untuk waktu yang telah lama terbuang, akhirnya gadis itu kembali tersenyum. Hanya senyuman kecil yang menggambarkan perasaannya saat ini dengan sekolah barunya beserta Sensei bersurai kuningnya.
"Na-ru-to-sensei..."
.
.
.
.
.
.
~,~
.
.
.
.
.
.
.
.
Gerbang besar itu terbuka—yang mempersilahkan sang mobil hitam mengkilap itu untuk memasuki pekarangan bangunan besar yang sudah terlihat tua, namun tetap elegan secara bersamaan. Salah satu penjaga di rumah itu membukakan pintu belakang mobil yang mempersilahkan sang tuannya untuk turun dari mobil pribadinya. Beberapa pelayan lainnya segera menghampiri sang pria tersebut untuk membawakan beberapa barang bawaan pria itu yang dapat dibilang cukup banyak. Sementara pria bersurai orange yang sedari tadi sudah menunggu kedatangan sang pemilik rumah memilih untuk melakukan tugas sehari-harinya seperti biasa—yakni melaporkan perkembangan perusahaannya selama beberapa bulan dirinya tidak berada di Konoha serta perkembangan kegiataan di rumahnya. Walau ia sendiri juga tahu bahwa tak ada kegiatan yang istimewa dirumahnya—mengingat hari demi hari selalu sama. Namun, tetap harus ia ketahui untuk melangsungkan kenyamanan tempat ia untuk tinggal.
"Beberapa hari yang lalu perusahaan Nara telah menanamkan saham kepada kita untuk bahan-bahan di pabrik kita yang sangat membantu dalam meningkatkan jumlah pemasaran kita. Ditambah dengan kegiatan pemasaran yang sangat bagus yang dilakukan oleh Hyuuga Hiashi di perusahaan kita."
"Hyuuga Hiashi?"
"Ya, benar. Seorang karyawan pindah tugas dari Sunagakure ke Konoha. Awalnya dia juga seorang karyawan dari Konohan beberapa tahun yang lalu."
Pria itu tampak berpikir sejenak dalam perjalanannya menuju kamar pribadinya.
"Hn. Lanjutkan."
Kemudian pria disebelahnya terus memberitahukan laporan yang ia tulis selama kepergian sang tuannya sampai keduanya berada di depan kamar pribadi milik pria bersurai hitam yang memiliki perusahaan elektrik yang dikelolanya atas bantuan sang ayah tentunya yang lebih berpengalaman darinya.
TAP!
"Itu saja laporan dari saya, Uchiha-sama. Dan ini, surat undangan untuk anda dari kepala sekolah Sanogakuen. Empat hari kedepan mereka akan mengadakan festival Hanami."
"Hanami?"
"Ya. Kepala sekolah Tsunade-sama mengatakan bahwa tak ada salahnya sesekali merayakan Hanami di sekolah, yang tentunya dengan kehadiran anda Uchiha-sama."
Pria bersurai hitam itu mengangguk, yang setelahnya diikuti oleh kepergian pria bersurai orange itu.
Sasuke—pria bersurai hitam itu—berpikir sejenak untuk perkataan asisten pribadinya beberapa waktu yang lalu. Nama Hyuuga Hiashi benar-benar menggelitiki rasa penasarannya. Apalagi itu menyangkut dengan gadis bersurai indigo yang sangat ia rindukan kedatangannya.
"Hinata..."
Mungkin, beberapa hari kedepan ia harus meluangkan waktunya untuk menemui gadis itu.
.
.
~.~
.
.
Sementara itu, gadis bersurai indigo itu tak henti-hentinya tersenyum dengan hasil tulisan tangannya di buku tulisnya yang sesekali akan ia peluk dengan wajah yang bersemu merah. Kedua kakinya terus ia main-mainkan di kasur kecilnya yang membuat seprai kasurnya kusut akibat ulahnya.
Apalagi kalau bukan penyebabnya guru bersurai kuningnya yang selalu ia ikuti akhir-akhir ini. Kemanapun pria itu berada—jika tidak ada pelajaran—gadis itu pasti akan mengikutinya dan mengamati dari tempat yang sekiranya tidak akan diketahui oleh pria itu. Jujur, jantungnya selalu berdegup dengan kencang dengan wajah yang memerah panas. Tapi ntah kenapa ia menyukainya. Karena segala hal dari pria itu mampu menenangkan hatinya. Walau berada di dekat pria itu mampu membuatnya terkena serangan jantung mendadak, tetapi mengamati dan memperhatikan pria itu dari jauh benar-benar suatu pekerjaan yang menyenangkan tersendiri baginya.
Keinginannya adalah untuk menggapai punggung yang tegap itu yang terkadang menyimpan kerapuan tersendiri—menurut Hinata.
"Na-ru-to-sen-sei..."
Gadis itu memejamkan kedua matanya dengan mendekap buku tulisnya yang berisi banyak akan nama pria bersurai kuning itu—kemudian mendekapnya erat, dan ikut terlarut dalam tidurnya yang nyenyak.
.
.
.
.
.
.
.
.
#.#
.
.
.
.
.
.
.
.
Hari yang ditunggu telah tiba—festival Hanami. Beberapa dari sekolah lain juga diundang untuk menyukseskan kelangsungan acara. Dengan membuka beberapa stand kecil yang dilakukan pada setiap kelas masing-masing. Anak tingkat akhir tidak ikut membuka stand mengingat merekalah tim sukses yang akan menjalankan acara ini sekaligus para pelanggan yang akan menikmati stand yang diadakan para junior mereka. Yang tentunya gadis bersurai indigo itu ikut andil.
