takdir

Naruto©Masashi Kishimoto

Sekuel 'godaan (?)' - SasuSaku - AU - Islamic Content - DLDR

.

.

.

.

.

.

"Ano, kalau boleh aku tau … siapa … namamu?"

"Sasuke. Uchiha Sasuke."

.

.

.

.

.

Sakura menutup lembar terakhir buku yang dibacanya. Buku berjudul Menjadi Muslimah yang Dirindukan Surga itu didekapnya di depan dadanya. Matanya menatap rintik air hujan melalui jendela kamarnya. Dari kamarnya, ia melihat sepasang suami istri yang menjadi tetangganya baru saja pulang entah darimana. Terlihat sang suami tengah memayungi sang istri yang sedang menggendong putra mereka. Sakura tersenyum melihat pemandangan itu. Kemudian ia kembali menatap buku yang baru selesai dibacanya. Ia pandangi buku itu begitu lama. Hingga tanpa sadar airmata jatuh menetes membasahi buku tak berdosa tersebut.

Ingatannya kembali pada masa 15 tahun silam. Masa dimana kegadisannya direnggut paksa oleh orang tak dikenalnya. Masa dimana kemudian orang-orang mengucilkannya. Teman-temannya, tetangganya, bahkan orangtuanya pun tak henti menyalahkannya. Hingga akhirnya ia sampai pada batasnya.

Bunuh diri.

Berulang kali ia melakukannya. Dan berulang kali ia gagal. Ia tak habis pikir mengapa ia masih hidup. Karena ia merasa bahwa semuanya sudah berakhir. Hidupnya sudah hancur. Ia tak memiliki pegangan. Tak ada. Keluarganya bagaikan orang asing. Ia sendirian. Dan satu-satunya cara melarikan diri adalah dengan bunuh diri. Hanya itu cara yang dipikirkannya pada saat itu. Hingga suatu ketika saat ia sekarat, di alam bawah sadarnya, ia seakan bertemu dengan seorang tua yang tak dikenalnya. Orang itu menggenggam tangannya dan membawanya ke sebuah tempat yang begitu damai. Tempat itu begitu hangat. Penuh dengan tumbuhan dan bunga. Tempat itu begitu harum hingga rasanya ia tak ingin pergi dari sana.

"Kau akan mendapatkan yang lebih indah dari ini jika kau mau." Sakura tertegun mendengarnya. "Hiduplah dengan baik. Dan lakukan apa yang seharusnya kau lakukan. Itu pilihanmu. Tetapi percayalah, Allah tak akan memberikan cobaan melebihi batas kemampuan hamba-Nya."

Tak lama kemudian matanya terbuka. Yang ia lihat dan dengar untuk pertama kali adalah tangisan dari orangtuanya. Ia dipeluk erat oleh ibunya. Ayahnya berkali-kali meminta maaf padanya. Sedangkan ia tak tau harus berbuat apa selain membalas pelukan ibunya dan tersenyum pada ayahnya, mengatakan bahwa ia baik-baik saja dan berjanji tak akan mengulangi tindakan bodohnya lagi.

Setelah kejadian itu, dirinya berubah total. Pakaiannya yang semula serba terbuka, kini tertutup sepenuhnya. Ia mulai kembali belajar agama, membaca kitab sucinya, dan semakin mendekatkan diri pada Sang Pencipta. Teman-teman sekolahnya terkejut melihat perubahannya. Terlebih ketika pihak sekolah sempat melarangnya berpakaian muslimah seperti itu. Namun ia tetap pada pendiriannya. Hingga pada akhirmya pihak sekolah tak bisa berbuat apa-apa selain mempertahannya dikarenakan ia berprestasi.

