My Light
Cast : Kim Taehyung, Park Jimin
Genre : sad, hurt / comfort, romance, angst
Rate : Mature
Length : Chapter
Author : VJin
Cover : VJin
DISC. : THIS FANFICT IS BELONG TO ME! DO NOT CO-PAS WITHOUT MY PERMISSION! DO NOT PLAGIARISM, PLEASE!
NB : WARNING! YAOI FICTION! BOY X BOY LOVE STORY! OOC! JIMIN! UKE! TAEHYUNG! SEME! GAJE! ABAL! TYPO IS LOVE!
Happy Reading! ^^
Jimin's POV
Sorot lampu kian menyilau, seakan membasahi sekujur tubuhku. Namun, mengapa aku merasa gelap? Aku tak mampu melihat apapun. Takkan lagi, semenjak cahaya ku, lentera hati ku menghilang. Tak terlihat. Tak mampu kugapai, kugenggam. Dan kini, hatiku telah kembali seperti semula. Gelap, dingin, dan.. mati.
"kau sangat cantik, Sayang."
Hanya seulas senyum manis yang kubuat-buat yang mampu kusuguhkan pada Pria –hidung belang lainnya yang kini tengah melarikan tangannya ke balik punggung ku, mengusapku, membuatku sedikit bergedik. Menjijikkan.
Kkk.. apa tadi aku baru saja mencibir Pria ini menjijikkan? Well, dia memang menjijikkan. Sangat menjijikkan bagiku. Namun, baginya, bagi seluruh manusia di muka bumi ini, aku beribu kali jauh lebih menjijikkan darinya. Aku jalang sial yang binal dan hina, menjijikkan tak ubahnya sampah yang penuh belatung.
"terima kasih, Honey." Balasku seraya memainkan jemariku di rahangnya.
"mau menemaniku malam ini, eum? Aku akan memberikan segalanya untuk makhluk luar biasa cantik dan manis sepertimu." Rayunya, membuatku menatap dalam manik gelap nya. Kegelapan lainnya. Bukan hazel manis yang kurindukan.
"my pleasure, My Lord."
**
Langkahku kian melemah, sementara mata ku menatap hampa apa yang terpapar di hadapanku.
Musnah. Hilang. Pergi. Dan takkan pernah kembali.
'Taehyung.. sudah meninggal, Jimin-ah.'
Tess..
Tess..
Buukkk..
Tak mampu lagi, kakiku tak sanggup lagi menopang semuanya. Beban ini terlalu, terlalu berat. Sangat berat bagiku. Untuk ku tanggung seorang diri.
"hikss... Taehyung.. hikss.. mengapa?"
Dapat kudengar beberapa orang berbisik seraya melewatiku. Persetan! Aku tak perduli pada kalian! Apa perduli kalian pada hidupku?!
"hikss.. mengapa? MENGAPA!?"
Percuma. Seberapa kuat aku memukul jalan yang kupijak, rasa sakit ini takkan berkurang. Sesak ini takkan menghilang. Pilu ini takkan terkikis.
"Taehyung-ah.. hiks.. Taehyung-ah.. hiks.. TAE! Hiks..."
FLASHBACK
"hiks.. hiks.."
"ada apa, Chimchim?"
Aku mendongak, mendapati Taehyung sudah menatapku cemas.
Entah mengapa setiap melihatnya mengkhawatirkanku, air mataku langsung memenuhi ruang mataku, hingga..
"huwaaaa... Taetaee... huwaaa... Dongmiiinnn..."
"aigoo.. uljima, Chim.. Dongmin? Dongmin melakukan apa padamu?" ia sudah mengusap-usap kepala ku sayang, membuatku langsung menghambur memeluknya.
"huweee... hiks.. Dongmin.. hiks.. Dongmin mendorongku.. hiks.. dia mengambil buku gambarku.. hiks.."
"ish! Dongmin itu nakal sekali, sih! Lihat saja, kau tunggu di sini, ya. Aku akan mengambil kembali buku gambarmu."
"hiks.. andwae.. hiks.. temani aku saja, Tae.. hiks.. kakiku sakit.. hiks.."
Dia menghela nafas panjang, lalu mengusap kembali puncak kepala ku.