Acara pertama adalah kata penyambutan dari kepala sekolah, kemudian dilanjuti dengan kata penyambutan dari penyumbang dana terbesar di sekolah Sanogakuen—yakni seorang pengusaha muda Uchiha. Tak ayal banyak para siswi yang ingin berjabat tangan ataupun mengambil foto bersama dengan pria berdarah Uchiha itu. Yang tentunya pria itu persilahkan untuk tetap menjaga wibawa dan tata kramanya kala acara utama telah usai.
"Wah...Wah... para gadis-gadis itu benar-benar bersemangat sekali."
Hinata terdiam kala mendengar suara yang sangat familiar di telinganya. Jantungnya mulai berdegup kencang kembali kala eksistensi pria bersurai kuning itu berada disebelahnya. Bernapaspun sedikit sulit ia lakukan.
"Bukankah aku tak kala tampannya dengan pria Uchiha itu?"
Dan satu kalimat itu benar-benar mampu membuat gadis itu tertawa pelan. Naruto yang melihatnya benar-benar cemberut sampai-sampai ia mengerucutkan bibirnya kedepan.
"Kau mulai menertawakan aku, Hyuuga-san. Apakah aku tidak pantas untuk setampan itu~"
Hinata sedikit panik, namun tawanya masih tak kunjung reda. Ada sedikit rasa penyesalan di hatinya karena telah membuat pria itu kesal.
"A-ah—tidak Sensei. Aku tidak bermaksud seperti itu—"
"Lalu apa? Lihatlah kau menertawakan aku seperti itu." Pria itu berucap dengan memicingkan matanya menghadap ke arah gadis disampingnya.
"A-ah—bukan begitu Sensei. A-aku hanya heran saja..."
"Heran?"
"Y-ya. Heran. Kenapa Sensei musti berkata seperti itu. Padahal Sensei lebih tampan dari laki-laki manapun, dan aku menyukai itu."
Eh?! Ini pernyataankah?!
Naruto terdiam. Apalagi Hinata.
Keduanya benar-benar tidak tahu harus melakukan apa.
Wajah gadis itu benar-benar sudah memerah seperti tomat. Sementara wajah pria bersurai kuning itu tak kalah samanya dengan gadis itu. Ia sendiri juga bingung, kenapa merasakan hal yang tak seharusnya terhadap siswinya sendiri. Jujur, ia juga merasakan nyaman ketika berada dekat dengan siswi bersurai indigo ini, apalagi kala siswi itu selalu mengikutinya kemanapun ia melangkah. Bohong jika Naruto tidak mengetahui Hinata yang selalu mengekorinya.
Tapi—ini tidak boleh. Guru dan murid tak seharusnya—
"S-sensei... a-aku..."
"Hinata."
"?!"
Itu bukan suara Naruto—melainkan seseorang yang kini menghampiri keduanya yang sedang berada di belakang aula. Hinata menolehkan wajahnya, begitu juga dengan Naruto. Menatap seorang pria Uchiha dengan kebingungan yang kentara.
"Naruto-Sensei, anda dipanggil kepala sekolah."
"Ah—ya. Aku permisi dulu Uchiha-san, Hyuuga-san."
Dan pria Uchiha itu pun akhirnya dapat berdua dengan leluasa dengan gadis Hyuuga didepannya.
Sasuke tahu bahwa gadis itu benar-benar dalam keadaan takut yang kentara. Terlihat dari wajahnya yang sedikit pucat serta jarak yang terbentang luas diantara mereka. Keadaan seperti ini lagi-lagi terulang kembali. Tapi bukan Uchiha namanya jika ia tidak dapat mengatur emosinya dengan baik. Apalagi hatinya sangat kesal kala mengetahui gadis didepannya dapat berbicara dengan leluasa dengan pria bersurai kuning tadi. Sasuke sudah menyadari keberadaan Hinata di sekolah ini empat hari yang lalu kala Juugo—asistennya—mengatakan bahwa Hyuuga Hiashi kembali ke Konoha dan pindah tugas ke kantor pusat di perusahaannya, yang dengan segera pria itu menyelidiki dimana gadis itu sekarang bersekolah.
Baiklah—pria itu tidak ingin bermain kucing-kucingan seperti dulu lagi saat pertemuan pertama mereka. Mungkin, kesabarannya sudah cukup untuk waktu yang selama ini, jadi lebih baik ia langsung saja ke intinya.
"Ikutlah denganku Hinata. Dan kuharap kau tidak melakukan penolakan terhadapku."
Bibir Hinata keluh. Kedua matanya membola, wajahnya memucat. Keringat dingin mulai membasahi pelipisnya.
Ia tidak tahu pria Uchiha didepannya—tapi kenapa pria ini mengetahuinya? Dan lagi, kenapa pria Uchiha didepannya ini mengintimidasinya seperti ini? Apa salahnya?
Sementara itu Sasuke hanya tersenyum lembut dengan menyimpan teror yang sangat kepada Hinata dibalik senyum palsunya itu.
.
.
.
TBC.
.
.
.
A/N : Kembali saya dengan fanfic yang tak kala gajenya kali ini dengan tema pasaran dan ide pasaran. Kepada para readers yang telah mengunjungi fic ini, saya ucapkan—Terima kasih. ^^