Sudah 15 tahun sejak ia berhijrah. Sudah selama itu. Usianya kini sudah 33 tahun. Usia yang sangat matang untuk berumahtangga. Namun apa daya, ia belum diijinkan untuk itu. Padahal sudah banyak pemuda yang datang melamarnya. Tetapi berita tentang masa lalunya membuat para pemuda itu mundur. Ia hanya berusaha tersenyum ketika menghadapinya. Ia berusaha menerima dan ikhlas. Dan juga, ia tak mau menyalahkan takdir. Tak juga ingin menyalahkan Sang Pemilik Jiwa dan Raganya. Ia sama sekali tak melakukan itu. Ia hanya berdoa agar pada saatnya ia diberikan yang terbaik. Dan ia mempercayai hal itu. Dan sepanjang itu, ia akan berusaha menjadi pribadi yang lebih baik lagi agar ia pantas mendapatkan yang terbaik.

Ia tersenyum tenang dan mengusap airmatanya perlahan. Kemudian meletakkan bukunya di rak buku di kamarnya. Setelahnya ia mengambil air wudhu untuk bersiap-siap shalat Ashar.

"Kali ini gagal lagi?" tanya Naruto seakan menggema di telinganya. Pria berusia 40 tahun itu mengangguk pelan. Naruto memberinya tatapan prihatin. Sahabatnya itu entah sudah keberapa kalinya menjalani ta'aruf, tetapi selalu gagal. Naruto tak mengerti. Entah apa yang sebenarnya dipikirkan oleh sahabatnya itu.

"Mau sampai kapan, Sasuke? Usiamu sudah tidak muda lagi. Aku bahkan sudah memiliki 3 orang anak."

"Kau tau aku sudah berusaha. Dan … tidak ada yang cocok," jawab Sasuke setengah frustasi. Naruto menghembuskan napas kasar. Gemas dengan sikap Sasuke.

"Kau yang terlalu pilih-pilih. Baru sebatas tukar-menukar CV langsung tolak."

"Lalu kau pikir mencari jodoh segampang membalikkan telapak tangan?" Nada Sasuke terdengar tak terima.

"Terserah apa katamulah Sasuke. Aku angkat tangan," balas Naruto sambil mengangkat kedua tangannya dan mengangkat bahu. Sasuke memalingkan wajahnya, enggan melihat Naruto yang malah membuatnya semakin frustasi.

Sejujurnya ia sudah sangat ingin menikah. Namun belum ada yang cocok. Padahal ia sudah memiliki segalanya. Wajah tampan, mapan, dewasa, cerdas, agama bagus. Apalagi yang kurang? Banyak yang mengajukan diri menjadi istrinya, namun Sasuke kurang tertarik dengan mereka. Entahlah. Rasanya ia ingin kembali ke kantornya dan bekerja. Ya, itu lebih baik daripada harus berhadapan dengan Naruto yang sebentar lagi akan menceramahinya, lagi.

"Aku harus kembali ke kantor," pamit Sasuke sambil berdiri.

"Kembalilah Sasuke. Dan temui aku jika sudah mendapatkan calon istri!" sewot Naruto. Sasuke tertawa pelan.

"Baiklah, Tuan Tukang Ceramah," gurau Sasuke sambil terkekeh. Naruto menatapnya datar. Sasuke pun berlalu dari hadapannya.

"Aku berharap kau mendapatkan yang terbaik, Sasuke."

Sakura merapikan kembali cadarnya sebelum berangkat mengajar. Setelah dirasa rapi, ia berangkat untuk mengajar anak-anak di sebuah TK Islami. Kebetulan pihak sekolah tak mempermasalahkan pakaiannya, terutama cadarnya. Mereka bahkan dengan senang hati menerimanya. Sakura menganggap mereka adalah bagian dari keluarganya.

Berangkat menggunakan motornya, ia sangat berhati-hati. Ketika melewati sebuah pasar, ia berhenti sejenak. Ia berniat membawakan anak didiknya buah-buahan. Bibirnya mengulas senyum ketika membayangkan wajah ceria anak-anak manis itu.

"Sakura, ya?" Seorang wanita pedagang buah yang dihampiri Sakura bertanya memastikan padanya. Tatapan matanya penuh selidik.

