Only you Dear |Chapter 6

Disclaimer : Masashi Kishimoto. Pairing : NaruSaku-ever. Rated : T-M (for language, lime/lemon, etc). Genre : Romance and hurt/comfort. Warning : OOC. Typos. Mainstream theme. Boring.

Story by Hikari Cherry Blossom24

.

.

.

Don't like? DON'T READ!

Enjoy It!

.

.

.

.

.

.

"Ss–s–sa...kura..." Panggilan Kizashi terpatah-patah.

Tangan Sakura bergetar hebat. Pistol di tangannya terlepas, lalu jatuh dan terhempas kuat di lantai. Lututnya mati rasa, membuatnya tersujut di lantai sembari menangis hingga tersedu-sedu. Ia menutup wajahnya, lalu tertunduk dengan mengeluarkan suara isak.

"Sakuraaa!" Mebuki berlari menghampiri Sakura, kemudian langsung merengkuhnya sambil ikut menangis. Mendekapnya erat, dan sesekali mengecup pucuk kepalanya.

Kepala Sasuke bergerak patah-patah, menoleh ke tempat Kizashi yang tengah berdiri dengan lutut gemetar dan mata membulat lebar. Ia baik-baik saja. Sakura tak menembus kepalanya dengan peluru Pistol, hanya melewati samping wajahnya lalu menembak dinding kaca, membuatnya pecah berhamburan lantas menjatuhkan puing-puingnya ke bawah.

"LIHAT! LIHAT PERBUATANMU!" Suara Mebuki melantang. Tatapan lebarnya mengarah pada Kizashi. "Ayah macam apa kau, Kizashi." Sakura yang berada dalam dekapannya berhenti menangis, menengadah dan ikut menatap Kizashi.

"J–jika bukan karena Suamiku, mungkin saat ini kau sudah mati di tanganku." Tatapan Mebuki kembali mengarah pada Sakura. Segera mendekapnya, dan mengelus surai soft pink-nya.

Kizashi jatuh terduduk. Kepalanya terasa berat ketika mengingat kejadian tadi. Nyaris! Nyaris sekali ia mati di tangan putrinya sendiri. Naruto. Karena pria itu nyawanya selamat. Padahal sosoknya tak hadir di tempat ini, tapi hebatnya dia mampu mengendalikan kekalapan Sakura.

Semulia itu 'kah hati seorang Naruto Namikaze, hingga hanya mengingatnya saja sudah mampu meredam amarah Sakura. Kizashi merasa dirinya telah menjadi seorang Ayah terbodoh yang pernah ada. Bisa-bisanya ia 'ingin' merenggut Naruto dari Sakura, Suami sah putrinya.

Keterlaluan...

Sakura melepaskan diri dari dekapan Mebuki. Mengelap wajah sembabnya lalu berdiri tepat di hadapan Kizashi. "Mulai detik ini kau bukan Ayahku lagi!" Berkata sedemikian bengis dan bencinya, ia melenggang pergi meninggalkan ruangan tersebut.

Perempuan pink itu menutup pintu dengan cara membantingnya kasar, hingga menghasilkan bunyi debaman keras.

Mebuki lekas berdiri setelah kepergian Sakura. "Aku sangat membencimu!" Usai berkata sambil menatap Kizashi dengan tak kalah bengisnya dari Sakura, wanita itu bergegas pergi dan lekas memacu langkah cepat.

.

.

.

Mebuki mengecup puncak kepala Sakura. "Ibu pulang dulu. Jaga dirimu baik-baik." Setelah itu, ia menoleh ke arah Naruto berada. "Semoga lekas sembuh." Ia menunjukan senyum manis.

Naruto balas tersenyum. "Terimakasih."

Mebuki mengambil tas miliknya. Menanggalkannya di pergelangan, lalu berjalan menuju letak pintu. Ia berhenti di dekat pintu, berdiri di sana. "Sakura!" Yang di panggil melihat ke arahnya. "Jangan lupa telfon Ibu kalau Suamimu sudah boleh pulang." Perempuan itu mengangguk tanpa berkata apa-apa.

Tersenyum lagi, setelah itu sosok Mebuki lenyap ketika melewati pintu...

Naruto membuka mulut, dan menerima suapan yang entah sudah keberapa kalinya dari Sakura. Di sela menelan bubur dalam mulutnya, ia di buat menyeringit kala tak dapat melihat paras cantik Istrinya itu.

Perempuan itu menunduk...

"Sakura, ada ap—"

"Maaf."

Naruto bertambah bingung ketika kalimatnya di sela cepat dengan ucapan tersebut. "Maaf untuk apa?" Tanyanya kemudian.

Bahu Sakura nampak bergetar pelan. "Maaf karena aku kau jadi seperti ini." Suaranya terdengar halus. "Untuk itu, sebaiknya kita bercerai saja." Cicitnya dengan hati bergetar hebat. Ini bukan keinginan dari hati terdalamnya, namun hanya mulutnya yang berkata. Ia berkata seperti itu hanya tak ingin Naruto sampai mengalami kejadian 'buruk' itu lagi. Cukup sudah! Ia takut bila mengingat kejadian itu lagi. Hatinya terasa seperti di penjara oleh rasa takut yang menghantauinya tanpa henti.

Naruto membola setelah mendengar permintaan Sakura. Kenapa dengan Istrinya itu? Kemana sosok Sakura yang dulu mencintainya dengan tulus? Apa dia sudah bosan hingga dengan mudahnya berkata seperti itu? Aneh sekali. Mereka baru beberapa minggu lalu menikah, dan gilanya Sakura langsung bosan dengan pernikahan mereka.

Terdengar tak masuk akal...

"Kau tak mencintaiku lagi?"

Kontan, kepala Sakura langsung terangkat. Emerald miliknya bertemu pandang dengan shappire tajam milik Naruto. "K–kenapa bertanya seperti itu."

