Naruto - Masashi Kishimoto

Undeniable Fate - Kei Dysis

Inspired by Rose and Bullet (Bloody Love) - Kayoru

.

AU, OOC, Typo, etc.

.

[NejiKarin - Side Story I]

.

09/05/2016

Happy reading!

-:-

Ada kilau keterkejutan yang lamat-lamat berkilat di mata Uzumaki Karin, ketika mendapati seorang pemuda bersurai panjang berdiri di depan gerbang rumahnya. Dibalasnya pandangan tajam pemuda itu dengan tatapan datar. Tanpa berkata apa-apa, Karin berjalan menjauhi pintu rumah bersamaan dengan langkah seorang pemuda lain.

"Kalau begitu aku pulang dulu, Karin," ucap laki-laki berambut pendek itu setelah berdeham kaku, tenggorokannya berubah kering akibat aura tidak menyenangkan yang mendadak muncul di sekitarnya. "Sampai jumpa di sekolah Senin nanti."

Karin hanya mengangguk kecil.

Sejenak, Hyuuga Neji melayangkan pandangan tajamnya ke pemuda yang telah melangkah pergi itu. Lalu kembali fokus matanya jatuh pada sosok Karin. "Siapa?" tanya Neji tanpa intonasi setelah melangkah melewati gerbang rumah gadis berkacamata itu.

"Teman sekelasku," Karin menjawab singkat, sementara ia mulai berjalan memasuki rumah, diikuti oleh Neji di belakangnya.

Lipatan kecil muncul di kening Neji, saat akhirnya menyadari garasi di samping rumah Karin ternyata kosong. "Di mana Paman dan Bibi?"

"Sedang ke luar kota." Karin mengedikkan bahu sekilas. "Ada undangan yang harus mereka hadiri."

Dan tadi kau hanya berdua dengan laki-laki sialan itu di sini.

Neji tidak bisa mencegah pikiran itu muncul di benaknya. Ini pertama kalinya Neji melihat ada pemuda lain yang datang ke rumah Karin. Tanpa sadar kepalan tangannya mengerat. Ketika sampai di ruang tamu, Neji kemudian mendapati di atas meja tampak berserakan beberapa buku dan laptop, juga ada nampan yang berisi dua gelas kosong dan beberapa kue kering di piring kaca.

"Itu oleh-oleh untukku?" Karin bertanya datar sambil mengedikkan dagu ke arah sebuah paper bag besar yang dijinjing oleh Neji.

Neji mendengus. "Dan juga untuk orangtuamu."

"Yeah, yeah. Terima kasih," gumam Karin malas-malasan. Diterimanya paper bag itu, lalu membawanya ke dapur.

Dengan kening berkerut samar, Neji menjatuhkan dirinya di atas sofa. Kedua tangannya terlipat di depan dada. "Kapan orangtuamu pulang?" Neji akhirnya bertanya saat Karin kembali ke ruang tamu, dengan membawa segelas minuman untuknya. "Ada salam dari orangtuaku untukmu dan mereka."

"Mereka bilang besok pagi, tapi karena besok hari Minggu, jadi aku lebih yakin besok siang atau sore mereka baru akan pulang." Karin menggeleng-geleng heran. Tangannya mulai sibuk membereskan meja.

Neji menahan seringai, paham benar maksud perkataan Karin itu. "Hinata akan menginap di sini kalau begitu."

"Mmm. Juga Shion. Dia tadi sudah menculik Hinata dari rumahku untuk mengajaknya pergi membeli makanan dan kaset film."

Neji menyesap minumannya, sebelum kemudian bibirnya kembali bersuara, "Dan kenapa kau tidak ikut? Kau biasanya tidak mau jauh-jauh dari Hinata."

"Kau tidak melihat ini?" Karin balik bertanya dengan nada sinis. Satu tangannya bertolak di pinggang, sedangkan tangan yang lain menunjukkan laptop dan buku-bukunya yang kini sudah tertata rapi di atas meja.

"Ah, sejak kapan kau lebih mementingkan orang lain daripada Hinata?" Neji mengangkat alis. Mata bulannya bersinar dingin. "Jadi laki-laki itu lebih penting. Begitu, hmm? Kau jadi tidak terlihat seperti Uzumaki Karin yang kukenal sepuluh tahun yang lalu, yang suka mengajakku saling berebut perhatian Hinata. Kau sudah tidak mengganggap Hinata sebagai adikmu lagi?"