"uljima, Chim. Taetae akan merawat luka Chimchim sampai sembuh. Taetae janji. Sekarang ayo naik ke punggung Taetae, Taetae akan menggendong mu sampai ke rumah. Lalu, setelahnya Taetae buatkan teh madu kesukaan Chimchim. Hehe."
Melihat senyum lebarnya membuatku ikut mengembangkan senyumku di sela tangis ku.
"ne!" seruku seraya langsung menghambur ke punggung nya.
"aigoo..aigoo.. pelan-pelan, Chim."
"hehehe.."
"Taetae harus janji ya sama Chimchim." Mulai ku kala kami hampir sampai ke rumah panti.
"janji? Janji apa?"
"Taetae harus sama-sama terus sama Chimchim. Pokoknya kita harus sama-sama sampai kita dewasa nanti."
Taehyung membantu mendudukkan diriku di sofa tamu kala kami sudah sampai di teras rumah.
Dia menatapku dengan cengiran lebarnya. "tentu saja! Taetae akan selalu bermain bersama Chimchim. Sampai kita dewasa. Nanti, Taetae akan menikah dengan Chimchim kalau sudah dewasa. Chimchim mau 'kan menikah sama Taetae nanti?"
Wajahku menghangat mendengarnya, entah mengapa jantung ku jadi berdegup cepat sekali.
"i-iya, Taetae. Chimchim mau menikah dengan Taetae."
"jinjja!? Yaksok?"
"ne! Yaksok!"
Dia langsung memelukku erat, membuatku ikut tersenyum dalam peluknya.
"Taetae janji akan melindungi Chimchim seperti orang dewasa lain saat dewasa nanti. jadi, Chimchim tidak boleh menangis lagi, ya. Taetae tidak suka melihat Chimchim menangis, Taetae jadi sedih melihatnya."
"eum. Chimchim tidak akan menangis lagi asal Taetae bersama Chimchim."
Taehyung mengusak puncak kepala ku, membuat wajahku kembali menghangat.
"cha, sekarang Taetae ambilkan air antiseptik untuk membasuh luka Chimchim, ya. Chimchim tunggu disini sebentar. Ah, kalau Dongmin pulang, Taetae akan memarahinya. Tenang saja, buku gambar kesukaan Chimchim akan kembali."
"ne! Gomawo, Taetae."
"cheonma, Chimchim."
"Taehyung sayang, coba kesini sebentar, nak."
Kami menoleh ke belakang, mendapati Ibu panti yang tengah tersenyum manis ke arah kami.
"aku?" Taehyung menuding hidung nya dengan ekspresi lucu, membuat senyum ku mengembang.
"ne, Baby. Kajja."
"tapi.. Chimchim boleh ikut, Ommonim?" tanya nya, membuatku mendongak menatapnya yang sudah berdiri dari tidurnya.
"Chimchim? Kereumyeon. Kajja."
"ne! Kajja, Chim!" dia menggenggam tanganku, membantu ku bangkit dari tidurku.
Aku menatap kedua orang dewasa yang tengah berlutut di hadapan Taehyung. Ahjumma itu tengah sibuk mengusap kepala Taehyung sedari tadi.
"nanti kita akan tinggal di Jepang, Sayang. Taetae tahu Osaka? Rumah kita nanti akan berada di sana, Sayang." Ahjussi itu menggenggam tangan Taehyung, membuatku sedikit iri melihat nya.
"Osaka? Ta-tapi.. Chimchim ikut juga, Ahjussi?"
"Chimchim?" Ahjussi itu terlihat bingung.
"a-ah.. itu.. Chimchim itu sahabat nya Taehyung. Anak ini yang dipanggil Chimchim. Namanya Park Jimin."
"ah.. annyeong, Jimin-ah." Ahjussi itu melambai ke arahku, membuatku membungkukkan tubuhku dengan sedikit senyum.
"hmm.. Taetae sayang, bukannya kami tidak mau mengajak Chimchim, tapi nanti Chimchim akan menyusul ke sana dengan orang tua nya nanti. percaya pada Appa."
"A-Appa?" Taehyung memiringkan sedikit kepala nya.
"ne. Mulai sekarang Ahjumma dan Ahjussi ini akan menjadi kedua orang tua mu. Panggil Ahjussi dengan Appa, dan panggil Ahjumma dengan Eomma. Taetae mau 'kan tinggal bersama Eomma dan Appa? Kita akan bermain bersama, Taetae akan meraih cita-cita Taetae. Taetae bercita-cita menjadi apa, eum?"