"Kau tak mencintaiku lagi?" Naruto tak bergeming dari pertanyannya.

Sakura menggeleng. "Aku mencintaimu.. sangat mencintaimu. Justru itu aku ingin kita..." Kepalanya menunduk, menghindari kontak secara langsung dari Naruto. "C–cerai." Lanjutnya lalu menggigit bibir. Hatinya sakit sekali.

Tangan kokoh Naruto memanjang, kemudian mengambil mangkuk bubur dari tangan Sakura lantas ia letakan di atas meja yang terletak di dekat ranjangnya. Ia bergerak, sedikit bergeser untuk memberi tempat luang di pinggir ranjang. "Kemarilah!" Serunya terhadap sang Istri.

Sakura mengangkat kepala, dan langsung beranjak dari kursinya setelah mendapat ajakan dari Naruto yang meminta dirinya untuk duduk di dekat pria itu. Ia duduk di tepian ranjang pasien, dan kini tengah menatap wajah Naruto yang masih terlihat pucat dari jarak tipis.

Sakura meringis ketika menyadari betapa mirisnya nasib Suami pirang tercintanya itu...

Naruto meraih kepala wanita itu, kemudian mendekapnya. "Kita tidak akan bercerai, apapun yang terjadi. Aku akan mempertahankanmu, tidak akan pernah melepaskanmu. Kau harus tahu itu, Tsuma." Pucuk kepala pink tersebut ia beri kecupan dari bibir tipisnya.

Pergelangan kurus Sakura melingkari bagian pinggang Naruto. Ia memeluknya erat. "Aku mencintamu, dan tidak akan pernah melepaskanmu walau apapun yang terjadi." Ia bersandar di dada polos lelaki itu, dan tengah tersenyum lebar di sana.

"Kalau begitu berjanjilah untuk tidak akan pernah lagi mengucapkan kata terlarang dalam pernikahan kita." Naruto menunduk, menatap wajah berseri Sakura dari atas dengan ujung hidung menempel di atas dahinya yang lebar itu.

"Baiklah, aku berjanji." Sakura melihat ke atas, mempertemukan pandangan mereka di tengah memeluk pinggang Naruto. "Janji seumur hidup." Imbuhnya dengan nafas saling bersahutan dengan Naruto, karena hidung mereka terpaut dekat. Bahkan saling bersentuhan karena sangking dekatnya.

Naruto tersenyum. "Bagus, anak pintar." Bibir mungil di depannya ia kecup. Hanya sekilas, setelah itu mereka tertawa bersama.

Sakura menangkup wajah Naruto. Mengelus pipi halus tersebut, dan sedetik kemudian ia bergeming untuk mengecupnya. "Dua hari, tapi rasanya seperti dua tahun. Aku merindukanmu." Kali ini ujung hidung yang gantian di kecup olehnya. "Aku belum pernah mendengar ungkapan cinta darimu. Kau mencintaiku?"

"Kenapa bertanya seperti itu?" Naruto malah balik bertanya. Serupa dengan pertanyaan Sakura tadi.

Sakura mendengus. Seperti apa sih sosok Naruto yang sebenarnya? Kenapa sulit sekali untuknya mengatakan 'aku mencintaimu, Sakura'? Apa susahnya coba? Sakura tak habis fikir, bagaimana bisa Naruto menjadi Suaminya tanpa pernah sekalipun mengatakan 'aku mencintamu'? Terdengar aneh. Sangat aneh malah. Tapi itulah kenyataan dalam hidup Sakura.

"Kau mencintaiku atau tidak?" Sakura mendesak Naruto. Pria itu memang aneh, juga 'unik'. Tak pernah mengungkapkan isi hati, tapi bisa dengan mudah menikahinya. Kerap bercinta lagi. Bahkan pernah sampai membuat kaki ranjang patah karena keganasannya saat berpacu.

Wajah Sakura memanas gara-gara mengingat malam-malam indahnya bersama Naruto. Ini memalukan! Bisa-bisanya ia terfikir sampai jauh ke sana. Apa mungkin ini karena efek dari rasa rindunya kepada Naruto? Hingga membuat otaknya memikirkan hal-hal mesum tentang mereka. Aiissh! Memalukan sekali!

"Kenapa bertanya seperti itu?" Lagi. Pertanyaan serupa kembali Naruto lontarkan, membuat Sakura mendengus lebih keras. Naruto heran. Kenapa dengan Sakura? Di racuni apa fikirannya sampai menanyai hal konyol macam itu? Tanpa bertanyapun seharusnya dia sudah tahu, pernikahan mereka bisa terjadi karena di awali oleh rasa cinta. Kalau tidak karena cinta, mana mungkin ia mau menikahinya, bahkan sampai menyentuhnya hampir setiap malam.

Nyonya Namikaze itu memang aneh...

"Sepertinya kau tak mencintaiku." Suara Sakura memelan, terdengar sedih di telinga Naruto.

Lelaki pirang itu memutar bolan mata. "Sakura. Istriku yang bodoh." Dadanya langsung mendapat cubitan ketika Sakura mendengar kata 'bodoh' dalam kalimatnya. Ia meringis, namun hanya sebentar dan setelah itu kembali beradaptasi dengan akar permasalahan mereka. "Sakura, mana mungkin aku mau menikahimu tanpa ada rasa cinta. Ketahuilah! Semua terjadi berdasarkan cinta."

Sakura mengulum senyum mendengarnya. "Bisa saja kau menikahiku karena kasihan, bukan berdasarkan cinta." Nadanya memelan, berkata seolah memang benar apa yang di ucapkan olehnya. Takut sih. Takut Naruto marah. Tapi mau bagaimana lagi, ia tak punya cara lain untuk dapat mendengar ungkapan hati Naruto dari bibir sexy-nya secara langsung.