"Oh, astaga! Hinata pergi dengan Shion, bukan dengan orang asing yang tidak kukenal. Dan ada tugas kelompok sialan yang harus segera kuselesaikan dengan temanku itu, supaya aku tidak perlu memikirkannya dan mengganggu hari liburku," tak bisa menahan diri, Karin pun memuntahkan emosinya dalam bentuk teriakan kesal. "Ada apa sebenarnya denganmu, huh?"

Tertegun, Neji sejenak hanya bisa membisu kaku. Rahangnya mengatup kuat. "Aku hanya bertanya," desisnya seraya bangkit berdiri. "Kalau begitu aku pulang. Masih ada tugas kuliah yang harus kukerjakan."

Nyala api di sepasang mata rubi Karin mengikuti sosok Neji yang mulai bergerak menuju pintu rumah, melangkah pulang dengan memunggungi Karin, tanpa menunggu sahutan dari perempuan itu. Setelah berhasil menarik napas panjang, Karin lantas mendudukkan diri di atas sofa.

Ponsel Karin tiba-tiba bergetar, beriringan dengan lantunan nada dering yang memekik pelan. Diraihnya benda itu, lalu menerima panggilan yang masuk. "Halo, Hinata. Di mana kalian sekarang? Kenapa belum pulang juga?"

"Maaf. Aku dan Shion sekarang sedang mampir di toko buku, dekat tempat kami membeli kaset film. Jadi, yeah, kau mengerti kan, Karin? Kemungkinan kami akan pulang lebih lama. Dan bagaimana dengan tugasmu? Sudah selesai?"

Karin mendesah pendek. "Sudah. Jangan saja kalian terlalu lama di sana, dan tetaplah berhati-hati, Hinata."

"Beberapa bulan lagi aku berumur 16 tahun, Karin. Jadi tidak usah terlalu khawatir."

Senyum Karin tertahan di bibir, bisa membayangkan kini Hinata tengah merengut. "Baiklah, baiklah. Oh ya, kau tahu kalau Neji sudah kembali?"

"Apa? Bukannya dia baru pulang besok?"

"Dia baru saja mampir ke rumahku. Dan—" Karin kontan membisu, ketika dirasakannya pusing tiba-tiba menyerang kepalanya. Mendadak bernapas pun menjadi sesuatu yang sulit dilakukan. Mulai terengah-engah, Karin merebahkan kepalanya di punggung sofa sambil mengumpat lirih, "Sial!"

"Karin, ada apa? Kau baik-baik saja?"

Mata Karin terpejam rapat. "Aku baik-baik saja," jawab Karin, di antara deru napasnya yang semakin melemah. "Hanya saja …. Kurasa …. Kurasa—"

Karin tak sanggup melanjutkan perkataannya. Suara pintu terbuka menarik perhatian Karin, membuat sepasang mata merah delimanya sontak kembali menatap dunia. Punggungnya menegak waspada.

Dan … gelombang keterkejutan menerjang total keseluruhan diri Karin. Tubuh membeku nyalang. Lidah mengelu tegang.

Neji berdiri di hadapan Karin. Menatap gadis itu dengan sorot intens sekaligus tajam dari ambang pintu.

"Halo, Karin. Ada apa sebenarnya? Hei! Jawab aku!"

"Katakan alasan kau kemari bukan seperti yang ada di pikiranku sekarang," geram Karin dengan rahang terkatup kaku, tanpa sadar mengabaikan suara cemas Hinata. Pendar api kekesalan dan ketidakpercayaan membara di kedua mata merahnya. Gemetar kecil lamat-lamat tampak mulai menjamah tubuh Karin.

Neji tidak menyahut, hanya menutup pintu rumah Karin, sebelum kemudian melangkah mendekati gadis itu. Disambarnya ponsel Karin, lalu melihat ID di layar benda tersebut. "Halo, Hinata."

"Neji-nii? Hei, ada apa dengan Karin? Dia baik-baik saja, kan?"