"D-Dokter, A-Appa."
"nah, Appa janji akan membantu Taetae meraih cita-cita Taetae menjadi dokter. Taetae mau 'kan tinggal bersama Appa dan Eomma, eum?"
Taehyung menoleh menatapku, membuatku hanya bisa tersenyum tipis. Ahjumma dan Ahjussi itu akan membantu Taetae menjadi dokter, dan aku sangat mengerti, betapa besarnya keinginan Taehyung menjadi Dokter. Ini kesempatannya, dan aku harus membantu nya meraih mimpinya. Selama ini Taehyung terlalu sering membantuku, kini saatnya aku membantu nya.
Aku menampilkan senyum terbaikku.
"kkokjongma, Taetae. Chimchim nanti akan menyusul ke sana bersama orang tua angkat Chimchim." Ujarku, membuatnya menatapku lama.
Taehyung menghampiriku, kemudian menatapku lurus.
"yaksok?" ia menyodorkan jari kelinking nya, membuatku menatap sejenak jemari favoritku, lalu menyambutnya, mengaitkannya dengan milikku.
"eum. Yaksok." Ujarku mantap, sehingga aku dapat melihat senyumnya yang menyentuh matanya, senyum favorit ku.
"nanti kita harus saling mengirimi surat ya, Chimchim."
"ne!"
"yaksok?"
"yaksok!"
"hehehe.."
Aku pun ikut mengembangkan senyum lebarku kala ia sudah terkekeh seraya memelukku erat. Sampai jumpa, Taehyung. Semoga kau bisa menjadi Dokter yang hebat.
10 years later..
Aku menatap punggung ringkih itu dengan sedih, kemudian beralih menatap pantulan diriku di cermin besar yang terletak di hadapanku. Aku sudah remaja. Tidak, hampir mendekati dewasa. Delapan belas tahun.
"Jimin-ah? Sedang apa di sana?" suara lembut itu menyadarkanku dari lamunan, membuatku tersenyum manis sebelum menghampiri nya.
"Ommonim, sedang masak apa?" tanya ku pada Ibu panti. Wanita yang sudah kuanggap sebagai Ibu kandung ku sendiri.
Ibu panti? Ya, ini Ibu panti ku. Ibu Panti yang tiga belas tahun lalu menemukanku di jalan. Menyelamatkan hidupku dari kelaparan saat aku tengah mencoba mencari Orang tua kandung yang membuang ku. Dan sampai detik ini, belum satu pun Orang tua angkat yang meminta ku untuk tinggal bersama mereka, merasakan kasih sayang mereka. Aku terus saja terpuruk di rumah ini. Bukan, bukan aku menyesal tinggal di sini. aku malah bersyukur sekali dapat tinggal di sini. berterima kasih pada Tuhan karena telah mempertemukan ku dengan Ibu panti berhati bidadari, dan juga.. Taehyung. Huft, anak itu apa kabarnya, ya? Ah, kembali lagi pada rumah panti. Aku.. merasa tidak enak jika terus-menerus menyusahkan Ibu panti. Aku rasa aku harus belajar hidup mandiri.
"makanan kesukaanmu, Sayang. Bulgogi."
Aku tersenyum sebelum memeluk tubuh Ommonim yang masih sibuk memasak, membuat nya tertawa kecil.
"ada apa, eum? Taehyung belum mengirimimu surat, eum?"
Aku tertawa kecil, sebelum mengangguk di bahunya. "ne. Dia sibuk sekali sepertinya. Menyebalkan Alien itu."
Ommonim kembali tertawa kecil, sebelum mengusap kepala ku sayang.
"kau pasti merindukannya, ya. Maafkan Ommonim, ya. Ommonim tidak mampu membantumu bertemu Taehyung."
"eiy.. kenapa Ommonim berkata seperti itu? biar saja anak itu yang ke sini. tsk, benar-benar sudah melupakan kami, ya. Dasar menyebalkan."
"hahaha.. benar juga. Ommonim sangat merindukan Taetae. Biasanya dulu dia selalu bernyanyi bersama mu saat sedang mengerjakan tugas sekolah, bukan?"