Naruto melepaskan dekapannya. Mencekal bahu kecil Sakura kemudian menatap tajam wajah sok polos itu. Wanita itu terlihat manis dengan memasang wajah seperti itu. Terlihat menggemaskan. Tapi Naruto tidak punya waktu untuk merasa gemas terhadap Sakura, ia terlampau serius untuk di ajak bercanda.

"Sesulit itu 'kah mengatakan cinta kepadaku." Sakura cemberut.

Terdengar suara decak dari Naruto. "Bukan begitu. Kufikir kau akan mengerti dengan sendirinya ketika melihat perlakuanku kepadamu selama ini." Ia menatap lekat jade terang tersebut. Menyalurkan cintanya melalui pandangan mata.

Sakura mengangguk tanda mengerti. "Iya, aku tahu. Tapi aku cuma ingin mendengar ungkapan cinta secara langsung dari bib—"

"Aku mencintaimu, Sakura Namikaze." Kontan, ucapan Sakura tersela ketika Naruto langsung menimpal sebelum kalimatnya terbilang hingga tuntas. Naruto rasa, hanya dengan sekali ungkapan pasti sudah mampu membuat Sakura kehabisan kata-kata.

Wanita itu tersipu. Ia menunduk, menyembunyikan pipi memerahnya dari tatapan lembut Naruto. "Aku juga mencintaimu.. sangaaaat mencintaimu, Suamiku." Setelah itu ia langsung menubruk tubuh Naruto. Memeluknya erat sambil tersenyum-senyum.

Menurut Naruto, Istri terkasihnya itu memang sosok wanita yang aneh...

.

.

.

"Pelan-pelan.."

Naruto berkerut. Merasa sedikit tak nyaman dengan perlakuan Sakura kepadanya, memperlakukan dirinya selayaknya orang yang baru saja pulang dari Rumah Sakit setelah mengalami kecelakaan parah. Ayolah.. ia tak suka di perlakukan seperti itu. Biasa saja, karena ia tak sakit separah itu.

"Aku bisa sendiri."

Sakura berdiri lalu bercacak pinggang. Mata Naruto bergerak, melirik keberadaan wanita pinkish itu. Ia acuh, kemudian duduk di pinggir ranjang dengan sendirinya.

"Aku baik-baik saja setelah melakukan perawatan rutin selama satu minggu. Sekarang aku sudah sehat seperti biasa."

Sakura menggeram. Naruto.. dia benar-benar keras kepala. Sebenarnya lelaki pirang itu terbuat dari apa sih? Kenapa dia begitu keras kepala? Hal itulah yang kerap membuat Sakura sangat ingin menggulat Naruto sampai dia jera dan tidak lagi berkeras hati.

"Terserah. Aku sudah tidak mau lagi mengurusimu!" Sakura berbalik. Nyaris membuka langkah, niatnya langsung terhenti ketika Naruto menangkap lengannya lalu menyentaknya hingga tubuhnya terputar.

Kini mereka saling berhadapan...

Deruan nafas Naruto menerpa hidung mungil Sakura. Terasa hangat dan berbau mint. "Aku rindu padamu."

Ungkapan yang singkat, namun jelas dan padat. Sakura terpaku di tempat, telah terjerat dalam pesona dari sepasang blue safir di hadapannya. Ia bahkan sampai tak berkedip, terlebih ketika Naruto merunduk— mendekati wajah memerahnya dengan seulas senyum. Ia menginginkan pria itu. Sangat menginginkannya.

Keduanya saling menipiskan jarak wajah mereka...

Seiring berjinjit, kelopak lentik Sakura terkatup. Naruto terkekeh melihatnya, dan kian mendekatkan wajah mereka. Lebih tepatnya mendekatkan bibir mereka yang sama tipis dan menggodanya. Mungkin lebih menggoda Naruto dari pada Sakura.

Sedikit lagi...

Tiing.. toong!

Nyaris. NYARIS! Tadi itu nyaris sekali Sakura dapat merasakan bibir sexy Naruto. Namun sialnya, bel pintu berbunyi kala itu juga. Tentunya si pengganggu tersebut telah mengacaukan keinginan Sakura. Padahal sedikit lagi bibir mereka akan bersentuhan. Tapi...

Sial! Benar-benar sial.

"Mungkin Ibumu." Naruto bersuara.

Sakura cemberut. "Tunggu di sini, biar aku saja yang buka." Ucapnya kesal, setelah itu melangkah keluar dari kamar dan meninggalkan Naruto yang sedang tersenyum geli. Pria itu merasa sangat beruntung sekali karena memiliki Sakura dalam hidupnya yang 'tanpa' siapa-siapa.

Cklekk!

Setelah membuka pintu, Sakura langsung di buat terbelalak seketika kala ia mendapati seorang wanita bersurai pirang pucat sedang berdiri di sana. Menatap tak kalah terkejut darinya, dan ikut melotot. Bahkan pelototan perempuan itu lebih lebar darinya.

"Kau.." Tak lagi melotot, namun kali ini Sakura menyeringit tak senang. "Apa yang kau lakukan di sini!" Ia menudingnya langsung.

Ino membalas tatapan tak senang yang terlempar padanya. "Seharusnya aku yang berhak bertanya. Apa yang kau lakukan di apartement Naruto!" Oktafnya mengalun tinggi, namun tak terdengar sampai jauh ke dalam. Terutama ruang kamar.

"Apa yang aku lakukan di sini!?" Sakura memicing. "Tentu saja tinggal bersama Naruto." Imbuhnya lagi, sukses membuat emosi Ino tersulut.

Perempuan berkuncir tinggi itu memaksa masuk, namun Sakura dengan sigap menghalangi jalannya. "Hey! Biarkan aku masuk!" Desaknya seraya mendorong-dorong Sakura agar menjauh dari jalannya.

Wanita pink itu berkeras. "Tidak boleh!" Bersusah payah ia mempertahankan diri agar Ino tak bisa masuk. "Pergi dari sini!" Ia bergerak ke kiri dan ke kanan, menghadang jalan perempuan itu.