"Iya, Bi. Ini aku. Sakura," jawab Sakura ramah. Penjual itu tertawa.

"Aku pikir siapa. Habisnya kau semakin menyeramkan dengan pakaian itu," ujar penjual wanita bernama Yuriko tersebut. Mendengar ucapannya, Sakura terkekeh pelan. Ia sibuk memilih buah-buahan segar untuk anak muridnya. Setelah dirasa cukup, ia meminta Yuriko untuk membungkusnya. Setelahnya ia membayar.

"Terima kasih, Bi." Sakura berkata tulus. Yuriko, wanita tua berusia 45 tahunan itu tersenyum padanya.

"Semoga Allah memberimu kebahagiaan," ucap Yuriko sambil menyentuh tangan Sakura.

"Terima kasih banyak, Bi." Sakura kembali tersenyum meski tak terlihat. Yuriko pun membalas senyumnya. Meski ia tak melihat senyum Sakura, tetapi dari tatapan mata Sakura ia tau bahwa Sakura tengah tersenyum padanya.

Sakura pun segera pergi dari sana menuju tempatnya mengajar tanpa sadar ada seseorang yang tengah memandangnya penasaran dari kejauhan. Orang yang kemudian menghampiri Yuriko.

"Ada yang bisa dibantu, Tuan?" tanya Yuriko ramah.

"Aku butuh … dua kilo jeruk," jawab pria tersebut. Yuriko pun memilihkan jeruk yang bagus. Sesekali wanita itu mencuri pandang pria tampan yang tengah dilayaninya kini. Dan dengan modusnya, ia sedikit memperlambat dalam memilih jeruknya.

"Wanita yang tadi itu …," ucapan pria itu menggantung. Yuriko menatapnya tak mengerti. "Maksudku yang barusan membeli buah disini," lanjut pria itu. Yuriko menjentikkan jarinya semangat.

"Maksudmu Sakura?" tanya Yuriko memastikan. Pria itu menatapnya tak paham. Bingung, tentu saja. Karena ia sama sekali tak tau namanya. Mengerti bahwa pria itu tak mengerti, Yuriko melanjutkan, "Wanita yang memakai cadar itu kan?"

"Ya," jawab pria itu. Senyum Yuriko melebar. Ia bahkan melupakan sejenak tugasnya memilihkan jeruk.

"Anda tertarik padanya, Tuan?" Yuriko bertanya penuh selidik namun sangat bersemangat. Pria itu terdiam tak menjawab. Ia mengalihkan pandangannya pada buah-buah yang berada dihadapannya. Tangannya berpura-pura memilih. Yuriko tersenyum.

"Jadi namanya, Sakura, ya?" gumam pria itu sambil memilih-milih apel yang terlihat sangat segar.

"Ya. Dia wanita yang sangat baik. Namun sayang, dia belum menikah," jawab Yuriko sambil membayangkan Sakura. Pria itu menghentikan gerakannya. Sejenak nampak berpikir.

"Apa Bibi tau dimana dia tinggal?" tanya pria itu lagi. Yuriko makin memperlebar senyumnya.

"Bibi tidak tau dimana Sakura tinggal. Tapi dia mengajar di TK dekat sini. TK Konoha namanya," jawab Yuriko menjelaskan. Pria itu tersenyum sambil memberikan beberapa lembar uang untuk membayar jeruk pesanannya.

"Terima kasih banyak, Bi." Pria itu memberikan senyum terakhirnya. Yuriko pun tersenyum seiring kepergian pria tersebut. Dia berharap ada sesuatu yang baik terjadi pada Sakura setelah ini mengingat selama ini Sakura selalu menutupi kesedihannya. Karena gadis itu sudah lama dikenalnya. Dulu ia adalah tetangga Sakura. Ia tau mengenai kasus pelecehan yang menimpa Sakura dan juga tentang banyaknya lamaran yang batal karena masa lalu gadis itu. Dan kini, ia berharap Sakura bahagia. Ia berharap pria tampan itu adalah jodohnya.

.

.

… Bersambung …