"hahaha.. ne. Suara nya itu jelek sekali."
"hahaha.. aigoo.. kau ini.."
"Ommonim." Panggilku, membuatnya menoleh menatapku, setelah sebelumnya mematikan kompornya.
"ada apa, Jimin-ah?" dia mengusap kepala ku sayang.
"aku.. aku ingin tinggal sendiri. Aku ingin belajar mandiri. Aku akan mencari pekerjaan sambilan setelah pulang sekolah besok. Aku.. akan tinggal di Seoul."
"Jimin-ah.. kau itu masih sekolah, Sayang. Ommonim ingin kau fokus sekolah, bukan bekerja."
"aku tahu, Ommonim. Aku juga akan fokus sekolah, tapi aku akan mengambil beberapa kerja part time untuk biaya hidupku."
"kenapa? Kau.. sudah bosan tinggal bersama Ommonim, ya?"
"eiy.. annieyo, Ommonim. Aku hanya.. tidak ingin merepotkan Ommonim terlalu lama. Aku ingin membantu Ommonim dengan uang ku sendiri, hasil kerja keras ku."
"tapi, Jim.. Ommonim tidak butuh uang mu. Ommonim hanya membutuhkanmu, Sayang."
"Ommonim, aku tahu betapa lelahnya mengurus anak-anak disini, dan aku tidak ingin menambah beban Ommonim."
"tidak, Jim. Kau tak pernah menjadi beban bagi Ommonim. Aigoo, maafkan Ommonim. Ommonim tidak mampu membantumu menemukan Orang tua angkat. Maafkan Ommonim, Jim. Kau juga pasti ingin merasakan memiliki Orang tua lagi, bukan? Maafkan Ommonim, Jim."
Ommonim sudah menangis tersedu, membuatku ikut tersentuh, dan ikut menangis bersama nya. Aku memeluk tubuh Ommonim erat. Maafkan aku, Ommonim.
"Ommonim, aku janji akan sering berkunjung, dan membantumu. Aku hanya ingin merasakan hidup mandiri, Ommonim. Aku tidak akan melupakan Ommonim dan adik-adik yang lain. Aku janji."
"baiklah, Sayang. Baiklah.. Ommonim mengerti keinginanmu. Ommonim akan mengizinkanmu hidup sendiri. Tapi, kau harus janji untuk menjaga kesehatanmu, jangan memaksakan dirimu dengan bekerja terlalu keras, ya."
Aku memeluk erat Ommonim, setelahnya mengecup pipi kanannya. "terima kasih banyak, Ommonim. Aku mencintaimu."
"haha. Kau ini. Ommonim juga sangat mencintaimu, Chim."
3 years later..
'aku akan mengunjungimu bulan depan. Bersabarlah sebentar lagi, ya. Argh, aku sangat merindukanmu. Apa kau juga merindukanku, eum? Kkk.. apa kau ingat janji kita, eum? Aku akan memenuhi janjiku padamu saat aku mengobati lukamu dulu. Tunggu saja.'
Aku tersenyum kala melihat postcard yang baru kuterima pagi ini. Tentu saja dari Taehyung –sahabat, cinta pertamaku.
"mengapa senyum-senyum seperti itu, Jim?"
Aku mendongak, mendapati Hoseok hyung yang tengah mengelap gelas-gelas wine, membuatku mengulum senyum simpulku.
"anniey.. hehehe.."
Hoseok hyung berdecih, kemudian menatapku. "kau selalu tersenyum setiap membaca postcard-postcard itu. dari kekasihmu, ya? Mengaku saja lah."
Aku merona mendengarnya. Kekasih? Benarkah kami sudah sampai pada level itu?
"bu-bukan, Hyung. hanya.. temanku?" jawabku ragu.
Hoseok hyung terkekeh, kemudian meletakkan gelas-gelas yang sudah ia bersihkan ke rak.
"jika hanya temanmu, kau tak mungkin senyum-senyum sendiri, merona seperti hal nya orang yang tengah jatuh cinta. Mengaku saja, Jim. Itu pasti dari Kim Taehyung yang sering kau bicarakan itu 'kan?"
Blush.
Hoseok hyung terkekeh geli, membuatku mencebik sebal kala merasakan wajahku menghangat, sementara dadaku berdesir hebat.