Ino berdesis kemudian berdiri sambil menatap Sakura dengan sorot tajam. "Apa hakmu melarangku untuk bertemu Naruto dan mengusirku hah!"

Sakura balas memicing, dan tak kalah tajamnya dari sorot aquamarine di hadapannya. "Haknya!" Tubuhnya tegak dengan sigap. "Karena aku Istri Naruto. Kau tahu!" Jawaban yang di berikan olehnya sukses membuat putri Yamanaka tersebut terkesiap.

Ino terdiam dengan mata mengerjap. Naruto punya Istri? Sejak kapan? Kenapa ia tak mendapat kabar 'seburuk' itu? Mustahil! Mana mungkin Naruto sudah menikah. Kalau memang terjadi, itu pasti dirinya yang akan menjadi Istri sah lelaki Namikaze itu. Bukan yang lain. Camkan itu! Bukan yang lain.

"Pembohong!" Ino menerobos masuk. "Naruto.. Naruto!" Suaranya memenuhi ruangan, memanggil-manggil Suami orang. "Naruto sayang! Kau di mana? Ayo keluarlah, aku datang untuk dirimu." Biru pucat miliknya bergerak jeli, menyapu setiap ruangan untuk menemukan sosok Naruto.

Wajah Sakura memerah karena amarah. Apa? Naruto sayang katanya? Dasar wanita sialan! Berani sekali dia memanggil Suaminya dengan sebutan seperti itu. Memangnya dia siapa? Saudari bukan, pacar bukan pula. Istri apa lagi. Lancang sekali mulutnya. Apa dia minta di hajar? Kalau minta coba bilang sejak awal, tak perlu pakai israyat murahan seperti itu.

Sakura berlari menghampiri Ino, dan langsung menarik lengan perempuan itu. "Lepas!" Ino meronta, berusaha melepaskan cekalan erat terhadap lengannya.

"Ada apa ini! Kenapa ribut-ribut!?" Naruto muncul dari balik pintu kamar, keluar dengan hanya mengenakan kaos oblong bewarna putih polos. Baju tipis itu membalut tubuh sexy Naruto dengan ketat, hingga jelas menampilkan bentuk tubuh berototnya yang terlihat sangat menggiurkan untuk di elus dan di nikmati.

Kontan, melihat kehadiran Naruto, secara reflek Ino langsung berhasil melepaskan diri dari 'jeratan' Sakura. Ia berlari menghampiri Naruto, lantas langsung menerjang pria tampan itu dengan pelukan erat. Seerat jeratan borgol yang tak akan pernah bisa di buka tanpa bantuan kunci. Sakura sampai kewalahan ketika berusaha melepaskan Ino dari Naruto.

Erat sekali...

.

.

.

"Dasar wanta gila! Gila! Gila! Gila! AARRGHH!"

PRAANG!

Teflon berukuran mini melayang, kemudian menghantam sekeras-kerasnya dinding kicthen set yang di lapisi keramik. Sakura yang melakukannya nampak berapi-api, dan hidungnya mengendus seperti banteng.

Mengingat kejadian yang baru beberapa jam tadi berlalu, membuat amarah Sakura kian berkobar ganas. Kemarahannya tak terkendali. Ino Yamanaka, wanita kelewat centil itu sempat mengecup bibir sexy Suaminya sebelum pergi pulang. Tentunya itu membuat hati Sakura dongol setengah mati. Apa lagi kalau mengingat do'a-nya yang terdengar tulus dari hati yang terdalam, membuat kekesalan Sakura kian bertambah.

Siapapun pasti tak akan senang bila mendengarnya...

'Semoga kau dan Istrimu lekas cerai..'

Do'a macam apa itu? Terdengar begitu menyakitkan di telinga. Sakura tak habis fikir, bagaimana bisa ada wanita segila Ino Yamanaka yang menyukai Naruto. Bahkan sampai terobsesi karena sangking tak mampunya lagi memendung rasa sukanya itu.

'Aku tunggu Dudamu, Naruto'

Ucapan Ino selanjutnya terdengar lebih kurang ajar lagi. Tega-teganya dia mendo'akan pernikahan mereka dengan ucapan 'tak layak' itu. Terlihat jelas bahwa wanita PIG! itu benar-benar mengharapkan mereka berpisah. Dia memang wanita tak waras! BENAR-BENAR GILA!

"Wanita sialan! Benar-benar wanita centil sialan!" Perempuan pink itu merutuk dengan kata sumpah serapah yang keluar dari mulutnya. Saat ini ia merasa begitu kesal, terbesit rasa keinginan untuk mencakari wajah molek Yamanaka itu menggunakan kuku-kuku panjangnya. Pasti akan menyenangkan melihat dia berteriak histeris begitu menatap wajahnya sendiri di depan cermin.

Bodoh! Dari pada memikirkan orang gila itu, lebih baik ia 'merape' Naruto saja. Sekalian melepaskan rasa rindu yang lama tertahan. Pasti akan jauh lebih menyenangkan di banding mencakar wajah Ino. Lagi pula, sudah lewat dari satu minggu ia dan Naruto 'libur' bercinta. Sakura rindu sekali, dan ingin merasakan lagi getaran-getaran cinta yang kerap di salurkan Naruto kepadanya.

Bukan ide buruk...

Sakura membuka langkah, berjalan menuju letak ruang tamu. Ketika mendapati Naruto sedang duduk di depan televisi, iapun bergegas menghampirinya ke sana. Berjalan dengan langkah tergesa, kemudian langsung menarik baju Naruto setelah tiba di sana, hingga mengejutkan empunya di tengah asyik melihat acara televisi.

"Sak— hmpph...!" Naruto terkejut dengan tindakan Sakura. Wanita itu mendorong dadanya hingga ia terbaring di sofa. Bibirnya di pagut dengan rakus, bahkan sampai di gigit hingga membuatnya berjengit seketika.

Kenapa dengan Isrtinya itu?