"Tidak usah khawatir," sahut Neji dengan suara tenang. Pandangan netranya masih menyorot tajam ke manik mata Karin. "Karin tidak apa-apa. Hanya akan berubah menjadi Fempire-ku. Jadi kurasa kau dan Shion harus menunda acara menginap kalian malam ini di rumah Karin. Dan tetaplah jaga dirimu baik-baik, Hinata. Sampai nanti."

Klik. Neji mematikan hubungan telepon, lalu meletakkan ponsel Karin di atas meja.

"Fempire-mu?" Karin mendengus kasar, selagi rasa mual mulai menguasai mulut dan tenggorokannya. "Aku tidak sudi meminum darah sialanmu itu."

"Begitu?" Alis Neji terangkat dingin. Satu sudut bibirnya melekuk sinis. "Kau ingin kita mati?"

"Kau—" Baru saja Karin hendak membalas perkataan Neji, pemuda itu sudah terlebih dahulu menyerangnya, merebahkannya di sofa, dan nyaris menindihnya. Sepuluh jemari Neji mencengkeram pergelangan tangan Karin di kedua sisi kepala gadis berambut merah itu.

Netra Karin membulat kaget. Terlalu terperangah oleh posisi intim pertamanya dengan Neji. Sial! Sial! Sial! Karin pun hanya bisa mengumpat dalam hati, sementara berusaha menahan napas, berusaha tidak tergoda oleh aroma harum yang menguar begitu kuat dari leher Neji.

"Tapi, perlu kuingatkan, Uzumaki Karin," Neji kemudian berbisik dengan suara sedingin lapisan es, "kalau kita berdua mati begitu saja, akan ada orang-orang yang sedih, termasuk … Hinata. Kau mau itu terjadi, hmm? Lagi?"

"Sial!" Karin kembali mengumpat, kali ini sepenuhnya mengeluarkan suara garangnya. "Aku membencimu, Hyuuga Neji!" desis Karin kesal sembari mendorong kuat Neji hingga pemuda itu duduk di atas sofa. Dengan gerakan cepat Karin beringsut, melempar kacamatanya ke meja, lalu mengubah posisinya menjadi duduk di pangkuan Neji. Karin pun membuka mulutnya, segera menancapkan taringnya yang telah tumbuh ke leher Neji.

Darah Neji seketika menyentuh indra pengecap Karin, mengaliri tenggorokannya seiring sensasi luar biasa yang belum pernah Karin rasakan mulai menyelimuti setiap sel tubuhnya. Sesaat mampu membuat Karin mematung, dalam hati mengumpat lagi, sebelum kemudian sensasi itu meliar bersamaan dengan dirinya semakin rakus meminum cairan merah itu. Kedua tangan Karin ikut bergerak, semakin sulit menahan diri untuk tidak melarikan jemarinya di helai-helai rambut coklat gelap sang Redmate Hyuuga.

Menyeringai dingin, Neji membenamkan wajahnya ke lekuk leher Karin, sementara kedua lengan Neji melingkar kuat di pinggang perempuan bersurai panjang itu. Dihirupnya dalam-dalam aroma Fempire barunya tersebut, semakin memenuhi paru-parunya dengan oksigen pribadinya.

Bibir Neji kemudian menjelajahi kulit leher Karin. Memberikan beberapa ciuman lapar. Beberapa gigitan lembut. Sembari tetap menikmati aroma paling harum yang pernah ia hidu. Aroma yang juga membuat Neji semakin didesak oleh kebutuhan untuk menuntut lebih. Sensasi ketika Karin menghisap darahnya pun membuat Neji semakin menggila oleh hasrat untuk menyentuh lebih.

Tanpa bisa menahan diri lagi, Neji akhirnya menangkup sisi kepala Karin, menarik gadis itu menjauh dari lehernya. Ditatapnya sejenak sepasang mata crimson di hadapannya, lantas menyentuhkan bibirnya ke bibir Karin dalam kecupan lembut, dan menghapus jejak-jejak darah miliknya. Dengan begitu cepat, Neji kemudian mengubah ciuman itu menjadi seliar gerakan tangannya di punggung Karin.

Karin mengerang pelan. Sekejap otaknya terasa berkabut. Tak ingin kalah, Karin kontan membalas ciuman pertamanya dengan Redmate-nya itu. Begitu dalam. Buas. Tak terkendali.

Tubuh Karin bergetar kecil. Ada gelenyar panas yang diciptakan oleh sentuhan intens itu. Tubuhnya terasa panas. Terbakar.