"well, itu memang Kim Taehyung. Lihat, wajahmu sudah mirip kepiting rebus." Goda nya membuatku sontak memegang pipiku yang memang terasa menghangat.
"apa katanya? Dia akan melamarmu, eum?" tanya Hoseok hyung penasaran seraya menjulurkan lehernya, seakan mencoba melihat tulisan Taehyung di postcard yang masih ada di tanganku.
"me-melamar?" sial, wajahku kembali menghangat.
"ne, mengakulah. Setidaknya aku merasa bersyukur jika ia melamarmu. Kau tidak harus hidup menderita seperti ini lagi, Jim." Ia menatapku iba, membuatku mengulum senyum tipisku.
"eiy.. aku tidak se-menderita itu, Hyung. aku memiliki barang-barang mewah, dan apartemen dari hasil bekerja ku di Pub ini. Aku terlihat jauh dari kata menderita." Ujarku masih dengan senyum tipisku.
"hatimu. Hatimu yang menderita, Jim. Jika bukan masalah ekonomi, aku yakin kau takkan pernah berakhir di sini. aku terlalu mengenalmu, Jim. Kau tipikal orang yang sangat benci disentuh oleh orang lain. Dan disini kau –"
"sudahlah, Hyung. mungkin ini memang sudah menjadi jalan takdirku. Lagi pula, sekarang aku sudah terbiasa dengan tangan hidung-belang itu. hehehe."
"berhenti menyembunyikan kesedihanmu, Park Jimin. Aku tahu apa yang ada di dalam hatimu."
"well, aku tidak bisa mengelak bahwa hatiku sedih menjalani ini semua. Tapi, apa yang bisa kuperbuat? Mungkin inilah dosa yang dilakukan kedua Orang tua ku dulu, sehingga kini aku lah yang harus melakukannya kembali. Tapi tidak apa, Hyung. aku ikhlas, asal aku tidak merepotkan dan merugikan orang lain."
"aish.. Park Jimin, kau membuatku menangis." Suara Hoseok hyung terdengar parau, membuatku mendongak, mendapatinya yang sudah mengusap air matanya.
"hahaha.. kau ini melodrama sekali, Hyung. sudah, ya. Aku harus bersiap. Ini sudah sore, dan sepertinya akan ada banyak tamu malam ini."
"eum. Fighting, Jim."
"ne! Fighting, Hyung."
'sabar, Jim. Bertahanlah. Satu bulan. Ya, tunggu sampai satu bulan lagi. Setidaknya sampai Taehyung menemuiku. Ya, aku pasti bisa, aku pasti kuat.'
1 month later..
"yoboseo, Ommonim."
"yoboseo, Jim."
"Jim.. bisakah kau ke panti asuhan hari ini? Ada.. yang ingin Ommonim bicarakan padamu."
"eum.. akan ku usahakan, Ommonim. Tapi, apa yang ingin Ommonim bicarakan?"
"datang lah terlebih dahulu. Kita akan membicarakan hal ini baik-baik. Ini tentang.. Taehyung."
"Taehyung?"
"ya, Taehyung. Ommonim akan menunggumu, Jim."
"ba-baiklah, Ommonim. Aku akan ke sana sekarang." Entah mengapa firasatku jadi tidak enak.
"baiklah, hati-hati di jalan, Jim."
"ne, Ommonim."
"apa yang ingin Ommonim bicarakan sebenarnya?" mulai ku. Setelah kami hanya berdiam diri di ruang tamu ini selama hampir sepuluh menit.
Ommonim menghela nafas panjang, setelahnya menyeruput teh hangatnya.
"apa kau masih suka berbalas pesan dengan Taehyung, Jim?"
Aku mengangguk kecil, kemudian menjawab. "masih, Ommonim. Terakhir dia mengirimiku postcard satu bulan yang lalu."
Ommonim menatap ku lurus, ada gurat kesedihan di wajahnya. H-hei, sebenarnya ada apa ini?
"Taehyung.. dia sudah berada di Seoul sejak minggu lalu, Jim."
Mataku membelalak sempurna, seakan tak percaya dengan apa yang kudengar.
"be-benarkah, Ommonim?! La-lalu.. dia sudah berkunjung ke sini?"
"ne, dia sudah berkunjung ke Daegu, mengunjungi Ommonim. Tapi.."