"Uhmmhph~"

Sakura yang memulai ciuman, dia pula yang memulai desahan. Tubuh atletis Naruto berada di bawah tindihan badan mungilnya, dan kini tangannya bergerak nakal merayapi bagian pinggang Naruto. Sedang mencari sesuatu di daerah sana.

"Ahh! Shit!" Naruto mengumpat di sela ciuman mereka.

Sakura menyeringai. Segera melepaskan pagutan bibir mereka, lalu duduk di atas perut Naruto. Persetan dengan lukanya. Toh, lukanya juga sudah sembuh. Hanya meninggalkan luka luar yang belum pulih total. Tapi tak apa. Naruto pria yang kuat kuat, luka segitu tak berarti apa-apa baginya.

Jemari lentik milik Sakura memainkan tali celana training Naruto. Membelit-belitkannya sebelum bertindak untuk melorotkannya sampai terbuka. Naruto berkerut, menatap wajah nakal Sakura dengan mata berkabut. Libidonya bangkit begitu pesat. Terlebih cukup lama mereka tidak melakukan 'itu' lagi.

Salahkan saja dirinya yang sempat masuk Rumah Sakit sampai lewat dari satu minggu...

Sakura menunjukan senyum genitnya kepada Naruto. Merayap turun ke bawah, dan berhenti begitu tiba di area selangkangan pria itu. "Naru sayang, aku menginginkan 'ini'." Pintanya manja seraya mengelus celana— bagian luar Naruto. Dapat di rasakan olehnya, 'sesuatu' di dalam sana bertambah keras. Memang awalnya sudah keras karena ulahnya, namun sekarang lebih keras dari sebelumnya.

Naruto bangun untuk duduk. Mendekati wajah memerah Sakura, lalu memegang sebelah pinggangnya. "Lakukan sesusakumu." Bisikannya menguar tepat di telinga Sakura. Detik berikutnya, dadanya di dorong. Reflek, iapun kembali terbaring di sofa sambil tersenyum sexy.

Sakura menurunkan celana dari pinggang Naruto dengan tergesa. Tak sabar ingin lekas mengulum 'barang' milik Naruto. Ingin memanjakan 'adik kecil' tersebut.

Dulu ada satu hal yang paling Naruto takuti dari Sakura. Tapi sekarang pemicu rasa takut Naruto telah terganti dengan hal lain, dan kini ia malah menyukai apa yang bisa membuatnya takut kepada Sakura. Kenakalan wanita itu. Dulu ia begitu menakutinya, tapi sekarang malah menyukainya. Telah tercandu oleh setiap perbuatan-berbuatan nakalnya.

Naruto mendongak, mengarahkan pandangan pada langit-langit ruang dengan kelopak terbuka kecil. Dahinya berkerut, dan alis tipisnya saling bertaut. Sakura.. perempuan merah muda itu. Dia benar-benar nakal. Kelewat nakal.

"Aahh!" Bersamaan dengan meloloskan desahan menggunakan khas suara jantannya, Naruto bangkit dengan cepat lalu duduk seraya menyentuh kepala Sakura. Ia memiring, mengamati wajah bersemu Sakura dari arah samping, dan sesekali menyingkirkan helaian soft pinknya, kala mahkota seindah bunga musim semi tersebut berjatuhan hingga menyembunyikan paras manis empunya.

Sakura bergerak gelisah, merasa tak nyaman dengan gejolak dalam dirinya. Naruto yang menyadarinya ancap bertindak. Mengelus dari punggung hingga pinggang bawah Sakura menggunakan satu tangan, satu tangannya yang tersisa tengah mengusap pipi mulus Sakura, dan terkadang kembali menyingirkan rambutnya yang berjatuhan.

Naruto semakin bernafsu ketika melihat mulut mungil Sakura 'penuh'. Ia jadi ingin segera 'menyantap' makan malam penutupnya itu. Ingin membuat bibir peach itu melenguhkan namanya, dan ingin mendekap erat tubuh mungil itu di sela 'penyatuan' mereka.

"Sshh!" Naruto berdesis saat di rasa miliknya hanya mampu di kulum tak sampai setengah. "Cukup!" Bergegas ia mengeluarkan tubuhnya dari rongga hangat Sakura. Tak ayal, ulahnya mengundang tatapan sayu dari emerald indah milik wanita itu. "Aku ingin di 'dalam'. Sekarang!" Suaranya terdengar parau, namun terkesan menggoda bagi Sakura.

Perempuan itu beranjak. Kembali menduduki 'area' Naruto, lalu menarik keluar baju pria itu melalui lehernya. Ia mempertemukan bibir mereka, saling membalas lumatan di tengah membiarkan celana dalamnya di lorotkan, lalu di susul dengan baju rumahan yang masih melekat di badannya.

Naruto melepaskan bibir mereka, menatap wajah merah pekat Sakura dengan mata berkabut. "Basah sayang." Ia menyeringai. Menggoda tubuh basah Sakura dengan jari tengahnya. Alhasil, tubuh Sakura langsung bergetar seperti di sentrum. Ia merasa jarinya seolah memiliki aliran listrik.

"Uuhh~" Sakura langsung menggigit bibir. Menggeleng saat bertemu pandang dengan shappire milik Naruto, memohon kepadanya dengan wajah memelas, seolah mengatakan 'please, cepat masukan'.

Naruto meninggalkan tubuh basah Sakura. "Tidak dengan jari." Usai berkata sebegitu singkat dan jelasnya, ia segera mengangkat bokong Sakura kemudian langsung memasukan miliknya ke dalam 'liang' basah Sakura. Pijatan rakus yang lebih dulu menyapanya ketika ia berhasil masuk dalam sekali hentakan.

Di tengah memeluk erat leher Naruto, rintihan Sakura terdengar. Tubuhnya penuh, dan itu terasa cukup perih. Tapi tak seperih waktu pertama kali. Ia bergerak, melepaskan pelukannya terhadap leher Naruto lantas menatap wajah tampan pria itu dari atas. Jelas terlihat oleh matanya, dia kelihatan begitu kenikmataan setelah berhasil masuk hingga ke pangkal.