"Kamarku. Sekarang. Cepat," Karin berdesis tak sabar setelah sedikit menjauh dari bibir Neji, kemudian kembali menyerang bibir itu dengan ciuman ganasnya. Kembali meremas kasar surai panjang Neji.

Neji tak membuang waktu. Ia berdiri, sontak membuat dua tungkai kaki Karin melilit di pinggang Neji. Rangkulan tangan Neji pun menguat di punggung bawah sang Fempire.

Lalu Neji berjalan menuju tangga, masih dengan bibir melekat sepenuhnya dengan bibir Karin. Saling menjamah. Saling menjelajah. Tanpa ada yang ingin mengalah.

Ketika sudah sampai di kamarnya, Karin membiarkan Neji merentangkan tubuhnya di atas ranjang. Dan sedetik kemudian, Karin mengejutkan Redmate-nya itu dengan mengubah cepat posisi mereka, membuat Karin kini berada di atas Neji.

Karin menyeringai puas.

"Brengsek," umpat Neji pelan, menatap Karin garang dengan senyum jengkel yang samar-samar bermain di bibirnya.

"Hmm," Karin hanya bergumam rendah seraya menundukkan kepala. Mula-mula lidah Karin menjilati dua lubang kecil di leher Neji, membuat luka itu menghilang seketika. Lantas Karin membawa bibirnya menjamah titik-titik lain. Mengecup rakus. Menggigit ringan. Menciptakan geraman hasrat muncul dari mulut Neji.

Memilih untuk tidak protes, Neji mendongakkan kepala, memberikan ruang lebih bagi Karin untuk mengeksplorasi lehernya. Kedua tangan Neji pun menyelusup ke balik pakaian Karin, membelai punggung perempuan itu dengan gerakan halus.

Beberapa saat kemudian, Neji menyadari tangan kanan Karin mulai membuka satu-persatu kancing kemeja putihnya. Ketika didapatinya penjelajahan Karin mulai meluas, saat itulah Neji segera menangkap satu tangan Karin itu. "Cukup."

Dan Karin pun kembali merasakan punggungnya menyentuh seprai halus di permukaan ranjang.

Mata Karin memicing. Mulutnya terbuka hendak protes, namun kesempatan itu digunakan Neji untuk kembali menerjang Karin dengan ciuman laparnya. Disentuh dan dicecapnya kelembutan di balik bibir Karin, bibir yang membuat pemuda itu semakin menggila oleh kenikmatan yang memabukkan.

Erangan Karin melantun lemah, berganti-gantian dengan geraman kesal ketika mereka berdua saling berusaha untuk menginvasi. Untuk mendominasi. Kemudian dirasakannya bibir Neji terlepas dari kuncian bibirnya, dengan sentuhan lembut nan menggoda beralih menyapu garis rahangnya, dagu, hingga akhirnya mendarat di kulit lehernya.

"Sialan!" Erangan Karin berubah kasar, ketika satu gigitan keras Neji tiba-tiba bersarang di lekuk kanan lehernya. Ruam merah tercipta. Tanda kepemilikan yang akan butuh waktu lama untuk menghilang.

Seringai di bibir Neji sesaat terbit, kemudian bibir itu melayangkan beberapa kecupan dan gigitan keras lainnya di titik lain leher Fempire-nya. Sambil bergumam puas, dinikmatinya remasan tangan Karin yang semakin kasar di rambut panjangnya. Tangan kanan Neji menopang tubuhnya, sedangkan satu tangan lain menyentuh sisi tubuh Karin yang masih tertutupi pakaian dengan belaian menggoda.

"Bibir sialan! Rambut sialan! Tangan sialan!" geram Karin rendah sambil berusaha untuk tidak mengerang. Dipejamkannya mata dengan napas gemetar. "Aku benar-benar membencimu, Neji."

"Hmm. Begitu juga denganku," balas Neji dengan gumaman datar. Perlahan sentuhan bibirnya mendekati telinga Karin. Digigitnya lembut daun telinga milik perempuan itu, lantas lanjut berbisik dingin, "Tapi kau tetap Fempire-ku, Karin. Milikku. Hanya milikku. Dan kau atau pun aku sama sekali tidak bisa menolaknya. Perlu kutambahkan juga kalau kau … tidak kuijinkan untuk dekat dengan laki-laki lain, termasuk laki-laki sialan yang tadi datang ke rumahmu itu. Kau mengerti?"