Aku mengernyit tak mengerti. "tapi?"
"J-Jimin-ah.. berjanjilah kau akan kuat mendengarkan apa yang akan Ommonim katakan ini. Ne?"
Aku menganguk kecil, sedikit ragu. Kemudian berkata gugup. "n-ne, Ommonim. Aku janji."
Ommonim menghela nafas berat, tertunduk sejenak untuk memainkan jemari nya. Hingga kembali menatapku dengan mata merahnya, dan air mata yang sudah menumpuk di pelupuk.
"J-Jimin-ah.. Taehyung.. sudah meninggal."
DEG.
Ti-tidak.
Telinga ku pasti bermasalah. Iya, kan?
T-Taehyung.. masih hidup.
..'kan?
"hiks.. Jimin-ah.. Taehyung.. Taetae.. dia mengalami kecelakaan. Hiks.. mobilnya tergelincir hingga memasuki jurang di Gwangju. Hiks.."
"Ommonim mendapatkan kabar ini dari Orang tua Taehyung. Orang tua yang dulu mengangkat Taehyung menelepon Ommonim semalam. Mengabarkan bahwa Taehyung mengalami kecelakaan, namun jasad nya tidak berhasil di temukan. Hiks.. dalam dan curam nya jurang menghambat proses evakuasi, hingga akhirnya tim evakuasi berhasil menemukan mobil Taehyung yang penuh dengan darah di dalamnya, namun sama sekali tidak di temukan Taehyung di sana."
Tes..
Tes..
Tes..
"Jimin-ah.. maafkan Ommonim baru memberitahumu sekarang. Ommonim –"
"tidak, Ommonim. Tidak mungkin. Taehyung.. ini.. Taehyung pasti sudah merencanakan ini semua. Ommonim tidak lupa bukan bahwa Taehyung itu sangat jahil. I-ini.. hiks.. ini pasti skenario yang dia buat untuk mengelabuhi kita, Ommonim. Haha.. dasar Alien itu. hiks.."
"Jimin-ah.."
"Ommonim, Taehyung pasti sedang mengerjai kita, Ommonim. Iya, 'kan? Jawab aku, Ommonim!"
"hiks.. mianhae, Jim. Mianhae.."
Aku dapat merasakan pelukan Ommonim mengerat di tubuhku, sementara yang lain.. aku tak dapat merasakan apapun, selain hampa. Hanya mampu meneteskan tetes demi tetes air mataku yang terus mengalir, seakan tak mampu berhenti mengalir.
"Taehyung.. Taehyung-ah.."
"kau harus tabah, Jim. Kau harus kuat. Ommonim selalu bersamamu."
"Taehyung.. Taetae.. hiks.. jangan bercanda, Tae.. hiks.. ini tidak lucu.. jangan bercanda!"
"Jimin sayang.."
"hiks.. Ommonim.. aku yakin, aku yakin Taehyung pasti sedang mengerjai kita, Ommonim. Hiks.. dia pasti sedang bersembunyi di suatu tempat, Ommonim. Hiks.. kita harus menemukan anak nakal itu, Ommonim.. hiks.. ayo, Ommonim.."
"Jimin-ah.. kumohon jangan seperti ini, sayang. Ya Tuhan.. nak, tabahkanlah dirimu. Hiks.."
"Ommonim, ayo kita cari Taehyung, Ommonim.. hiks.. ayo.." aku berusaha membantu Ommonim bangkit dari duduknya, tapi mengapa tubuhku terasa lemas?
Kenapa.. semua menjadi buram?
Tunggu.. mengapa isi rumah ini berputar? Apa.. ada gempa bumi?
Gelap. Tak ada lagi cahaya ku. Tak ada Kim Taehyung.
"JIMIN!"
FLASHBACK OFF
Tanganku bergetar kala memegang surat-surat ini. Sementara mataku menatap sendu tulisan-tulisan di sana.
Satu tahun. Ya, satu tahun sudah Taehyung meninggalkanku. Berpulang ke haribaan Tuhan meninggalkan semua janji dan kenangan yang kami buat bersama.
Senyumku terasa getir setiap memikirkan senyumnya, mengingat suara nya setiap kali kami bertegur sapa via telepon. Taehyung, aku merindukanmu. Sangat merindukanmu. Ingin mati rasanya. Sungguh. Aku mati tanpamu.