Sakura menggerakan pinggulnya pelan, dan tersenyum ketika Naruto menatapnya dengan mata liar. "Jangan suka menggoda, atau aku akan membuat bibirmu tak bisa berhenti memekik." Nadanya terdengar tajam. Efek karena di kendalikan oleh nafsu birahi.

Sakura tersenyun puas. "Kita lihat, siapa yang tidak akan bisa berhenti memekik." Ia mulai bergenjot, dan Naruto langsung mencengkram pinggulnya. "Kau akan kubuat terus menggeram, sayangku." Gerakannya mulai cepat dengan perlahan. "Engghh... Naruhh~" Ia mendesah tak tahan. Rasanya nikmat sekali, hingga bibirnya tak bisa terkatup agar tak meloloskan desahannya.

Naruto menyeringai. Sakura menatangnya dengan penuh percaya diri, tapi lihatlah sekarang. Pacuan mereka masih belum seberapa, dan bibir mungilnya langsung meloloskan desahan. Naruto bersumpah dalam hati, ia pasti akan membuat Sakura lumpuh. Lihatlah besok. Jangan sebut nama Naruto Namikaze, bila besok Sakura masih bisa bangun dan berjalan tanpa bantuan gendongan.

Naruto percaya, Sakura pasti akan lumpuh selama sepagian. Ia sangat yakin, sebab ia begitu kerap membuat perempuan itu tak bisa berjalan barang selangkahpun. Ia benar-benar membuatnya lumpuh, sampai butuh gendongan untuk dapat mandi membersihkan tubuhnya dari bebauan cairan cinta mereka yang tercampur menjadi satu.

Tapi, Sakura cukup kuat untuk ukuran wanita sekecil dirinya. Naruto suka wanita yang kuat, dan Naruto bangga memiliki seorang Istri sesempurna Sakura. Ia cinta Sakura. Selamanya akan tetap cinta Nyonya Namikaze tersebut.

.

.

.

.

The End–

Terimakasih

.

.

.

.

Epilog singkat! :D

Enjoy It!

.

.

.

Emerald milik Sakura bergulir mengikuti pergerakan seorang dokter yang tengah berjalan menuju ke tempatnya sedang duduk 'menunggu'. Dokter berambut pirang berkuncir rendah dan di jadikan dua bagian itu duduk di hadapan Sakura, saling bertatap wajah dari seberang meja.

"Apa yang terjadi dokter? Kenapa badanku terasa letih dan meriang?" Pertanyaan Sakura mengalun. Tak lupa, rasa cemas juga tengah menghinggapi perasaannya. Sejak beberapa hari lalu ia merasa tubuhnya lemah, cepat lelah dan kerap tidur sebelum jam tidurnya.

Sakura cemas. Tentu. Ia takut kalau sampai terkena serangan penyakit dalam, karena ia belum siap untuk pergi secepat itu. Meninggalkan Naruto, dan tak bisa lagi mendekap pria itu dalam kehangatan nyata. Ia masih ingin hidup bersama Suami pirang tercintanya itu, dan masih ingin menghambiskan waktu berdua selama mereka masih bersama.

Tsunade, nama dokter sexy dan awet muda itu. Selembar kertas ia sodorkan di atas meja, menyerahkannya kepada Sakura. Rasa cemas perempuan itu kian ketara dalam menghantuinya. Ia takut untuk meneliti barisan huruf di dalam kertas putih tersebut. Takut bila sampai menemukan teks yang menandakan bahwa ia benar-benar terserang penyakit ganas.

Semacam kanker, tumor, leukemia dan jenis penyakit mematikan lainnya.

Do'a dalam batin Sakura menyertai bersamaan dengan ia mengambil kertas dari sodoran dokter cantik di hadapannya. Menelitikan titik fokus pupilnya ke barisan huruf yang terjejer rapi di sana, dan membaca setiap teksnya dalam hati.

Setelah beberapa menit berlalu, telitian mata Sakura pada raturan huruf sudah selesai. Ia tepaku setelah itu. Diam sambil mengerjap dan berulang kali menatap antara percaya tak percaya pada satu barisan teks yang terpisah.

Positive..

Positive apa itu? Mungkin 'kah positive bahwa ia benar-benar menghindap penyakit mematikan? Atau mungkin lain dari hal tersebut? Mungkin saja...

"Apa ini tak salah, dokter!?" Mata bulat Sakura melebar, dan bertemu pandang secara langsung dengan iris hazel milik Tsunde.

Wanita berdada besar itu mengangguk dengan wajah serius. "Ini memang benar." Jawabnya tegas.

Mata Sakura mulai merah dan basah. 'Akuu...akuu...' Ia membatin.

"Nyonya Namikaze, Anda..."

.

.

.

Setelah menghabiskan waktu di kantor barunya dari pagi sampai malam, tibalah saatnya Naruto pulang. Dan kini lelaki itu terlihat sedang berjalan menyusuri koridor apartement, dan sesekali balas tersenyum kepada orang yang tersenyum ramah kepadanya. Ia lelah, namun masih bisa menunjukan kehormatannya tanpa memasang ekspresi kusut. Sekusut rambut pirangnya yang acak-acakan.

Walau begitu, tetap tak bisa di hilangkan paras tampannya. Atau mungkin dia malah terlihat semakin tampan dengan rambutnya yang acak-acakan seperti itu.

Naruto membuka pintu, lalu masuk seraya melonggarkan lilitan dasi hitam dari lehernya. "Aku pulang!" Serunya lalu tersenyum ketika mengingat ada orang yang dengan setia menunggunya pulang dari kerja.