Alih-alih menunggu jawaban Karin, tangan Neji langsung bergerak cepat saat merobek kasar baju perempuan itu, memaksanya lepas dari badan Karin, lalu melemparnya sembarangan ke lantai.

Keterperangahan melebarkan kedua mata Karin. Sejenak membuatnya diam membeku. "Brengsek," umpat Karin kemudian dalam desisan garang. Lalu tangannya membalas serangan Neji, dengan buas menyentak kemeja tipis pemuda Hyuuga itu, hingga tiga kancing yang belum sempat Karin buka sebelumnya kini terlepas dari jahitannya.

Neji menahan seringai jengkelnya agar tidak muncul. Oh, betapa ia kini semakin sulit untuk tidak menikmati fakta bahwa sosok keras dan kasar ini yang menjadi Fempire-nya. Miliknya. Hanya miliknya.

Sejak pertemuan pertama mereka sepuluh tahun yang lalu, saat Neji dan orangtuanya mengunjungi keluarga Hinata yang telah pindah rumah, Neji dan Karin sudah saling mengibarkan bendera permusuhan. Mereka saling bersaing untuk merebut perhatian Hinata.

Neji adalah anak tunggal, dan hanya Hinata satu-satunya yang ia miliki sebagai adik sepupunya, saudara terdekatnya. Karin pun anak tunggal, dan hanya Hinata satu-satunya yang mau berteman dengannya, yang sanggup bertahan dengan sifat kerasnya, tetangga barunya yang polos dan sudah ia anggap seperti adiknya sendiri meski mereka seumuran.

Lalu Hyuuga Hanabi hadir ke dunia setahun kemudian, mulai sedikit melunakkan permusuhan dan persaingan mereka. Namun eksistensi berwujud gadis mungil nan ceria itu tak bertahan lama. Delapan tahun berikutnya mereka kehilangan sosok itu, membuat permusuhan itu semakin keras, tapi juga … membuat kerja sama terbentuk kuat di antara keduanya untuk saling menjaga yang masih ada di hidup mereka.

Dan Neji pun baru mengetahui identitas keluarganya, identitas dirinya sebagai calon Redmate ketika beranjak usia 15 tahun. Demikian juga dengan identitas keluarga Uzumaki, yang sudah bersahabat lama dengan keluarga Hyuuga.

Karin baru mengetahui identitas keluarganya, identitas dirinya sebagai calon Fempire ketika menginjak umur 15 tahun. Demikian juga dengan identitas keluarga Hyuuga, yang sudah berkawan lama dengan keluarga Uzumaki.

Firasat itu ada. Tumbuh seiring waktu sejak hari pertama identitas asli mereka terkuak. Namun tak satu pun dari Neji atau Karin ingin percaya dengan firasat itu. Tak satu pun dari keduanya ingin terus berpikir bahwa ada kemungkinan mereka tercipta untuk saling memiliki. Untuk saling menghidupi. Untuk saling berpasangan sebagai Redmate dan Fempire suatu saat nanti.

Dan … kini di sinilah mereka. Saling berhadapan. Saling menyerang. Saling berlomba melepas sisa pakaian pasangan mereka masing-masing, hingga akhirnya berhenti dengan napas memburu ketika tubuh mereka telah sepenuhnya polos. Telah sepenuhnya bebas dari kain-kain yang sebelumnya terasa sangat mengganggu indra penglihatan mereka.

Mata perak Neji melebar oleh keterpesonaan. Netra merah Karin membulat oleh keterkesimaan. Keduanya terpaku. Beku. Kelu.

Kepala Neji lantas merendah. Kedua tangan menangkup pipi Karin. Bibir menyentuhkan ciuman keras pada bibir sang Fempire.

Kepala Karin ikut tengadah. Sepasang tangan mencengkeram rambut Neji. Bibir menyapukan kecupan lapar pada bibir sang Redmate.

Ketika kebutuhan akan oksigen kembali hadir, bibir keduanya berhenti saling mengait. Tangan bergerilya ke tempat lain. Kepala terbenam ke titik lain.

"Oh, astaga!" Karin mengembuskan napas gemetarnya, dengan kesepuluh jemari mencakar ringan punggung pemuda itu.