"Jim, pizza nya sudah datang!"
Seruan itu membuatku menoleh menatap pintu kamar. Ah, hampir aku melupakan kehadiran Hoseok hyung. semalam Hoseok hyung meminta izin untuk menginap di Apartemen ku, entahlah.. alasannya memang sedikit tidak masuk akal. Apartemen nya mati lampu. Tsk, Apartemen semewah itu mati lampu? Yang benar saja.
Sesungguhnya, aku mengetahui alasan sebenarnya mengapa dia meminta izin untuk menginap tiba-tiba. Taehyung. Aku pernah menceritakan tentang kabar kematian Taehyung padanya, dan sepertinya ia tidak lupa bahwa hari ini adalah tepat satu tahun kepergian Taehyung. Dan kurasa dia hanya mencoba untuk menghiburku. Haahh.. sungguh aku tak henti bersyukur pada Tuhan karena telah mempertemukanku dengan sahabat sebaik Hoseok hyung. setidaknya.. hidupku tidak terlalu hampa.
"ne, Hyung! aku datang!"
Aku mengusap air mata ku yang sejak kapan sudah membasahi kedua pipiku, kemudian bangkit dari ranjang ku setelah sebelumnya kembali menyimpan surat-surat itu dalam laci nakas ku.
"sedang apa di dalam? Kau tahu, kau melupakan tamu mu sepertinya." Oceh Hoseok hyung, membuatku mendengus.
"tamu? Ah, aku baru tahu kalau seorang tamu tidak pernah canggung untuk menghabiskan makanan-makananku di dalam kulkas." Gurauku, membuatnya mengeluarkan cengiran nya.
"aku hanya malas melihatmu menonton drama terus, Hyung. ayolah, film action saja."
"eiy.. film action itu tidak seru. Ayolah, drama kolosal ini mendapatkan rating tertinggi saat ini."
"cih, alasan saja. Bilang saja kau tidak suka pada film yang membuatmu tegang dan kaget."
"memang nya kau tidak, eoh?!" balasnya dengan wajah tertekuk sebal, membuatku terkekeh.
"tidak. Aku jauh lebih manly dibanding dirimu."
"cih, tetap saja kau takut pada film horror." Ledeknya, membuatku mendengus.
"memangnya kau tidak, eoh!?"
"aku juga, sih. Hehehe."
"cih, dasar. Cepatlah makan, kita harus ke Pub lebih awal. Boss semakin lama semakin menyebalkan."
"kau benar. Ingin rasanya meledakkan perut besar nya itu."
"hahaha. Aku ikut."
"sip!"
Mata itu..
Hidung itu..
Gestur itu..
Mengingatkan ku pada..
Kim Taehyung.
Ya, itu.. Taehyung?
Be-benarkah itu Taehyung?!
Perlahan namun pasti, aku membawa langkahku mendekati meja bar, hingga telinga ku dapat mendengar sapaan Hoseok hyung, namun sama sekali tak mampu membuatku mengalihkan pandang dari satu sosok yang tengah memainkan gelas berisi cocktail nya.
"Kim Taehyung?" tegurku, membuatnya menoleh menatapku.
Benar.
Mata itu..
Hidung itu..
Wajah tampan itu..
Itu Taehyung, Kim Taehyung!
Apa.. ini mimpi?
Kumohon, jangan bangunkan aku. Jangan pernah.
"kau.. mengenalku?" tanya nya dengan nada vocal khas nya.
Deg.
Dia.. tidak mengenalku?
Dia.. melupakanku?
Be-benarkah?
"Taehyung-ah, kau.. kenal dengan Mini?"
Seseorang dari balik punggung ku tiba-tiba bersuara, membuatku menoleh kala ia menyebutkan nama panggilanku di Pub ini.
"Mini?" Taehyung mengernyit menatap orang itu. seakan tak mengerti apa yang tengah ia bicarakan.
"aku Park Jimin, Tae. Kau.. tidak mengenalku?" aku berusaha menjelaskan, berharap dia langsung mengenalku.
"ah.. jadi namamu Park Jimin, Mini-ssi. Akhirnya aku bisa mengetahui namamu. Hei, aku Bogum. Park Bogum. Marga kita sama, berarti kita jodoh, bukan?" orang itu terus saja mengoceh, sementara Taehyung hanya memperhatikan kami sejenak sebelum kembali fokus pada gelas nya.