Dulu apartement-nya selalu kosong. Terutama saat ia sedang berada di tempat kerja. Tapi itu hanya dulu, tidak dengan sekarang. Kini apartement-nya tak pernah lagi kosong, sekalipun ia ada di tempat kerja. Bahkan terkadang kerap lembur, namun selalu ada seseorang yang sanggup menunggunya pulang hingga larut.

Kadang-kadang Naruto melihat orang itu tengah tertidur di sofa, dan terkadang pula orang itu langsung menyambut kepulangannya dengan senyum 'termanis' yang pernah ada dan seruan riang. Tak lupa, ia juga mendapat pelukan erat dan kecupan di pipi dari orang itu.

Naruto memang cenderung. Tapi ada kalanya juga pria itu bisa bersikap penuh kasih sayang dan kerap memperlakukan pasangan hidupnya dengan perlakuan romantis.

"Anataaaaa... selamat dataaang.."

Dan benar saja. Tak berselang menunggu hitungan satu menit habis, Naruto langsung di buat tertawa gara-gara Sakura. Terlihat di sana, perempuan pinkish itu muncul dari arah dapur dan langsung berlari menuju letak pintu. Lebih tepatnya bergegas menyambut kepulangan sang Suami.

Grephh!

Naruto sedikit terhuyung ketika mendapat tubrukan dari Sakura...

"Anata, ada sesuatu yang ingin aku sampaikan kepadamu." Kepala Sakura mendongak, menatap wajah tampan Naruto dari garis dagu lancipnya tanpa melepaskan pelukannya terhadap lelaki pirang itu.

Naruto mengecup kening lebar Sakura. "Hm!? Sesuatu apa itu?"

Perempuan itu tertawa cekikikan. "Jangan kaget yaa."

Naruto tertawa pelan. "Tergantung sampainmu." Balasnya sambil memberi kecupan pada hidung mancung Sakura. Wanita itu memerah seketika.

Sakura menyandarkan sisi kepalanya di dada bidang Naruto. "Aku Hamil." Ia tersipu malu. Mengulum senyum dengan pipi merona, dan tak sanggup menengadah untuk melihat ekspresi Naruto saat ini. Ia merasa malu. Malu sekali.

Naruto terdiam detik itu juga. Mencerna dengan baik ucapan Sakura barusan, hingga tanpa sadar ia meneteskan air mata. Apa ini mimpi? Naruto tak yakin ini kenyataan. Ia yang sebelumnya tak pernah memiliki keluarga, sekarang malah menjadi kepala keluarga.

Sulit untuk di percaya...

Jadi, sebahagia ini rasanya memiliki keluarga? Jujur, baru kali ini Naruto merasakan kebahagiaan yang sangat mendalam. Hatinya berdesir, perasaannya menghangat, dan cintanya semakin kuat. Naruto.. dia mencintai Sakura. Sangat mencintai Istrinya itu.

Sakura terpaku kala Naruto langsung mendekapnya dengan erat. Begitu erat. "Terimakasih untuk semuanya." Dapat ia dengar, bisikan pria itu yang terdengar pelan di telinganya. Sepertinya dia menangis.

Sakura terharu. Rasa ingin ikut menangis tak dapat ia hindari. Terkadang Naruto bisa membuatnya bahagia, dan terkadang pula bisa membuatnya merasa sedih. Terutama bila sesuatu terjadi kepadanya, ia akan langsung kalap detik itu juga. Sakura cinta kepada lelaki itu. Sangat mencintainya.

"Aku mencintaimu, Sakura."

Wanita Namikaze itu tersenyum di sela menitikan air mata. Bukan air mata kesedihan atau apa, tapi air mata tanda bahagia. Ia bahagia hidup bersama Naruto, dan rasa bahagianya kian ketara begitu mengetahui bahwa saat ini ia sedang Hamil. Sedang mengandung benih cinta dari Naruto. Buah dari hasil benih cinta mereka berdua.

Cinta yang abadi...

"Aku juga mencintaimu.. sangaaaat mencintaimu, Suamiku." Sakura melepaskan pelukan mereka. Kepalanya menengadah, menatap wajah tampan Naruto yang nampak sedikit sembab. Ia tertawa. Naruto terlihat lucu dengan mata bengkak dan merah samar seperti itu.

Sakura mengangkat tangan, lalu mengusap pipi basah Naruto dari jejak air mata menggunakan jempolnya. Kakinya berjinjit, kemudian mengecup bagian bawah mata Naruto. "Terimakasih untuk cintamu kepadaku." Dan setelah itu, ia kembali memeluk pria itu.

Kali ini Sakura mendekap Naruto. Mengelus surainya, dan membiarkan dia menikmati pelukan yang ia berikan. Naruto membungkuk, dan memeluk pinggang ramping Sakura. Membagi kebahagiaannya kepada sang Istri, lalu tersenyum di balik leher mulusnya.

Ini hari paling bahagia bagi Naruto. Melebihi rasa bahagianya saat menikahi Sakura...

.

.

.

Dahi Naruto berkerut, dan alis pirangnya saling bertaut. "Tsuma, kenapa dia tak bersuara?" Pertanyaan polosnya terlontar, dan kian mendesakan telinganya di perut Sakura yang masih terlihat rata. Tidak ada suara apapun yang terdengar di dalam perut Sakura. Seharusnya ada, 'kan di dalam perutnya terisi bayi.

Sakura terkikik geli. "Naru sayang. Dia memang tidak bersuara sebelum lahir, hanya bisa menendang di dalam sana." Jemari lentik miliknya tersemat dalam helaian Naruto. Terasa lembut seperti sutra.

Kali ini Naruto memegang perut Sakura, merasakan pergerakan di dalam sana dengan telapak lebarnya. "Tidak bergerak?" Ia berkerut, dan semakin bingung. Mendongak di bawah Sakura, dan menatap wajah cantiknya dari bawah.

Kenapa bayinya tidak bergerak? Apa dia hidup di dalam sana?