"Milikku. Milikku. Milikku," bisik Neji berulang-ulang kali, sembari perlahan menyerang setiap jengkal kulit halus Karin dengan usapan menggoda dari bibirnya. Dengan belaian lembut dari telapak, punggung dan jemari tangannya. Pun dengan gigitan ringan serta tajam dari geliginya.

Karin mengerang pelan. Menggeram lemah. Menggeliat kecil. Juga melengkungkan tubuh setiap kali gelombang panas menerjang, menyapu keseluruhan dirinya dalam kenikmatan manis, hingga gelenyar hasrat itu kembali muncul. Lagi dan lagi. Semakin mendesak. Semakin menuntut. "Sialan!" lirih Karin di sela-sela deru napasnya.

Mengikuti insting, Neji mengangkat sedikit tubuhnya, dan meremas kuat pergelangan tangan Karin di kedua sisi kepala gadis Uzumaki itu. Wajah mereka kini berhadapan. Ada gairah sarat emosi di mata rubi Karin, Neji bisa melihat itu, juga keinginan untuk menantang, mendominasi, dan mengalahkan.

"Lepas!" tuntut Karin, sambil berusaha membebaskan tangan serta tubuhnya dari perangkap Neji. Mata mendelik. Gigi bergemeletuk.

"Tidak," Neji bergumam rendah, lantas menggigit ringan rahang Karin. "Tidak untuk yang pertama."

Neji kemudian membungkuk, sekali lagi meleburkan bibirnya dengan bibir Karin dalam ciuman panas. Dibawanya tangan Karin hingga mengelilingi lehernya.

Karin menyambut sentuhan itu dengan geraman nyalang. Cengkeraman jemarinya di surai panjang Neji menguat, seiring semakin menggilanya gerakan bibir mereka.

Batas itu lantas muncul beberapa detik kemudian, membuat Neji kontan melepaskan tautan bibirnya dari Karin. Dihirupnya dalam-dalam aroma Fempire-nya, bersamaan dengan bibirnya beralih mengecup kening Karin.

Kelopak mata Karin sontak menutup, berupaya menahan emosi yang tiba-tiba ingin tumpah ketika merasakan sapuan lembut itu. Kecupan yang membuatnya tak lagi bisa menolak, tak lagi bisa menyangkal akan kehadiran sebentuk perasaan untuk sang Redmate.

"Fempire-ku. Milikku. Kau hanya milikku, Karin," bisik Neji dengan nada posesif di pelipis Karin, sementara dengan perlahan-lahan … dibawanya Karin menuju penyatuan pertama mereka.

Lagi, Karin mengerang dengan suara gemetar yang terdengar seperti musik merdu di telinga Neji. Segera Karin membenamkan wajahnya di leher Redmate-nya itu. Dua gigi taringnya tenggelam ke balik kulit, membebaskan dahaga yang tertahan akan darah Neji.

Ledakan hasrat yang manis menggeletarkan tubuh mereka. Riak emosi yang panas menyatukan jiwa mereka. Pelepasan pertama saling diraih, hingga menciptakan rasa mendamba lebih.

Malam telah menggantikan senja. Keduanya tidak ada yang menyadari. Terlalu larut oleh irama memabukkan dari gerakan dan sentuhan pasangan mereka. Keduanya masih ingin saling mengisi. Saling memenuhi satu sama lain.

Sekian menit kemudian, Neji akhirnya melepaskan diri, terlentang dengan napas terengah-engah di samping Karin. Satu lengan Neji meraih tubuh Karin, memeluk Fempire-nya itu sambil berusaha menenangkan diri.

Karin meringkuk. Tangan kanannya melekat di dada Neji, puas saat merasakan jantung Redmate-nya bergemuruh kencang. "Jadi … kau yang justru akan menginap malam ini di sini?" tanya Karin, pura-pura kesal.

"Ck! Tidak usah protes. Kalian bertiga masih bisa mencari malam lain untuk mengadakan Pajama Party bodoh itu." Neji menggenggam tangan kanan Karin, mendekatkannya ke bibir, dan mencium buku-buku jemari Karin. "Karena malam ini kau sepenuhnya milikku. Tapi aku harus ke rumah sebentar untuk mengambil pakaianku, lalu aku akan kembali kemari," lanjut Neji, kemudian bangkit sambil menyisir surai di sisi kepalanya dengan lima jemari. Sepasang mata bulannya menatap Karin dengan intens. "Kita perlu mandi."