"J-Jim.." suara Hoseok hyung membuatku menoleh.
"i-itu.."
Ya, kuyakin Hoseok hyung sama terkejutnya denganku. Pasalnya aku pernah memperlihatkan semua foto terbaru Taehyung satu tahun yang lalu yang Taehyung kirimkan padaku melalui media sosial.
Aku hanya mengangguk ragu, sebelum kembali fokus pada Taehyung yang kini tengah memainkan ponselnya.
"T-Taehyung-ah, kau.. sama sekali tidak mengenalku?" aku terus berusaha, membuatnya kembali menatapku dengan tatapan blank nya.
"memangnya kau mengenalku? Apa kita pernah bertemu sebelumnya?" tanya nya, membuat hatiku tertohok. Sakit. Dia sudah melupakanku. Semudah itu?
"kalian saling mengenal ya, Tae? Eiy.. mengapa kau tidak pernah mengatakannya padaku, eoh? Aku ini Hyung mu. Menyebalkan sekali."
"aku tidak mengenalnya, Hyung. sungguh." Ujarnya mantap, membuat dadaku terasa sesak.
"eung? Jinjja? Lalu.. Mini –ah, maksudku, Jimin-ssi.. bolehkah aku memanggilmu dengan santai? Jimin-ah? Bagaimana?"
Aku menatap tajam sosok yang mengaku sebagai 'Hyung' dari Taehyung. Siapa sebenarnya orang ini!?
"tidak boleh? Hmm.. ya sudah, aku akan memanggilmu Jimin-ssi. Bagaimana kau bisa mengenal Adikku? Sementara Adikku bilang dia tidak mengenalmu."
"Adik? Kau benar-benar Kakak nya Taehyung?"
"ne, aku Kakaknya. Kenapa? Tidak mirip? Ah, kami bukan Kakak-Adik kandung."
"Hyung, apa kau bodoh? Mengapa menceritakan tentang keluarga kita pada orang asing?" suara bernada dingin itu datang dari mulut itu, bibir itu, Kim Taehyung.
Orang asing?
Apakah.. aku hanya orang asing baginya?
Benarkah!?
"ah, mian.. aku lupa. Hehehe."
"huft, sudahlah. Jika kau masih mau di sini, aku akan pulang duluan. Menyebalkan sekali melihatmu terus menggoda laki-laki itu. seperti tidak ada Perempuan saja."
"y-ya! Kim Taehyung! Ya! Mau kemana? Ya! Tunggu, Hyung." pria ini terus berusaha memanggil Taehyung yang sudah menghilang di keramaian, membuatku ikut menjulurkan leherku agar dapat melihat sosok yang setengah mati kurindukan itu.
"Jimin-ssi, bisakah kita mengobrol lebih banyak lagi, eum? Sepertinya kau mengenal Taehyung dengan baik. Hubungi aku di nomor ini, ya. Aku rasa kita perlu bicara panjang." Pria ini memberikanku sebuah kartu nama, dan aku pun tanpa ragu menerima nya.
"eum. Aku akan menghubungimu, Bogum-ssi."
Dia tersenyum kemudian mengusak suraiku, hingga perlahan punggung nya tak mampu kulihat lagi.
"a-apa itu tadi? Mengapa.. Taehyung seakan tidak mengenalmu, Jim? Ada apa dengannya?" Hoseok hyung langsung menyerbu ku dengan pertanyaan kala aku baru saja mendudukkan diri di hadapannya.
Aku menghela nafas panjang, kemudian tertunduk lesu. "entahlah, Hyung. ini semua terlalu tiba-tiba untukku. Aku.. tidak –belum siap."
"minumlah dulu." Hoseok hyung sudah memberikan ku segelas cocktail, membuatku tersenyum menatapnya.
"gomawo, Hyung. aku akan mencari tahu sebenarnya apa yang terjadi padanya. Aku harus."
"eum. Aku percaya kau pasti bisa. Semangat, Jim."
"eoh. Gomawo, Hyung."
**TBC**
annyeong.. FF chapter pertama, nih ^^ ga tau bagus apa enggak..
mind to review?
*deep bow*
VJin