Kini Sakura meloloskan tawa gelinya. Naruto lucu sekali. Biasanya dia selalu pintar, apa lagi kalau sudah menyangkut tentang pelajaran Rumus Matematika, bisa di bilang dia ahlinya. Yang membuat Sakura tertawa, benar-benar tak terkira olehnya bahwa ternyata Naruto bisa menjadi seorang pria yang polos. Begitu polos.

"Sayang. Tentu tak begerak, karena dia masih janin." Sakura menyentuh pipi halus Naruto, mengelusnya lembut. "Nanti kalau sudah memasuki usia bulan, dia baru bisa bergerak setelah kaki dan tangannya terbentuk." Jelasnya sambil menunjukan senyum manis.

"Masih janin?" Mata Naruto bergulir. Menatap perut rata Sakura dari balik baju langsungnya. "Jadi bayi juga butuh pemrosesan pertumbuhan seperti kita?"

Sakura mengangguk. "Benar."

Menengadah sesaat, kemudian Naruto berdiri dari kaki sofa. Duduk disamping Sakura sambil menghimpit badan kecil perempuan itu di dekapanannya. "Mulai hari ini aku libur mendapat jatah sampai bayiku lahir." Ia menghela nafas. "Pasti lama sekali menunggunya ya.."

Sakura menoleh pada Naruto. "Kenapa harus menunggu sampai anak kita lahir? Kalau mau sekarang kita masih bisa melakukannya kok." Dahi lebarnya menciptakan sebuah kerutan tebal di sana.

Naruto menggeleng. Menolak. "Tidak. Aku takut sampai mengganggu masa pertumbuhan bayiku." Ia melihat Sakura, menatapnya dengan wajah yang benar-benar terlihat polos. Sakura sampai di buat gemas olehnya.

Perempuan pinkish itu terkikik. Naruto polos sekali, sampai membuatnya gemas begini. "Narutooo..." Kedua pipi lelaki ia cubit. Ia tarik dengan gemas. "Tak kusangka ternyata dirimu bisa sepolos ini, cintaku.."

Pria itu hanya diam membiarkan pipinya di tarik gemas oleh sang Istri...

Sakura melepaskan cubitannya. "Memangnya kau mau tak bercinta denganku sampai nyaris satu tahun." Naruto memucat. Buru-buru ia menggeleng. "Kalau begitu sentuhlah aku kapanpun kau mau. Tidak apa-apa kok, 'dia' pasti mengerti." Sakura menyentuh perutnya, dan mengelusnya dengan gerakan lembut sambil menatapnya dari atas. Tatapan matanya menyorotkan rasa cinta dan kasih sayang yang begitu mendalam.

Naruto merona. Namun begitu samar untuk dapat di lihat. Sakura kembali menatapnya, kemudian membuat jarak antara mereka. Nafasnya tertahan ketika Sakura membuka baju, lalu menatapnya dengan pandangan menggoda.

"Mau sekarang juga tak apa.." Naruto lekas memegang kedua pinggang ramping Sakura, dan berbaring ketika wanita itu mendorong pelan dadanya. "Tapi pelan-pelan ya, jangan terlalu keras. Nanti 'dia' bisa terganggu." Sakura bekerja— melepaskan balutan baju hitam dari tubuhnya.

"Aku tak janji." Naruto nyengir.

Sakura mendengus. "Baiklah. Tak apa kalau cuma sesekali." Baju milik Naruto ia lempar ke sembarang tempat. Membuangnya sampai tercecer di lantai. "Sshh! Aku sudah tidak tahan lagi, Anata.." Ia berdesis. Rasanya, ini seperti efek dari kehamilannya. Kebanyakan, wanita yang sedang Hamil muda selalu meminta hal-hal aneh. Gejolak aneh itu di sebut Mengidam.

Naruto bangun, dan mendekatkan wajahnya pada wajah Sakura yang nampak memerah. "Kita lakukan di sini saja lagi. Seperti kemarin malam." Seringainya tercipta. "Bagaimana?"

Sakura menggigit bibir bawah, lalu menjilatnya setelah itu. "Di mana saja tak menjadi masalah, asal bersama dirimu." Ucapnya singkat, namun padat dan jelas.

Naruto tak sempat membalas, ketika Sakura langsung mencumbu bibirnya. Ia sempat menyeringai, kemudian balas melumat pagutan bernafsu terhadapnya. Telapak lebar miliknya mencengkram bokong Sakura. Bahkan sampai memijatnya dengan remasan menggoda, hingga terdengar lenguh manja dari si pemilik belahan pantat nan padat tersebut.

"Aummhh~" Sakura bergerak gelisah. Menduduki perut Naruto, dan bergoyang di atas 'keintiman' Naruto. Sedikit melakukan gerakan menggoda untuk Naruto. Dan nyatanya, tindakannya berhasil melepaskan geraman pria itu. Terdengar begitu sexy di telinga Sakura.

Bibir mereka terpisah...

Tak berhenti sampai di situ, Sakura menurunkan ciumannya. Mengecupi setiap kulit sexy Naruto, hingga kemudian berhenti sepenuhnya kala tiba di lekukan leher Naruto. Ia tak bergeming dari sana, dan berkutat dengan kulit berbau harum maskulin tersebut. Menghisapnya sampai meninggalkan ruam merah di sana.

Naruto terpejam dengan bibir melengkung ke atas. Tengkuk Sakura ia sentuh, dan memijatnya dengan sentuhan lembut. Sakura begitu bernafsu, sangat di sayangkan bila sampai di lewatkan. Naruto tertawa pelan ketika merasa kulit lehernya di gigit lembut. Rasanya geli.

Sakura memang nakal. Benar-benar wanita nakal. Tapi Naruto menyukainya. Sangat menyukainya malah. Menurutnya itu adalah kelebihan alami dalam diri Sakura. Anugrah terindah yang di kirim Kami-sama kepada Istrinya. Sakura Namikaze.

.

.

.

.

.

OWARI