Dengusan Karin terlontar geli. "Kita? Seperti aku bersedia begitu saja mandi bersamamu."

Neji menaikkan alis. Lalu dengan gerakan gesit, Neji meraup tubuh Karin, dan membawa gadis bersurai merah menyala itu duduk di pangkuannya. Dirangkulnya pinggang Karin dengan gestur posesif. "Aku tidak mau menerima protes dari mulut sialan ini," timpal Neji tajam, sesaat menggigit lembut bibir bawah Karin.

Karin hanya bergeming sambil menyipitkan mata. Lalu lengan Karin mengelilingi leher Neji, meremas rambut panjang kesukaannya itu. "Kalau begitu, aku ingin nanti aku yang ada di atasmu," Karin berbisik garang dengan pandangan mengancam. "Dan aku juga tidak mau menerima protes lagi dari mulut sialan ini," lanjut Karin, lantas menghapus jarak di antara bibir mereka.

Satu ujung mulut Neji melengkung, mengukir tipis sebentuk seringai kesal. Namun tidak ada protes dari bibirnya ketika membalas ciuman itu sama liarnya dengan sang Fempire.

-:-

.

-:-

Fujimura Shion merengut kecil sembari bertolak pinggang. Kepalanya tengadah. Kilat nyalang di sepasang netra ungu Shion tertuju pada sebuah novel. Novel itu berada di rak yang paling atas, di satu deretan rak yang menampakkan novel-novel terbitan lama.

"Ck! Kucoba saja dulu," Shion berucap mantap, lalu menjijitkan kaki dengan satu tangan mencoba meraih novel itu, novel fantasi dengan sampul yang membuat Shion tertarik pada pandangan pertama.

Akan tetapi, setelah mencoba sebisanya, tetap saja tangan Shion kesulitan menjangkau novel tersebut. Padahal tinggal beberapa senti lagi. Menggeram keki, Shion akhirnya berhenti berjinjit. Di saat itulah ada sebuah tangan tiba-tiba muncul dari belakang Shion, dengan mudah mengambil novel yang perempuan bersurai kuning itu inginkan.

Shion mematung kaget. Dengan cepat diputarnya tubuh, seketika berhadapan dengan sesosok laki-laki bertubuh tinggi. Shion mendongak, dan kini bertatapan dengan dua bola mata coklat di seraut wajah yang tertutupi oleh masker. Tanpa berkata apa-apa, sosok itu kemudian memberikan novel yang ada di tangannya pada Shion. "Ah. Umm. Terima kasih," ujar Shion sambil menerima benda tersebut. Sekilas diliriknya ada dua buku tebal tengah dibawa oleh tangan lain dari pemuda itu. Ugh. Buku tentang kesehatan?

"Sama-sama," sosok itu membalas dengan suara serak, lalu berbalik badan dan berjalan menjauh.

Shion mengerutkan kening. Apa dia sedang sakit? Belum sempat otaknya lanjut berpikir, Shion dikejutkan oleh kehadiran Hinata di belakangnya. Sebelumnya gadis itu sedang melihat-lihat novel di rak lain sambil menelepon Karin.

"Hinata, ada apa?" tanya Shion.

Ada kilau ketidakpercayaan di sepasang mata lilac Hinata, bercampur dengan pendar kebahagiaan. "Karin …. Dia …. Astaga!" Hinata tertawa pelan.

"Hah? Ada apa memangnya dengan Karin?" Shion mengguncang ringan pundak Hinata dengan satu tangan. "Cepat beri tahu aku, Hinata!"

Hinata mengedarkan pandangan ke sekelilingnya, memastikan di dekat mereka tidak terlalu ada banyak orang, lalu Hinata berbisik takjub, "Karin mungkin saat ini sudah berubah jadi Fempire, Shion."

"Apa?" pekik Shion kencang, membuat banyak kepala berputar cepat ke arahnya dan Hinata.

"Sshh. Shion, kau ini!" Hinata melekatkan jari telunjuknya ke bibir, lalu membungkuk beberapa kali ke orang-orang itu sambil meminta maaf atas gangguan yang dibuat oleh sang sahabat.

"Siapa? Siapa yang menjadi Redmate dari Karin, Hinata?" Shion kemudian bertanya, kali ini dengan suara pelan penuh rasa penasaran. Namun raut keterkejutan masih membayang nyata di wajahnya.

Senyum Hinata terulas lebar. "Neji-nii," jawabnya singkat dengan desahan bahagia.

Mata Shion sontak semakin membulat lebar. Lantas tawanya pecah. Kembali menciptakan tolehan kaget dari banyak kepala, bersamaan dengan munculnya desisan dan decakan kesal.

"Ups." Shion segera menutup mulutnya, lalu meringis dan segera membungkuk untuk meminta maaf.

Hinata menghela napas pendek. Kepalanya kemudian menggeleng heran sambil terkikik tanpa suara.

"Belum sebulan Karin berulang tahun yang ke-16, dan sekarang dia sudah menjadi …." Shion terkekeh ringan. "Astaga! Aku tidak menyangka akan secepat ini. Dengan Neji-nii pula."

"Sesuai dugaanku." Hinata tersenyum lagi.

"Ya. Ternyata memang benar," timpal Shion, masih dengan suara rendah agar tidak mengganggu suasana toko buku yang menjadi tempat kini mereka berada. "Tapi aku bisa membayangkan mereka pasti sebelumnya saling bertengkar dulu. Karin tidak akan langsung terima begitu saja."

"Pastinya," Hinata menyahut, disusul tawa merdunya berkumandang pelan.

"Jadi … karena malam ini kita batal menginap di rumah Karin, bagaimana kalau kau menginap di rumahku?" tawar Shion dengan ekspresi berbinar-binar.

"Rumah?" Hinata menelengkan kepala. "Buatku lebih tepat disebut dengan istana."

Mata Shion berputar kesal. Bibirnya mengerucut tipis. "Rumahku tidak sebesar itu, Hinata. Jadi bagaimana? Mau tidak?"

"Aku mau saja. Tapi aku harus meminta ijin dulu pada orangtuaku."

"Tidak usah khawatir. Aku juga akan berbicara pada Paman dan Bibi," tambah Shion. "Akan kupastikan kau baik-baik saja selama berada di rumahku."

"Tidak usah ikut terlalu berlebihan begitu." Giliran Hinata yang merengut. Lalu seulas senyum terbit lagi di bibir Hinata. "Dua bulan lagi kau yang akan berulang tahun yang ke-16, Shion."

Shion berkedip cepat. Kemudian mendengus. "Aku harap aku tidak seperti Karin, yang langsung berubah menjadi Fempire saat baru berumur 16 tahun. Aku masih berharap setidaknya aku berubah saat aku sudah lebih dewasa lagi. Mungkin saat berumur … 20 tahun?"

"Kau bercanda?" Hinata bertanya dalam bisikan kaget. "Maksudku … kau tahu sendiri kan kalau kau berubah menjadi Fempire pada umur 20 tahun kau otomatis akan hamil, Shion?"

"Iya. Aku tahu." Shion menggembungkan pipi. "Hanya saja aku ingin bisa menjadi lebih dewasa saat waktuku tiba nanti. Aku tidak yakin Redmate-ku akan tahan dengan sifatku jika aku berubah justru saat masih berumur 16 tahun, seperti Karin."

Hinata mendesah pelan. "Tidak usah pesimis begitu. Siapapun yang menjadi Redmate-mu, dan kapan pun waktumu tiba menjadi Fempire nanti, akan menjadi yang terbaik untukmu."

Alis Shion melengkung, lantas ia terkekeh kecil. "Yeah. Akan kuingat kata-katamu itu, Hinata," sahut Shion seraya menatap novel tebal di tangannya.

.:.

THEEND

.:.

Well, maunya sebenernya citrus buat NejiKarin itu seimplisit mungkin, paling gak yang kaya SasuHina di Bloody Fate, tapi … karena mereka pasangan yang 'rough', jadi aku susah juga kalo gak buat yang sedikit mendetail. Shishishi~ Tapi semoga masih dalam level eksplisit yang aman (?).

Buat Side Story II khusus UtaShion bakalan nyusul. Tapi belum tahu kapan. *plaaak*

Akhir kata …

.:.

THANKS! :)